Chapter 27
Disarankan baca ulang chapter sebelumnya ya 😭🤣🤗
Selamat membaca ❤
—————————
Kana sudah memutuskan.
Entah keputusan yang gegabah atau sebaliknya. Tapi kini dia duduk di ruang tengah alih-alih lari seperti pengecut. Duduk membelakangi halaman belakang dengan secangkir teh yang mengepulkan asap di hadapannya. Dan juga debar halus di dada, yang dirinya tidak mengerti.
Seperti yang dia bilang, begitu dirinya memasuki gerbang, hidupnya mungkin tidak sama lagi. Semakin banyak suara yang hadir di kepalanya, sementara hatinya kelimpungan untuk menenangkan. Tapi untuk saat ini dia memilih untuk menghadapi masa lalu miliknya. Siap atau tidak.
Berbagai risiko yang akan dia hadapi melintas di kepala. Dan wajah Satya membayang begitu jelas. Betapa kecewanya Satya nanti jika tahu bahwa istrinya ... Kana menyatukan jemari-jemari di pangkuan, meremasnya demi mengalihkan pikiran.
Sampai kemudian terdengar langkah mendekat dari arah belakang. Sesaat setelahnya, pintu terbuka. Jemari Kana yang berkeringat meremas semakin erat. Jantungnya berdebar lebih cepat, seperti akan meledak.
"Eyang ada tamu?"
Satu suara yang seketika membuat Kana melepas jalinan jemarinya, kemudian bangkit dan menoleh perlahan.
Sepasang mata mereka bertemu di udara. Sorot yang dengan cepat saling menyelami. Saling mengenali. Kana sempurna tertegun. Dirinya seperti mengaca. Kali ini lebih dekat dan nyata. Hanya saja lidah Kana mendadak kelu, hingga tidak ada satu pun yang bisa dia katakan selain memandanginya lekat.
Kana bisa melihat keterkejutan tercetak jelas di wajah Allisya. Tanpa Kana sadari, tatapan miliknya melembut. Tidak ada kemarahan karena ternyata keluarga Rafka membohonginya, menyembunyikan keberadaan Allisya selama belasan tahun darinya. Kemarahan Kana menguap, digantikan dengan sesuatu yang jauh lebih penting.
Apakah gadis ini memang mengenalinya? Apakah gadis ini sungguh tidak membencinya? Kana menelengkan kepala. Menatap kian dalam. Membaca apa pun yang tersirat di sana. Perasaan yang tersembunyi rapi.
Namun, Allisya memutus tatapan lebih dulu. Kana seketika mencelos. Gadis itu berlari menjauh tanpa sepatah kata. Menaiki anak tangga dengan tergesa. Kana tidak bisa melakukan apa pun untuk sekadar mencegahnya.
"Allisya." Rafka mengejar. "Al—"
Kana hanya bisa menatap punggung Allisya yang hilang di anak tangga.
"Allisya mungkin hanya terkejut, Kana." Vina menatap Kana prihatin.
Gadis itu mungkin juga membencinya. Dengan hati yang kian mencelos, Kana meninggalkan rumah itu. Sebelum masuk ke mobil, Kana mendongak, matanya mengarah ke sebuah jendela di lantai dua. Menatapnya lama.
Hingga langit menggumpalkan awan pekat dan hujan perlahan turun, Kana masih tertahan di sana. Kakinya menolak untuk lekas pergi di saat tubuhnya sudah kuyup. Hatinya sibuk menerka. Apakah di dalam sana gadis itu sedang menangis? Seperti apa tangisnya? Apakah menyakitkan melihat air mata menghias di pipinya? Seperti apa rasanya memeluk gadis itu? Menenangkan kah?
Lalu, seperti apa suara tawanya? Apakah menenteramkan? Rajukannya, apakah menggemaskan?
Kana sungguh ingin tahu semuanya.
***
"Sat ... aku ... ingin bicara."
"Sekarang, Yang?"
"Iya."
Satya tersenyum. "Aku kira kamu ingin tidur lebih cepat."
"Kamu capek?"
"Nggak. Ayo kita bicara." Satya menghampiri ke dapur. Menarik satu kursi di meja makan dan duduk. Lewat matanya, Satya mengisyaratkan Kana yang masih berdiri di dekat kulkas, untuk duduk di hadapannya.
Saat mereka sudah duduk berhadapan, Kana mendadak ragu. Keberaniannya menciut seketika saat Satya menatapnya begitu lembut. Bagaimana mungkin dia menyakiti lelaki sebaik Satya. Tapi di sisi lain, Satya berhak tahu. Soal lelaki ini tetap bertahan atau memilih pergi, Kana menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Satya.
"Aku nggak bermaksud bohong ke kamu, Sat. Semoga kamu nggak terluka." Kana menggeleng, menyusut sudut mata. "Kamu akan terluka ketika mendengarnya."
Satya mengernyitkan dahi. "Bohong soal apa, Yang?"
"Dua belas tahun yang lalu, aku ...." Kana gagal meneruskan, dia memilih berhenti, tangannya saling meremas di atas meja. Keberaniannya semakin tipis. Semakin dia bicara, semakin dia takut kehilangan Satya.
Satya mengurai genggaman tangan istrinya, kemudian menggenggam salah satu. Berkata lembut. "Kita bisa bicara lagi besok pagi, Yang. Bukan aku yang capek, kamu malah yang kelihatan capek. Aku nggak akan ke mana-mana kok. Kalau ini mendesak, besok bangunin aku pagi-pagi terus kita bicara."
Tangan Kana balas menggenggam Satya. Takut kalau Satya akan beranjak dari duduknya, sementara besok mungkin tidak ada keberanian Kana yang tersisa. "Nggak, Sat, aku harus bilang sekarang."
Satya mengangguk. Siap mendengarkan.
Dengan tatapan saling mengunci, Kana mengatakannya dengan suara bergetar. "Aku punya seorang putri, Sat."
Genggaman itu terlepas. Satya yang lebih dulu menarik tangannya. Kana menggeleng, berusaha meraih tangan Satya kembali, tapi tidak terjangkau olehnya. Air mata menggenang cepat di pelupuk mata. "Sat, dengar penjelasan aku."
Raut kecewa tergambar jelas di wajah Satya. Kana menangis demi melihat wujud kecewa itu. Satya bungkam, menatap penuh luka, meninggalkan kursi. Kana tidak diam, dia berusaha mengejar. Menapaki anak tangga. Tangannya berhasil meraih lengan Satya, tapi ditepis.
"Satya, aku mohon, katakan apa pun. Kamu boleh marah, maki aku, tapi jangan diam kayak gini." Kana tidak menyerah meski lagi-lagi tangannya ditepis. "Satya ... Satya!!"
Kelopak matanya membuka seiring dengan detak jantungnya yang memburu. Seperti dibangunkan dari mimpi buruk. Matanya mencoba mengedar. Meringis saat kepalanya berdenyut nyeri. Langit-langit dan ruangan ini bukan kamar di rumahnya. Tatapannya kemudian mencari. Ketika dirinya tidak bisa menemukan Satya di sekitar, kepanikan melanda.
"Kamu udah bangun, Yang?"
Kana menoleh ke arah pintu kamar mandi. Dengan cepat menyibak selimut, mencoba bangun. Satya sigap berlari ke ranjang ketika kaki Kana sudah menyentuh lantai. Menangkap tubuh istrinya yang limbung.
Satya mendudukkan Kana di tepian kasur. Merasakan dirinya dipeluk erat. Satya yang semula ingin menyuruh Kana untuk rebahan, urung. Dia mengusap-usap punggung istrinya yang bergetar. Seraya mengecup puncak kepala Kana, "kamu habis mimpi buruk, Yang?"
Remasan kencang di kaus Satya sebagai jawaban. Kana memejamkan mata. Menyandar tenang di dada Satya.
Mereka bertahan dengan posisi yang sama selama beberapa menit. Kana tidak ingin melepas pelukannya. Bertanya lemah, "Sat ... kok aku bisa di sini?"
"Kamu tadi pingsan di parkiran apartemen Lala pas kita mau pulang."
"Kita pulang sekarang yuk?"
"Tunggu kamu membaik ya. Dokter bilang kamu perlu bedrest dua hari." Satya menimbang sejenak. "Jangan mikir apa-apa ya. Kamu fokus sembuh dulu."
Kana menggerakkan kepala, mencari posisi lebih nyaman. "Aku mimpi kamu ninggalin aku, Sat."
"Ninggalin?" Dengan sedikit terkekeh. "Coba lihat, kamu kekepin aku kayak gini, mau ninggalin gimana."
"Kaki kamu kram?"
"Belum, Yang. Bentar lagi kayaknya."
Sambil mengeratkan kedua tangan di punggung Satya. "Masih pengin peluk kamu kayak gini."
"Ya udah, peluk sepuas kamu deh. Aku pasrah."
"Kalau kram jangan bilang."
Satya tertawa kecil, membelai kepala istrinya. "Kamu tadi dikasih obat tidur, biar bisa istirahat. Aku kira jam delapan udah bangun. Ternyata jam sepuluh. Yang pada jenguk udah pulang. Aku udah ngabarin keluarga Solo, videocall juga tadi. Mama sempat panik, tapi aku bilang kalau kamu cuma kecapekan."
"Besok pagi aku videocall Mama."
"Kamu laper nggak?"
"Nggak."
"Aku suapin ya?"
"Nanti."
Lima menit kemudian, Kana akhirnya melepas pelukan. Satya meregangkan tubuh sambil berjalan ke jendela besar. Menyibak gorden, memunculkan titik-titik cahaya di sana. "Mau makan sambil lihat ini?"
Wajah pucat Kana tersenyum, mengangguk. Satya menggeser sofa panjang agar menghadap ke jendela besar itu. Menuntun Kana ke sofa, menumpuk bantalan agar istrinya menyandar dengan nyaman. Dan mulai menyuapi.
Kana mengembuskan napas panjang. Sejenak menikmati pemandangan malam yang indah di antara pantulan dirinya dan Satya di kaca itu. Di sebelahnya, Satya sabar menunggu, tidak terburu untuk menyuapi.
"Kamu udah makan?"
"Udah. Tadi Reza bawain makanan."
Barulah Kana membuka mulut. Satya memberi suapan pertama.
"Masih pusing, Yang?"
"Sedikit."
"Lala tadinya mau nginep. Cuma aku merasa sendiri bisa. Besok pagi-pagi mau ke sini lagi."
Kana hanya mengangguk pelan, menerima suapan kedua. Meninggalkan pemandangan kota di malam hari, Kana memandangi Satya. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk bicara semuanya ke Satya? Rasanya belum. Sebentar saja, Kana ingin merasakan bentuk perhatian Satya sebelum sempurna hilang darinya.
"Sat, kalau kita dulu nggak ketemu dan menikah, kamu mungkin sekarang bahagia sama Rayya ya?"
Satya urung menyodorkan suapan ketiga. "Nggak tahu. Mungkin aku nikah sama orang lain. Belum tentu juga sama Rayya, Yang."
"Kalau kamu nikah dengan orang lain, dan bukannya aku, pasti sekarang kamu jadi bapak-bapak yang lebih senang menghabiskan waktu di rumah." Kana mulai berkaca. Suaranya nyaris tidak terdengar. "Main sama anak-anak."
Meletakkan sendok, Satya tersenyum. Dia sangat paham jika topik seputar anak akan menjadi hal sensitif di antara mereka. Tapi dirinya juga tidak bisa melarang, apalagi mengatur orang di sekitar mereka untuk tidak menyinggung masalah momongan. Kana juga lama-lama kebal menerima pertanyaan atau bahkan sindiran.
Kana meraih tangan kanan Satya. "Kalau kamu punya anak, kamu pengin berapa?"
"Hm, dua?"
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
"Dua-duanya?"
Satya mengangguk. "Biar aku sendiri yang ganteng di rumah."
Kana tersenyum, membuat gumpalan merambat turun dari ujung mata. "Maaf aku nggak pernah tanya ini sama kamu. Ternyata aku seegois itu."
"Kan udah tanya, Yang. Nggak apa-apa. Aku juga bisa aja berubah pikiran nanti. Siapa tahu tiba-tiba pengin anak lelaki biar ada temen buat menghadapi para perempuan di rumah." Satya terlihat bahagia saat mengatakannya. Seakan memang rencana itu ada, disimpan baik di hati, dipanjatkan dalam doa, dan berharap suatu hari nanti akan terwujud.
"Pernah nggak, Sat, sekali aja terlintas kalau kamu menyesal nikah sama aku?"
"Sama sekali nggak."
"Tapi hubungan kita juga nggak seharmonis itu."
"Tapi kita ada keinginan untuk memperbaiki, Yang. Kamu dan aku sama-sama sedang melangkah ke sana. Aku lihat itu selama kamu nemenin aku tour kemarin. Kamu istri yang baik, dan aku takjub. Senang bisa lihat sisi kamu yang lain. Kalau ngomongin harmonis enggaknya, semua pasangan punya rentang waktu yang beda untuk memahami satu sama lain. Mungkin kita kebagian waktu yang lama. Dinikmati aja, Yang. Pendapat orang lain bukan yang terpenting, tapi kita."
Kana menunduk. Satya salah besar jika menilainya sebagai istri yang baik di saat Kana sendiri tidak tahu harus melakukan apa dengan situasi yang tengah dia hadapi. Karena sepertinya, apa pun yang dia putuskan besok, tetap akan menyakiti Satya. Egoisnya, Kana juga tidak ingin Satya pergi darinya.
"Kalau kamu, Yang?"
Kana mengangkat kepalanya. Bertanya lewat mata.
"Pengin punya anak berapa? Ngomong-ngomong, aku juga belum pernah tanya ini ke kamu."
Kana membeku.
"Samain kayak aku ajalah ya." Satya mengalihkan saat tidak ada respons apa-apa dari Kana. "Nah kan, makannya jadi lupa. Kita keasyikan ngobrol."
"Aku udah kenyang, Sat."
"Satu suapan lagi?"
Kana menggeleng. Satya tidak memaksa, dia berdiri untuk membawa piring ke meja. Kemudian kembali lagi ke sofa. "Mau tiduran sekarang?"
"Bentar lagi."
"Bagus ya?" Satya duduk di tempatnya semula. Tidak memaksa.
"Iya."
"Kamu takut nggak, Sat, kalau ternyata ada satu keputusan di hidup kamu yang salah?"
"Itu menandakan kalau aku manusia biasa, 'kan? Ketika memutuskan, memang sudah siap dengan risiko. Ini soal kerjaan? Kamu ada tawaran dari agensi lain?"
Konteks pertanyaan Kana sama sekali bukan tentang pekerjaan, tapi keputusan Satya saat menikah dengan Kana. Tapi mereka sudah di sana, Kana mungkin bisa memulai dari masalah pekerjaan lebih dulu.
"Aku pengin berhenti dari kerjaanku, Sat. Aku nggak akan perpanjang kontrak." Kana memperhatikan reaksi suaminya yang awalnya terkejut, tapi berhasil diatasi dengan cepat.
"Ada pertimbangan lain? Kamu mau nyoba selain modelling?"
"Aku pengin jadi ibu."
Tidak ada yang bisa memungkiri jika sekarang mata Satya begitu menyala hidup. Satya memang tidak mengatakan apa-apa, tapi siapa pun tahu apa yang sedang lelaki itu rasakan. Bagaimana mungkin Kana akan menjatuhkan bom waktu persis di sebentuk wajah yang berbinar bahagia ini?
Melihat bagaimana Satya tampak bahagia, rasa bersalah semakin menghimpit dadanya. Kana menunduk—tidak berani menatap lagi. Terisak lirih. "Aku minta maaf, Sat."
Kedua tangan Kana digenggam. Diyakinkan. "Semua akan baik-baik aja, Yang. Kita jalan pelan-pelan ya."
Namun, tenang yang Kana harapkan dari genggam tangan Satya tidak kunjung datang. Bukan salah Satya, barangkali dirinya yang mulai menyangkal, menolak nyaman yang diberikan Satya. Membiarkan badai sekali lagi mengamuk di dasar hati. Tangisnya semakin dalam. Hati kecilnya masih merapalkan hal yang sama. Maaf yang sedalam-dalamnya.
***
Suami kayak Satya nemu di mana tolong 😭😭😭
Minggu/04.04.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top