Chapter 23
"Kamu ngapain, Yang?"
Dari yang semula bibirnya mengatup rapat menatap serius ponselnya, kini perlahan sudutnya tertarik ke atas menjadi seulas senyum. "Lagi ngecek cuaca Magelang."
"Hujan?"
"He'em."
Mereka sedang dalam perjalanan menuju Magelang, selepas makan siang.
Jemari Kana masih menggulir layar. "Tapi kamu kan punya pawang hujan, Yang. Gunain aja."
Reza pura-pura tidur di bangku depan. Bodo amat. Dia tidak akan terpancing kali ini. Memilih menghemat energi. Ini kota terakhir, Reza hanya harus menahannya satu hari lagi untuk terbebas dari siksa derita ini.
Beruntung ketika malamnya, langit cerah. Konser berjalan lancar. Kana sudah bisa menyesuaikan dengan cepat. Tidak lagi heboh ketika Satya turun dari panggung dan mendekati penonton, beberapa kali memang ditarik secara berlebihan, tapi Kana sudah tidak terlalu cemas. Hanya saja matanya terus mengawasi pergerakan Satya.
Kali ini tidak ada acara Kana diajak naik ke atas panggung. Durasi. Karena selepas konser, Satya masih harus menghadiri radio lokal. Hanya satu jam, jadi Satya dengan mudah mengiakan.
Selama tur, jujur saja, Kana semakin kagum dengan suaminya. Satya di rumah adalah orang yang sama ketika di panggung. Tidak heran jika Satya punya banyak fans loyal.
Jadi, ketika ada yang berani menggoyahkan hubungan dirinya dan Satya, bukankah Kana seharusnya percaya dengan suaminya?
"Kamu capek ya?" Tangan Kana yang bersedekap, diambil satu untuk digenggam jemarinya.
"Pertanyaan macam apa itu."
"Habisnya sejak konser selesai kamu banyak diem." Mengusap-usap punggung tangan istrinya. "Mikirin sesuatu? Atau kamu pengin beli sesuatu?"
Kana menggeleng. Pelan mengutarakan keinginannya. "Cuma tiba-tiba pengin peluk kamu, tapi malu banyak orang."
Mereka masih di radio. Satya keluar dari ruang siaran lima menit lalu. Kana menunggu di ruang khusus untuk tamu, sedikit bosan.
"Ja, gue sama Kana mau bicara empat mata."
"Matanya para jin nggak lo itung sekalian?" Reza menunjuk udara kosong dan mengibas dengan cepat. "Pasti banyak nih mereka. Empat mata dari mananya. Kalian nggak cuma berdua hei sadar dong heiii."
Satya terkekeh lirih. "Masih punya energi buat ngelawak lo?"
"Emang lo lupa kalau tur kali ini gue jadi pengangguran, hah?"
"Sssttt, ssssst, iya, iya." Satya menepuk kedua bahu Reza, memutarnya ke arah pintu. Kalau anak band-nya yang lain, sudah langsung keluar saat Satya bilang ingin bicara dengan Kana. Memang hanya Reza yang punya jiwa pemberontak.
Begitu Reza menutup pintu dari luar, Satya langsung merentangkan kedua lengan. Tapi Kana malah tersenyum, alih-alih melemparkan diri ke dalam pelukan.
"Aku minta maaf sebagai istri ya, Sat."
"Eh kok tiba-tiba gini?"
"Sebagai istri, aku banyak salah. Selama ini, aku belum bisa dukung karir kamu dengan baik. Aku sibuk dengan diri sendiri dan kerjaanku. Aku sering nggak ada di rumah ketika kamu pulang. Aku banyak ngeluh. Aku sering uring-uringan. Sementara kamu, selalu sabar ngadepin aku."
"Kalau ngomongin salah begini, aku lebih banyak salah ke kamu."
"Aku pengin banget punya banyak waktu buat kamu. Ikut kamu tur kayak begini. Lihat sendiri gimana kamu bahagia dengan apa yang kamu lakukan." Kana mengulum bibir, matanya sudah basah. Menggeleng. "Aku nggak capek. Sama sekali nggak. Aku cuma bahagia banget, Sat."
Satya membawanya istrinya ke dalam dekapan. Memeluk erat. Berjanji pada dirinya sendiri; apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepas Kana.
Sebuah janji, yang entah cepat atau lambat, akan menuntut untuk dipenuhi.
Suara Kana terdengar redam di bahunya. "Makasih udah dikasih kesempatan buat nemenin kamu."
"Temani aku sampai kapan pun ya."
***
"Cerah amat itu muka. Jangan-jangan pulang bawa janin nih."
Lala aman kok, tenang saja, tidak kena gablok setelah mengatakan itu. Berbeda dengan biasanya, tas atau tumblr pasti melayang ke arahnya. Suasana hati Kana sedang terlampau baik hanya untuk sekadar menanggapi sindiran itu.
"Tahu gini, dari awal aja lo ikut Satya tur. Nggak perlu deh bikin gue migrain."
"Berisik, La. Diem, suami gue telepon nih."
"Suami. Canda suami." Lala masih mencibir. Lalu mendapat uluran bogem.
"Halo, Yang?"
Lala memegang kepalanya sendiri. "Adududuh, peyang pala gue."
"Lagi di jalan ya?" Pertanyaan Satya menyelamatkan Lala.
"He'em. Lanjut ke pemotretan kedua. Kamu jadi ketemu desainer album kamu?"
"Jadi. Barusan selesai meeting. Oh iya, jangan lupa. Malam ini makan malam di rumah Mama."
"Oke. Aku perlu bawa apa? Berlian apa emas batangan?"
"Mental kamu aja, jangan lupa dibawa."
"Oh, selalu. Yang itu nggak pernah ketinggalan kalau ketemu mama kamu. Wajib dibawa."
"Sampai ketemu nanti. Hati-hati, Yang."
Pipi Kana memanas. Dia menggigit bibir bawah. "Sat,"
"Ya?"
"Aku sayang banget sama kamu."
***
Sedingin apa pun hubungan Kana dengan Mama Marlina, mereka sama-sama bisa melihat situasi. Tahu kapan akan melempar tatapan dingin, tahu kapan akan berpura-pura menjadi menantu dan mertua yang harmonis.
Makan malam bulan ini tepat dua hari setelah kepulangan tur Satya. Indi antusias bertanya ke Kana tentang pengalaman selama ikut tur. Kalau saja Indi belum punya buntut tiga, dia pasti akan merengek ke kakaknya untuk ikut tur sekalian jalan-jalan. Wajah Indi pun terang-terangan menunjukkan iri saat cerita Kana tiba di bagian Telaga Warna.
"Mama mau konsep acara yang seperti apa?" Makan malam selesai. Mereka pindah ke ruang tengah. Satya duduk di karpet, di dekat kaki mamanya.
"Aduh, Sat, Mama kan nggak muda lagi. Nggak usahlah itu namanya dirayakan segala. Seminggu lagi. Mepet banget."
"Kalau soal EO-nya Reza bisa bantu cari, Ma. Atau istriku juga punya kenalan EO." Mengonfirmasi langsung ke Kana. "Iya kan, Yang?"
Kana yang fokus ke televisi tidak siap dengan pertanyaan itu. "Ya? Eh? Maaf aku nggak denger. Kalian lagi ngomongin apa?"
Mama Marlina menyahut judes. "EO buat ulangtahun Mama, Kana. Kamu ini, jangan-jangan malah lupa."
"Nggak kok, Ma." Kana mulai keki. "Nggak lupa. Aku nanti bantu hubungi ya. Biar Mama punya referensi."
Satya tersenyum ke Kana sebagai wujud dukungan.
"Kamu inget Candra anaknya Tante Yeti?" Sebuah tebak-tebakan dan Satya sangat clueless.
"Candra tetangga kita dulu?"
"Iya!" Mama menepuk bahu anaknya. "Dia baru nikah dua bulan lalu lho, Sat. Tapi istrinya udah hamil."
Mulai deh. Kana sungguhan sudah keki. Otaknya dengan cepat memerintah untuk menutup segala akses ke hati. Mode pesawat.
Satya santai memberi komentar. "Berarti rezekinya anak dikasih cepet ya."
"Kamu nggak pengin, Sat?"
"Aku sama Kana kan juga terus usaha, Ma."
"Kamu masih minum pil, Kana?" Mama bertanya tapi bernada penuh tuduhan.
Satya menepuk-nepuk lutut Mama. Mendahului sebelum Kana menjawab. "Ma, kami nggak nunda. Cuma memang belum dikasih aja."
"Kalian udah sama-sama cek belum?"
"Kan udah, tahun lalu. Kami baik-baik aja."
"Coba kalian cari ikhtiar lainnya. Inseminasi atau bayi tabung, Sat. Anak teman arisan Mama juga begitu dan berhasil. Yang penting dicoba. Atau paling nggak, coba konsultasi ke dokternya dulu."
"Aku sama Kana baru dua tahun menikah, Ma."
"Justru itu, Satya. Mumpung kalian belum tua, sekarang waktu yang tepat untuk punya anak. Kalian mau nunggu sampai kapan lagi?"
Satya mencari alasan lain, sama sekali tidak meninggikan nada suaranya. "Aku sama Kana masih sibuk, Mama."
"Tahu begini Mama dulu nggak kasih restu. Apa yang kalian bangun kalau sama-sama sibuk. Rumah tangga? Jangan harap."
Kana menahan diri sejak tadi. Kedua tangan terkepal erat di pangkuan. Mendengar kalimat-kalimat yang menusuk hati. Satya memang membelanya. Mengambil semua jawaban agar Kana tidak lepas kendali.
"Aku pamit pulang, Ma." Kana tidak tahan lagi. Lebih baik dia pulang.
Satya ikut berdiri. Mengambil tangan Mama untuk dicium dan segera menyusul istrinya.
"Yang, jangan dimasukin hati omongan Mama."
Kana membuka pintu mobil tapi ditutup kembali oleh Satya. "Kana, jangan dimasukin hati. Ya?"
"Aku pengin pulang, Sat." Kana menghela napas. Menyibak rambut panjangnya yang tergerai. "Capek."
Satya membukakan pintu mobil. Membiarkan Kana lekas duduk tanpa diinterupsi lagi. Pun selama perjalanan, Kana akhirnya jatuh tertidur setelah aksi saling diam. Satya tahu istrinya lelah, tidak perlu menambahi. Padahal dia sangat ingin memastikan jika Kana masih imun dengan kalimat Mama tadi.
Mobil meninggalkan jalan raya. Masuk ke gang kecil, melewati jalan yang sedikit menanjak dan cukup jauh dari permukiman warga. Reza sering membawa Satya ke sini kalau sedang stres dan butuh tempat sunyi untuk menenangkan diri; sekadar merokok satu batang.
"Kita mampir ke mana?" Kana terbangun saat merasakan sedikit guncangan karena jalan yang berlubang. Setelah membuka mata, Kana tidak mengenali ini di mana.
"Maaf, Yang, kamu jadi kebangun. Jalannya emang jelek."
"Kita ke mana?"
"Tempat aku biasa ngerokok."
Kana mengucek mata. "Ngerokok aja di mobil. Nggak apa-apa."
Mobil berhenti. "Bukan itu poinnya, Yang."
"Ha?"
"Yuk, keluar." Satya mematikan mesin mobil. Melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Dia membuka bagasi, mengambil sandal, dan membuka pintu di samping Kana.
"Ganti pakai sandal ya. Jalannya nggak gitu rata dan sedikit nanjak. Takut kamu keseleo."
Setengah mengantuk, Kana melepas stilleto-nya. Memakai sandal dan keluar dari mobil.
"Ini tempat apa sih, Sat? Kita di mana?" Kana memegang lengan suaminya. Mengikuti langkah menjauh dari mobil.
"Aku belum pernah ke sini kalau siang. Seringnya malem—"
Kana langsung menggeplak lengan Satya. "Sama siapa?!"
"Reza, Yang, siapa lagi. Dia yang ngenalin tempat ini ke aku."
"Kok kayak tempat pembuangan mayat begini. Serem, Sat, aku merinding nih. Pulang aja yuk. Aku beneran nggak apa-apa kok. Sumpah."
"Awas kaki kamu, tetap hati-hati." Satya seolah tidak mendengar rengekan Kana.
"Yang, pulang ajaaaa." Kana berhenti, yang otomatis menghentikan langkah Satya juga terhenti.
"Kita cuma mau lihat gedung-gedung. Bukan mau ngitungin jumlah tengkorak."
"Ih, nggak lucu."
"Ya emang nggak, Yang. Kita nggak ada yang ketawa kan."
"Kamu tuh nyebelinnya mirip Reza!" Toh, Kana tetap menurut untuk melanjutkan langkah. Meski sambil mendumal. "Hidupku kok gini amat, Gusti. Punya mertua yang suka ngebully. Nggak depresi dikira depresi sampai diajak ke tempat begini."
"Yang, aku nggak ada bilang kamu depresi ya."
Kana diam karena benar-benar mau fokus ke tanah yang dia tapak. Satya memang memegangnya dengan aman, tapi tetap saja. Satya jatuh terpeleset, Kana akan ikutan.
"Udah. Silakan kalau mau ngomel lagi."
Rambut tergerai Kana langsung dijadikan mainan oleh angin. Tidak disingkirkan karena orangnya sibuk mengagumi apa yang terhampar di pelupuk mata. Titik-titik cahaya yang berpendar indah. Kana baru sadar jika mereka sedang ada di dataran yang lebih tinggi.
"Sat, ayo, duduk, Sat." Tanpa perlu dibimbing lagi, Kana langsung duduk di kursi besi. Menepuk tempat di sebelahnya. "Buruan duduk."
Satya melepas jaket. Menyampirkannya di kedua bahu istrinya, baru kemudian duduk. "Bagus ya?"
Mengangguk semangat. "Aku tarik omonganku tadi."
Satya tersenyum sambil menyelipkan rambut Kana ke belakang telinga. "Coba teriak, Yang."
"Nggak mau. Nanti dikira kita mesum."
"Teriak, Yang. Bukan mendesah."
"Iya, tapi tetep aja ganggu orang lain."
"Jauh kok dari pemukiman. Aman kalau mau teriak."
Kana ingat dengan penggalan kalimat Satya tadi. "Kamu ngerokoknya ke sini ya?"
"Nyari angin tepatnya."
"Jadi ini rahasia kamu? Kalau ketemu aku dan keluarga, kamu selalu bisa bawa vibe positif. Jadi di sini tempat pembuangan negatifnya."
"Nggak maulah aku ngorbanin kamu dan keluarga hanya karena aku stres sama kerjaan."
"Kamu lagi nyindir aku?"
"Oh, nggak, nggak. Tiap orang kan punya cara sendiri buat nyalurin emosi. Kalau kamu nyaman dengan nunjukin emosi ke orang terdekat, mungkin itu cara paling manjur buat kamu."
"Kalau aku nyaman ngomel ke orang terdekat, kenapa kamu nggak bisa?"
"Kamu pengin aku ngomel ke kamu?"
"Aku suka lihat kamu bahagia, Sat. Tapi di sisi lain, aku juga pengin nemenin waktu-waktu kamu lagi down. Pengin lihat sumpeknya kamu kayak gimana."
"Emang pas kemarin aku nyusul kamu ke Solo, nggak kelihatan?"
"Aku kan lagi marah, ya mana mikir. Kamu cuma terlihat salah pokoknya."
"Sekarang gimana perasaan kamu? Masih mangkel nggak?"
"Nggak terlalu."
"Mending teriak daripada jadi bisul."
"Mitos itu. Buktinya tiap aku mangkel ke mama kamu, nggak pernah tuh bisulan."
"Ya udah, ayo pulang aja." Satya berniat berdiri tapi lengannya ditahan.
"Aku masih mau di sini bentar lagi." Kana mendekat dan meletakkan kepala di bahu suaminya. "Suka sama anginnya."
Satya melepas tangan Kana dari lengannya, lalu ganti merangkul tubuh istrinya. Takzim menikmati pemandangan.
"Sayang."
"Apa?"
"Kalau ke sini lagi, sama aku aja. Jangan sama gadun kamu itu."
"Gadun?"
"Reja."
Bahu tempatnya bersandar sedikit bergetar. Kana menyelipkan kedua tangan di antara tubuh Satya, menyandar lebih nyaman, dan senyum tak berhenti mengembang di wajah.
Kana bahagia. Sungguh bahagia.
***
Nyariin konfliknya ya? 🤣
Belum. Mungkin di chapter depan atau depannya lagi 😉
Rabu/03.03.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top