Chapter 15

Setelah dua minggu, halooooo~~~~

Makasih yg udah sabar nungguin ♥

Aku gak tau kalian bakal ambyar apa gak. Semoga gak 😂

————————

Seiring dengan sorot tegas di antara hunjam blitz dan spotlights—yang pada awalnya memedihkan mataKana sebenarnya meradang. Hatinya risau karena pesan sialan yang masuk ke ponselnya beberapa menit sebelum dia bersiap tampil. Ingin lari ke toilet dan mengumpat pada dinding, sudah tidak ada waktu. Dia hanya bisa mengatur napas dan mengepalkan kedua tangan yang berkeringat di sisi tubuh.

Kana berbalik dengan mulus di step-turn. Namun, langkah kedua, dia nyaris tersandung kakinya sendiri. Beruntung tidak sampai tersungkur. Dia meneruskan langkah, sambil sudut matanya mencari keberadaan suaminya di antara para tamu dan penonton.

Tidak ada. Satya tidak datang. Dan entah bagaimana, dia kecewa.

"Lo hampir jatuh tadi, kaki lo nggak apa-apa?" Lala membagi konsentrasi, antara menyetir dan mencemaskan Kana yang mendadak jadi pendiam. Ucup sakit dan yang harus menyetir. "Takutnya ada yang salah urat. Mau mampir ke klinik?"

Kana hanya menggeleng. Semakin membuat Lala yakin jika ada sesuatu. "Gue nggak masalahin human error atau lantainya, tapi kesehatan mental lo, Na."

Kalimat itu mengusik Kana. "Emang mental gue kenapa?"

Lala menggigit bibir, menimbang apakah bisa dia katakan sekarang atau tunggu hingga mereka sampai di rumah. Tapi, sekarang atau nanti apa bedanya?

"Na, kalau lo benci Satya yang nggak datang, harusnya lo bilang ke dia buat datang. Lo jujur aja kalau butuh support dia. Apa susahnya sih? Lo gengsi? Buat apa? Hubungan kalian tuh berkembang aneh banget, tahu. Orang-orang sekitar tahu kalau kalian saling mencintai, tapi makin ke sini kami juga sadar, kalian sebenernya bego dalam komunikasi." Lala memuntahkan semuanya biar tidak mengganjal di hati. Dia tidak bermaksud mempermasalah kesalahan Kana saat tampil tadi. Sama sekali bukan berniat mencari-cari alasan untuk mengomeli Kana.

Kana hanya diam, menatap pantulan dirinya sendiri di jendela dengan nanar. Dia mendengarkan, hanya tidak memberi reaksi apa pun. Berkedip saja tidak. Badai sedang mengamuk di hatinya, dan dia kewalahan.

"Satya juga saatnya tahu kalau lo kasih support ke dia. Setiap dia ngeluarin album, lo selalu beli ribuan keping, yang kemudian lo bagi gratis ke orang-orang. Lo yang selalu kirim makanan tiap dia syuting video klip, yang saking gengsinya, pake atas nama fans. Bahkan macbook lo isinya semua video konser dia. Jadi, stop, Kana. Nggak capek apa?" Lala seperti memohon. Dia hanya frustrasi melihat Kana seperti ini. Banyak diam dan hanya dipendam. Lantas kapan masalah akan selesai?

Tidak sadarkah Kana jika dirinya sedang menimbun bom waktu?

"Kalau dia tahu? Terus apa?" Kana membalas dingin, akhirnya buka suara. "Dia makin cinta, hm? Bakal milih gue daripada Rayya?"

Oke, ini perkara Rayya. Lala sudah bisa menebak sejak awal. "Kenapa lagi? Iya, gue tahu, soal video mereka ciuman di panggung udah terlupakan. Banyak skandal artis yang bikin masalah itu tenggelam. Nggak lantas berlaku hal sama buat lo. Video itu tetap menyakitkan. Tapi coba dipikir lagi, itu yang nyium Rayya, Na, bukan Satya."

Kana menyeringai. Percuma, Lala tidak mengerti. "Soal siapa yang nyium, apa bedanya? Kalau mereka sama-sama ada rasa."

"Oke, kalau lo mikirnya gitu, kenapa nggak coba pulang dan bicara berdua?" Lala melunak. Dia tidak akan mencak-mencak dengan posisi mengemudi begini. "Yuk. Pulang. Kalian bicara. Apa pun itu, apa pun, baik buruk. Bicarain semua. Kalau kalian butuh gue atau Reza buat jadi penengah, kami siap."

Kana masih bergeming. Mengabaikan ucapan Lala. "Dari awal, gue seharusnya nggak jatuh cinta ke dia. Gue nggak usah sok pengin jadi istri dia."

"Tapi kenyataannya lo jatuh sedalam-dalamnya. Bahkan sebenarnya lo ingin mati-matian mempertahankan Satya. Cuma nyali lo kecil, Na. Lo takut kalau Satya ternyata cinta ke Rayya dan lo sakit sendiri." Lala menyimpulkan dengan tepat. Dia tahu, kalimatnya akan menyakiti Kana. "Gue tahu lo lagi bangun benteng tinggi-tinggi buat antisipasi. Tapi gimana kalau sebaliknya? Lo sendiri terjebak di sana, entah sampai kapan."

Dengan nada sarkas. "Makasih, La. Lo mengartikan semua sikap gue dengan benar."

"Bukan itu poinnya. Gue cuma mau lo berhenti nyakitin diri sendiri. Ketika hati lo butuh penjelasan, tanya. Lo nggak bisa kasih jawaban ke hati dengan asumsi-asumsi. Emangnya lo bisa baca isi kepala dan hati Satya?"

"Semua sikap manis dia, udah menjawab kalau memang ada yang dia tutupi."

Lala ingin membenturkan kepalanya sendiri ke setir. Sumpah, dia benci jika harus menghadapi Kana yang luar biasa keras kepala. Percuma dia menahan emosi kalau Kana terus mengonfrontasi. "Terus bakal gini terus sampai Rayya sungguhan ngerebut Satya dari lo?"

"Gue yang ngerebut Satya dari dia. Sejak awal."

Lala menekan suaranya agak tidak meninggi. "Tapi Satya pilih lo, Kana."

Tetap keras kepala. "Saat itu, dia belum sadar siapa yang sebenarnya dia cintai."

"Lo ada bukti Satya cinta Rayya?"

Kana menoleh, sudut bibirnya membentuk seringai. "Lo mau bukti?"

Sepersekian detik, ketika Lala hendak menginjak pedal rem di lampu merah, Kana justru meraih setir dan memutarnya ke kiri. Bukan menuju rumah, melainkan ke arah lain. Lala nyaris jantungan dengan gerakan Kana yang tiba-tiba.

"Kita mau ke mana?!"

"Jalan aja."

"Na—"

"Lo katanya mau bukti, gue kasih."

Satu tangan Lala bergerak ke rambutnya sendiri, menjambak putus asa. Dia tidak tahu drama apa yang akan menantinya.

***

Sat, bisa ketemu sebentar? Sblm aku balik ke Filipina bsk pagi. Ada hal penting.

Satu pesan yang membuat Satya berpikir lama. Sudah separuh jalan menuju venue peragaan busana Kana. Istrinya memang menyuruhnya untuk tidak datang. Tapi berhubung dia longgar, dia tetap ingin datang.

Maka Satya menepikan mobil. Sepuluh menit sebelum acara Kana dimulai—jika acara berjalan sesuai dengan jawaban Lala tadi.

Pesan kedua masuk.

Ini tentang Kana.

Satya memutuskan. Tanpa membalas pesan. Dia menyalakan mesin mobil. Menuju apartemen Rayya. Hanya sebentar. Dia bisa tetap datang untuk menonton Kana.

Segala hal tentang Rayya tidak pernah asing baginya. Seperti halnya jalan menuju gedung apartemen itu. Tempat parkir yang selalu dia tempati. Dinding lift yang rasanya tetap sama. Meski sudah setahun lebih dia berhenti mengunjungi tempat ini.

Cat di dinding juga masih sama. Biru laut. Warna favorit Rayya. Seolah pengelola gedung tahu warna favorit salah satu penghuninya. Warna yang sempat menjadi kesukaan Satya. Menular begitu saja.

Satya mencoba memasukkan kata sandi yang merupakan kombinasi angka kelahirannya. Pintu berbunyi. Terbuka. Dan Satya sempat tercengang sesaat. Dia spontan saja memasukkan kata sandi, alih-alih mengetuk pintu.

Begitu juga dengan Rayya yang menoleh, meninggalkan jendela yang dia tatap lama. Sedikit terkejut melihat siapa yang datang—karena pesannya tidak dibalas, dia sempat ragu. Meski di sisi lain, dia yakin lelaki itu pasti datang.

Sempurna berbalik dan membelakangi jendela, Rayya tersenyum menyambut Satya. "Kamu nggak pernah balas semua chatku, tapi kamu datang begitu aku sebut satu nama."

Satya menutup pintu di belakangnya. Melangkah ke sofa dan duduk. Dia tidak sibuk memperhatikan sekitar, karena hanya sekali lihat saja, dia tahu jika tempat ini tidak banyak berubah. Semua benda masih berada di tempatnya.

"Aku datang karena kamu bawa nama Kana." Satya membenarkan, lalu menunjuk sofa di hadapannya dengan dagu. "Waktuku nggak banyak, Ya. Kamu sebaiknya duduk dan mulai bicara."

Rayya meninggalkan jendela dan duduk seperti yang diminta Satya. "Kamu mau aku mulai dari mana?"

Dijawab cepat. "Kana."

"Kamu egois, Sat."

"Aku memang datang untuk itu, Ya."

"Aku yakin kamu nggak ingin dengar bagian Kana. Kita bisa bicara hal lain lebih dulu."

Satya menghela napas. "Bicara apa?"

"Tentang kita."

"Kenapa dengan kita?"

"Masih belum terlambat untuk kamu menyadari semuanya, Sat."

Satya benar-benar tidak mengerti. "Menyadari apa?"

"Perasaan kamu."

Satya mengajukan pertanyaan yang selama ini timbul-tenggelam di hatinya. "Aku di matamu seperti apa, Ya?"

Menelengkan kepala, menjawab yakin. "Seseorang yang seharusnya ada di sampingku."

"Aku di sampingmu, Ya. Bahkan setelah aku punya Kana. Aku berusaha untuk tetap di sampingmu."

Menggeleng. Menyangkal kalimat Satya. "Tapi Kana mengambil lebih banyak. Kamu bukan Satya yang aku kenal dulu."

"Aku punya istri yang harus aku jadikan prioritas, Ya." Satya lelah harus mengatakan hal ini berulang. Terdengar seperti dia mengemis pengertian dari perempuan ini. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu dia lakukan.

Rayya tersenyum tipis, kontras dengan air mata yang menggenang. "Lalu aku jadi prioritas siapa?"

"Diri kamu sendiri. Mulai semuanya dari diri kamu sendiri, Ya."

Menyeka pipi dengan cepat saat sadar ada yang merambat turun. "Aku bisa jadi Kana untuk kamu. Bahkan, aku bisa jauh lebih baik."

Satya, untuk yang kesekian kali, menekan habis gemuruh hatinya. "Rayya, udah. Kamu bisa berhenti sekarang. Sekali lagi kamu begini, mungkin aku nggak bisa menolerir lagi."

Rayya menggigit bibir. Melirik jam di layar ponsel. Menimbang, apakah dia perlu menahan Satya lebih lama di sini atau—

"Aku pamit." Satya tiba-tiba berdiri. "Safe flight untuk besok."

Rayya ikut berdiri. Mengejar langkah Satya hingga ke pintu. Dia ingin menahan lelaki itu lebih lama sebelum jarak dan waktu membentang lagi untuk mereka.

Maka, Rayya mencekal lengan Satya persis satu langkah di luar pintu. Satya mungkin menganggap jika nama Kana hanya Rayya gunakan sebagai alasan agar Satya mau datang, tak lebih dari itu. Padahal tidak. Rayya ingin lelaki ini tahu jika Kana mungkin sudah membenci suaminya.

Rayya mengulur waktu. "Oke. Aku bakal berhenti, seperti yang kamu mau."

Satya berbalik, mencoba membaca binar mata di hadapannya. Mencari kejujuran di sana. Beberapa saat.

Dan tidak ada. Dia tidak menemukan apa-apa, selain obsesi.

Menyadari jika Satya ragu, Rayya menggamit lengan itu. "Kamu harus percaya sama aku, Sat."

Sulit untuk berkata iya saat ini, sementara dia tahu jika Rayya tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu. Tapi entah bagaimana, dia mengangguk, di saat hatinya semakin meragu dan percaya jika Rayya tidak akan berubah pikiran secepat ini.

Rayya memanfaatkan kelengahan Satya untuk bergerak maju dan memeluk—tanpa sempat lelaki itu bisa menghindar. Pun saat Satya berusaha mundur, Rayya justru mengeratkan lingkaran lengannya.

"Bentar aja, Sat. Mau ngomong sesuatu sebelum besok aku pergi."

Satya berhenti dan akhirnya coba mendengarkan apa yang ingin Rayya katakan.

"Aku boleh jujur, 'kan?" Bertanya retoris. Di bahu itu, Rayya mulai mengadu. "Sat ... aku hancur ketika kamu mencintai seseorang, selain aku. Aku sering bermimpi menggantikan posisi Kana. Bahkan, aku rela hidup sebagai Kana, asal bisa di samping kamu. Aku tahu, aku mungkin terlalu terobsesi sama kamu. Orang lain kalau di posisiku bakal sama, mereka nggak bisa melepas seseorang yang dijadikan alasan untuk menjalani hidup."

Tangan Satya menepuk-nepuk punggung Rayya. Tanpa berkata sepatah kata. Membiarkan perempuan ini mengeluarkan isi hati.

"Kamu tahu dan lihat sendiri, aku hidup di lingkungan seperti apa. Isinya orang-orang sampah. Aku nggak pernah tahu tujuan hidup buat apa, karena nggak ada yang ngajarin itu. Tapi karena ada kamu, aku jadi ngerti. Aku menemukan alasan buat terus hidup dan jadi Rayya yang baik buat kamu." Mulai tercekat, tapi masih banyak yang ingin Rayya katakan.

"Aku sayang kamu, Satya. Tapi sisi egoisku nggak ingin lihat kamu bahagia karena perempuan lain. Aku ingin hanya aku yang jadi alasan kamu bahagia. Seperti sebelum Kana datang. Aku jadi salah satu yang kamu cari kalau kamu sedih."

"Kamu tahu, Ya, aku tetap sayang kamu."

Rayya tersenyum. Sudut matanya menangkap pintu lift yang sudah terbuka. Lantas, perlahan, senyum Rayya berubah seringai melihat perempuan itu membeku di sana.

***

Aftertaste update besok malam yaa. Menemani malam minggu yg selalu kelabu 😳

Jumat/11.09.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top