Chapter 26
Lagu di mulmed aku kasih instumental biola. Tetap menyayat dan syahdu. Heuheu.
—————————
Tidak banyak yang berubah dari rumah bercat moka di hadapannya. Masih sama seperti yang tersisa di ingatannya. Setelah semalaman dia berpikir panjang, pagi ini Kana berakhir di sini. Tergugu beberapa menit di depan gerbang yang tertutup rapat. Dia tahu, ketika melangkah melewati gerbang ini, hidupnya tidak akan sama lagi.
Sekarang, dia punya dua pilihan. Menekan bel atau berbalik. Jika pun berbalik dan bertindak seperti pengecut, setidaknya Kana masih punya sedikit waktu untuk menjalani hidupnya yang bahagia dengan Satya. Namun, ada dorongan kuat di sisi hatinya untuk mendengar sebentuk penjelasan dan ... dia ingin melihat gadis itu lagi.
Kana menarik napas. Mengulurkan tangan untuk menekan bel. Beberapa saat menunggu, Vina muncul dari balik gerbang. Terlihat terkejut mendapati tamu yang tidak terduga. Namun hanya sebentar, sebelum wajah itu tersenyum hangat menyambut Kana.
Tanpa banyak kata, Vina membuka gerbang sedikit lebih lebar. Kana melangkah masuk. Merasa punggungnya disentuh samar. Matanya mengedar begitu melangkah di halaman, menuju teras. Terasa tidak asing baginya. Semua masih di tempatnya.
Vina membawa Kana untuk melangkah lebih dalam. Melewati ruang tamu, lantas berhenti di ruang tengah. Kana yang menghentikan langkah lebih dulu.
Kana sedikit terhenyak saat mendengar gelak tawa yang berasal dari sisi kirinya. Dia menyibak sedikit gorden putih di jendela besar yang ada di sampingnya. Perlahan.
Pemandangan itu mengisi sepasang matanya. Gadis yang sedang memantulkan bola oranye, gesit menghindari sang Ayah yang mencoba menghalau pergerakan—sedikit pura-pura kepayahan agar gadis itu bisa mencetak angka dengan mudah. Bola masuk ke dalam keranjang, memantul di lantai. Gadis itu tampak senang dan berlari memutari lapangan kecil itu dengan kedua tangan terentang. Bahkan mengerling jail ke ayahnya.
Suara mereka terdengar samar. Kana tidak perlu mendengarnya dengan jelas karena wajah itu berbicara segalanya. Dia terus ingin memandangi wajah itu. Atau mungkin, mendekat. Ya, dia ingin melihatnya dari dekat. Dan kalau Kana punya keberanian lebih, dia ingin memeluknya. Membisikkan penyesalan, maaf, atau apa pun. Meski rasanya tidak ada yang bisa menebus duabelas tahun yang hilang di antara mereka.
"Terima kasih, Kana, semalam kamu datang. Meski hanya sebentar, Tante memaklumi." Vina mengikuti arah pandang Kana dan mendekat. "Kamu sudah melihat Allisya semalam. Lihat, Tante tidak bohong soal dia yang secantik ibunya."
Tanpa mengalihkan pandangan, Kana berkata dingin dan tajam. "Selama duabelas tahun, kalian menyembunyikan ini?" Menyeringai getir. "Hebat. Saya seperti orang bodoh sekarang."
"Maafkan kami." Vina menghela napas. "Kami tidak ingin Allisya dirawat oleh siapa pun. Ketika kalian bersikeras tidak ada pernikahan, kami bisa terima. Tapi tidak dengan memberikan hak asuh Allisya ke orang lain."
Lihat, Kana dipermainkan oleh mereka. Apakah Papa dan Mama tahu hal ini? Atau hanya dirinya sendiri yang tidak tahu jika bayinya selamat?
"Rafka berkali-kali ingin mendatangi kamu, berniat mengatakan segalanya, tapi Tante selalu melarang. Takdir kalian mungkin memang begini. Kamu sudah bahagia, rasanya tidak pantas jika Rafka datang dan merusaknya."
"Dan kenapa baru sekarang?" Bukankah sama saja? Kebahagiaan miliknya sudah di ambang retak. Hanya menunggu waktu Satya dan Mama Marlina mendengar semuanya. Maka retak itu akan menjadi kepingan yang sulit Kana rekatkan kembali.
Terdengar helaan napas tertahan. "Semakin hari melihat Allisya tumbuh, semakin bertambah penyesalan yang Tante rasakan. Tante tahu, semuanya sudah salah sejak awal. Tapi tidak dengan Allisya. Jika pun dia tidak bisa bersama dengan ibunya, setidaknya dia mengenal kamu lebih dekat."
Tangan Kana tanpa sadar meremas gorden yang dia sibak. Menjadikannya pegangan. Matanya mulai berkaca. Hatinya seperti diremas.
Seakan bisa membaca pikiran Kana. "Allisya belum tahu jika Eyang-nya menemui kamu."
"Tentu saja dia akan membenci saya." Napas Kana memburu. "Cerita apa yang kalian karang tentang ibunya? Pergi meninggalkan rumah? Mati kecelakaan? Bunuh diri? Selingkuh dari ayahnya?"
Menggeleng. "Tidak, Kana." Tersenyum sendu. "Rafka tidak pernah menanamkan kebencian apa pun di kepala Allisya. Sebaliknya, dia membuat Allisya mencintai ibunya."
"Oh ya?" Kana tersenyum sarkas. "Dengan apa? Kalian selama ini menutupi kebenaran. Dengan apa dia bisa mencintai ibunya?!"
Vina tetap berdiri tenang. Sudah tahu jika reaksi Kana akan begini. Kemarahan terlihat jelas di sepasang mata yang semakin berkaca itu.
"Tante tahu, dengan datang dan masuk ke rumah ini, saya mempertaruhkan semua yang saya punya?" Kana membiarkan setitik jatuh. "Duabelas tahun lalu saya hancur, apa belum cukup? Nggak mudah buat saya berdiri seperti sekarang. Nggak mudah buat saya untuk menata hidup. Bahkan kebahagiaan yang saya dapatkan hari ini, bukanlah hal mudah."
Raut sedih memenuhi wajah Vina. Dia paham dengan apa yang dirasakan Kana. Karena dia juga melihatnya dalam diri Rafka. "Kamu punya pilihan, Kana. Silakan menutup mata jika itu bisa membuat kamu bisa melanjutkan kebahagiaan kamu. Allisya mungkin memang hanya butuh ayahnya. Tidak ada yang memaksa kamu melepas semua yang kamu punya saat ini demi Allisya."
Kana melepas gorden dan mundur selangkah. "Saya sudah melihatnya dan itu cukup. Saya permisi." Lantas berbalik, gema langkahnya terdengar nyaring di ruang tengah itu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah lari dan meraup udara sebanyak-banyaknya di luar sana. Dia merasa sesak. Setiap kalimat yang dia dengar membuatnya tercekik.
Namun, satu kalimat kembali terdengar di antara gema yang terburu-buru.
"Bagaimana dengan Rafka yang tidak berhenti mencintai kamu?"
Langkah Kana memelan.
"Ya, Tante tahu. Ini urusan Rafka, dan bukan kamu." Ketika Kana hendak mempercepat langkah. "Ada yang harus kamu dengar lagi."
Kana tidak peduli.
"Allisya tahu siapa ibunya. Sejak lama."
Melawan kata hatinya, Kana sempurna berhenti. Pukulan telak di hatinya. Kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Tanpa berbalik, sebuah pertanyaan terlontar lirih dan bergetar. "Apakah dia juga tahu kalau lahir dari sebuah kesalahan?"
"Dia tahu."
Kana memejamkan mata.
"Kamu punya pilihan untuk lari, atau tinggal sebentar untuk memeluknya. Pesawat kami berangkat siang ini, Kana."
***
Reza cukup penasaran dengan tingkah Satya hari ini. Masalah desain cover album sudah diputuskan. Satya tidak banyak revisi. Dengan mudah mengangguk. Iya, dia tahu, Satya memang tidak ribet. Tapi yang kali ini terlihat seperti Satya sedang banyak pikiran, jadi urusan album lebih ke terserahlah-yang-penting-jadi. Empat desain yang disodorkan memang bagus semua. Tapi biasanya Satya akan berpikir dulu sebelum memutuskan. Bukan langsung tunjuk seperti tadi.
Satya menyingkir ke balkon setelah mengambil secangkir kopi dari vending machine. Reza menyusul, membawa cangkir kertas yang sama.
"Lo lagi ada masalah?" Reza duduk, meletakkan kopinya, lalu bersedekap.
"Nggak ada."
"Harusnya nggak ada setelah lihat gimana hubungan lo dan Kana membaik. Lo kudu berterima kasih ke gue. Ide gue tuh buat bawa dia tour kemarin."
"Iya, makasih."
"Ck. Lo ada masalah."
"Pas acara nyokap kemarin, lo sempat perhatiin Kana?"
"Ngapain? Orang gue sibuk ngemil sambil haha-hihi sama sepupu-sepupu lo kok."
"Nggak guna emang."
"Yang lo lihat, emang dia gimana? Kena kudeta lagi soal anak?"
"Pas gue tanya, katanya nggak."
"Ya udah. Terus kenapa lo mikir banget?"
"Tapi sejak dia pulang dari sana, berasa beda banget, Ja. Semalam dia juga nggak pulang, nginep di apartemen Lala."
"Samperin aja."
"Chat gue dari pagi belum dibaca. Last seen dia kemarin malam."
"Telepon udah?"
"Udah, nggak diangkat."
"Telepon Lala?"
"Sama. Nggak diangkat."
"Sibuk banget kali ye." Reza menyimpulkan diplomatis.
Bergumam sendiri. "Dia kenapa ya?"
"Ketemu mantan kali."
"Nggak ah."
"Perempuan secantik dia nggak punya mantan? Meh." Reza mencibir. "Eh, eh, mau ke mana?" Ketika melihat Satya berdiri, meremas cangkirnya yang kosong dan membuang ke tempat sampah.
"Sat, ikut!" Reza juga berdiri. Terbirit mengikuti langkah lebar Satya.
Satya melajukan mobil ke apartemen Lala. Dia hanya memastikan saja, bukannya curiga yang aneh-aneh. Jika Kana ada masalah, maka Lala orang terdekat yang pasti tahu. Selama ini Kana lebih terbuka dengan Lala. Satya akui jika dirinya cemburu. Dirinya bukan orang pertama yang dicari ketika Kana sedang punya masalah.
"Bukannya udah sering begini ya?" Reza segera meraih pegangan di atas pintu mobil ketika Satya menambah kecepatan. Sedikit gentar, takut kalau Satya nyenggol mobil orang atau membuat masalah lainnya. Meski jantungnya berdebar-debar, Reza tetap mencoba bicara. "Dulu malah lebih parah. Lo sama dia kayak lupa kalau udah nikah. Kerja semau sendiri. Pulang juga sering subuh. Nggak masalah tuh. Lo sama dia fine. Ini mungkin Kana lagi hectic makanya susah dihubung—SIALAN, LO DENGERIN GUE NGGAK SIH, SAT?!"
Satya tidak menggubrisnya. Dia justru semakin menambah kecepatan. Reza sudah bungkam dan memilih komat-kamit membaca doa. Apalagi hujan mulai turun. Jalanan akan licin. Satya cari mati!
Sampai di parkiran basemen, tanpa sepatah kata, Satya bergegas keluar dari mobil. Lagi-lagi Reza terbirit menyejajari langkah Satya. Dia belum makan siang, tolong. Tapi Satya malah mengajak senam jantung dan sekarang kaki? Mau pingsan rasanya.
"Lo yang pencet belnya."
"Kenapa jadi gue?"
"Udah, pencet aja." Sementara Satya sedikit menyingkir dari depan pintu.
Reza melakukan apa yang Satya minta. Memencet bel dengan tidak sabaran. "Nggak dibukain, jelas orangnya nggak ada di apartemen deh."
Pintu terkuak, mematahkan asumsi Reza.
"Eh? Baru bangun lo? Ini jam berapa woi? Kagak kerja? Makan gaji buta lo ya!" Reza salah fokus.
Satya sedikit mendorong tubuh Reza hingga kini dia berdiri persis di hadapan Lala yang sedang mengucek mata.
Begitu nyawa Lala terkumpul sepenuhnya, matanya langsung membelalak. Rasanya seperti mimpi disambar petir melihat Satya di situasi yang kacau ini.
"Kana mana?" Satya tidak perlu basa-basi.
"Kerja!"
Reza rasanya ingin menjitak Lala karena jawaban ngawur itu. "Gila aja. Kana kerja dan lo malah tidur. Ngelawak?"
Lala menyibak rambut, menggigit kuku, panik. "Maksud gue Kana lagi ke, ehm, anu—"
Melihat Lala yang gagal mencari alasan, Satya melangkah masuk, melewati celah di tubuh Lala begitu saja. Lala sudah mengulurkan tangan, hendak mencegah, tapi Satya sudah telanjur masuk. Mau mengusir dengan cara apa. Lala tidak kepikiran apa-apa. Otaknya benar-benar tidak berfungsi saat ini. Kedatangan Satya saja sudah membuat rahangnya mau jatuh. Kalau situasinya normal, dia tidak akan menatap Satya dengan horor begini, tapi berhubung Kana sedang—ah sudahlah. Satya sudah di sini dan dia selanjutnya harus bilang apa? Arrghhhh!
"Mau minum apa?"
"Lo ada makanan?" Reza langsung menyambar. "Gue laper."
"Nggak ada." Lala berbalik, menuju kulkas. Mengambil dua kaleng soda. Reza menepuk perutnya dengan sedih.
"Kana masih lama?" Satya tidak lagi bertanya tentang keberadaan Kana.
Lala memilin ujung piama. "Nggak tahu."
"Kok bisa nggak tahu?!" Reza jadinya yang emosi.
Satya tetap tenang. "Tolong hubungi Kana, La."
Lala duduk di single sofa setelah mengambil ponselnya di kamar. Menunggu nada sambung beberapa kali, tapi berakhir di kotak pesan. Lala mencoba lagi, tetap sama. "Nggak diangkat, Sat."
Satya mengembuskan napas pelan. "Ya udah, gue tunggu aja."
Lala pamit ke kamar dan bergegas mandi. Ketika mengeringkan rambut, dia mencoba menghubungi Kana lagi. Dia tahu Kana sedang ada di mana. Pagi tadi Kana menolak ketika Lala ingin menemani. Sekarang, apa pun kondisi Kana, Lala hanya berharap teleponnya segera diangkat. Dia juga mengirim chat. Memberitahukan keberadaan Satya di sini. Namun tetap saja dia belum bisa tenang.
Mondar-mandir dan masih menempelkan ponsel di telinga, Lala tersentak saat bel pintu berbunyi. Secepat kilat, Lala melempar ponsel ke kasur dan melesat keluar kamar.
"Biar gue aja!" Menghentikan Reza yang sudah setengah langkah ke pintu.
Benar dugaan Lala. Kana muncul di depan pintu dengan tubuh yang basah kuyup. Ya Tuhan, sekarang apa lagi?
Lala menggeleng, berniat menutup pintu sementara dia bergerak maju. Mencoba mencegah Kana untuk masuk. "Na—"
Tidak peduli dengan peringatan yang diberikan Lala, Kana menerobos masuk, mendorong daun pintu hingga membuka sempurna. Dua langkah, lalu matanya bertemu dengan Reza yang berdiri menatapnya bingung.
Kana terkesiap, tiba-tiba menggigil diserang panik—selain tubuhnya yang memang kuyup. Untuk apa Reza ada di sini? Apakah Satya juga—
Dari balik tubuh Reza, terdengar kerit sofa. Sebelum akhirnya perlahan-lahan sudut mata Kana menangkap orang yang paling ingin dia hindari saat ini. Tatapan lelaki itu menyiratkan cemas.
Satya sudah berdiri satu langkah di depan istrinya. Dia tidak tahu hal pertama apa yang mesti dia tanyakan. Melihat Kana yang kuyup seperti ini membuatnya semakin bertanya dan cemas. Ditambah dengan sisa air mata yang belum sepenuhnya diseka.
"Bisa tinggalkan kami berdua?" Setelah hening yang panjang, Satya bersuara pelan tapi tegas. Matanya terpancang pada Kana, sedikit pun tidak beralih.
Baik Lala maupun Reza langsung meninggalkan apartemen. Tidak banyak bertanya. Kalimat Satya terdengar final, tidak ingin dibantah.
Dengan sorot mata yang meredup dan sisa-sisa keberanian, Kana berkata parau. "Sat ... boleh aku peluk kamu?"
Satya tidak menunggu Kana bergerak ke arahnya, justru dia yang maju lebih dulu. Seperti yang diinginkan Kana, sebuah pelukan. Satya juga mengusap kepalanya. Tidak ada pertanyaan menuntut. Satya menelannya saat ini dan memilih memeluk semakin erat.
Kana perlahan melingkarkan tangannya di punggung Satya. Menyandar sepenuhnya di bahu itu. Memejamkan mata. Merasakan gemuruh di hatinya sedikit tenang. Bising di kepalanya perlahan redam. Namun, ada satu hal yang kemudian menggema keras di benaknya.
Barangkali ini adalah pelukan terakhir yang bisa Satya berikan untuknya.
***
Haiiiiii, hatimu apa kabar?
Gak cuma kamu yg ambyar, aku jugaaaa 😭💔 gapapa, badai akan berlalu 🤗 tapi gak tau di chapter berapa 😫🙏
Minggu/21.03.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top