Chapter 28
"Kakak nangis?"
Kana menunduk, menyeka pipi dengan punggung tangan. Hanya dengan melihat wajah Mama di layar ponsel, desakan untuk menangis datang begitu saja. Dia ingin pulang dan mengadu ke Mama. Belakangan hari-harinya terasa berat sekali.
"Mama berangkat ke sana siang ini. Kangen sama Mama ya?"
Lala menatap prihatin. Hanya ada dirinya di ruangan ini yang menemani Kana. Dia pun tahu tangis Kana bukanlah semata bentuk rindu, tapi lebih karena tidak tahu cara memberitahukan mamanya tentang Allisya. Seperti halnya Kana, kabar itu pasti akan mengejutkan untuk keluarganya.
Setelah beberapa kalimat Mama dan Kana hanya sanggup mengangguki tanpa banyak bicara, sambungan videocall itu selesai. Lala mendekat. Mengambil alih ponsel Kana untuk diletakkan di meja samping ranjang. Lala kemudian duduk di tepian. "Gue tahu berat buat ngasih tahu ke keluarga lo. Tapi paling nggak lo mulai dulu dengan Satya. Jangan sampai dia dengar dari orang lain."
"Gue nggak ada niat bohongin Satya atau bahkan keluarga, La. Sampai detik ini gue bahkan masih nggak percaya." Menggeleng. "Gue cuma belum nemu waktu yang tepat buat ngomong." Karena bagi Kana, percakapannya dengan Satya semalam adalah momen indah yang tidak ingin dia rusak.
Menepuk-nepuk tangan Kana yang tidak terpasang selang infus, Lala tersenyum. "Boleh gue tanya soal ponakan gue? Lo kemarin jadi ketemu?"
Pikiran Kana sedikit teralihkan. Yang tadinya mendung karena sempat menangis, kini menyungging senyum. Lala ikutan antusias.
"Dia cantik banget, La. Lebih cantik dari gue pas masih remaja." Menyentuh lengannya sendiri. "Tingginya kira-kira segini. Rambutnya panjang sepunggung."
"Terus, terus apa lagi?"
"Suaranya gemes. Nggak cempreng, agak serak basah."
"Terus?" Lala tanpa sadar meremas jemari Kana, ingin dengar lebih banyak. "Kalian sempat bicara? Ngobrolin apa aja?"
Senyum langsung sirna dari wajah Kana. Lala awalnya menatap heran, tapi kemudian paham. Rupanya di sana letak tidak beresnya. Tentu saja pertemuan itu tidak berjalan lancar. Mengingat kemarin Kana pulang ke apartemennya dalam keadaan kuyup, ditambah pingsan di parkiran. Lala seharusnya tidak tanya ini sejak awal. Tapi wajah berbinar Kana tidak bisa bohong kalau Kana bahagia bertemu dengan putrinya.
"Sori." Lala menyingkirkan tangannya dari Kana.
"Kapan-kapan kita ketemu dia sama-sama ya."
Lala menoleh cepat. "Lo mau nyusulin ke Bali?"
Kana mengangguk. "Cepat atau lambat, iya."
"Satya gimana?"
"Gue perginya bakal seizin dia."
"Kalau dia nggak kasih izin?"
Kana terdiam cukup lama. "Gue ngomong apa sih. Izin dari Satya? Iya kalau gue masih jadi istrinya."
"Jangan gitu dong, Na!"
"Ya realistis aja, Lala. Fakta gue punya anak bakal nyakitin dia."
Lala berdiri dari ranjang, menggamit kedua lengan Kana, menatap lurus-lurus. "Kenapa lo berpikir sedangkal itu? Satya nggak akan begitu, Na."
Terdengar pasrah. "Satya juga cuma manusia biasa, Lala. Berhenti menganggap dia malaikat yang bakal menerima gue secara utuh."
Pintu berkerit. Lala melepas lengan Kana dan mundur dari ranjang.
Kana menelengkan sedikit kepalanya agar bisa melihat ke pintu. Satya sudah kembali. Tadi pamit ada urusan sebentar. Ternyata suaminya kembali lebih cepat dari yang dia duga.
Lala segera pamit saat Kana menatapnya. Tanpa disuruh pergi, Lala tahu jika Kana ingin bicara dengan Satya.
Satya duduk di kursi dekat ranjang. Ponselnya bergetar. Ada pesan baru yang masuk. Dari nomor asing, tapi dari pop-up, dia bisa menebak pesan itu dari siapa. Mematikan layar, Satya menyimpan kembali ponselnya ke saku celana.
"Kenapa nggak dibales?"
"Nggak penting, Yang."
"Dari Rayya, ya?"
Satya tidak menjawab dan Kana mengerti.
"Aku ingin bicara ini sejak tadi malam." Kana menatap cincin yang melingkar di jemari Satya. Cincin yang tidak pernah lepas dari sana selama dua tahun lebih. Fakta ini menamparnya.
"Oh ya?" Satya sedikit mendongak. "Soal apa, Yang?"
Kana menemui sepasang mata Satya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia punya keberanian yang cukup. Kali ini dia tidak bisa mundur lagi. "Soal aku. Dan mungkin, kita."
Terlihat kerutan samar di dahi Satya.
"Kalau kamu ingin marah setelah dengar ceritaku, kamu bisa luapkan semuanya ke aku, Sat." Kana tidak lari saat tatapan Satya menelisiknya. "Kamu sungguh boleh marah, tapi setelah aku selesai."
Satya menggenggam satu tangan istrinya. Mengangguk dengan senyum tipis. Detik di mana Kana masih bisa melihat binar cinta dan percaya di sorot mata Satya yang teduh.
Kana mengembuskan napas panjang yang sesak. "Kamu ingat Tante Vina? Kita ketemu di pesta Mama beberapa hari lalu."
Satya mengangguk pelan.
"Aku dan Tante Vina sudah lama saling mengenal, Sat. Terakhir kami bertemu duabelas tahun lalu. Dulu waktu SMA, aku sempat punya hubungan dengan anak lelakinya-Rafka." Kana menggigit bibir. "Hubunganku dengan Rafka ... berjalan ke arah yang salah."
Seperti janjinya, Satya tidak menyela. Meski apa yang dia dengar membuatnya ingin melontarkan banyak pertanyaan.
Tarikan napas yang Kana hela selanjutnya, semakin menyesakkan. "Apa yang kamu rasakan waktu tahu Indi hamil di luar nikah, Sat?"
Pertanyaan retoris. Genggaman Satya di tangan kanannya semakin erat.
"Hancur? Marah? Nyalahin diri kamu sendiri? Atau kamu biarkan semuanya meledak di dalam hati kamu?"
Kana tahu jawabannya lewat cerita Indi. Bagaimana Satya yang menelan semua kemarahan dan tetap menjadi yang paling waras. Apakah akan berlaku untuk Kana? Apakah dia boleh berharap Satya juga memaklumi kesalahannya? Tidak. Satya hanya manusia biasa. Bagaimana mungkin Kana membiarkan Satya terluka dua kali oleh hal yang sama.
"Satya ...," panggilnya lirih. "Ada satu hal yang seharusnya aku katakan sebelum kita menikah."
Mata mereka menatap semakin dalam. Lapisan bening mulai mengaburkan pandangan Kana. Sementara Satya, sorot lembut itu mulai meredup. Kana tidak ingin menyadarinya, tapi juga tidak bisa berhenti. Dia sudah di sini. Bom waktu sudah menuju angka nol.
"Aku punya seorang putri berumur duabelas tahun."
Seketika senyap.
Kana mulai menghitung mundur di dalam hati. Menyiapkan diri untuk kemungkinan paling buruk. Seburuk apa pun, hal itulah yang pantas dia terima. Kana sedikit pun tidak berharap Satya akan mengerti dan memaafkan dalam waktu sekejap.
Beberapa detik kemudian, Satya akhirnya mengendurkan genggaman tangannya. Perlahan melepas sepenuhnya. Memutus tatapan mereka. Beranjak dari kursi. Berbalik dan berjalan ke jendela besar dengan langkah yang lelah. Tanpa sepatah kata. Kana hanya bisa menatap punggung Satya dengan nelangsa.
Ruangan itu semakin mencekik keduanya. Kana menangis di atas ranjang, bahunya bergetar hebat, isaknya memenuhi langit-langit. Seperti apa pun dia menyiapkan diri, nyatanya tetap gagal. Dia sungguh tidak ingin melihat Satya terluka seperti ini.
Suara tangis itu mengiris hati Satya. Dia ingin berbalik dan berlari menenangkan. Tapi kakinya terpaku di sini. Sebelum menghadapi Kana, dia ingin dirinya tenang lebih dulu.
Detik menyakitkan sudah berlalu meski tetap membekas kuat. Setelah tangis Kana mereda dan Satya bisa mengendalikan diri, dia berbalik.
Setiap langkah yang Satya ambil, terasa begitu panjang dan melelahkan.
"Aku ingin dengar lebih banyak." Menatap nanar istrinya. "Apa pun yang harus aku dengar."
***
"Na, suami lo mana?"
Lala datang setelah sekalian menjemput orangtua Kana di bandara. Sudah lewat jam makan siang. Tanpa menjawab pertanyaan Lala, Kana merentangkan kedua lengan, meminta sang Mama untuk memeluknya. Disusul dengan pelukan Papa yang merangkul keduanya.
Nyatanya, semua tidak semudah yang Kana bayangkan. Dia sudah merancang skenario ketika Mama dan Papa tiba di rumah sakit, bagaimana memulai cerita. Tapi demi melihat wajah cemas Mama, Kana ragu. Energinya juga terkuras habis untuk bicara dengan Satya. Keberaniannya mendadak lenyap jika harus melihat reaksi yang serupa dari Mama dan Papa.
Kana hanya berakhir memeluk Mama cukup lama, sekali lagi. Menjawab seperlunya kenapa bisa masuk rumah sakit. Bicara hal-hal lain yang remeh tapi berharga bagi mereka yang jarang bertemu.
"Satya ke mana, Kak?" Papa bertanya.
"Barusan pergi ke studio, Pa."
"Na, mau gue teleponin suami lo?"
Kana hanya menatap Lala. Tidak menjawab.
"Nggak usah, Lala. Pasti lagi sibuk Satya. Nanti malam pasti juga ketemu." Papa menjawab santai sambil meluruskan kaki di sofa.
Obrolan yang tercipta di ruangan ini-Lala berinisiatif mencomot obrolan dan berhasil mengalihkan topik-sama sekali tidak bisa mengalihkan pikiran Kana yang tak keruan. Setelah mendengar semua ceritanya, Satya memilih pergi. Tidak. Lelaki itu tidak mengamuk. Menunjukkan kemarahan saja tidak. Berhasil ditutupi dengan baik. Tapi satu hal, Satya gagal menyembunyikan kekecewaannya.
Masih terbayang jelas bagaimana Satya yang tetap diam mendengar penjelasannya. Tidak ada interupsi, penghakiman, atau teriakan marah. Namun, lagi-lagi wajah kecewa Satya memenuhi kepalanya.
Sentuhan di lengan membuat Kana tersadar. "Ehm, maaf, Mama tanya apa?"
"Mama nggak tanya, Kak. Papa yang tanya."
Kana beralih ke papanya yang duduk di sofa. "Ya, Pa?"
"Kata Lala kamu mau berhenti jadi model."
"Iya."
"Bukannya ini mimpi kamu sejak dulu?"
Kana tersenyum tipis. "Mimpiku sudah terpenuhi, Pa. Mungkin saatnya aku memenuhi hal lain, selagi masih bisa."
Papa manggut-manggut. "Sering-sering pulang ke Solo kalau begitu ya."
Kana mengangguk, lalu kembali melamun. Mama sudah beranjak dari sisi ranjang dan bergabung di sofa. Lala yang sekarang menempati posisi Mama tadi. Mencondongkan tubuh setelah menepuk bahu Kana. Lirih sekali bertanya, "Suami lo ngamuk?"
"Nggak tahu." Dijawab sama lirihnya.
"Kok nggak tahu?"
"Gue telepon Satya aja deh!" Lala kelepasan berkata kencang.
Mama menyahut. "Satya udah mau jalan ke sini ya, La?"
"Hah? Eh? Nggak tahu." Lala nyengir. "Sore paling udah balik ke sini, Tan."
Sebelum menimbulkan kecurigaan, karena Kana sendiri pun gagal menyembunyikan raut sedihnya, Lala mengajaknya jalan-jalan. Dia meminjam kursi roda ke suster jaga dan membawa Kana berkeliling rumah sakit. Setidaknya di tengah keramaian, siapa tahu pikiran Kana bisa teralihkan.
Atau tidak?
Ketika kursi rodanya melewati pintu poli kebidanan dan kandungan, Kana tergugu di balik masker yang dia kenakan. Lala berhenti mendorong dan ikut menyaksikan apa yang sedang Kana lihat. Sepasang suami istri yang keluar dari pintu poli dengan raut bahagia. Sang istri sedang hamil besar. Sepertinya mereka baru saja mendengar kabar gembira. Pasangan berikutnya pun sama, bahagia terpancar jelas di wajah mereka.
Di seberang poli itu, ada ruangan lainnya. Seorang suster baru saja mendorong keluar seorang bayi dalam inkubator. Lala juga ikut menatap ke sana.
"La?"
"Eh, sori, yuk jalan."
"Kita coba masuk yuk?"
Lala memutari kursi roda hingga berdiri di depan Kana, merunduk. "Mau ngapain?"
"Lihat bayi."
"Yakin?"
"Sebentar aja, La."
"Oke." Lala menuruti. Dia lekas mendorong kursi roda Kana ke sana. Mereka berhenti di dinding kaca yang tebal. Melihat kotak-kotak bening di mana bayi-bayi tertidur lelap.
Tanpa sadar, Kana menempelkan satu tangan di kaca. Menggerakkan jemarinya perlahan. Seolah sedang mengelus wajah salah satu bayi.
"Tangis pertama Allisya kayak apa ya, La?"
Lala mengusap-usap bahu Kana.
"Gimana rewelnya dia pas mulai tumbuh gigi. Dia yang sering kebangun tengah malam, nangis. Gimana rasanya nyisirin rambutnya yang mulai panjang. Gimana ngajarin dia pake sepatu sendiri. Gimana bujuk dia supaya mau makan sayur. Gimana tangisnya pas jatuh dari sepeda pertama kali. Gimana hari pertamanya di sekolah, sebanyak apa temannya." Kana mulai menangis. "Gue nggak ada di sana, La. Nggak bisa lihat semuanya."
Lala tidak mampu mengatakan apa-apa.
"Kalau gue datang sekarang, belum terlambat, 'kan?"
"Belum." Lala menjawab lirih.
Kana tersenyum di antara air mata yang masih menetes. Melepas tangannya dari kaca. Mendongak ke Lala, minta diantarkan kembali ke ruangan. Dia tiba-tiba merasa lelah.
***
Di tengah ingar-bingar, Satya hanya mampu terduduk kosong. Dia tidak peduli dengan suara sumbang karyawan agensi yang satu jam terakhir bersahutan memenuhi telinganya. Bukan jenis perayaan besar. Mereka hanya sesekali melepas penat dengan pergi karaoke. Satya tidak tahu kenapa bisa berakhir di sini. Dua jam lalu, dia hanya menelepon Reza dan dirinya dengan mudah datang ke tempat ini-sesuai dengan alamat yang disebutkan Reza.
Ruangan ini temaram. Selama tidak ada yang mendekatinya, dia bebas menunjukkan sakit yang menjalar ke seluruh badan, setelah hatinya mati rasa. Satya takjub dengan dirinya sendiri yang bisa duduk tenang mendengar penjelasan Kana beberapa jam lalu. Semuanya. Dia tetap bisa menahan diri hingga Kana selesai dan kembali menangis. Dia tidak marah. Tidak mengumpat. Tidak menghakimi istrinya.
Untuk kali kedua, dia menelan habis gelegak emosi di hati.
"Sat, nyanyi dong!" Salah seorang karyawan mendekat ke sofa, berniat mengajak Satya yang sejak tadi diam, untuk bergabung.
Namun Reza sigap menarik lengan orang itu sebelum berhasil duduk di sebelah Satya. "Nyentuh Satya sekuku aja, gue gibeng lo pake speaker ya!"
"Kok lo ngamuk? Gue cuma mau ngajak Satya nyanyi."
"Biarin dia sendiri!" Reza berkacak pinggang. "Sono lo balik nyanyi sama yang lain!"
Reza menoleh ke arah Satya sebelum kembali ke monitor besar. Dia pun memutuskan untuk tidak mengganggu Satya. Tapi hanya bertahan sebentar, dia tidak tenang melihat raut sedih Satya yang semakin kentara. Reza meletakkan mikrofon di meja, berpamitan pulang-yang langsung mendapat seruan keberatan tapi Reza tidak menggubrisnya.
"Ayo, Sat, kita balik sekarang."
Satya bergeming.
"Sat ...?"
Satya berdiri dari sofa, melewati pintu yang sudah dibukakan Reza. Tetap membisu. Baru bicara saat Reza melajukan mobil ke arah rumah.
"Kita ke rumah sakit, Ja."
Reza memelankan laju mobil. "Nggak besok pagi aja?"
"Gue belum ketemu sama orangtua Kana."
***
Boleh tau alasan kamu masih ngikutin cerita ini padahal isinya konflik semua? 😂 Bukan bermaksud untuk minta pujian ya 🙏 Aku beneran pengin tau isi hatimu 🤣
Oh iya, selamat menjalankan ibadah puasa buat teman-teman yang menjalankan. Mohon maaf atas salah kata dan perbuatan ya. Semoga puasa kita diberi kelancaran. Aamiin 🤗🙏
Sampai ketemu Kamis jam 21.00 wib ya! 🤗
Selasa/13.04.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top