Chapter 3

Reza Chandika sebagai Reza/Eja
(gak sengaja bisa pas gini 😂😅)

—————————


"Astagfirullah!"

"Kapan lagi ye kan gue denger Kana nyebut." Reza duduk di sofa dengan senyum mengejek. "Kita tinggal serumah seminggu aja, gue pasti bisa lihat lo berangkat pengajian."

"Lo tadi nggak di situ, Buntelan Upil! Kapan datengnya?!" Kana lupa sepertinya kalau asisten suaminya ini tahu passcode rumah. Dan datang seperti jin botol seperti ini sudah jadi kebiasaannya.

"Gue emang diem-diem bae. Takut ganggu kalian yang masak pake adegan peluk-pelukan. Kalau di film fantasi, itu makanan bisa muntah lihat yang masak pelukan." Menggeleng dramatis. "Nggak usah natap gue kasihan begitu. Mata gue udah nggak suci lagi sejak kalian nikah. Sering dikasih tontonan gratis. Gumoh, gumoh."

Satya tertawa. Menjauh dari istrinya. "Ngapain ke sini? Kan gue udah bilang mau nganter Kana."

"Mau nebeng sarapan yang bergizi." Sambil membuka toples kuaci di meja. Dia lantas menganga, menatap toples tidak percaya. Juga toples berisi pilus di meja. "Ke mana keripik kentangnya?!"

"Nggak nyetok. Kana lagi diet."

Reza menatap Kana yang kembali berkutat dengan masakan. "Tubuh lo udah selidi, Kana. Mau jadi apa lo diet lagi?"

"Mau kopi, Ja?" Satya berusaha mengalihkan daripada mereka ribut. Seringnya begitu. Reza yang kelewat ceplas-ceplos sering membuat Kana senewen. Ini belum ketambahan Lala ya. Bisa makin ribut.

"Kopi susu. Sama lo punya cookies nggak?"

"Ngadi-ngadi." Kana mencibir tanpa menoleh.

Satya mengambil setoples cookies dari kabinet atas—yang disembunyikan Kana di sana—serta membawa kopi ke meja sofa.

"Gue semalam telepon lo nggak aktif."

Kana mendengkus mendengarnya. Lagaknya sudah seperti istri simpanan yang berhak mendapat perhatian yang sama.

"Gue sama Kana tidur di rumah Indi."

"Apa hubungannya?"

"Main sama ponakan favorit." Tapi sayangnya mereka pulang pagi-pagi sekali tadi. Kana ingin sarapan di rumah katanya. Istrinya itu hanya tidak sanggup melihat pagi yang chaos karena anak-anak. "Ponsel sengaja gue matiin."

Melahap satu cookies dalam sekali gigit. "Minta anak ke Kana makanya."

Dalam satu gerakan, Satya berdiri, merangsek ke Reza sambil membungkam mulut comel itu. Berbisik. "Lo mau bangunin Godzilla?"

Reza mengacungkan tangan gempalnya. Minta dilepaskan.

"Na, masa' suami lo bilang lo mirip Godzhmpphhh—" Kena bungkam lagi.

Kana membawa lauk ke meja, beserta piring. Gesit juga menuang air putih. Mengabaikan dua lelaki dewasa yang bermain tindih-tindihan. "Buruan sarapan."

"Kamu nggak?" Satya menyingkir dari tubuh Reza, heran karena Kana justru melepas celemek dan melesat ke tangga.

"Aku gampang. Di mobil aja nanti!"

***

Kana menyandar lelah di punggung kursi. Sudah cukup larut. Pukul duabelas. Dari agensi, meeting untuk BA, lanjut ke pemotretan. Balik lagi ke agensi untuk interview majalah fashion. Yang tadinya Satya hanya bertugas sebagai sopir dan tempat penitipan tas Kana, ikut terseret dalam sesi interview. Tanpa perlu dipaksa. Satya memang serba mudah.

"Mau aku gantiin nyetir, Sat?"

"Mata tinggal segaris tapi mau nyetir? Udah, tidur aja. Aku bangunin pas sampe."

"Tapi kamu juga capek."

"Aku cuma duduk aja tadi. Nggak berasa apa-apa."

Tidak ada balasan. Satya melirik. Istrinya sudah tertidur. Beruntung gerbang kompleks sudah terlihat. Kana bisa segera bertemu kasur dan tidur lebih layak.

Sebelum menikah, Satya membeli rumah di kompleks ini. Hasil rekomendasi Reza. Nyaman dan aman katanya. Kenapa tidak apartemen? Kana secara tersirat lebih suka rumah soalnya. Jadi Satya memenuhi keinginan perempuan itu. Tidak. Kana tidak memintanya. Satya yang ingin sendiri.

Kalau dibilang saat menikah pun, Kana tidak ribut soal seserahan yang macam-macam. Satya masih ingat. "Udahlah, apa aja aku oke. Kamu minta rekomendasi Indi aja. Dia pasti ngerti."

Melepas sabuk pengaman, Satya turun, memutari mobil dan membuka pintu di bangku sebelah. Kana terbangun saat Satya bantu melepaskan sabuk pengaman. Padahal dia sudah hati-hati.

"Udah sampe ya?" Bertanya dengan suara serak.

"Iya. Gimana? Mau jalan sendiri atau gendong?"

"Jalan sendiri."

Satya mundur. Menunggu istrinya mengambil tas dan keluar dari mobil. Satya bantu menutup pintu.

Begitu pintu rumah terbuka, Kana memelas. Berubah pikiran. "Sat, mau digendong aja deh."

Dia sempat mendengar lelaki itu terkekeh sebelum tubuh Kana dibuat melayang. Mengeratkan kedua tangan di leher suaminya, Kana menggumam. "Besok pagi-pagi kamu udah berangkat. Aku bakalan kangen banget."

"Mau berubah pikiran dan ambil cuti?" Sambil berjalan menuju kamar mereka.

"Nggak."

Satya tersenyum meski Kana tidak melihatnya. "Aku berharap kamu mau ikut."

"Kapan-kapan ya." Entah yang dimaksud 'kapan-kapan' ini kapan.

"Iya."

Satya terjaga semalam penuh. Dia sibuk memandangi wajah lelap Kana. Karena tidak bisa memaksa Kana untuk ikut, jadi dia akan puas-puaskan menatap istrinya seperti ini. Norak memang.

"Tidur, Sat." Kana mengubah posisi. Dari semula terlentang, kemudian menghadap ke Satya. Satu tangannya bergerak ke punggung suaminya. Menepuk-nepuk. "Tidur, yuk, tidur. Nih aku pukpuk."

"Tapi pengin lihatin kamu tidur."

Lirih. "Ck. Bucin."

Terkekeh. Satya membawa Kana ke dalam pelukannya. Cukup erat.

Bicara sendiri. "Na, aku baru ingat, Sabtu besok kita anniversary ya. Tapi aku nggak di rumah. Nggak apa-apa ya kita rayain Senin?"

Ternyata Kana dengar. "Yang penting kita tetap sama-sama."

***

Sambil bersedekap, Kana memperhatikan jetbus berwarna kuning menyala yang baru saja merapat ke jalan depan rumah mereka. Sudah jelas siapa yang memilih jetbus dengan warna ini. Siapa lagi kalau bukan asisten Satya.

Pou, ehm maksudnya Reza, turun dari salah satu pintu. "Satya mana? Udah siap?"

"Lagi pake sepatu."

Tak lama setelahnya, Satya datang dengan menarik satu koper dan ransel hitam yang penuh.

"Udah kamu cek semua? Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" Kana memastikan.

"Nggak ada." Satya menggamit kedua bahu istrinya. "Kamu hati-hati di rumah ya."

Mengangguk. Tersenyum. "Kamu hati-hati di jalan."

"Buruan. Nggak usah lama-lama." Reza sudah menunggu di ambang pintu bus.

Kana mengambil tangan kanan Satya. Membawanya ke kening. "Kerja yang bener. Pulang bawain berlian."

"Berapa karung?"

Reza membuat gerakan ingin muntah. Mendadak pening melihat pasangan dua tahun menikah, yang kelakuannya seperti remaja tanggung yang baru mengerti—iri bilang, Bos! Oke, Reza berhenti mencibir di dalam hati.

Terakhir, Satya memeluk Kana. Cukup lama. Sebelum Reza protes lagi, Satya melepas pelukan dan bergegas naik. Tapi sebelum pintu ditutup, Satya yang hendak duduk, kembali berdiri dan turun dengan cepat.

"Yassalam! Apalagi, Sat?! Dahlah gak usah berangkat aja!" Reza mengomel melihat Satya turun untuk mengecup pipi istrinya. Lama-lama emosi dia.

"Apaan lagi? Kana mau bawain apa? Kuaci sekarung?!" Saat melihat Kana berlari masuk ke rumah.

Satya melongok ke pintu. "Bentar ya. Ponsel gue ketinggalan di kamar kayaknya."

"Hati lo juga ketinggalan di kamar nggak?" Dengan hidung megap-megap menahan emosi.

"Nggak dong. Kan dibawa Kana terus."

Sungguhan ya. Reza bisa muntah sungguhan lama-lama. Sejak menikah, Satya berubah jadi manis. Terlalu manis dari takaran seharusnya. Dia jadi rindu Satya yang dulu. Sekarang otak Satya penuh oleh Kana. Gitu ya kalau orang susah jatuh cinta, sekalinya jatuh, bucinnya orang sedunia diembat sendiri.

"Kok lama?!" Reza berdiri di ambang pintu. "Dahlah, beli ponsel aja di jalan."

"Makin ke sini lo makin emosian."

"Gue menyesuaikan aja sama sikap bini lo."

"Nggak perlu. Gue lebih suka lo yang lucu kayak dulu."

"Gue juga. Lebih suka lo yang nggak bucin—halah, bahas apa sih ini!"

"Sori, lama. Aku nyari dulu tadi. Ponsel kamu jatuh di bawah tempat tidur ternyata."

Satya tersenyum, menerima ponsel yang diulurkan Kana. Tanpa menyadari jika ada yang berbeda di wajah istrinya.

***

"Kok lo belum mandi? Ini jam berapa?!"

"Gue nggak mau ke mana-mana, La."

Lala sontak panik. Dia mendorong Kana dan menutup pintu di belakangnya. Lalu mendudukkan Kana di sofa. "Kenapa lagi? Satya udah berangkat, 'kan? Nyesel karena nolak cuti yang gue kasih?"

Tanpa menjawab, Kana berdiri. Menaiki tangga menuju kamar. Lala menyusul cepat. Kana ada jadwal syuting iklan dan suasana hatinya buruk. Ini bencana!

"Na, kenapa mendadak gini?" Lala berusaha tidak menyinggung soal jadwal syuting.

"Gue mau tidur bentar." Meneruskan langkah. Lala menyusul sambil menahan diri supaya tidak mengomel. Sekilas lihat, Kana tidak baik-baik saja. Jadi, Lala hanya bisa menghela napas panjang saat Kana naik ke kasur dan menarik selimut.

Lala melangkah ke jendela. Bermaksud menutup gorden, tapi dicegah. "Biarin aja."

Baiklah. Lala duduk di meja rias. Mulai menilai situasi. Menebak apa yang sudah terjadi. "Kalian berantem sebelum Satya berangkat?"

Kana menutup mulut rapat. Bahkan terlihat tidak terganggu dengan cahaya matahari yang jatuh di wajah.

"Lo bikin salah apa sih, Na?"

Barulah dijawab. "Kalau ada masalah, kenapa gue yang dianggap salah?"

Oke. Tebakan Lala salah. Mereka tidak bertengkar. Ini murni dari diri Kana sendiri atau malah Satya. Tapi apa?

"Mau dibeliin sarapan apa? Gue keluar bentar. Sambil telepon produsernya buat reschedule. Percuma dipaksa. Lo lagi gini. Tidur gih."

"Nggak usah balik ke sini. Gue pengin sendiri."

Menatap cemas. "Nanti sore gue ke sini lagi. Butuh apa-apa, telepon aja."

Setelah terdengar pintu kamar ditutup, Kana menyibak selimut. Melangkah ke meja di dekat sisi jendela. Membuka macbook dan mencari satu folder berisi video-video pendek. Kumpulan konser Satya yang selalu bertambah setiap minggunya. Kana rajin mengumpulkan, bahkan yang terbaru. Mulai dari video official hingga fancam. Satya mungkin tidak tahu ini.

Yang mungkin Satya pahami, Kana tidak peduli dengan apa pun yang lelaki itu kerjakan. Kana yang selalu absen menemani Satya manggung. Kana yang tidak datang saat launching album. Kana yang selalu tidak ada dalam momen penting karir Satya.

Tangannya belum bergerak untuk memilih video mana yang akan diputar. Kana justru tergugu. Kedua tangannya saling meremas di atas pangkuan. Tatapannya kosong. Dadanya sesak. Pesan pendek yang dia hapus dari ponsel Satya tadi, kembali terlintas.

I'm home finally! Can't wait to see you. Kangen!

Perempuan itu sudah pulang. Entah pertanda baik atau buruk. Jika satu tahun lalu Kana sanggup bertahan, besok dan lusa, dia harus bagaimana?

Kana mungkin naif.

Dalam satu tahun ini, dia berusaha bahagia dan melupakan bagian yang menyakitkan. Berusaha menyingkirkan perasaan-perasaan tidak perlu yang hanya membebani hati. Dia punya banyak pekerjaan dan tidak punya waktu untuk memahami sakit yang dirasa.

Namun, Kana tampaknya gagal membohongi hati kecil. Mengelabui dengan bukti bahwa sampai detik ini Satya masih di sisinya, tetap miliknya. Menanamkan kepercayaan bahwa Satya mencintainya.

Satya tidak benar-benar mencintainya.

Satu titik akhirnya menetes di atas punggung tangan. Susul-menyusul.

***


Aku narget cerita ini selesai di bulan Agustus. Dikasih deadline cuma sebulan sama mbak editor, awowkwok. Dan entah cerita ini lolos masuk Cabaca apa gak. Kalau misal nggak, aku mungkin coba nawarin Aftertaste 😂

Anyway, tengkyuu buat supportnya 😘

Minggu/09.08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top