Chapter 20


"Kamu mau jalan-jalan nggak, Na?"

Yang ditanya sedang sibuk membongkar koper. Bersiap mandi setelah Satya barusan keluar dari kamar mandi. Sengaja sekali mengenakan handuk sepinggang. Kana mencibir dalam hati. Menjawab sekenanya. "Aku nggak mau ke mana-mana."

Saat selesai mengambil baju ganti, Kana berdiri, berbalik dan terperangkap dalam dekapan Satya tanpa sempat kabur. Wangi sabun seketika menyeruak, memenuhi kepala dan membuatnya nyaris terlena. Dangdut banget kan. Mana Kana pasrah tanpa pemberontakan begini.

Kana menunggu apa yang hendak Satya lakukan, tapi lelaki ini hanya mengeratkan pelukan dan menyandarkan wajah di bahu Kana. Saat terasa tangan Satya bergerak ke bagian depan, Kana cepat mencegah dengan kalimat. "Aku lagi menstruasi."

"Tapi kan pegang yang atas nggak apa-apa?" Satya menarik kepalanya ke belakang, tanpa melepas pelukan, ingin melihat reaksi istrinya.

"Aku mau mandi."

Satya bebal. Tangannya kembali bergerak, meremas salah satu dada Kana. Wajahnya berpindah ke leher istrinya, mengecup di sana.

Sedikit mencicit. "Minggir atau aku marah?"

Satya tersenyum. Tapi niatannya untuk lanjut gagal karena pintu kamar hotelnya diketuk. Satya berat hati melepas Kana dan menuju pintu. Tidak repot mencari kaus karena dia tahu pasti siapa yang datang.

Begitu pintu terkuak, Reza sudah berdiri dengan gaya sok keren. Mirip maskot pizza yang menekuk satu kaki, lalu satu tangan menadah. Bedanya, ini yang dibawa Reza adalah kotak serabi.

Lupakan sejenak soal serabi, Reza dengan sadar jelalatan menatap Satya dan Kana secara bergantian. Satya yang bertelanjang dada dengan handuk melingkar di pinggang dan baju Kana yang terlihat agak basah. "Enggg .... lagi pada mesum ya?"

"Udah tahu mau mesum, masih aja di situ." Kana menjawab asal.

"Mau ngasih serabi, sebelum diembat sama garong-garong." Reza seperti sedang membicarakan dirinya sendiri dan hanya membalas kalimat Kana dengan lengosan.

Satya mengambil kotak serabi, langsung berniat menutup pintu, tapi ditahan oleh telapak tangan Reza.

"Apalagi?"

"Ada koran lokal yang mau interview. Ambil nggak?"

"Kapan?"

"Besok habis lo manggung."

"Oke."

Reza melirik Kana. "Sama bini lo juga katanya."

"Na." Satya menoleh. "Mau?"

"Terserah."

"Nah, denger kan. Awas, tangan lo."

"Diusir banget nih?"

"Mau lihat gue mesum sama Kana?"

Reza melepas tangan dari daun pintu, mengibaskan kepala dan enyah dari sana.

Meletakkan kotak serabi di meja panjang, Satya masih melihat Kana bergeming di tempatnya. Dia menelengkan wajah, tersenyum menggoda, bertanya. "Kana? Nggak jadi mandi sekarang? Mau lanjut yang tadi?"

Reaksi Kana seperti yang Satya duga. Tapi dia makin tersenyum lebar melihat wajah Kana yang memerah samar.

Satya mencari kaus dan celana pendek sambil menunggu Kana untuk turun makan malam.

Begitu pintu kamar mandi terbuka. "Na, mau makan di bawah atau mau—" Kalimatnya terhenti demi melihat Kana dalam balutan handuk. Bukannya tadi istrinya itu bawa baju ganti ke dalam ya? Mau balas dendam?

"Atau mau apa?" Kana duduk dengan tenang di depan cermin.

Satya menelan ludah. "Kamu bawa baju ganti kan tadi?"

"Bawa, tapi jatuh. Basah."

"Nggak minta tolong aku buat ambilin baju baru?"

Kana mengoles krim ke wajah sambil melirik suaminya dari cermin.

Satya kembali ke pertanyaan awal. "Mau makan ke bawah atau di sini aja?"

"Bebas."

Kana sudah meninggalkan cermin, mengambil baju lagi dari koper. Masuk ke kamar mandi.

Mereka makan malam di restoran hotel,  duduk di meja yang ada di balkon. Satya beberapa kali dihampiri ibu-ibu, sekadar menyapa, mungkin tahu jika Satya sedang makan, jadi sungkan minta foto atau tandatangan. Takut mengganggu.

Tapi Satya mengenali ekspresi mereka. Jadi dia sendiri yang menawarkan. Tidak keberatan meletakkan sendoknya sebentar. Satya dengan ramah sempat bertanya hal-hal remeh—yang terdengar tidak remeh di telinga fans dan Kana—sambil membubuhkan tandatangan di note yang disodorkan padanya. Beruntung mereka juga sadar diri dan tidak minta foto, jadi setelah note dikembalikan, mereka segera berlalu.

"Mama Marlina yang ngajarin kamu ramah ke semua orang?" Saat Satya kembali memegang sendoknya, Kana justru berhenti makan.

"Mamaku nggak ramah."

"Terus siapa yang ngajarin kamu?" Karena Kana yakin, sekalipun Satya bukan penyanyi terkenal, sikap ramahnya akan tetap sama.

"Nggak ada." Satya sedikit merasa aneh. "Ramahku berlebihan ya?"

Bukan berlebihan, hanya saja Kana sedikit tidak suka Satya dikagumi dari sisi itu. Tidak jarang Kana memperhatikan setiap bersama dirinya dan Satya dihampiri fans, lalu wajah-wajah itu terlihat begitu memuja Satya. Ya memang wajar. Kana selama ini juga pintar menyimpan cemburu yang tidak perlu.

"Nggak lanjut makan?" Satya menunjuk isi piring Kana yang masih separuh.

Kana bersedekap. Mengalihkan pandangan ke sisi kirinya. Pemandangan kota yang indah.

"Kamu nggak suka aku bersikap ramah?" Kana tidak tahu jika Satya masih membahas hal ini.

"Kita sama-sama tahu konsekuensi. Kerjaan kita nggak jauh beda."

"Aku sebenarnya cemburu lihat kamu dihampiri fans Mas-mas setelah fashion show."

"Kamu bisa tanya ke Lala gimana sikapku ke mereka."

"Aku udah pernah lihat sendiri kok."

Ya udah, terus kenapa dibahas? Sikap Kana ke fans laki-laki hanya seperlunya, foto pun dia menolak untuk dirangkul, bahkan sengaja memberi jarak dengan tegas. Kalau ke fans perempuan, Kana tidak sungkan foto akrab. Kalau kebetulan berada di dekat mobil, Kana tidak ragu memberikan apa yang ada di mobil. Beberapa suvenir yang dia dapat dari acara-acara, barang endorse, album Satya, atau kadang cokelat. Apa pun.

"Emang kenapa?" Kana masih bertahan menatap kerlip gedung. "Kamu mulai berpikir untuk bikin aku jadi tahanan rumah?"

Satya berkerut mendengarnya. Tuduhan istrinya cukup menyentaknya.

"Pada akhirnya kamu nggak bisa menemukan tipe ideal kamu di diri seorang Kana."

"Nggak ada tipe ideal, Kana. Aku udah sama kamu, jadi gimana pun kamu, aku terima dan cinta."

Kana mengabaikan. Teringat dengan apa yang pernah Mama Marlina katakan. "Perempuan yang keibuan dan lembut, bisa masak enak, selalu stay di rumah, melahirkan dan membesarkan anak-anak yang lucu—" Kemudian terdiam sendiri. Penggalan kalimat terakhir juga menampar dirinya.

Satya mengatupkan bibir. Tidak ingin menimpali atau mereka hanya akan bertengkar di sini. Apa yang Kana katakan memang benar soal tipe ideal Satya. Tapi apakah Kana tidak lihat bagaimana Satya menerima Kana secara utuh?

Setelah membiarkan Kana terdiam beberapa saat, Satya coba mengalihkan. "Kamu beneran nggak mau jalan-jalan?"

Kana menggeleng. Lalu menatap piring Satya yang belum tandas.

"Aku udah selesai. Kamu masih pengin di sini sebentar atau ke kamar?"

Kamu belum habisin makan kamu. "Makanannya nggak enak?"

"Enak."

"Kenapa nggak dihabisin?" Omonganku tadi bikin kamu hilang selera makan ya?

"Aku ambilnya kebanyakan. Jadi kenyang banget."

Bohong! Kana tahu ya kalau lelaki ini pantang menyia-nyiakan makanan. Kalau dirasa masih kenyang, Satya pasti mengambil porsi sedikit.

"Kenapa nggak mau jalan-jalan?" Mereka sedang di dalam lift, menuju kamar. Hanya berdua dan Satya baru saja mengambil jemari Kana untuk digenggam.

"Capek."

Satya membawa jemari Kana ke bibirnya. Mengecup beberapa kali. "Maaf ya, bikin kamu capek."

Kana membiarkan tangannya digenggam dan diciumi. Perasaannya justru menghangat. Bukan karena perlakuan Satya, tapi permintaan maaf suaminya kali ini entah bagaimana bisa diterima Kana.

"Kamu mau pulang ke Solo, Na?" Pintu lift terbuka, Satya ganti merangkul bahu Kana. Melangkah bersama. "Biar besok pagi-pagi aku antar."

Satya melepas rangkulan untuk mengambil kartu akses di kantong celana. Membuka pintu dan membiarkan Kana masuk lebih dulu.

Tanpa Satya tahu, Kana ternyata menunggu di dekat pintu. Saat lelaki itu berlalu, Kana terpaksa menahan lengan Satya. "Kamu habis dari Prambanan, lanjut ke mana?"

"Kebumen."

"Setelah itu?"

"Wonosobo."

"Terus?"

"Magelang."

"Habis itu?"

Satya tersenyum. "Pulang ke rumah."

Kana menggigit bibir. Hal yang refleks membuat Satya maju dan mencium bibir istrinya. "Yang boleh gigit cuma aku." Lalu mengusap kepala Kana. "Kamu tunggu di rumah Solo ya. Pulangnya aku jemput kamu."

"Terus kenapa kamu tadi pagi maksa aku buat ikut?"

Satya terkesiap pelan. Sepertinya salah mengartikan sikap Kana. "Oh, oke. Jadi kamu nggak keberatan ikut aku tour?"

"Kamu jangan ngeremehin aku, Sat. Kalau aku mau, aku bisa aja kabur sekarang—apa? Kenapa senyum-senyum?!"

"Makasih, Sayang. Udah mau nemenin."

Dengan salah tingkah, Kana melewati bahu Satya. Merebahkan diri di kasur setelah mengambil ponsel, menumpuk bantal dan bersandar nyaman di headboard. Satya menyusul. Beringsut ke bahu Kana dan menaruh satu tangan di perut istrinya.

"Kenapa nggak mau jalan-jalan?" Satya bertanya lagi.

"Kamu emang nggak capek?"

"Nggak."

Sungguh perkataan dan tindakan berbanding terbalik. Semenit kemudian Kana mendapati Satya sudah terlelap di bahunya. Napasnya terdengar teratur. Kana meraih remote AC di meja nakas, menaikkan suhunya dan menjangkau selimut dengan hati-hati—takut jika gerakannya akan membangunkan Satya—kemudian menyelimuti suaminya.

***


Reza melongo ketika dalam sepersekian detik, handuk kecil di tangannya disambar begitu saja.

Yang menyambar merasa tidak berdosa.
Karena begitu Satya menuju tepian panggung, alih-alih mengulurkan handuk, Kana sigap mengelap keringat di wajah dan juga leher Satya.

Lalu dengan tangannya yang bebas, Kana merampas air mineral yang hendak diangsurkan Reza ke Satya. Selesai mengelap, Kana membukakan botol, yang ternyata gagal dilakukan. Satya tersenyum, mengambil alih botol. Hatinya tersentuh melihat perhatian yang diberikan Kana.

Membawa serta handuk dan botol yang tersisa separuh, Satya kembali ke panggung.  Menyisakan dua orang yang tetap berdiri di dekat tangga yang ada di samping panggung. Kana kembali memanjangkan leher demi bisa melihat Satya di panggung, sementara Reza menatap Kana dengan sengit.

Pada paruh waktu kedua, Satya sungguh-sungguh kuyup keringat. Reza segera melesat, mencarikan kaus ganti tanpa diminta.

"Masih lama ya selesainya?"

"Kamu capek?" Kemudian menoleh ke Reza yang sudah kembali. "Ja, nggak ada kursi apa gitu? Kana biar bisa duduk."

Reza memanggil seorang kru, minta tolong untuk mengambilkan kursi lipat dari tenda.

Kana mendengkus pelan. Maksud pertanyaannya bukan begitu. Dia hanya tidak tega melihat Satya begini—terlepas memang pekerjaannya. Para penonton tidak perlu dicemaskan. Tadi secara mengejutkan, satu jam sebelum konser, Satya memberi kartu debitnya ke Reza, minta dibelikan payung sebanyak mungkin. Satya bilang itu untuk para penonton.

Seakan mengerti yang dipikirkan istrinya. "Ini kebetulan aja panas banget, Na. Jadinya begini."

"Emang biasanya enggak?"

"Iya juga sih. Tapi ini lumayan parah. Aku belum ada sejam udah kuyup."

Reza terpaksa menyela, menyodorkan kaus, menghentikan percakapan. Tidak ada waktu.

Mengerti apa yang akan terjadi, Kana seketika melotot ke Reza, sebelum menatap suaminya yang dengan cuek langsung berganti kaus di depannya. Ya kalau di depannya sih tidak masalah. Tapi dengar, jeritan para perempuan terdengar di belakang Kana. Pasti mereka heboh melihat tubuh bagian atas Satya yang sempurna.

Enak saja! Kana cepat-cepat menarik Reza ke arahnya, demi menghalangi pandangan. Tapi Kana terpaksa menahan jeritan karena  Reza menginjak kakinya. Akhirnya dia hanya meringis. Satya sudah selesai. Tersenyum padanya dan kembali ke panggung.

Tanpa menunggu lagi, Kana langsung melayangkan cubitan ganas ke perut montok Reza.

Reza mengaduh heboh. "Woi woiii, lepas! Perut seksi gue kempes gimana?!"

Kana melepas cubitan dan duduk di kursi, sedikit merunduk untuk mengecek jari kakinya yang malang. Lantas mendongak tajam. Membalik kalimat Reza. "Kalau jari kaki gue diamputasi gimana?!"

"Sini gue injek lagi, biar diamputasi beneran!"

Kana mengumpat tanpa suara, tapi Reza lihat. Mau disuarakan atau tidak, tetap saja membuat Reza berang. "Lo cuma lihat Satya ganti kaus di sini aja kelabakan. Lo nggak tahu kan kalau Satya sering shirtless di panggung?"

Wajah Kana mendadak pias. Reza sedikit gelagapan. Niatnya memang bukan bercanda, tapi merasa bersalah juga melihat Kana yang terdiam dan hanya menatap Satya di panggung. Dia pikir Kana tidak akan bereaksi begini.

"Na ...." Reza mencolek bahu Kana.

Tidak digubris.

Mencolek lagi. "Kana—"

"Ngomong lagi gue kempesin beneran!"

Reza mengerucutkan bibir. Lirih berkata sendiri. "Emang bisa?"

***




Diam2 pada nungguin Rayya pulang kan? 😌

Babang Ardan lagi nyicil diketik, mungkin besok atau lusa updatenya.

As always, makasiiiih yaa. Meski kemarin slow update, ternyata cerita ini masih ditungguin 😭❤

Sabtu/06.02.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top