Chapter 29
Makasih buat jawaban kalian kemarin 🥰🤗😘
Selamat membaca! ❤
—————————
Kana nyaris tertidur dengan posisi memunggungi pintu saat suara langkah yang familier terdengar di telinganya. Seruan tertahan Mama juga terdengar menyusul. Kana membuka mata dan membalik tubuh perlahan. Gagal mencoba tidur.
Lihat, siapa yang datang dan dipeluk Mama dengan sayang. Setelah sebelumnya dia yakin jika Satya tidak akan datang ke sini malam ini. Dia khawatir tapi selalu ragu untuk menghubunginya. Sekadar mengirim pesan singkat saja Kana tidak berani.
"Ma? Pa? Sampai jam berapa tadi? Maaf aku nggak bisa jemput."
"Siang, Nak. Nggak apa-apa." Mama menggamit kedua lengan menantunya. "Sudah makan malam?"
Satya mengangguk. Di belakangnya, Reza mencium tangan keduanya sebelum melipir ke kursi dekat ranjang. Membiarkan Satya mengobrol di sofa dengan mertuanya.
Melihat parsel buah di meja, Reza mencomot tiga butir anggur. Badan Reza sukses menghalangi pandangan Kana ke arah sofa. Sengaja memang. Reza melirik Kana beberapa kali sambil mengunyah anggur. Dia sudah gatal ingin menyidak, tapi tidak bisa dilakukan sekarang, apalagi ada orangtua Kana.
"Ja, bisa minggiran dikit?"
Reza mengangkat kursi sambil mencodongkan tubuh ke depan—mager untuk sekadar berdiri. Posisinya sekarang sedikit menepi dan membelakangi meja samping ranjang agar Kana bisa melihat Satya.
Entah harus lega atau sedih melihat Satya yang bersikap seolah tidak terjadi apa pun di antara mereka. Suaminya itu duduk santai di sofa, menjadi pendengar yang baik ketika Papa bercerita tentang politik—yang bersangkutan dengan pekerjaan Papa sebagai salah satu petinggi partai. Satya tidak terlalu mengerti politik tapi tetap mendengarkan dengan takzim. Sementara Mama meninggalkan sofa, membuatkan secangkir teh hangat untuk Satya.
Apakah ini mimpi? Bisa melihat kecewa luruh dari wajah Satya? Melihatnya tertawa ringan dan sesekali balas memandang Kana. Bagaimana Satya pintar menyembunyikan semua luka?
Kana seharusnya tidur lebih awal, Mama bahkan sudah lelah membujuk. Tapi dia tetap terjaga demi bisa menatap Satya lebih lama.
"Kak, nggak bisa tidur? Bantalnya nggak nyaman ya?" Mama mendekat ke ranjang. Mengelus kepala Kana.
Papa menimpali geli. "Dari tadi ngelihatin Satya mulu dia, Ma. Nggak rela kayaknya Satya dimonopoli sama kita."
Kana memaksa seulas senyum.
"Ya udah, kami pulang ke hotel ya. Udah malam juga. Yuk, Pa." Mama mengambil tasnya setelah mengecup kening Kana. Papa berdiri dari sofa, diikuti oleh Satya.
"Ja, kunci?" Satya meminta kunci ke Reza.
"Nggak usah, Nak Satya. Hotel kami cuma di sebelah. Jalan nggak sampai dua menit." Mama menolak halus.
Selepas pintu ditutup dari luar, Reza juga pamit pulang. Menyisakan Satya dan Kana di ruangan itu.
Satya mendekat. "Posisi ranjangnya mau diturunin?"
Kana menggeleng pelan. Satya menempati kursi Reza tadi, sehingga posisi duduknya tidak menghadap ke Kana. "Bantalnya udah nyaman? Atau mau diganti?"
Tidak ada jawaban karena Kana menangis diam-diam. Tidak bersuara tapi Satya bisa melihat dari sudut matanya.
Satya menghela napas, mendongak ke langit-langit. "Kenapa nangis?"
Nyaris tidak terdengar. "Aku nyakitin kamu."
"Kita udah selesai bicara, Kana. Aku berusaha memahami apa yang terjadi. Kamu nggak perlu merasa bersalah." Ada jeda beberapa saat. "Aku ngerti posisi kamu."
"Sat ...."
"Aku nggak ada di masa lalu kamu. Apa pun yang terjadi di sana, jauh sebelum kita ketemu. Aku nggak mau banyak berandai. Hadapi apa yang harus kamu hadapi. Kamu tahu mana yang terbaik buat diri kamu sendiri."
"Satya—"
"Udah malam. Tidur ya."
"Kamu bakal pergi?"
"Kata dokter besok kamu boleh pulang."
"Setelah aku tidur, kamu bakal pergi?"
Satya menoleh. Wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan, tapi dia tersenyum dengan matanya. "Aku nggak ke mana-mana."
***
"Kamu ada masalah, Satya?" Marlina datang menjenguk bersama Indi, setelah melihat keadaan Kana, dia menarik Satya untuk mencari udara segar di taman rumah sakit.
Satya tidak bisa menjawab karena terlalu tiba-tiba. Apakah di dahinya tertulis masalah yang sedang dia hadapi?
"Kamu diam karena tahu percuma bohong ke Mama." Marlina bertanya lembut, tanpa menuntut. "Kali ini soal apa, Sat? Kamu ingin Mama berhenti meneror kalian soal cucu?"
"Kami nggak keberatan dengan hal itu, Ma."
"Kana sudah tidak kuat menghadapi Mama dan ingin pisah dengan kamu?"
Satya mengusap wajah. "Kenapa Mama dulu akhirnya mengizinkan aku untuk menikahi Kana?"
"Kamu cinta mati dengan dia."
"Tapi sampai saat ini Mama bahkan nggak bisa sayang ke Kana."
Marlina menarik napas panjang. "Dia bukan tipikal istri idaman kamu. Mama nggak tahu, kenapa kamu akhirnya menikah dengan Kana yang jauh dari sosok yang kamu inginkan."
"Cinta memang punya cara kerjanya sendiri kan, Ma? Semua bayangan istri idaman di kepalaku lenyap dan cuma ada Kana." Namun, Satya mengerti alasan sebenarnya. "Aku tahu, Mama telanjur sayang ke Rayya."
Mau tak mau, Marlina memang harus mengakuinya. Selama ini, Satya fokus membangun karir. Tidak punya banyak waktu untuk memilih calon pendamping dan hanya dekat dengan Rayya. Dia tidak berharap banyak Satya akan membawa beberapa perempuan ke rumah. Marlina akhirnya terbiasa dengan keberadaan Rayya—tanpa peduli tentang latar belakang perempuan itu, dia sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Rayya juga selalu ada untuk mendukung Satya. Maka tidak ada yang salah ketika Marlina mulai membayangkan Satya akan bersanding dengan Rayya suatu hari.
Hingga kemudian Kana hadir di hidup Satya. Mematahkan rencana-rencana di kepala Marlina. Meruntuhkan angan indah milik Rayya.
"Mama benar."
"Sat?" Marlina mengernyit dalam.
"Aku dan Kana sedang ada masalah, Ma. Tapi maaf aku belum bisa cerita sekarang."
Marlina mengenal baik bagaimana dua tahun lebih ini Satya tidak pernah mengeluh padanya. Setiap kali ditanya, Satya akan menjawab jika semuanya baik-baik saja. Sehingga dirinya tidak perlu cemas dan berpikir macam-macam. Sejak kecil Satya memang seperti ini. Tidak ingin membuat orang lain ikut khawatir.
"Jangan terlalu memaksakan diri, Satya. Jika memang terlalu berat di langkahmu, jangan dipaksa untuk jalan. Kadang, sesuatu yang kita genggam terlalu erat, hanya akan menyakiti kita."
"Aku belum ingin berhenti, Ma. Langkah kami masih panjang." Satya tersenyum, mengambil tangan mamanya untuk digenggam lembut. "Doakan kami agar tetap kuat ya, Ma."
***
Kana kembali ke aktivitas yang sempat tertunda karena dia harus masuk rumah sakit. Mama dan Papa langsung pulang ke Solo sore harinya setelah Kana pulang dari rumah sakit. Minggu ini, Satya juga mulai sibuk menyiapkan materi lagu untuk proyek duet dan juga meeting Asia Tour yang dimulai awal tahun. Kana dengar saat Reza tadi pagi di meja makan menyebutkan jadwal Satya selama seminggu ini.
Ya, kehidupan Kana kembali seperti semula. Bangun pagi-pagi untuk berangkat pemotretan. Sama halnya dengan Satya yang bangun pagi, sama sibuknya. Masalah di antara mereka pun seakan terlupakan sesaat.
"Kita cuma mau ngabisin kerjaan yang ada sebelum bulan depan lo habis kontrak." Lala membuka tab. Mobil sedang dalam perjalanan menuju studio untuk syuting iklan brand lipstik.
"Minggu depan lo ada acara, La?"
"Kok tanya ke gue? Kan situ yang kerja."
"Gue mau ke Bali."
"Minggu depan banget?"
Kana mengangguk. "Temenin gue ya?"
"Terus kerjaan lo gimana? Ini minggu depan ada—" Lala mengusap layar, menggeser ke halaman selanjutnya. "Ada dua kerjaan, Kana. Enak aja lo mau pergi gitu aja."
"Hari apa aja?"
"Selasa sama Sabtu. Tapi biar efisien, gue coba nego hari, biar sekalian pas weekend aja."
"Makasih, La."
Lala menutup tab dan menyandar di kursi. "Mau tinggal berapa hari di sana?"
"Gue belum bisa ngomong sekarang. Tapi bisa jadi dalam waktu yang lama."
"Oke, gue tahu lo mau ada di dekat Allisya. Tapi Satya gimana?"
"Dia sibuk beberapa bulan ke depan. Dia bakal bolak-balik Malaysia sama Asia Tour."
"Jadi?"
"Gue pikir selama dia kerja, gue bisa tinggal di Bali."
"Na, sori, udah diskusi ini sama Satya, 'kan?"
Lala tidak perlu menunggu jawaban, dari gestur Kana sudah bisa disimpulkan. "Boleh gue tanya?"
"Apa?"
"Terlalu lancang, tapi gue pengin tahu apakah ini udah lo pikirin apa belum."
"Apa, La?"
"Kalau disuruh pilih, lo akan milih siapa, Satya apa Allisya?"
Kana membuang wajah ke jendela mobil yang separuhnya tertutupi gorden. Sejak awal, hal itu sudah melintas di pikiran Kana. Menggema paling nyaring, tapi masih berhasil dia bungkam. Tapi sekarang, ketika pertanyaan itu diajukan padanya, dia sadar jika sia-sia saja membungkamnya.
"Gue nggak bisa serakah, 'kan?"
"Lo mungkin bisa milih dua-duanya, Na."
Memilih keduanya? Kana mendengkuskan senyum. Dia tidak bisa berharap semuluk itu.
***
Malam menyambut lebih cepat. Satya tahu jika dia akan kembali bertemu dengan Kana setelah sepanjang hari tenggelam dengan pekerjaan masing-masing. Ketika tiba di rumah dan Reza memilih untuk langsung pulang, Satya mencium aroma lezat saat membuka pintu utama.
Dia melangkah ke dapur. Mendapati istrinya memakai celemek tanpa sempat berganti pakaian. Satya masih berdiri diam, menikmati pemandangan punggung dan senandung kecil Kana yang belum menyadari kedatangan Satya.
Kana berbalik, sedikit terkesiap, hendak mengatakan sesuatu, tapi urung. Satya akhirnya yang menyapa lebih dulu. "Kamu pulang lebih awal?"
"Belum lama kok."
"Kamu masak?"
"Aku masak seadanya bahan yang ada di kulkas. Kamu udah makan?"
Satya menggeleng. Memilih tidak mengatakan yang sebenarnya. Sebelum pulang, Reza mengajaknya mampir ke soft opening restoran baru, tentu dia sudah kenyang. Namun, Satya tetap ingin duduk makan malam bersama Kana.
"Kamu nasinya seberapa? Segini?" Kana memperlihatkan mangkuk kecil ke Satya yang dijawab dengan anggukan.
Kana menyiapkan semangkuk sup dan nasi yang terpisah, untuk dirinya dan Satya. Di saat Satya sudah mulai menyendok nasinya, Kana justru tergugu. Dia menggigit bibir bagian dalam. Menyaksikan lelaki di hadapannya yang lahap memakan masakannya.
Tadi ketika Kana sampai di rumah, dia mengirim pesan ke Reza. Bertanya soal kepulangan Satya. Dijawab jika mereka sedang mampir ke restoran baru dan sebentar lagi akan pulang. Tapi sepertinya Reza tidak mengatakan apa-apa ke Satya.
Dia pikir akan duduk sendirian di meja makan dan bukannya berdua dengan Satya seperti ini.
"Kamu nggak makan?" Satya mengangkat kepala. Baru menyadari jika Kana belum menyentuh makanannya.
"Kamu tahu, kita sedang nggak baik-baik aja. Berat buat bersikap kayak kamu gini, Sat. Aku udah bilang kemarin, kamu boleh marah ke aku. Sikap kamu yang kayak gini bikin aku merasa semakin bersalah."
"Aku nggak bisa marah, Kana."
"Tapi kenapa? Kamu harusnya marah, Sat. Aku nggak jujur sama kamu sejak awal."
"Kamu sendiri nggak tahu kalau ternyata bayi kamu hidup dan tumbuh besar. Aku mau nyalahin gimana? Kecuali aku bisa mutar waktu, balik ke masa remaja kamu, menjaga kamu biar nggak salah jalan." Satya sudah menahan agar intonasi suaranya tidak meninggi, semoga saja memang terdengar demikian. Dia tidak ingin mengintimidasi Kana.
Kana sedikit terhenyak. Dia tidak bermaksud memancing pertengkaran. Tapi sikap tenang Satya setelah mendengar ceritanya, sedikit sulit dia terima. Satya memang terlihat baik-baik saja, tapi bagaimana dengan hatinya?
Yang terdengar selanjutnya adalah suara Kana yang sarat akan permohonan. "Tapi setidaknya, jangan dipendam, Sat. Kamu boleh suarakan kekecewaan kamu. Aku pantas kamu teriaki. Kamu maki. Atau apa pun agar kamu merasa lega. Ini bukan hal yang mudah kamu terima begitu aja."
Satya meletakkan sendoknya. Memundurkan tubuh agar bisa menyandar di punggung kursi. Menatap lurus-lurus. "Setelah aku maki kamu, marah dengan masa lalu kamu, nggak terima dengan kondisi yang ada sekarang, lantas kamu ingin aku sampai di batas mana? Melepas kamu?"
Tercekat, Kana tidak mampu bersuara. Kepalanya tertunduk dalam, tidak berani menghadapi Satya yang masih menatapnya lekat. Sampai kemudian derit kursi terdengar, disusul dengan langkah Satya yang meninggalkan meja makan.
Detik jam yang terus berputar. Ruang kosong yang baru saja ditinggalkan Satya. Sup dan nasi yang mulai dingin. Sendok milik Kana yang tidak juga disentuh, masih tergeletak di tempat semula. Pantulan wajah piasnya yang terlihat di kaca meja. Cahaya lampu yang hangat tapi membuatnya menggigil.
Meja makan itu lengang dan kosong. Sementara Kana semakin terpekur di sana.
***
Nyesek gak nyesek gak? Nyeseklah masa enggak 🤣😫😭
Sampai ketemu lagi Sabtu jam 21.00 wib 😆
Kamis/15.04.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top