Chapter 13

Satya bangun lebih awal. Dia tertidur di sofa ruang tengah. Reza pulang semalam. Satya memaksa tubuhnya bangun, mengusap wajah, mencari ponsel dan melihat jam di layar. Reza akan menjemputnya satu jam lagi.

Tidak punya waktu banyak, Satya naik ke kamar. Terhenti setelah membuka pintu. Kasur itu kosong. Mata Satya memindai dan mendapati istrinya berdiri di balkon. Satya menggeleng. Menolak ide untuk mendekat dan lebih memilih melangkah ke lemari. Membawa dua potong baju, melipat sebelum memasukkannya ke ransel hitam. Purwakarta. Jadi hanya membawa seperlunya.

Kana mendengar pintu terbuka dan lelaki itu menyiapkan bajunya untuk dibawa ke konser. Dia dengar, hanya saja memilih bertahan di balkon. Kalau pun menyapa, dia harus bertanya apa. Pulang jam berapa?

"Selepas magrib aku udah sampai rumah."

Eh? Kana menoleh kaget. Barusan suara di kepalanya sungguhan dia ucapkan?! Bego memang.

"Hm?"

Satya ikut bingung. "Kamu tanya barusan."

"Aku nggak tanya."

"Menurut kamu, aku bisa baca isi kepala kamu?"

Kana menggigit bibir. Merutuki diri sendiri. Tapi untungnya Satya tidak menggodanya dan lanjut menata perlengkapan yang hendak dibawa. Kana terus memperhatikan setelah berbalik dan menyandarkan pinggang di pembatas balkon. Lelaki itu tampak cekatan. Seakan memang hafal menaruh barang di mana, sehingga tidak perlu ribut mencari. Salah satu yang Kana sukai dari Satya.

"Kamu fashion show weekend ini?" Satya sepertinya sudah selesai mengepak keperluannya.

"Iya."

"Aku usahakan datang."

"Nggak perlu."

Satya menatap Kana dari tempatnya berdiri. Kana bingung, reaksi lelaki itu terlalu berlebihan, bukan? Berdeham. "Maksudnya, kamu kan ada tour di Jabar. Kalau memang capek dan nggak sempat, nggak apa-apa. Ini cuma fashion show biasa. Kamu udah terlalu sering datang."

Tapi apa? Satya hanya tersenyum dan menjawab. "Aku tetap usahakan datang."

Keras kepala!

"Nggak perlu aku bilang!" Kana sebal karena lelaki itu tetap bersikap tenang di saat mereka dalam masalah seperti ini. "Kamu nggak perlu memaksakan untuk dukung aku. Kamu punya kesibukan sendiri, jadi aku pun akan sangat maklum. Kayak aku ke kamu aja. Kamu bisa melakukan hal yang sama, Sat. Biar aku nggak kelihatan jahat karena nggak pernah dukung kamu."

"Kamu dukung aku kok."

"Nggak usah ngehibur. Semua orang juga tahu kalau aku nggak becus jadi istri."

"Tapi aku nggak mempermasalahkan soal kamu yang absen datang ke konserku. Mereka aja yang nggak ada kerjaan. Yang penting aku, Kana. Jangan pedulikan omongan orang."

"Ketika yang mereka bilang benar, aku bisa tutup telinga?"

"Kenapa nggak bisa? Apa aku nggak cukup untuk dijadikan alasan?" Satya mendekat. Berhenti persis di ambang pintu. "Kamu cukup lihat aku, Kana. Kamu bakalan capek kalau ngikutin omongan orang lain. Nggak bakal ada habisnya. Kamu nggak bisa bikin semua orang bahagia."

Kana menyeringai. "Cukup lihat ke kamu? Mungkin kamu lupa, Sat. Persis di sebelah kamu ada Rayya. Setelah semuanya, gimana bisa aku sepenuhnya percaya ke kamu?"

"Lalu, gimana supaya kamu memercayai aku?"

"Nggak ada. Percuma. Rayya jadi bagian dari diri kamu, bahkan keluarga kamu. Jelas aku kalah sejak awal."

Satya menghela napas. Menjambak rambutnya sendiri. Berbalik. Memutus perdebatan di sana sebelum berlanjut menjadi pertengkaran serius. Dia tidak ingin berangkat dalam suasana hati yang buruk. Jadi, menghindar adalah pilihan sementara.

***

Selepas kepergian Satya, Kana juga bersiap. Lala datang menjemput tepat waktu. Sebelum mereka ke lokasi pemotretan, Kana ingin mampir menjenguk Indi. Tanpa ditanya, sebelum meninggalkan kamar tadi, Satya bilang jika Indi sudah di rumah Mama.

"Mau beli kado dulu?"

"Iya. Anaknya cowok. Enaknya dibeliin apa, La? Miniatur Avengers?"

Lala mendecak. "Dia masih bayi merah, Kana. Buat apaan itu miniatur?!"

"Ya kan bisa buat mainan dia setahun dua tahun lagi."

"Beli yang berguna."

"Apa contohnya?"

"Boneka."

"Dia belum ngerti fungsi boneka, Lala." Kana membalik kalimat sahabatnya. "Lo bener-bener nggak solutip."

Lala tertawa garing. Lalu menyuruh Ucup untuk mampir ke mal. Terserah Kana mau beli apa. Mau beli mainan palu Thor juga biarkan.

Beruntung Kana cukup waras dengan membeli baju, kaus kaki, dan topi rajut. Pokoknya serba rajut dan berwarna biru. Serta baby holder.

Begitu mobil berhenti di halaman rumah sang mertua, Kana sempat membaca situasi. Mengembuskan napas berkali-kali tanpa disadari. Tapi Lala sadar dan membaca dengan mudah. "Mau gue aja yang turun? Gue bisa ngomong kalau lo udah di lokasi dan nggak sempat mampir."

"Nggak. Udah sampai sini juga. Gue bukan ragu kok. Lo sok tahu sih."

"Iya, bukan ragu. Cuma lo banyak mikir."

Kana membuka pintu mobil dengan berlebihan. Lala ikut turun, tapi kena hadang. "Lo nggak usah ikut. Gue cuma bentar banget."

"Kita longgar waktunya. Nggak usah buru-buru. Siapa tahu mau ada yang kalian obrolin."

Kana mengabaikan. Berbalik dan memeluk paper bag dengan satu tangannya. Rumah tampak sepi. Kana hanya berharap tidak bertemu Rayya di sini.

Mama mertua menyambut di pintu. Kana menyalami, mencium punggung tangan. Hanya sebatas itu. Mama juga tidak tanya apa-apa. Terlihat sama sekali tidak peduli dengan kehebohan di luar sana kemarin. Seakan memang sudah mengerti. Ah, tentu saja. Rayya dekat keluarga ini. Tentu mama mertuanya akan penuh pengertian dan menganggap apa yang Rayya lakukan—mencium Satya di atas panggung—bukanlah hal yang perlu dibesar-besarkan.

"Sudah sarapan, Kana?" Mama bertanya sambil melangkah ke dapur.

Langkah Kana yang hendak tertuju ke lantai dua, terhenti di anak tangga pertama. "Sudah, Ma."

"Indi ada di kamar utama."

Kana tahu kamar yang dimaksud. Kamar paling besar di rumah ini. Letaknya dekat pintu yang menuju kolam renang. Damar kebetulan keluar dari sana. Menyapa Kana dengan kasual seperti biasanya. Lihat, orang-orang di rumah ini tidak terusik dengan video yang beredar.

Entah tidak terusik atau karena memang tidak peduli? Kana malas menerka.

Pintu berkerit pelan. Kana menyelinap hati-hati. Takut jika bayi Indi sedang tidur. Tapi ternyata sedang dipangku dan menyusu. Kana mendekat dengan senyum terkembang—membalas senyum lembut Indi.

"Makasih, Mbak, udah datang." Indi merentangkan satu tangannya yang bebas. Kana mendekat hati-hati dan memeluk Indi sekilas. Setelahnya meletakkan paper bag di atas kasur.

"Maaf baru bisa jenguk kalian."

"Aku maklum kok."

Kana duduk di tepian kasur, tidak jauh dari Indi dan bayinya. "Namanya siapa, Ndi?"

"Satrya." Indi melanjutkan. "Yang kasih nama Mas Satya."

Menelengkan kepala, menatap separuh wajah Satrya yang sedang menyusu. Terkekeh pelan. "Sengaja banget disama-samain sama nama dia."

Indi hanya tersenyum. Sama sekali tidak menyinggung perkara momongan dengan Kana. Dia sangat menghargai keputusan mereka untuk menunda momongan. Meski Mama sempat marah ke kakaknya. Tanpa diberitahu pun, Indi tahu jika ini murni keinginan kakak iparnya—soal belum ingin punya anak.

"Mau coba gendong Satrya, Mbak?" Indi bisa melihat kilatan yang berbeda di mata Kana. Seperti rasa ingin tahu.

Namun, sayang, Kana menggeleng. "Nggak. Dia lagi asyik minum. Aku ganggu nanti. Kapan-kapan aja kalau dia udah agak gedean. Aku takut gendong kalau masih bayi merah gini."

"Nanti pasti lama-lama bisa."

Kana mencari letak jam dinding. "Aku mesti berangkat kerja nih, Ndi. Maaf cuma bentar."

Indi mengangguk penuh pengertian. Kana sempat tertegun. Segala yang ada pada Satya memang sebagian menurun ke adiknya.

Sebelum Kana benar-benar beranjak, Indi menahan dengan kalimat, "Mbak Kana nggak akan ninggalin Mas Satya, 'kan?"

Kana berbalik. Menatap jemarinya yang ditahan Indi. Lirih. "Kalau iya?"

Indi menggeleng. "Aku pernah bikin Mas Satya sedih, Mbak. Dan seumur hidup, demi apa pun, aku menyesal. Aku gagal memaafkan diri sendiri sampai sekarang."

"Masmu nggak cinta aku, Ndi."

"Siapa yang bilang, Mbak?" Ketenangan Indi mulai goyah.

Kana menarik jemarinya. "Aku percaya sama yang aku lihat, bukan pendapat orang."

"Lalu, Mbak juga harus percaya dengan apa yang Mbak rasakan sendiri."

Kana ingin tertawa mendengar Indi yang sepolos ini. Dia tidak bermaksud mengajak Indi berdebat. Dia sungguh menyukai Indi yang lembut. Tapi dia perlu menekankan satu hal. "Masmu cuma manusia biasa, Ndi. Dia bukan malaikat. Sebaik apa pun dia di mata kamu, keluarga atau orang lain, belum tentu di mataku juga begitu."

"Mbak ...." Indi menatap tidak percaya dengan mata berkaca. "Pikirkan baik-baik. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak bahagia yang kalian bagi bersama."

Bahagia yang dibagi bersama? Percuma. Mau dijelaskan seperti apa pun, Indi tidak akan mengerti posisinya. Indi tentu akan membela Satya—seperti seharusnya.

***

Sepulang dari rumah Mama Marlina, Rayya pulang ke apartemen. Tempat yang dia tinggali sejak kehilangan keluarga. Satya yang mencarikan tempat ini. Lelaki itu yang memastikan bahwa dirinya akan aman tinggal di sini. Dulu. Sebelum Kana masuk ke kehidupan Satya.

Dulu, mudah sekali untuk membuat Satya datang ke sini. Dia bisa leluasa mengeluh. Begitu pun sebaliknya, Rayya siap menjadi 'tempat sampah' bagi Satya. Mereka banyak bertukar pikiran. Lalu, kemudian, Rayya menyadari jika dia telah jatuh lebih dulu. Entah sejak kapan persisnya. Terbiasa ada Satya bersamanya mungkin mengaburkan perasaan. Hingga dia terlambat menyadari.

Memendam adalah bagian yang tersulit. Rayya, sialnya, paham dengan batasan yang Satya berikan. Persahabatan. Seakan jika Rayya berani sekali saja melangkah melewati garis, maka tamatlah dia.

Tidak masalah memendam. Toh, Satya juga tidak mencintai siapa pun. Satya akan selalu ada di sampingnya. Mendukungnya. Melindunginya. Akan selalu begitu sampai nanti.

Namun, bagian yang Rayya takutkan akhirnya terjadi. Satya jatuh cinta, untuk pertama kali. Dan untuk yang kesekian kalinya, Rayya kembali kehilangan.

Proses itu cepat sekali. Kana datang. Mereka menikah. Satya perlahan menjauh. Rayya terpuruk. Ditinggalkan sendiri. Separuh dunia yang dia letakkan di bahu Satya, telah lantak.

Rayya membiarkan layar di depannya tetap menyala dan kursor berkedip selama beberapa saat. Sebelum akhirnya dia menyibak rambut panjangnya. Menggerakkan jemari di atas mouse. Menuju salah satu folder yang dia biarkan berada di tempat yang mudah ditemukan.

Folder yang menyimpan banyak kenangan tentang Satya dan dirinya. Satu-satunya yang tersisa setelah Satya 'pergi'.

Puluhan bahkan ratusan foto tersimpan rapi di sub folder. Foto mereka dari masa ke masa. Rayya mengangkat sudut bibirnya. Hatinya menghangat demi melihat foto-foto ini. Kalau bisa, dia ingin waktu berhenti di sana. Di mana pun, selama itu ada dirinya dan Satya. Hanya mereka.

Karena dia tidak ingin menyadari jika waktu telah berputar jauh.

Berpindah ke sub folder berikutnya, yang berisikan video-video. Kursor itu terus bergulir, melewatkan banyak video. Mata Rayya awas memindai cepat, hingga kursor berhenti tepat di satu video yang dia cari.

Rayya menggigit bibir. Mengalihkan pandangan dari layar macbook untuk menatap sudut kamarnya. Benda yang tertempel di atas sana memang sudah tidak berkedip. Rusak setahun yang lalu dan Rayya biarkan.

Berpikir sesaat sebelum akhirnya dia memutuskan. Tatapannya kembali ke layar. Kursor bergerak untuk membuka laman email. Jemarinya mengetik cepat alamat email salah satu media massa.

Namun, ketika tiba di attachment, Rayya mendadak ragu.

Bukankah Satya akan tersakiti dengan cara ini?

Rayya menggeleng. Berubah pikiran. Menghapus alamat email tujuan, menggantinya dengan alamat yang berbeda. Dia tidak lagi ragu ketika melampirkan satu file video. Kemudian menekan kirim.

Sepersekian detik, email itu terkirim.

***

Kamu ada di tim mana?
Kana atau Rayya? 👻

Selasa, 25/08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top