Chapter 16

SYML—Where is My Love

Gak pernah bosen sama lagu ituuuu~

Kalo kuotamu melimpah, boleh sambil diputer mulmednya. Biar makin meresappp wkwkwkwk

Happy reading! Semoga tydac oleng! 😂

—————————

Lala menahan lengan Kana yang terjulur untuk menekan tombol lift. Mereka masih ada di basemen. Siapa tahu Kana berubah pikiran dan mereka bisa pulang dengan tenang. Lala tahu Kana luar biasa lelah. Tidak perlu ada drama macam-macam.

Menepis pelan tangan sahabatnya, Kana tetap pada pendiriannya. Menekan tombol. Lift terbuka di detik berikutnya. Lala tidak punya pilihan lain selain ikut masuk ke dalam lift, meski perasaannya was-was. Sayangnya Kana bukan seseorang yang mudah dibujuk.

"Na ...." Lala menoleh ke Kana yang menatap nanar pintu lift.

Kana menggigit bibir. Dia bisa berbalik saat ini juga, sebelum lift berhenti di lantai yang dia tuju. Demi hatinya yang sudah retak di sana-sini, dia tidak perlu menambahinya dengan retakan baru. Dia sungguh bisa berbalik, belum terlambat.

"Kalau seandainya gue sama Satya mesti pisah, ya udah." Kana menjawab tatapan cemas yang sejak tadi ditujukan padanya. "Jalan kami memang sampai di sini aja."

Lala terdiam.

"Iya kan, La?" Kana seakan mencari dukungan. "Gue nggak bisa lagi menghalangi kebahagiaan mereka."

Lift berhenti di lantai duabelas. Pintunya membuka ke kedua sisi.

Ketakutan-ketukatan itu menjadi nyata. Kana membeku di tempat. Pias.

Satya memeluk erat Rayya.

Lalu kalimat yang keluar dari Satya di detik berikutnya meremas habis hati Kana.

"Kamu tahu, Ya, aku tetap sayang kamu."

Lala tahu jika dia harus menekan tombol lift agar pintunya menutup, lalu menenangkan Kana dengan segala upaya yang dia miliki. Menghadapi kemarahan Kana. Tapi separuh hatinya yang lain, berkata sebaliknya. Kana harus menghadapi apa yang harus dia hadapi. Sesakit apa pun.

Maka, ketika Kana melangkah meninggalkan lift, Lala tidak berusaha mencegah.

Tidak ada yang tahu bagaimana Kana berusaha tetap melangkah di saat dirinya hanya ingin luruh ke lantai dan menangis kencang. Hatinya kian meradang. Tangis sudah menggelayut di ujung mata. Kemarahan menelan habis rasa sabar. Sampai benar-benar tidak ada yang tersisa selain keinginan untuk membunuh perempuan itu.

Mendengar langkah yang mendekat, Satya sontak melepas pelukan Rayya. Terkesiap melihat Kana ada di sana, dengan tatap terluka mendekat ke arahnya. Ketika hanya tinggal tiga langkah, secara refleks Satya berdiri menghalangi Rayya. Melindungi.

Tidak tahukah Satya jika hal sesederhana itu semakin menyakiti istrinya?

Langkah Kana terhenti. Dia tersenyum getir dengan tangis yang mati-matian ditahan. Bertanya tidak percaya. "Kamu ngelindungin dia?"

"Na, yang kamu dengar dan lihat, hanya salah paham." Satya segera sadar jika Kana mungkin mendengar kalimat yang terakhir dia ucapkan. Diperburuk dengan Kana yang melihat mereka berpelukan.

"Buat apa dijelasin?"

Satya melangkah maju. "Aku jelaskan di rumah ya. Kita pulang sekarang—"

"BUAT APA AKU TANYA!"

Meski sempat terhenti, Satya tetap melangkah ke istrinya. Dia tahu situasinya memang salah. Kana mendengar kalimat terakhirnya dan dalam keadaan dirinya memeluk Rayya. Sesuatu yang memang mudah ditangkap dan diartikan sebagaimana yang Kana pahami sekarang.

Satya melihat kemarahan nyata dalam binar mata Kana. Wajah cantik itu memerah dan menggurat kecewa. Air mata kemudian meleleh di pipi. Berkejaran. Satya berniat untuk menyeka tapi tangannya ditepis kasar.

"Pukul aku, Na." Satya tidak menghindari sorot tajam itu. "Pukul aku sepuas kamu. Tapi jangan nangis."

Kana mengepalkan erat-erat tangan di sisi tubuh. Tatapannya beralih ke Rayya yang berdiri beberapa langkah di belakang Satya dengan senyum mengejek.

Mendengkus dengan tatapan jijik. "Hidup lo nggak lebih dari sampah, Rayya."

"KANA!" Satya refleks meninggikan suaranya, tanpa sadar.

"Kenapa? Aku salah? Bukannya dia memang sampah?!"

"Kamu nggak seharusnya bilang itu!"

"Lantas aku harus bilang apa? Perempuan murahan? Kebagusan buat dia—"

"KANA!!!"

Demi membela perempuan itu, Satya bahkan membentaknya dua kali. Kana tersenyum miris di sela air mata sialan yang kembali menetes. "Kamu seharusnya bela istri kamu, Sat!"

"Aku nggak bela siapa-siapa!"

"Kamu mau bilang kalau semua salah aku? Salah karena aku harus muncul dan ngerusak momen kalian?!"

"Nggak gitu, Kana." Satya menekan suaranya.

"Terus apa? Kamu bentak aku demi bela dia." Suara Kana bergetar. "Aku sama sekali nggak penting buat kamu ya? Harusnya kamu bilang itu sejak awal. Nggak perlu sejauh ini. Kamu pikir aku nggak punya hati? Sakit, Satya. Sakit lihat kamu begini."

Satya tidak menyanggah lagi. Dia biarkan Kana mengatur napas, menghalau air mata dengan bahu yang sedikit berguncang. Satu tangannya yang hendak mengusap bahu itu hanya menyentuh udara kosong. Kana memilih mundur. Menghindari sentuhannya.

Tatapan terluka itu membunuh Satya di tempat. Seakan belum cukup, kalimat yang terucap dari bibir Kana membuatnya sempurna luluh lantak.

"I'm done, Sat. I'm so done."

***

Perjalanan pulang menjadi hal yang berat bagi Lala. Hujan turun dan mereka terjebak di kemacetan yang mengular karena papan reklame yang ambruk ke badan jalan. Sementara Lala mati-matian menahan mulutnya agar diam. Berpikir jika membiarkan Kana menangis adalah yang terbaik saat ini. Lagi pula sulit bagi Lala untuk memberi argumen setelah apa yang ikut dia saksikan.

Selama ini Lala mungkin keliru. Dia memandang permasalahan Kana dan Satya dari sudut pandang miliknya. Menganggap jika hubungan mereka hanya perlu komunikasi yang baik. Lala melupakan bagian jika dia di posisi Kana mungkin akan melakukan hal yang sama, atau malah lebih runyam lagi. Dia tidak akan menahan diri sejak awal.

Lala akhirnya menoleh. Menatap sedih sahabatnya yang membuang wajah ke jendela dan menangis diam-diam. Lala menyalakan radio. Entah lagu random mana yang sedang terputar saat ini. Yang jelas cukup bagi Kana untuk menyuarakan tangisnya. Dan Lala kembali ke depan. Kali ini membiarkan Kana menangis sendiri.

Kemacetan perlahan terurai. Lala membiarkan radio tetap menyala, memutar lagu berikutnya. Sementara dia melajukan mobil. Menghela napas tertahan mendengar isakan Kana yang semakin dalam.

Mungkin, sudah tiba bagi Kana untuk menyerah.

Kana mengusap pipi. Menghentikan tangis di sana. Lagu kesekian sudah terputar. Sebentar lagi akan sampai di rumah. Dia mulai memetakan pikiran. Mengambil beberapa keputusan.

Dia ingin bersikap egois. "Gue pengin istirahat, La."

"Iya. Tentu."

"Kasih gue waktu."

"Oke. Berapa pun lo mau, gue usahain."

Kana akhirnya menoleh. Menyadari jika Lala yang selalu ada di sampingnya, terlepas pekerjaan yang mengikat mereka. Lala melakukan bagiannya dengan baik. Entah sebagai manajer atau pun sahabat.

"La ... sorry ya."

"Ha?" Lala menoleh bingung.

"Gue banyak ngerepotin."

Kembali ke depan, dengan satu tangan menepuk-nepuk bahu Kana. "Lewatin badainya. Gue tunggu di seberang ya."

***

"Kana pulang ke Solo. Dia butuh waktu, Sat. Dia nitip pesen ke gue, untuk jangan coba dihubungi dulu."

"Sampai kapan?"

"Gue juga nggak tahu."

Satya tidak bisa menghubungi Kana. Dia tidak perlu bertanya lebih jauh tentang alasan Kana. Beruntung Lala sudi mengangkat teleponnya, meski jawaban yang harus dia dengar membuatnya mencelos.

Memutar arah, Satya memacu lebih cepat mobilnya menuju bandara. Memotong jalan. Mendapat hujanan klakson. Satya kalap dan putus asa.

Perjalanan terasa panjang dan melelahkan untuknya. Semakin dia menambah kecepatan, rasanya dia hanya bergerak mundur.

Pun ketika tiba di bandara, langkah lebar yang dia ambil terasa pendek. Matanya mengedar dengan awas. Mencari keberadaan istrinya di antara lalu-lalang.

Tidak ada.

Matanya kemudian terhenti di layar monitor besar. Meneliti jadwal penerbangan.

Satya tergugu pias.

Di antara banyak penyesalan dalam hidupnya, kali ini salah satu yang menyakitkan.

Satya menyetir pulang dengan membawa hatinya yang berlubang. Melamun sepanjang jalan. Kembali mendapat hujanan klakson. Bahkan ketika terhenti di lampu merah, dia tercenung lama. Membuat orang tidak lagi menekan klakson, melainkan membuka jendela dan meneriakinya.

Hujan kembali turun. Satya melanjutkan perjalanan ke rumah yang terasa berkali lipat jauhnya. Toh, dia hanya akan menemui ruang kosong di sana. Tidak ada Kana yang menunggu. Tidak ada apa pun selain kehilangan.

***

"Sat, aku boleh tanya sesuatu?"

Sudah lewat tengah malam. Sepulang dari pergelaran fashion show, Kana kabur dari Lala dan memilih pulang diantar Satya. Lelaki itu, di tengah padatnya jadwal, menyempatkan datang. Ini memang bukan yang pertama. Tapi Kana selalu tersentuh dengan bentuk dukungan yang diberi Satya.

Belum lama sejak mereka dekat setelah terlibat dalam proyek bersama, menjadi BA salah satu brand smartphone. Awalnya hanya sebatas chat biasa. Mereka sama-sama sibuk, jarang bisa bertemu untuk mengobrol hal-hal remeh. Namun karena sering terlibat rangkaian acara produk tersebut, keduanya mulai merasa nyaman.

Lalu semuanya berjalan begitu saja.

"Mau tanya apa?"

Mereka mampir ke warung burjo. Satya lapar katanya. Tentu saja Satya dikenali dan sempat dimintai foto bersama oleh beberapa pengunjung burjo. Pengamen yang datang silih berganti bahkan sengaja menyanyikan lagu Satya. Membuat sang empu lagu tertawa renyah dan tak segan mengeluarkan dompet. Memberi beberapa lembar yang disambut dengan ucapan terima kasih berkali-kali.

"Eh, sorry sorry. Mau tanya apa tadi?" Satya kembali ke Kana, setelah pengamen ketiga berlalu dari meja mereka. Satya tidak keberatan meski setiap hendak menyuap makanan selalu diinterupsi oleh pengamen yang mendekat.

Tatapan Kana tidak terbaca. Tapi hatinya sudah. Hatinya tahu apa yang harus dia lakukan. "Selain aku, kamu sedang dekat dengan siapa?"

"Perempuan?"

Kana mengangguk.

"Aku punya sahabat perempuan."

"Oke." Kana pun tahu siapa. "Rayya."

Satya tersenyum. "Kenapa memangnya?"

"Aku pengin punya suami kayak kamu."

Satya meletakkan sendok. Mengalihkan seluruh perhatian hanya untuk perempuan yang duduk di hadapannya. "Na, mau dengar satu kalimat klise nggak?"

"Apa?"

"Aku nggak sesempurna yang kamu kira."

"Manusia punya dua sisi itu, Sat. Kelebihan dan kekurangan."

"Iya. Tapi nggak mudah untuk ada di dekatku."

"Kamu meragukan aku ya?"

"Bukan meragukan kamu. Tapi ini keputusan yang nggak boleh kamu sesali nantinya."

"Hubungan kita berhasil sejauh ini." Kana mengangkat bahu.

Satya mengangguk. Tersenyum.

"Jadi gimana?" Kana gemas karena lelaki itu hanya mengulum senyum. "Aku ditolak ya?"

"Kamu ngumpulin keberanian buat ngomong kayak tadi berapa lama?"

"Nggak ada semenit kok."

"Eh?"

"Terdengar gila ya?"

"Nggak gila. Cuma sedikit lucu."

"Aku serius kok." Kana hanya tidak mengatakan bagian dia jatuh hati dengan hal-hal kecil yang lelaki itu lakukan. Bukan hanya ke dirinya, tapi ke orang lain. Hal-hal yang mungkin orang lain anggap biasa saja, tapi bagi Kana sangat mengagumkan.

Satya sedikit meneleng, menatap perempuan di hadapannya dalam-dalam. Suara berisik di sekitarnya seperti teredam dan dia hanya bisa melihat Kana seorang. Seharusnya ini menjadi bagiannya; meminta perempuan ini untuk menetap selamanya. Tapi hatinya tetap membuncah. Kana memercayainya. Kana bahkan ingin menjadi istrinya.

"Aku udah cerita soal Indi?" Satya bertanya random.

"Ya."

"Aku gagal jadi kakak, Na."

"Apa perkara Indi yang bikin kesalahan lantas semuanya jadi salah kamu?"

"Aku ikut bertanggung jawab buat jagain dia."

"Nggak semua hal berjalan sesuai ingin kita, Sat. Dari cerita kamu, aku tahu kamu kakak yang baik. Kalau pun di tengah perjalanan ada hal yang terjadi di luar kuasa kita, anggap aja hal itu harus terjadi supaya kita bisa belajar. Jangan dikira kita harus nyerah."

Satya tersenyum. Kana melanjutkan. "Kamu pasti pernah dengar kalau hidup itu sepuluh persen apa yang datang ke kita, dan sembilan puluh persen bagaimana reaksi kita."

"Makasih, Na."

"Ayolah, aku nunggu jawaban selain itu." Kana mendecak, pura-pura kesal.

"Seperti yang kamu bilang barusan. Kalau pun di tengah perjalanan ada hal yang terjadi di luar kuasa kita, anggap aja hal itu harus terjadi supaya kita bisa belajar. Jangan dikira kita harus nyerah. Aku setuju."

"Lalu?"

"Kapan aku mesti datang ke rumah keluarga kamu?"

***

Kana tahu jika pipinya kembali basah. Dia sudah lelah mengusapnya. Pemandangan di luar jendela pesawat yang indah sama sekali tidak membantu. Justru menghadirkan satu kenangan yang tidak ingin Kana ingat saat ini.

Dia memilih lari dan membiarkan hatinya tidak mendengar alasan yang pantas. Membungkam hati, alih-alih menunggu Satya pulang bersama penjelasan-penjelasan yang akan membuat Kana tenang.

Tapi bagaimanalah, sebanyak apa penjelasan yang dibutuhkan hatinya? Apakah Satya bisa memberi sebanyak yang Kana inginkan? Sementara hati lelaki itu bukan miliknya, entah mulai kapan. Atau barangkali sejak awal. Satya hanya terpaksa menerima ajakannya menikah. Merasa tidak enak hati menolak.

Seperti yang banyak orang tahu, Satya terlalu baik. Sampai-sampai Kana tidak tahu, semua sikap lelaki itu padanya selama ini hanya sebatas kewajiban sesama manusia atau karena mencintainya.

Untuk kemungkinan yang kedua, jelas Kana ragu. Kenyataan sudah menamparnya telak. Menginjak habis harga dirinya. Mendorongnya mundur.

Dan Kana tiba di bagian yang paling menyakitkan.

Sekeras apa pun dia mencoba, dia tidak pernah sebanding dengan Rayya dalam hidup Satya.

***


Konfliknya mayan berat, makanya aku susah lanjut *salah sendiri* hahahahaha.

Tadinya ada niatan mindah cerita ini ke KBM, tapi aku urungkan. Mau lempar ke Cabaca jg ragu, takut kena hujat karena cerita ini berat. Apalagi bacanya mesti bayar 😂 eh, tp gak tau ding, siapa tau suatu hari nanti cerita ini bakal mejeng di Cabaca. Who knows 😆

Cerita ini menang voting kemarin. Banyak yg nungguin ternyata ketimbang cerita Mas Mantan 😂

Buat yg voting Mas Mantan kemarin, sabar aja ya. Tunggu kejutan updatenya, tp gak sekarang 😆

As always. Makasih ya dukungannya. Sayang kalian! ♥

Minggu/11.10.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top