Chapter 14
On mulmed: Sia--Chandelier (covered by Brooklyn Duo)
------
Satya memperhatikan Satrya yang terlelap, terlihat sangat menggemaskan. Selepas pulang dari Purwakarta, dia memang mampir ke rumah Mama. Sudah mandi, dan segera menemui keponakan barunya. Indi baru saja keluar kamar untuk makan, jadi Satya sementara menemani Satrya.
Satya berkata lirih. "Baby Boy, cepet gede ya. Biar bisa main sama Om. Oh iya, kamu jangan kaget. Kamu punya dua kakak cantik yang rusuh banget. Kamu mesti tabah ya nanti. Tapi tenang aja, Om bakal ada di pihak kamu."
"Mas nggak makan dulu?" Indi ternyata membawa makan malamnya ke kamar.
"Masih kenyang."
"Itu Mas Reza makan. Memang kalian sempat makan di mana?"
Satya yang semula meletakkan kepala di bantal, ganti menopangnya dengan tangan. Indi duduk di tepian kasur, memangku piring. "Mau aku ambilin, Mas?"
"Beneran masih kenyang, Ndi."
"Oke, aku makan ya."
"Aku kok nggak lihat si Kembar?"
Menjawab setelah menelan kunyahan. "Nginap di rumah eyangnya sejak kemarin malem."
"Aku bawa oleh-oleh buat mereka padahal."
"Oh ya? Mamanya nggak dibeliin?" Dengan nada bercanda.
"Kamu kayaknya lebih suka mentah." Terkekeh. Lalu berubah serius. "Kamu butuh uang, Ndi?"
Indi nyaris tersedak. "Yang dikasih Damar cukup kok, Mas. Aku minta oleh-oleh ya. Bukan duit."
"Ya siapa tahu kamu pengin beli apa, tapi sungkan bilang ke Damar."
"Aku nggak doyan beli-beli."
"Damar beruntung dapet istri nggak ngerti cara ngabisin duit."
"Nantilah aku belajar ke Mbak Kana." Indi lalu menggeleng. Terlalu cepat berubah pikiran. "Duh, tapi jadi wanita karir dulu ya. Terus anak-anakku gimana."
Satya membiarkan adiknya menyelesaikan makan tanpa interupsi lagi. Sementara dirinya sempat tertidur di sebelah Satrya. Reza yang sudah selesai makan, mencari Satya ke kamar, membangunkan. Mengingatkan jika harus pulang.
Mengusap wajah dan duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawa, Satya menatap jam di layar ponsel. Pukul delapan lebih. Dia menggaruk dagu, beralih menatap Reza.
"Udah. Buruan. Lo lupa pelihara medusa di rumah?" Reza menepuk perutnya sendiri. Bersendawa.
Satya membalik tubuh untuk mengecup pipi Satrya sebelum meninggalkan kasur. Saat berjalan ke pintu, Indi muncul di sana. "Beneran mau pulang, Mas? Nggak nginep aja?"
"Aku tadi bilang ke Kana habis magrib sampe rumah. Ini malah udah jam delapan lebih."
"Gue takut kakak lo kena rajam, Ndi."
Mengabaikan Reza, Satya pamit ke adiknya. "Pulang dulu, ya."
Indi memeluk kakaknya. "Beneran bakal dirajam?"
Satya melotot ke Reza. Mengutuk mulut jahanam itu.
Pelukan Indi semakin erat. "Aku nggak mau lihat Mas Satya sedih atau kenapa-kenapa."
Reza menangkupkan kedua tangannya ke dada. Merasa terharu. Serius. Dia tidak diam-diam mencibir. Karena memang kenyataannya begitu. Hubungan Satya dan Indi memang semakin erat setelah tiga tahun lalu Indi, ya, kalian tahulah. MBA.
"Ja, tunggu gue di mobil aja."
Reza mengacungkan jempol. Lekas enyah dari sana tanpa banyak tanya.
"Tadi Mbak Kana jenguk ke sini." Masih belum melepas pelukan. Indi justru menyandarkan separuh wajah di bahu kakaknya dengan nyaman.
"Kalian nggak berantem, 'kan?" Satya hanya memastikan. Dia mengenal istrinya. Kana akan memperlakukan orang sesuai yang sikap orang itu pada Kana. Jika Indi kalem, maka Kana akan menyesuaikan.
Oh kecuali padanya. Kana seperti menjadi diri sendiri. Dan Satya senang dengan hal itu.
Mungkin Satya lupa bagian Kana yang berpura-pura bahagia-yang berusaha Satya sangkal sampai sekarang. Dia tidak ingin memercayai itu.
"Nggak berantem kok."
Mengusap-usap bahu Indi. "Iya, iya. Percaya."
"Mas ingin aku ada di posisi mana?"
Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. "Kenapa tanya begitu?"
Indi berkata hati-hati. "Aku bingung, Mas."
Satya tersenyum. "Kamu cukup berdiri di tempat kamu yang sekarang, Ndi. Kamu punya keluarga. Anak kamu nambah satu. Tugas kamu sebagai ibu udah berat. Belum ditambah tugas utama sebagai istri. Jadi, jangan cemasin aku, Ndi. Masmu ini bakal baik-baik aja."
"Mas selalu bilang gitu. Semua baik-baik aja. Biar apa? Biar semua orang berhenti cemas. Padahal kami selalu bikin Mas cemas. Aku dan Mama nggak suka lihat Mas yang cuma diam. Kali ini aja, Mas, kali ini aja. Kalau memang itu menyakitkan, Mas cukup cerita. Kalau Mas nggak bisa bertahan, cukup lepaskan dan pulang."
"Jika ini soal Kana, kamu seharusnya bilang gitu ke dia, Ndi. Kamu mungkin yang lebih mengerti. Kana nggak nyakitin aku, justru dia yang tersakiti, mesti ada di situasi rumit aku dan Rayya."
"Untuk bisa bahagia, Mas harus melepas salah satu."
Satya tersenyum. Meredam suara-suara yang memenuhi kepala. "Adik Mas udah dewasa sekarang. Jadi terharu dan bangga."
***
Dinding kaca di depannya buram oleh hujan yang turun beberapa menit lalu. Ditumpahkan begitu saja oleh langit yang pekat. Sesekali kilat membuat langit menjadi benderang.
Kana bergeming di sana. Berdiri kaku dengan tatapan kosong. Tapi tidak dengan hati dan kepalanya yang justru riuh. Dia sudah lelah dijejali suara pikiran dan hati yang memaksanya untuk memilih-tetap diam atau muntahkan semuanya.
Di antara semua bujukan, hati kecilnya dengan kurang ajar menyuruhnya bertahan sekali lagi. Mau bertahan sampai kapan? Sampai Kana tidak lagi mengenali hatinya karena sudah dibutakan cinta?
Atau ... obsesi?
Kana belakangan mulai menyadari jika perasaannya pada Satya mungkin hanya sebatas obsesi. Dia saja yang sejak awal salah mengenali. Dia hanya terobsesi untuk memiliki Satya bagaimana pun caranya. Hingga dia berani melangkah lebih dulu. Mengajak lelaki itu menikah.
Mungkinkah begitu? Hati kecilnya tidak percaya. Kalau memang sebatas obsesi, seharusnya tidak akan sesakit ini melihat bagaimana dua orang itu sebenarnya saling memiliki.
Pembenaran itu gagal. Kana gagal mengelabui hati kecilnya. Sialnya, dia memang mencintai Satya.
Tidakkah dia terlihat paling menyedihkan di sini? Dia harus terjebak di antara cinta platonik sialan milik Satya dan Rayya.
Kamu yang datang sendiri, Kana. Hati kecilnya mengejek, setengah mengingatkan. Aku sudah peringatkan sejak awal dan kamu tetap nekat datang.
Suara deru mobil terdengar samar di antara hujan, memutus lamunan Kana. Disusul oleh pintu depan yang terbuka. Kana mencoba tidak terusik. Tetap bertahan di posisinya. Membelakangi ruang tengah dan menatap dinding kaca yang mengaburkan pantulan dirinya.
"Kamu pulang jam berapa, Na? Aku tadi mampir ke rumah Mama, terus ketiduran."
Kana berbalik. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. "Aku udah di rumah sebelum hujan."
"Kamu udah makan?"
Kana mengangguk. Berbohong.
"Belum bisa tidur?"
"Duluan aja. Aku belum ngantuk."
Satu langkah Satya dihentikan Kana. "Aku mau sendiri, Sat."
Beberapa saat, Kana menilai situasi, membaca ekspresi yang muncul di wajah itu. Menatap lamat. Wajah itu menggurat bingung. Bibir Satya terbuka, tapi tak ada satu kalimat yang terlontar. Kana menunggu apa yang hendak lelaki itu katakan.
Bukankah sekarang waktu yang tepat untuk meledakkan bom waktu? Dada Kana sudah sesak. Tapi lagi-lagi hati kecil memintanya untuk bertahan.
Perlahan gurat bingung digantikan oleh sebentuk senyum tanggung. Mengangguk tanpa berkata apa-apa. Satya mundur, lantas melanjutkan langkah menuju lantai dua.
Kepalan tangan Kana terurai seiring punggung Satya yang bergerak menjauh. Tubuhnya sedikit merunduk. Tangannya memegang punggung sofa, mencari pegangan. Meremas erat. Menggigit bibir kuat-kuat.
Kana kalah. Kedua tangannya masih meremas sofa sementara tubuhnya luruh ke lantai tanpa bisa dia cegah lagi. Membungkam isak. Membiarkan air mata berjatuhan. Dia sudah menahannya selama beberapa jam.
Yang mungkin Kana tidak tahu, bahwa punggung itu tidak benar-benar pergi. Dia hanya berbalik, lantas duduk di anak tangga terakhir. Menyaksikan bagaimana Kana membungkam tangis. Berbagai tanya memenuhi kepala. Dia ingin mendekat, memeluk, menenangkan. Apa pun. Agar tangis itu berhenti.
Namun, bagaimanalah Satya akan menenangkan, jika penyebab sakit itu adalah dirinya?
***
Segelas alkohol masih utuh di depannya. Ingar-bingar di belakangnya seperti hanya tiupan angin malam, terabaikan. Sekelilingnya memang ramai, tapi jauh, jauh di dalam pikirannya senyap mulai merayap.
Percuma dia datang ke tempat ini, hanya untuk kemudian pindah melamun. Dia sudah melakukan hal itu di apartemen sepanjang sisa hari. Pikirannya hanya menyuarakan nama Satya berkali-kali. Namun, setiap kali tangannya meraih ponsel, keraguan ikut datang.
Merasa sia-sia, dia meninggalkan selembar uang di meja. Menaikkan tudung hoodie dan memakai masker-dia tidak ingin dikenali-lantas turun dari kursi bar. Melewati manusia-manusia fana yang lari dari kenyataan hidup. Mereka mungkin lupa, begitu musik berhenti dan pagi datang lebih cepat, mereka hanyalah pecundang.
Rayya sadar, dia termasuk satu di antaranya.
Sejak hidup membawakan takdir yang tidak adil padanya, Tuhan berbaik hati menghadirkan Satya. Memberikan kesempatan pada Rayya untuk mengerti arti bahagia. Mengenal sebentuk perasaan yang selalu membuncah di dada. Tapi, lagi-lagi takdir berbuat seenaknya. Takdir menjadikan Satya tidak bisa dimiliki olehnya.
Langkah Rayya terhenti di teras kelab. Mendongak ke langit kelam yang sesekali berpendar dan gemuruh datang. Memedihkan mata dan Rayya tidak berkedip sedikit pun. Seolah dia memang berteman dengan langit pekat itu. Bukankah mereka seperti saling berkaca? Gelap. Pekat. Kelam. Penuh gemuruh.
Seperti halnya Rayya yang mengerti segala jenis rasa sakit. Tidak diinginkan. Kehilangan. Dihakimi. Disingkirkan. Kesepian.
Namun, ketika langit berpendar sekali lagi, ada rasa baru yang menelusup di hati. Atau memang rasa itu sudah di sana sejak lama, hanya saja dia memilih membuang wajah. Menyangkal.
Langit menumpahkan gerimis. Seketika ribut. Orang-orang segera mencari tempat berteduh. Kini Rayya tidak sendirian di teras itu.
Gerimis mulai menderas.
Rayya mengeluarkan ponsel dari saku hoodie. Menekan angka satu. Sedetik setelahnya dia berubah pikiran. Cepat-cepat menekan ikon merah. Dia beralih ke ruang chat. Mengetik beberapa kata.
Satya, are you okay?
***
Agaknya cerita ini akan banting setir ke dark romance. Padahal pengin romance komedi tipis2. Gak jadi uwu uwu deh 😭
Aku berpihak ke siapa?
Satya.
(Plis, jangan disantet akuwh wkwkw)
Rabu/26.08.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top