Chapter 24

Malam~~ akhirnya bisa ketemu kalian lagi di cerita iniii 🔥🔥🔥

Aku ngetik chapter ini pake lagu yg ada di mulmed.

Yg koneksinya lancar dan gak terganggu baca sambil dengerin lagu, boleh sambil diputer biar vibes kita segaris lurus dan ambyar in same way 🤣😭🙌

——————————

"Enaknya kasih hadiah apa ya, La?"

Lala melirik spion sebelah kanan. Dia yang menyetir hari ini. Mobil sedang melaju ke salah satu butik milik perancang ternama. Kana akan fitting untuk pertunjukan busana minggu depan.

"Buat gue?" Menepuk setir. "Aduh, masih lama ultah gue. Tapi coba gue pikirin bentar."

"Mama Marlina, bukan elu." Kana mendecak sambil menggulir ponsel. Dia sedang mencari referensi hadiah yang antimainstream.

"Kasih anakan macan atau harimau." Tangan kiri Lala terangkat, membuat gerakan mencakar. "Rawwwrrr."

"Lo kira Dubai." Kana tetap fokus ke layar ponsel. Sedari tadi masih berkutat di artikel tentang hadiah spesial untuk mama mertua. Semakin banyak artikel yang dia baca, semakin pusing. Rata-rata pasti berlian, mobil, cangkir keramik cantik, parfum, piyama, kitchen set—Mama Marlina sudah punya semua. Anak lelakinya rajin membelikan ini-itu tanpa diminta.

"Coba itu, ehm, kasih Satya junior."

"Acaranya nanti malem, Lala. Berhenti ngomong ngawur." Kana mulai kesal.

"Anakan panda deh."

"Diem."

"Trenggiling." Lala ngakak sendiri, tangannya memukul-mukul setir. "Atau nggak Kukang." Tertawa lagi tapi sedikit sumbang menyadari Kana menatapnya bosan.

"Gue tahu!" Lala menjentikkan jari.

"Fokus aja nyetir."

Lala ngeyel. "Bungkus anak lakinya, taruh di box gede, kasih pita di kepala. Dandanin biar emaknya pangling pokoknya. Kalau bisa sekalian suruh Satya sulap. Gimana? Bagus nggak ide gue?"

"La, lo cantik—"

"Tumben muji?"

"Kalau diem."

Lala membuat gerakan menjahit mulut. Tapi diamnya hanya bertahan sebentar. "Apa pun yang lo beli, kayaknya tetap kurang di mata beliau."

"Omongan lo bikin mental gue makin ndlosor, La."

"Ndlosor apa?"

"Tengkurep!"

"Kayaknya kalau Satya nikahnya nggak sama elu juga, Tante Marlina tetep nggak suka sama menantunya."

"Emang."

"Emak-emak posesip. Jangan mau kalah, Na."

"Gue harus posesif juga? Nggak. Satya nggak hilang statusnya sebagai anak dengan menikahi gue."

"Lo terima dong kalau dia bakal belain mamanya dibanding lo."

"Ya nggak gitu juga. Nggak ada perjanjian apa-apa soal beginian. Tapi sejauh ini Satya cukup bijak urusan menjembatani gue sama mamanya."

"Semoga selamanya begitu deh."

"Punya mertua, biar ngerti."

Lala nyengir. "Kan gue udah belajar dari lo."

"Sialan."

***

Kana menyerah memikirkan hadiah yang antimainstream. Sepulang dari fitting, dia memutuskan untuk membeli satu set perhiasan dan sebuket bunga. Sudah mepet. Daripada datang tangan kosong, pasti kena sindir soal menantu yang pelit. Kana tidak mengada-ada. Mama Marlina pernah menyindirnya ketika acara makan malam yang entah keberapa.

Hanya karena Satya—meski sudah menikah—tetap sering membelikan mamanya barang tanpa diminta. Kana terlihat seolah-olah menantu yang perhitungan. Padahal Kana hanya tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Toh, Satya memang tidak menuntutnya untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Kana juga tidak melarang. Dia menganggap apa yang dilakukan Satya adalah salah satu bentuk perhatian agar Mama Marlina tidak merasa kehilangan anak lelakinya setelah menikah.

Lala langsung pulang begitu Kana turun dari mobil dengan tergesa.

Kana juga terburu mendorong pintu depan dengan telapak tangan. "Yaaaaangggg."

Di ruang tengah ada paus terdampar sedang selonjoran di sofa bed, nyemil cookies dan menonton acara gosip—selalu menganggap rumah ini seperti rumah sendiri.

Reza sempat melirik ke arah Kana sebentar. "Nggak usah teriak. Satya di kamar. Langsung samper aja."

Kana meletakkan buket bunga dengan hati-hati di sofa. Mengempaskan tas selempangnya, melepas sneakers begitu saja sebelum melangkah di anak tangga. Mengabaikan Reza, berteriak kedua kalinya.

"SAYANGGG ... Sayangnya akuuuu ... Yangggg?"

Reza menoleh tajam ke arah tangga. Meradang sendiri. Menyumpalkan cookies ke mulut. "Gue ambrukin nih rumah lama-lama!"

"Kamu udah siap?" Kana membuka pintu, mendapati Satya sedang mengancing lengan kemeja putihnya. "Nunggu aku mandi keburu kan?"

Satya menoleh ke jam dinding.

"Mandi lima menit deh." Kana nyengir. Meninggalkan pintu. Langsung menuju ke kamar mandi. "Masa kita berangkatnya misah."

Satya tersenyum. Membelai kepala Kana yang lewat di sebelahnya. "Aku tunggu di bawah."

"Udah?" Reza hendak bangun saat Satya menuruni anak tangga. Dia menepuk-nepuk celana yang penuh dengan remahan cookies.

"Bentar, nunggu Kana." Satya mengambil sneakers yang tergeletak di lantai, membawanya ke rak sepatu di dekat tangga.

Reza kembali merebah. Meraih kaleng cookiesnya lagi. Lanjut ngemil.

Sebelum Reza mengomel, di menit ketiga puluh, Kana akhirnya muncul. Terlihat anggun dan cantik seperti biasanya. Dandan kilat karena takut mereka akan terlambat.

Acara diadakan di rumah dengan mendatangkan chef ternama, urung di restoran. Mama Marlina ingin lebih intim dan spesial saja. Cukup dengan kehadiran keluarga dan para sahabat.

Halaman rumah sudah penuh dengan mobil, bahkan Reza harus memarkir mobil di lapangan tenis setelah menurunkan Kana dan Satya di depan rumah.

"Yang, bentar." Kana menjejalkan buket bunga di tangan kiri Satya. Jemarinya bergerak untuk merapikan rambut suaminya. Juga membetulkan lengan kemeja putih. "Tadi kamu udah kancing rapi-rapi kenapa dilepas."

"Acaranya nggak gitu formal kok. Baru inget aku."

"Ya pas nyalamin tamu harus rapi. Nanti kalau udah acara boleh dilepas."

"Kemejanya?" Satya menaikkan sebelah alis.

Kana mengangkat tangan kanan Satya. "Iniiii. Kancingnyaaaa. Kamu tuh kebiasaan pas manggung, mau shirtless juga di acara mama kamu?"

"Nggak, nggak. Maaf."

"Jangan jail. Tugas kamu banyak malam ini. Bantuin aku kalau mulai dikudeta keluarga kamu."

"Iya, siap, Ibu Negara." Satya menahan senyum. Menelengkan kepala. Memandang lekat istrinya. "Kamu cantik malem ini." Buru-buru ditambahkan sebelum kena counter attack. "Setiap hari cantik. Apalagi habis bangun tidur."

Reza datang, sengaja menjejalkan tubuhnya di antara Satya dan Kana. Tersenyum manis sampai matanya tenggelam. Tangan gempalnya mengelus pipi Satya dengan manja. "Aw, kamu juga cantik, Satyang." Menatap pasangan itu bergantian dan tiba-tiba ekspresinya langsung berubah galak. "UDAH, AYO MASUK!"

Satya melangkah sambil meraup wajah Reza. Geli mendengarnya.

"Satya, Kana." Sebuah panggilan menghentikan langkah mereka yang hendak bergabung di halaman samping.

Satya meraih tangan Kana dan membawa istrinya ke ruang tengah, tempat di mana panggilan itu berasal. Mama tidak sendirian di sana, ada satu punggung yang duduk di sofa hadapan Mama.

"Ya, Ma?"

"Ini, teman Mama yang tinggal di Bali. Ternyata di Jakarta sejak kemarin dan bisa datang."

Satya mengernyitkan dahi sambil coba mengingat siapa teman Mama yang tinggal di Bali.

"Tante Vina, kamu inget nggak, Sat?" Mama bantu memberi clue. "Terakhir kita ketemunya udah lama sih. Kamu masih kelas sebelas waktu Tante Vina sekeluarga pindah ke Bali."

Satya masih mengingat tapi mengangguk pelan. Dia belum ingat betul. Sampai kemudian, yang bersangkutan akhirnya mengubah posisi duduk agar bisa menatap Satya.

"Halo, Satya." Wajah paruh baya itu tersenyum begitu anggun. Sepasang mata yang menatap dengan sorot lembut dan bersahabat. Tatapannya pun bergeser ke sebelah Satya. Senyumnya semakin lebar. "Senang bisa melihat kamu lagi, Kana."

"Lho, kalian sudah kenal?" Mama Marlina tampak terkejut.

"Menantumu kan sering muncul dengan Satya di televisi. Meski nggak datang di nikahan mereka, aku tentu kenal dengan Kana, Lin."

Namun, sungguh tidak sesederhana itu. Nyatanya saat mata mereka bertemu, keduanya saling mengunci. Beberapa saat.

Kekalutan dengan segera memeluk Kana erat. Dadanya terasa sesak. Semua pintu memori di kepalanya sontak membuka tanpa bisa dicegah. Selama ini, bertahun-tahun, berhasil dia kunci rapat di sana. Tidak ada satu pun yang bisa mencungkilnya. Hidupnya perlahan kembali normal setelah masalah datang bertubi dan membuatnya berada di titik terendah hidup. Tidak mudah untuk berdiri menjadi Kana yang sekarang.

Namun, sekarang, semuanya seperti ditumpahkan begitu saja di depan Kana. Semua ingatan itu mulai merambat ke depan mata dan membuatnya gemetar takut. Tangannya di sisi tubuh basah oleh keringat dingin, untuk kemudian berangsur mati rasa—bahkan seluruh tubuhnya menjadi beku. Menggigil.

Sentuhan Satya di tangannya tidak terasa. Tapi mata mereka bertemu. Kana memohon, mengiba, apa pun, agar Satya tidak melepas tangannya saat ini. Karena dia butuh pegangan—yang mungkin akan diartikan Satya berbeda.

Masih dengan satu tangan menggenggam Kana, Satya maju dan merundukkan tubuh. Mencium tangan Tante Vina. Setelahnya, Satya memberi isyarat ke istrinya lewat sentuhan di punggung. Kana mati-matian menormalkan detak jantungnya. Tangannya yang berkeringat menjabat tangan yang sempat akrab dengannya, dulu.

"Kalian langsung ke halaman samping saja ya. Mama masih mau ngobrol sebentar."

Sedikit linglung, Kana mengikuti langkah Satya. Detik merambat menyakitkan untuknya. Tiba di pintu kaca samping, Kana perlahan menoleh. Melihat perempuan paruh baya itu kembali mengobrol dengan Mama Marlina. Tertawa bersama.

Di saat yang lain bisa berbincang dengan luwes, Kana justru terdiam di sebelah Satya. Menyahut seperlunya. Ikut menyunggingkan bibir saat ada yang tertawa. Entah mereka menertawakan apa. Kana hilang fokus dan sayangnya dia tidak bisa tiba-tiba pergi dari sini.

Apalagi ketika sang empu acara akhirnya ikut bergabung di halaman samping. Kue ulang tahun yang cukup besar sudah dinyalakan lilinnya. Iringan piano untuk menyanyikan lagu ulang tahun. Satya sudah tidak di sebelahnya, melainkan di sebelah mamanya, bernyanyi.

Semua orang tampak begitu bahagia di antara tepuk tangan, nyanyian ulang tahun, dan kerlip lampu-lampu kecil yang dipasang di vertical garden. Senyum dan gelak tawa memenuhi halaman samping di saat Kana pontang-panting menenangkan hatinya yang gemuruh.

Mama Marlina meniup lilin setelah membatin doa. Sesi pemotongan kue. Satya dan Indi yang mendapat suapan kue. Keluarga dan para sahabat yang berebut memberi ucapan dan pelukan untuk Mama Marlina. Kana meraba ujung meja, memilih untuk tetap duduk. Entah seperti apa ekspresi yang tercetak di wajahnya sekarang.

"Na, kamu nggak enak badan?" Satya mendekat setelah memperhatikan sikap istrinya yang tak biasa.

"A-aku nggak apa-apa." Kana mengangkat wajah. Mendapati Satya sudah di sebelahnya. Mencondongkan tubuh dengan satu tangan menapak di meja, sementara yang lain di punggung kursi yang Kana duduki.

"Mau istirahat di kamar aja?"

"Nggak usah."

"Biar Reza antar kamu pulang ya?"

Kana menggeleng.

Satya ganti mengusap sebelah bahu istrinya. Menurunkan suaranya. "Kalau kamu nggak nyaman, bilang ya. Kita bisa pulang lebih awal."

Mencoba tersenyum agar Satya tidak khawatir. "Beneran nggak apa-apa kok. Mungkin cuma sedikit capek."

Mengecup kepala istrinya. "Aku ke Mama sebentar ya."

Kana memegang lengan Satya. "Aku belum kasih hadiah buat Mama." Kemudian berdiri. Satya menggandengnya.

Anehnya, di saat seperti ini pun, Kana masih bisa merasakan pelukan dingin Mama Marlina. Hal yang berusaha dia terima sejak menikah dengan Satya. Jika kemarin terasa bisa diatasi, maka kali ini justru menambah beban hatinya.

Selepas memeluk dan memberikan kotak hadiah untuk Mama Marlina, Kana pamit ke kamar mandi. Bukannya melangkah ke arah kiri, tempat kamar mandi berada, Kana justru berakhir di teras depan. Menutup pintu dan menghilangkan keramaian yang samar di belakangnya.

Kana berjalan ke halaman, di antara mobil-mobil yang terparkir. Lantas mendongak ke langit malam yang cerah. Dia sedang berusaha menghilangkan perasaan ganjil yang bertalu di dada. Mencoba menghela napas panjang beberapa kali. Menguatkan diri.

Terdengar suara pintu terbuka. Kana tanpa menoleh berkata. "Aku cuma cari angin, Sat. Pulangnya tetap nan—" Namun kalimatnya terhenti begitu menyadari jika langkah kaki yang mendekat itu bukan milik Satya.

"Tante juga ingin cari angin." Vina berhenti di sebelah Kana. Ikut mendongak ke langit malam. Terdengar helaan napas. "Sudah berapa tahun kita tidak bertemu, Kana?"

Kana terdiam. Membuang wajah ke arah lain.

Menjawab sendiri. "Duabelas tahun sepertinya. Tante dan Rafka sekadar tahu kabar kamu lewat media. Syukurlah jika kamu sudah menemukan pendamping yang tepat."

Tidak ada yang bisa Kana katakan. Lidahnya kelu. Kalimatnya tercekat di ujung. Tangannya mulai gemetar, cepat-cepat dia tangkup dengan tangan satunya.

"Mungkin kamu tidak ingin mendengarnya dan selama ini tidak mau repot-repot untuk mencari tahu, tapi kabar Rafka juga sama baiknya. Seperti kamu, dia ... juga bahagia."

Kana mengangguk. Kabar tentang Rafka yang akhirnya dia dengar setelah semua komunikasi terputus di antara mereka. Akhirnya ada kalimat yang berhasil Kana lontarkan. "Saya turut berbahagia mendengarnya."

"Semoga kamu juga bahagia, Kana. Satya suami yang sempurna."

"Terima kasih." Kana bersiap untuk berbalik. Tidak ingin di sana lebih lama. "Saya ke dalam."

Satu langkah. Dua langkah—

"Allisya."

Langkah Kana tiba-tiba berhenti.

Vina memutar tubuh saat Kana masih memunggunginya. "Tahun ini, usianya duabelas."

Tatapan mereka bertemu karena akhirnya Kana berbalik dengan dahi yang berkerut dalam. Sorot matanya bertanya.

Memandang lekat, Vina tidak membiarkan Kana lari darinya.

Beberapa detik yang senyap.

Hingga perlahan senyum mengembang di antara kerut wajah. "Dia tumbuh secantik ibunya."

***





Chapter 25 semoga bisa dalam minggu ini ya 😭 jadi jangan overthinking dulu 😭🙌

Rabu/17.03.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top