Chapter 18

Bentar, biar aku tanya dulu.

Ngapain pada nyariin Satya sih? Padahal kalo update, suka pada kesurupan di lapak ini wkwkwkwkwk 😭😭😭

HAPPY READING! ❤

——————————

Satya berubah pikiran. Di saat taksi sudah meluncur meninggalkan bandara Adi Sumarmo, dia justru menyebut nama hotel yang biasanya dirinya dan rombongan gunakan ketika bertandang ke Solo. Membuat Reza yang duduk di sebelahnya megap-megap seperti ikan koi—bingung harus memaki Satya dengan julukan apa. Rasanya semua pantas, kalau saja Reza bisa menghujani Satya dengan sumpah serapah dalam satu tarikan napas.

Berdeham. Reza akhirnya hanya menyindir. "Kayaknya tadi ada yang ngotot mau nyusulin bininya. Begitu nyampe, lumayan zonk ya, Pak. Gue mana bego mau aja ikutan."

"Gue mikir selama di pesawat."

"Sori, gue tidur, jadi nggak lihat lo mikir tadi. Mikir apaan?"

"Gue mau kasih Kana waktu."

"Lo nggak berani hadapi kemarahan dia?" Telak menampar Satya.

Satya membuang napas. "Besok anak-anak sampai Prambanan jam berapa?"

"Sore mungkin. Terus check sound malem. Jadi lo cuma punya malam ini sampe besok siang buat bujukin bini lo. Syukur lo bisa paksa dia buat ikut tur."

Beberapa saat setelahnya, satu hal melintas di pikiran Satya. Membuatnya cepat menyergah bapak Sopir Taksi sebelum melaju semakin jauh. "Pak, maaf, bisa putar balik? Saya nggak jadi ke hotel. Tujuan saya terlewat barusan."

Reza menganga lebar mendengarnya. Geleng-geleng. "Woaaah, gue nggak nyangka selama ini jadi manajernya anak SD. Hebat banget gue!"

"Makasih idenya."

"Lo beneran mau bujuk bini lo buat ikut tur?" Reza lantas tergelak tanpa suara, mengibaskan tangan. "Tapi gue sih yakin dia nggak bakalan mau. Mau lo sujud-sujud juga."

***

"Sesalah apa pun kamu sebagai lelaki dan suami, aku nggak suka lihat kamu simpuh-simpuh kayak gini di depanku. Kalau ke ibumu, nggak masalah. Aku merasa nggak pantas kamu giniin."

Reza menyemburkan tawa, tapi cepat-cepat dibungkam dengan tangan sendiri. Dia kemudian duduk di sofa tanpa disuruh. Merasa tidak perlu menyingkir. Pembicaraan mereka berdua patut dia dengar demi kelancaran bersama. Reza harus paham dengan perkembangan masalah pasutri ini, biar dia bisa mengatasi Satya dengan mudah. Toh, tidak diusir juga. Kana bahkan tidak menggubris kehadirannya. Perempuan itu hanya menatap dingin suaminya. Sudah. Reza mau barongsai di sini paling juga dibiarkan.

Satya bangkit dan duduk di sofa panjang. Sementara di depannya, terpisahkan meja, Kana duduk bersedekap. Sempat ada jeda yang panjang. Dan langkah kaki yang terdengar dari arah tangga sejenak mengalihkan.

Adalah Reza yang pertama kali melihatnya, karena dia duduk di sofa yang menghadap ke tangga. Mukanya mendadak girang. Bertepuk tangan tanpa suara.

"Mas Satya!"

"Ma Boy!"

Dika menuruni tangga lebih cepat. Memakai ransel dengan benar, menghampiri Satya dan memeluk secara kasual. Mendapat tepukan di punggung dan belakang kepala. Kemudian baru beralih menyapa Reza yang tidak sabar menunggu giliran.

"Dika, ya ampun, makin ganteng deh!" Reza tidak terima hanya diberi salam tangan. Dia ingin dipeluk seperti Satya tadi. Tapi baru setengah berdiri Reza sudah kena dorong, kembali terduduk di sofa. Mau marah tapi mana bisa. Akhirnya hanya senyum.

Dika berbalik ke Satya. "Mas mau jemput Mbak Kana?"

"Mau ngajak kakakmu tour kalau mau. Kamu mau ke mana?"

"Futsal, Mas." Dika lalu menoleh ke kakaknya yang masih diam. "Pergi dulu kalau gitu."

Kana berpesan. "Pulang sebelum jam sembilan."

Hanya dibalas anggukan sekilas.

Setelah Dika meninggalkan ruang tengah, barulah Satya memulai bicara. "Aku nggak lihat Mama."

Dijawab datar. "Nemenin Papa perjalanan dinas."

"Aku mau bicara serius."

"Bicara aja."

"Soal yang tempo hari kamu lihat, aku sama Rayya—"

Dipotong. "Pelukan."

"Tapi bukan karena alasan yang kayak di kepala kamu."

"Emang apa yang ada di kepalaku?"

"Itu yang juga pengin aku tahu." Satya menandaskan. "Asumsi seperti apa yang sedang kamu yakini?"

Reza memberi dua jempol ke Satya, berusaha tidak ikut bersuara.

Menyeringai. "Kamu yang meluk dia, Sat. Lucu kamu ini, malah tanya balik apa yang aku pikirkan. Lala juga lihat. Kamu mestinya tahu."

"Karena aku nggak tahu, Na. Aku nggak tahu apa yang kamu resahkan sejak awal. Apa yang juga kamu tangisi diam-diam." Satya ingat istrinya yang menangis beberapa waktu lalu. "Hal yang bikin aku nggak berguna jadi suami. Aku merasa nggak bisa memahami kamu dengan baik. Jembatan komunikasi kita juga nggak baik. Kalau ini semuanya tentang Rayya, kamu tahu, aku nggak punya perasaan apa pun ke dia."

Kana melipat tangan. Sikap defensif. Dia juga tidak membuang pandangan. Seolah sedang menilai keseriusan suaminya. Menguji apakah lelaki ini datang dengan inisiatif sendiri karena tidak ingin Kana salah paham. Atau alasan kedua, demi menjaga imej diri yang dikenal santun di mata keluarga besar.

Sebenarnya mudah bagi Kana untuk mengadu ke mamanya Satria. Meski hubungan mereka kurang baik, Kana tidak takut membeberkan bagaimana kelakuan anak lelaki kebanggaannya.

"Aku datang ke sana atau pun nggak, faktanya kamu tetap meluk Rayya."

"Kalau aku bilang dia yang peluk aku, kamu percaya?"

Tidak disuarakan. Tapi tatapan Kana sudah menjawab.

Satya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Hingga rambut bagian depannya sedikit berantakan. "Aku sedang dalam perjalanan ke acara kamu ketika dia bilang lewat pesan kalau ada yang mau dibicarakan tentang kamu. Aku datang dan mikir aku memang harus dengar."

"Dia bilang apa soal aku?" Kana ingin memastikan kalau-kalau perempuan itu bilang jujur tentang sesuatu yang dikirim ke emailnya.

"Nggak ada."

Kana menyeringai. "Pengecut."

"EH?" Reza kelepasan. Gagal paham dengan siapa yang dimaki Kana. Mukanya berkerut bingung.

"Kamu tahu sesuatu, Na?" Satya meneliti wajah istrinya, merasa ada yang disembunyikan. Tetap dengan nada bicara yang lembut. "Kamu seharusnya bilang, jadi kita nggak berlarut kayak gini. Kamu boleh nuduh, asal mau dengar penjelasanku juga. Lalu kamu bisa memutuskan. Jangan semuanya kamu tarik kesimpulan sendiri lalu memutuskan sepihak. Kalau aku ada salah, kamu bilang, biar aku ngerti salahku apa. Lari nggak bikin masalah selesai, Na."

Kana tidak lekas menjawab, tidak juga memutus pandangan. Diam-diam bertanya ke diri sendiri. Jika dia memang seperti apa yang Satya katakan, karena alasan apa dia menyembunyikan keresahan-keresahannya selama ini? Bukankah karena takut akan kehilangan Satya? Takut jika kelak bom waktu benar-benar meledak, dia tidak bisa mengendalikan diri dan membuat keputusan gila, lalu berakhir dengan melepas lelaki ini.

Maka, yang dia lakukan adalah meledakkan bom itu satu per satu di dalam dirinya. Memendamnya sendiri. Sehingga dia tidak perlu melukai Satya.

Apakah memang begitu?

Atau karena alasan lain, seperti tidak ingin mendengar kenyataan kalau Satya memang mencintai Rayya.

Apa yang sebenarnya Kana inginkan?

"Aku minta maaf, Kana." Satya tahu jika percakapan mereka kembali menemui jalan buntu. Tapi dia juga tidak bisa memaksa Kana untuk bicara. "Aku bentak kamu di depan Rayya. Aku terkesan membela dia. Yang perlu kamu tahu, aku nggak meluk dia dengan tujuan apa pun."

"Kamu mau kita gimana?" Kana mengabaikan kalimat penyesalan Satya. Dia tidak ingin dengar penjelasan apa pun, sulit untuk percaya. Maka dia hanya perlu melakukan seperti yang sudah-sudah, mengembalikan ke lelaki ini. Karena dia tahu, Satya tidak akan menceraikannya. Lelaki ini takut membuat kecewa banyak orang.

Reza komat-kamit merapal doa. Dia sungguh benci harus diam di saat ingin sekali merajam dua orang ini.

"Memperbaiki semuanya. Dari awal."

"Kamu yakin berhasil?"

"Kalau kamu ragu nggak apa-apa. Tapi jangan pernah berpikir untuk pergi."

"Siapa yang mau pergi?" Satu suara tiba-tiba bergabung di ruang tengah.

Kana dan Satya sontak terperanjat dan menoleh kaget. Reza cepat menurunkan kaki dari sofa. Nyaris melompat untuk menyalami mama Kana yang tahu-tahu sudah berdiri di pintu penghubung.

Dengan luwes, Reza memecah kebekuan lebih dulu. "Eh, Tante Cantik. Apa kabar? Kana bilang Tante nemenin si Om perjalanan dinas. Udah pulang ya? Si Om mana kok Tante sendirian?"

"Kabar baik, Reza. Iya, Tante sengaja pulang lebih dulu. Mbok Jum tadi siang telepon katanya Kana pulang sendirian ke sini sejak kemarin."

Kana memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Sebelum akhirnya menatap mamanya lagi. "Maaf, Ma, aku pulang nggak bilang-bilang."

Satya berdiri, mencium tangan Mama dan memeluknya. Mama mengusap punggung sambil bertanya. "Sehat-sehat kan, Satya?"

"Sehat, Ma." Melepas pelukan. "Mama jadi periksa waktu itu?"

Kana bingung. "Emang Mama sakit apa?"

Satya mengajak Mama duduk. Reza mencibir Kana yang tidak tahu apa-apa.

"Cuma sakit gigi, nggak usah panik. Sudah sembuh lama kok." Tidak ingin membahas panjang, lalu cepat beralih ke menantu kesayangan. "Kamu sama Reza baru sampai ya? Sudah makan?"

Satya dan Reza saling tatap.

Mama baru sadar ketika melihat meja di ruang tengah itu kosong. "Eh ini gimana kamu, Na, kok suami nggak dibikinkan minum? Harusnya kamu juga buatkan makanan."

Baru juga duduk lima detik, itu pun sambil ngomel, Mama kembali berdiri tanpa bisa dicegah oleh Satya. Beliau melangkah ke dapur. Membuka kulkas, sibuk mengeluarkan bahan-bahan dari sana.

Kana tidak punya pilihan selain ikut berdiri. Melangkah malas ke dapur. Mama menyingsingkan lengan baju hingga siku, kemudian merendam daging beku dan mulai mencuci sayur.

"Mbok Jum izin pulang siang, Ma. Katanya mau jenguk ponakan."

"Iya, tadi sudah bilang lewat telepon. Sekalian ngadu kalau kamu pulang sendirian." Tanpa menghentikan gerakan tangannya yang detail membersihkan sayuran. Sengaja sekali menekankan pada kalimat 'sendirian'.

"Emang nggak wajar kalau aku pulang sendiri ke sini, Ma?"

Mama meniriskan sayuran, beralih mengambil panci di kabinet bawah. Sedikit menoleh ke Satya yang sepertinya mencoba tidur di sofa ruang tengah. Sebelum akhirnya kembali ke anak perempuannya. "Kalian ada masalah?"

"Nggak."

"Terus kenapa kalian datang sendiri-sendiri?"

"Jadwal kami beda, Ma. Satya itu lebih sibuk dari aku."

Mama mengisi panci dengan air, sambil menunggu, menatap anaknya. Satu tangannya menumpu di tepian kabinet, satunya berkacak pinggang. "Jangan bohongi Mama."

"Aku nggak—" Menghela napas. Percuma mencari alasan.

Mematikan keran, Mama kemudian mengangkat panci dan menaruhnya di atas kompor. "Kalau ada masalah, bicarakan dulu. Jangan lari ke sini meski ini tetap rumahmu. Mama bilang gini karena Mama percaya Satya nggak macam-macam."

Kana terdiam.

"Kamu denger kata Mama?"

"Jadi aku yang macam-macam?"

"Kamu kalau nggak bantu Mama masak, mending bangunkan suami kamu, ajak pindah ke kamar. Biar tidurnya nyaman. Mama masaknya masih lama. Suamimu lebih butuh tidur ternyata."

Kana lalu menoleh ke ruang tengah. Satya sudah tertidur, pulas sepertinya. Sadar tidak bisa banyak membantah, Kana menurut. Dia melangkah ke sana.

Berdiri di samping sofa, Kana memperhatikan wajah tertidur Satya beberapa saat. Baru sadar kalau Satya memang terlihat lelah. Tidurnya nyenyak. Kana jadi tidak tega mau membangunkan. Akhirnya berkata lirih ke Reza. "Lo aja deh, Ja, yang bangunin."

"Sedih juga kan lo lihat dia capek kayak gitu." Reza tahu tanpa Kana bilang langsung. "Makanya nggak usahlah bikin ribet. Lo cukup percaya aja sama dia. Kalau sampai dia berani selingkuh, gue yang bakal penggal kepala dia duluan."

Kana mengumpat tanpa suara dan Reza melihat gerakan bibir itu. "Gue sadar tempat. Makanya gue pelan ngomongnya. Gue juga sayang sama emak lo kok."

***


Aku mau slow down baby aja sama cerita ini 🤣

Tapi gak tau kalau di tengah perjalanan jiwa maso kambuh lagi 😂🤭

Rabu/06.01.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top