Chapter 2

Kana membantu Satya yang mulai packing. Padahal ini masih Jumat. Tanpa bertanya atau diminta, Kana berinisiatif sendiri. Sekarang pukul sepuluh malam dan kasur mereka penuh oleh baju-baju Satya yang dikeluarkan dari lemari.

"Jadi beneran pake bus gitu?" Kana duduk melantai. Mulai melipat baju.

"Iya. Jetbus."

"Nggak capek apa?"

"Kita tidurnya tetep di hotel."

"Nggak naik kereta aja?"

"Justru lebih capek kalau angkut-angkut barang pake kereta. Mesti mindah juga kan."

"Kamu sama kru bawa apa aja sih? Rumah seisinya?"

"Peralatan band, Kana."

"Minggu besok khusus Jawa Timur aja?"

"Iya. Bulan depan baru Jawa Barat dan sekitarnya."

Oke. Kana coba tes kepekaan Satya. "Lala nawarin aku cuti."

"Oh ya? Buat apa?"

"Menurut kamu?"

"Buat istirahat?"

"Aku disuruh ikut kamu tour."

Satya menghentikan gerakan melipat untuk menatap istrinya. Mengerutkan dahi. "Emangnya kamu mau nonton aku nyanyi live?"

"Nggak mau. Makanya aku tolak idenya Lala."

"Kenapa, Na?"

"Aku nggak mau mundurin kerjaan. Aku cuti seminggu, minggu berikutnya aku pasti kerja rodi."

"Bukan itu."

"Hm?"

"Kenapa nggak pernah mau nonton aku nyanyi live?"

Kana diam sejenak. Mencari jawaban yang terdengar masuk akal, yang juga pernah dia katakan. "Aku nggak suka desak-desakan sama orang asing, kecuali fans. Kan udah pernah bilang."

Iya, bukannya Satya lupa. Cuma heran. "Tapi di acara formal pun, yang tamunya duduk di kursi empuk dan full AC, kamu tetap nggak mau."

Menggaruk hidung. "Ya emang nggak mau aja. Susah dijelasinnya."

"Tapi aku selalu datang tiap kamu fashion show. Ya nggak semua ding, tapi aku usahain."

Kana paham jika Satya tidak bermaksud pamrih, hanya sebagai pembanding saja. Tidak perlu diributkan. "Akhir bulan aku ada fashion show. Nggak usah datang. Berani datang, pulangnya berdarah-darah kamu."

"Mau kamu apain?" Satya menantang.

Kana mengacungkan hanger ke arah Satya. Tapi dengan gerakan cepat, Satya menurunkan hanger dan merangsek ke arah istrinya. Mereka merebah di antara tumpukan baju. Kana yang lengah tidak bisa menghindar. Pasrah di bawah Satya.

Dari jarak sejengkal itu, mereka seakan bisa menatap bayangan masing-masing dalam bingkai mata.

"Lala udah kamu booking seminggu buat tidur di sini?"

"Udah."

"Nggak mau tidur di rumah Mama atau apartemen Indi?"

"Maksud kamu, aku disuruh jadi budak anak-anak Indi? Sori, aku bukan kamu."

"Kamu kok dibawa serius. Mereka cuma anak-anak, Kana."

"Aku tunggu mereka agak gedean, biar nyebelinnya berkurang. Kalau nakal, dimarahin dah ngerti."

"Kita nanti juga bakal punya anak."

"Kapan tuh?"

"Setelah kamu mau berhenti minum pil."

Kana tersenyum. Satu tangannya bergerak ke dahi Satya. Mengusap kerutan di sana. Menyugar rambut suaminya yang mulai panjang.

Tatapan mereka saling mengunci. Hingga akhirnya perlahan Satya tersenyum. Bergerak semakin menunduk untuk mengecup bibir Kana. Kemudian turun ke leher. Mengecup lama di sana. Merasakan rambutnya yang diremas jemari cantik Kana.

Dengan napas terengah, Satya mengangkat wajah. "Rambutku kan udah mulai panjang, menurut kamu bagusnya dipotong atau dibiarin—"

"Kamu tanya kayak gitu di saat kita mau ena-ena?! Kamu botakin juga aku bodo amat! Kamu tetep ganteng!"

Satya terkekeh. "Sori, sori. Lanjut ya."

***

Lala diliburkan weekend itu, yang otomatis sang sopir, Ucup, pun ikut libur. Jadi yang menggantikan mengantar ke mana-mana adalah Satya. Ini keputusan sepihak. Kana tidak mau mendebat. Yang penting dia tidak perlu mengemudi dan hanya duduk tenang di bangku penumpang.

"Kamu beneran nggak perlu latihan dan sebagainya?" Kana menoleh. Suaminya suka serius sendiri kalau mengemudi. Seakan-akan lengah sedikit, maka akan muncul Komo di depan sana.

Tetap fokus ke depan. "Udah kemarin-kemarin."

"Lala kegirangan tuh kamu suruh dia libur."

"Biar aku bisa antar kamu dua hari ini."

"Tapi jadwalku mendadak gila kalau weekend, Satyang."

Satyang. Satya selalu tersenyum jika panggilan sayang itu disebut. Cheesy tapi kalau diucapkan Kana, dia mendadak senyum-senyum norak—ini kata Reza.

"Nggak apa-apa. Mau pagi ketemu pagi, aku siap."

"Bucen!"

"Aku memenuhi impian kamu, Kana."

"Impian yang mana?"

"Baymax hidup." Berdeham. Suaranya dibuat seperti robot. "Hello. I'm your personal bodyguard. I will take care of you."

"Tapi kamu nggak gendut. Dan nggak gitu ya tagline dia."

"Apa aku mesti kayak Reza yang bahenol? Ketampanan aku nggak cukup?"

"Berhenti ngomong hal-hal cheesy. Aku merinding."

Memang panggilan Satyang itu tidak cheesy? Hei, sadarlah, Kana. Kamu terlalu banyak 'cuci tangan'. Tapi Satya tidak menyuarakan isi pikirannya. Bisa berbuntut panjang urusan Baymax ini.

Mobil Satya berhenti di gedung lima lantai itu. SecondLook. Istrinya ada pemotretan di sini. Turun dari mobil lebih dulu, dia bermaksud membukakan pintu untuk Kana, tapi kalah cepat.

"Apa? Kalau buka pintu, aku bisa sendiri."

"Tadinya mau menghayati jadi babu kamu. Tapi belum apa-apa, udah disuruh mundur."

"Kamu harus belajar ke Lala dulu." Sebagai gantinya, Kana mengambil satu lengan Satya. Menggandengnya saat menaiki undakan menuju lobi.

"Kamu mau taruhan sama aku, Sat?"

"Berapa?"

"Aturannya kamu tanya dulu, bukan nominalnya."

"Biar cepet." Satya tersenyum. Menyapa sekuriti di dekat pintu lobi.

"Taruhan sama aku, Sat, kita barusan jalan ke lobi bakalan masuk akun Lambe atau nggak."

"Nggak."

"Aku yakin masuk."

"Oke. Taruhannya apa?" Satya menekan tombol lift. "Lantai berapa?"

"Tiga. Enaknya apa?"

Satya berpikir cepat. "Kalau kamu kalah, kita nanti tidur di rumah Indi."

Kana sempat ingin protes, tapi dia yakin dia akan menang. Akhirnya hanya bertanya. "Kamu kangen Indi?"

"Kangen anak-anaknya."

Kana diam dan menatap angka yang terus bergerak. Sampai lift berdenting. Dia menggandeng lengan Satya lagi. Sementara wajah-wajah keponakan Satya muncul di kepala. Mereka favoritnya Satya. Cuma memang karena Satya sibuk, bisanya main ke sana kalau longgar. Kadang sebulan bisa sekali. Kana sering diajak, tapi seringnya menolak.

Main sama anak kecil tuh serunya di mana? Mending main Find Out di ponsel sampai otak ngebul. Kalau kesal, ponsel bisa dibanting. Nah, kalau sama anak kecil, kesal mau ngapain coba? Nggak mungkin gigit mereka, 'kan? Yang ada kena gigit duluan.

Lengannya disentuh. "Na?"

Menatap suaminya. "Ha?"

"Itu, kamu disapa Mbak Dona. Ngelamun?"

Kana beralih ke depan. Mereka ternyata berhenti karena Mbak Dona, manajer marketing Secondlook, sudah berdiri di sana dan tersenyum lebar. Kana buru-buru mengulurkan tangan. "Apa kabar, Mbak?"

"Baik, baik." Mbak Dona melirik lengan mereka yang bertaut. "Kalian ini, makin lama, makin mesra. Jadi pengin muda lagi jadinya."

Satya tidak berusaha melepas tangan Kana dari lengannya. Dia justru tersenyum, berterima kasih atas pujian itu.

"Oke, silakan dilanjut. Kalau longgar, nanti mampir ke ruangan ya."

Satya dan Kana kompak mengangguk. Melanjutkan langkah. Kana akhirnya melepas lengan Satya. Malu sepertinya.

"Taruhannya jadi?" Satya memastikan.

"Boleh. Aku yakin, aku yang menang."

***

Kana hanya berdiri lesu di depan pintu apartemen, sementara Satya menekan bel. Belum dibukakan. Mungkin mereka sedang bikin anak lagi. Eh, tapi kan yang di perut belum brojol. Kana lupa.

Pintu berbunyi. Terbuka. Indi tersenyum senang melihat kakaknya datang. Beralih menatap Kana, terlihat kaget. "Mbak Kana tumben mau ke sini?"

Pertanyaan yang sudah bisa diduga Kana.

Tapi diralat. "Eh, maaf, maksudnya nggak gitu, Mbak."

"Damar udah pulang?" Satya melongok ke dalam.

Indi melebarkan pintu. "Bentar lagi paling, Mas. Eh, yuk, masuk-masuk."

Baru dua langkah dari pintu, Shana dan Sheina menyambut dengan girang. Bukan karena plastik mainan di tangan Satya, tapi karena Satya sendiri. Saling berebut memeluk Satya yang berjongkok di sana.

"Mbak mau minum apa?"

Kana meletakkan sekotak donat madu di meja makan, menggeleng. Melihat Indi yang tampak kepayahan, dia jadi kasihan. "Gampang nanti. Kamu duduk aja."

"Kalian udah makan malam?"

Satya berpindah ke sofa, diikuti si Kembar. Kana hanya memandangi dari kursi meja makan. Menoleh ke samping saat terdengar suara gelas. "Beneran, Ndi. Kamu duduk aja."

"Cuma mau bikinin Mas Satya kopi, Mbak."

Kana berdiri. Merebut sendok dari tangan Indi. "Udah. Aku aja. Sana duduk di sofa."

Sungguhan dituruti. Indi menyusul ke sofa. Melihat kedua anaknya sibuk membongkar barbie yang dibawakan om mereka.

Kana bergabung dengan membawa tiga mug kopi. Meletakkannya di meja dan duduk menjauh dari anak-anak yang asyik duduk di karpet bulu, menyisiri rambut barbie. Tapi Kana lebih tertarik menonton berita di televisi.

"Aku angetin lauk dulu."

"Nggak usah!" Satya dan Kana kompak melarang. Indi urung beranjak. Si Kembar juga menoleh bingung.

Baik Kana dan Satya, sigap berdiri. Kana mencepol rambut panjangnya. Satya menggulung kemeja flanelnya. Yang satu membuka kulkas, mengeluarkan food container dari sana. Yang satu menyalakan kompor, meletakkan teflon.

Indi menatap penuh haru. Padahal bukan hal besar. Tapi melihat kakaknya menemukan pendamping sebaik Kana, membuatnya lega. Meski awalnya, dia ragu. Tapi lama-lama, keputusan kakaknya untuk menikah dengan Kana jadi satu langkah besar.

Dalam dua tahun, Indi melihat perubahan besar itu. Kakaknya memang tidak banyak berubah. Dari dulu tetap menjadi sosok yang bisa diandalkan dan kesayangan keluarga. Menjadi orang pertama yang pasang badan ketika dirinya berbuat kesalahan besar tiga tahun lalu dan Mama mengamuk. Mama benar-benar marah besar dan kecewa.

Meski juga kecewa, kakaknya menjadi orang paling waras saat itu. Menemui Damar dan membuat lelaki itu bertanggungjawab sepenuhnya.

Satu momen yang tetap Indi ingat sampai sekarang dan kapan pun. Di saat semua menghakimi, kakaknya justru datang padanya dan lirih berkata di antara tangis tertahan. "Mas minta maaf. Mas gagal jaga kamu. Mas gagal menjadi kakak."

Itu murni kesalahannya dan Damar. Bukan salah siapa-siapa, apalagi kakaknya. Kalau bisa diputar waktu, dia akan menjaga diri sebaik mungkin.

Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Indi. Dia beranjak ke sana, menyambut sang suami. Bersamaan dengan Kana dan Satya yang selesai memanaskan lauk.

Sementara mereka makan malam, si Kembar duduk manis di depan televisi. Indi membawa cemilan untuk anak seusia mereka.

"Mbak Kana tumben ikut?" Damar bertanya santai.

Kana kesal ditanya hal yang sama. Satya membiarkan. Dia lebih tertarik dengan lauk simpanan adiknya. "Mama yang bawain semua lauk di kulkas?"

"Ibuku, Mas." Damar yang menjawab.

"Enak." Satya mengangguk. Lalu menoleh ke piring istrinya. Hanya oseng daun pepaya, tanpa nasi. "Kamu nggak ada cheating day, Na?"

"Besok."

Satya mendesah. "Padahal tumis gurame-nya enak."

"Diem." Kana menyuap.

"Nasinya enak, Mbak." Damar ikutan. Indi memperhatikan ekspresi Kana dan menahan senyum.

"Sambal terasinya asli terasi, Dam?" Satya bertanya serius.

"Iya, dari Rembang, Mas. Enak ya? Tanteku yang bawain."

"Sama terasi Pati enak ini menurutku. Tergantung selera sih."

"Terasi Pati lebih manis, Mas. Indi lebih cocok yang Pati. Kalau aku—"

"Bisa nggak sih, makan dengan sempurna? Suap, kunyah—tiga puluh dua kali kalau perlu, terus telan? Gampang, 'kan? Iya, tahu, enak. Tapi kalian sengaja banget. Hargai aku yang diet dong!"

Satya menunjuk sofa. "Kamu bisa makan bareng si Kembar di sana."

Indi gagal menahan tawa. Apalagi wajah Kana yang berkerut-kerut menahan dongkol.

Serba salah. Mau pindah ke sofa, tapi Kana tidak suka dekat-dekat anak kecil.

***

Baru kusadari, di antara anak2 perempuanku, yg bisa main sama bocah cuma Ody, Aldira sama Asa. Yg lain terjungkal semua 😂

Kita liat Sheila bisa gak. Anak baru yg kayaknya gamon dari babang aktor. Yihaaa~

Chapter 3 update Senin/Selasa 👼

Sabtu/08.08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top