Chapter 11
Lala memacu mobilnya lebih kencang. Masih terlalu pagi dari janjinya kemarin yang akan menjemput Kana agak siang. Lupakan soal janji. Ada hal yang jauh lebih penting. Lala harus segera tiba di rumah Kana. Sambil fokus menyetir, dia mengumpat, Kana tidak mengangkat teleponnya.
Demi apa pun, Lala hanya mencemaskan Kana. Kalau-kalau sahabatnya itu lepas kendali. Dia tidak peduli dengan pemberitaan menggemparkan pagi ini yang rasanya seperti mimpi buruk. Lala bangun dan mendadak linglung mendapati ponselnya diberondong oleh para wartawan.
Dan dugaannya benar terjadi. Halaman depan rumah Kana sudah penuh oleh wartawan dari berbagai media. Lala gegas turun dari mobil. Menyibak kerumunan wartawan yang berisik—entah bertanya apa, sulit didengar. Merangsek menuju pintu. Beruntung dia membawa kartu akses, sehingga masuk dengan cepat.
Pintu berdebam. Lala berhasil masuk dengan cepat sebelum kena tarik. Dan Kana sudah berdiri di balik pintu dengan ekspresi tidak terbaca.
Lala merentangkan tangan. Menghalangi pintu. Menggeleng dengan horor. "Lo nggak boleh keluar sekarang."
"Minggir."
"Nggak, Kana! Lo cukup diam di dalam rumah. Lo nggak perlu ketemu mereka. Lo nggak perlu klarifikasi apa-apa!!!"
"Minggir."
Lala menatap tajam. "Ini demi kebaikan lo!"
"Mereka juga kerja."
"Dengerin gue sekali ini aja!!" Lala nyaris frustrasi.
"Lo mau gue jadi pengecut untuk yang ketiga kalinya?!" Kana menaikkan suaranya.
Lala sedikit gentar. Dia memindai sekitar. Membaca situasi dengan cepat. Tidak ada tanda-tanda Satya di rumah.
Suara Kana melunak setelahnya. "Temenin gue ketemu mereka."
"Na—"
"Gue bakal jawab seperlunya."
Lala mencekal lengan Kana yang hendak menarik handle pintu. Lirih dan penuh penekanan. "Pertanyaan mereka bakal nyakitin lo."
"Gue udah sakit. Sekalian aja."
***
Reza tergopoh mencari Satya di koridor itu. Ponsel Satya mendadak tidak bisa dihubungi.
"Ja, sebelah sini."
Langkah Reza refleks terhenti dan berbalik. Satya muncul dari salah satu ruangan. Reza menghampiri. Satya mengarahkan ke sayap gedung. Cukup sepi di sana. Mereka bisa leluasa bicara.
Sambil melangkah. "Kana nggak ikut ke sini?"
"Pulang subuh tadi."
Kembali ke tujuan awal mencari Satya. "Lo mesti ke agensi sekarang."
"Tunggu dulu. Gue masih kaget." Satya mengusap wajah. "Masalah ini redam setahun lama, kenapa tiba-tiba jadi rame lagi?"
"Ada media yang berani angkat ke permukaan. Gue belum cari tahu banyak. Bisa jadi ada fans lo sama Rayya yang masih nyimpen videonya dan upload."
"Gue masih nggak ngerti."
Reza berasumsi. "Bisa aja dia saking girangnya lihat lo sama Rayya nyanyi lagi sepanggung kemarin, jadinya halu."
Oke. Bukan itu yang terpenting sekarang. "Dulu bisa ditakedown dalam hitungan menit. Sekarang kenapa nggak bisa?!"
"Udah ditakedown, tapi massa di twitter nggak terbendung. Gue bahkan yakin meski videonya ilang, tetep bakal jadi trending. Nggak ada jalan lain, lo mesti ke agensi sekarang. Kasih klarifikasi."
"Klarifikasi gimana? Video itu asli, bukan editan!"
Reza menepuk dada sendiri. Menahan diri. "Lo cukup minta maaf sebelum masalah makin gede dan imej lo rusak di mata para fans."
Terdiam sesaat. Menimbang. "Gue bakal ke agensi, setelah gue ketemu sama Kana."
"Nggak. Jangan dulu. Jangan pulang! Rumah lo pasti penuh wartawan! Sebelum bicara ke mereka, lo ketemu Pak Bos dulu. Nggak bisa asal ngomong."
Sarat cemas. "Terus Kana gimana?!"
"Udah ada Lala!"
Satya bersikeras. Melangkah meninggalkan sayap gedung. "Gue nggak akan ngomong apa-apa ke mereka. Gue cuma mau memastikan Kana baik-baik aja."
Di belakangnya, Reza mengikuti. "Baik-baik aja? Lo masih bisa mikir gitu di saat kayak gini? Gue lebih yakin kalau dia bakar rumah lo sekarang!"
Satya tahu. Sangat tahu. Reza tidak perlu banyak bicara. Sudah pasti Kana kecewa. Dan Satya sedang menyiapkan diri untuk menghadapi kemarahan istrinya.
Lebih menyakitkan lagi, dia mungkin harus menerima kebencian Kana.
***
Lala benar. Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya memang menyakitkan.
Bagaimana perasaan Mbak Kana saat melihat video ciuman Satya dan Rayya beredar luas di masyarakat?
Apakah sejak awal Mbak sudah curiga dengan hubungan mereka?
Apakah benar jika mereka memang lebih dari sekadar teman duet?
Bagaimana tanggapan keluarga besar terkait hal ini?
Video tersebut asli, dan sampai saat ini belum ada klarifikasi dari dua belah pihak. Apakah Mbak Kana tetap berada di pihak suami?
Sejauh apa Mbak memercayai Satya?
Kana menunduk, setelah wajahnya kebas oleh terpaan cahaya matahari pagi. Rambut panjangnya yang tergerai, berderai turun, mengikuti gerakan kepala. Kedua tangannya meremas tepian ranjang. Wawancara itu selesai tiga puluh menit lalu.
Termenung. Satu pertanyaan mengusiknya. Sejauh apa dirinya memercayai Satya?
Beberapa saat, logika dan hati tidak memberikan jawaban. Pertanyaan itu dibiarkan mengambang. Atau mungkin memang harus dijawab oleh Satya sendiri.
Pintu terbuka di belakang Kana. Orang yang mempunyai jawaban atas pertanyaan itu muncul di sana.
Langkah Satya kian mendekat. Kana perlahan mengangkat kepala. Melihat Satya merunduk di depannya, meletakkan tangan di sisi tubuh Kana, lantas bertumpu pada kedua lutut. Tatapan mereka saling mengunci. Saling menerka.
Satya yang memupus tatapan lebih dulu. Lidahnya mendadak kelu. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Suaranya bergetar saat mengeja nama itu. "Ka-na ...."
Sebaliknya, Kana semakin lekat menatap wajah suaminya. "Seberapa jauh aku harus percaya sama kamu?"
"Satu tahun ini, aku kehilangan separuh kepercayaan kamu." Satya bahkan belum berani menemui sepasang mata sarat kecewa itu.
"Apa kamu tahu rasanya hidup di batas percaya dan ragu?"
"Ketika kamu yakin aku mencintai kamu, kamu nggak perlu lari dua kali, Kana." Satya akhirnya kembali pada sepasang mata itu. Dia mencoba mengonfrontasi Kana. "Kamu tahu persis, karena kamu ada di sana. Kamu tahu kalau bukan aku yang berniat mencium Rayya."
Kana terhenyak seketika. Matanya membulat. Gurat terkejut tercetak amat nyata. Lelaki ini tahu jika dirinya datang dan melihat sendiri bagaimana Rayya mencium Satya di atas panggung?
Sungguh, Kana ingin menertawakan dirinya sendiri. Lihat, dirinya dan Satya memang sungguhan dua orang bodoh yang berusaha menambal kapal yang jelas-jelas berlubang besar.
Menggeleng tak percaya. Memastikan sekali lagi. "Kamu tahu aku datang?"
Diamnya Satya adalah jawaban ya. Kana sungguhan sudah menertawakan dirinya sendiri. Dia seperti lelucon di depan lelaki ini. Seringai itu semakin getir.
"Terus kenapa kamu nggak coba jelasin ke aku?!" Kana menyingkirkan tangan Satya dan berdiri menjauh. "Kamu tahu? Aku nunggu penjelasan kamu, Satya! Aku mau lihat sejauh apa kamu jujur sama aku. Kamu pikir begitu semua jejak digital dihapus, itu cukup?! Imej kamu memang terselamatkan. Orang-orang akan mudah melupakan. Lalu aku gimana?! Kalau kamu tahu aku di sana dan lihat semuanya, kamu harusnya coba jelasin! Tapi apa? Kamu cuma diam!"
Satya tidak akan membela diri. Sekalipun dia bisa. Dia bisa membalik semua kalimat Kana dengan mudah. Kana yang memilih diam, alih-alih marah saat itu juga. Kana yang memilih lari dan hidup dalam keraguan setahun terakhir. Dan sekarang, Kana menaruh semua kesalahan di bahu Satya begitu saja.
Tercekat, Kana melanjutkan. "Memangnya sesulit itu ya percaya sama aku, Sat? Iya, memang aku yang pertama menginginkan pernikahan ini. Aku yang lebih dulu mencintai kamu. Aku pikir kita memang butuh waktu. Aku hargai sikap kamu yang masih tertutup. Kamu hanya bercerita jika ditanya. Tapi aku nggak tahu kalau untuk mendapat kepercayaan kamu ... akan sesakit ini."
Satya mendekat. Meraih satu tangan Kana yang memunggunginya. "Aku minta maaf."
Menepis tangan itu dan berbalik. "Semua nggak akan selesai dengan kata maaf! Selama ini, kamu pikir karena aku diam, berarti aku terima? Aku coba memahami kamu, Sat. Aku berusaha kasih kepercayaan. Tapi kepercayaan itu kamu patahkan dua kali."
Satya tidak menyela. Dia tahu Kana akan melanjutkan. "Memang. Aku memang nggak becus dukung karir kamu. Selalu absen di konser kamu. Mungkin ini tamparan buat aku. Sekalinya aku datang, aku harus lihat kamu ciuman dengan Rayya di atas panggung. Kedua kali, aku harus dengar kalau kamu sakit dan sama sekali nggak ngabarin aku. Ketika kamu pulang, aku nunggu kamu cerita. Tapi aku berharap terlalu banyak. Aku nggak sepenting itu di hidup kamu!"
"Iya, sepele kok, Sat. Perkara kamu sakit cuma sepele." Menghela napas yang berkejaran. Gelegak emosi bertumpuk di dada. "TAPI KENAPA AKU HARUS DENGAR DARI MULUT RAYYA?!!"
Lengang. Satya terima penghakiman itu. Pun dengan tatap terluka yang Kana hunus padanya. Dia hadapi.
"Karena kamu hanya diam sejak awal, bukankah kamu memang nggak peduli?" Satya tetap tenang. Menekan agar suaranya tidak ikut meninggi. "Jujur, Na, aku pun ragu sama kamu. Aku ragu, apakah aku benar-benar dicintai. Atau pernikahan kita sebenarnya cuma obsesi kamu. Keinginan sesaat."
Keputusan yang akhirnya diambil Kana; menyakiti Satya.
"Kamu benar." Kana tersenyum getir. "Aku secara spontan ingin menikah dengan kamu sebelum Rayya lebih dulu mengungkapkan perasaan dia. Aku nggak ingin kehilangan kamu di depan mata. Kamu memang harus terima. Aku ingin menikah karena alasan itu."
Satya bergeming. Pias.
"Lebih dari itu, agensi mendesakku. Karir kamu sedang cemerlang. Momen yang tepat kata mereka."
Keraguan Satya membesar. Dadanya sesak. Bagaimana mungkin Kana menikah dengannya hanya demi kepentingan agensi dan karir? Tertawa pahit. Dia tidak ingin percaya. "Bercanda kamu, Kana."
"Kamu pernah gagal jadi kakak, Sat. Apa kamu juga akan gagal jadi suami?"
Memandang wajah di depannya dengan hati yang remuk. "Aku sudah gagal jadi suami ketika membiarkan kamu hidup dalam keraguan."
Wajah itu akhirnya menyirat banyak luka. Apakah ini yang ingin Kana lihat? Apakah Kana puas? Apakah mengurangi rasa kecewanya?
Satya berbalik, beranjak dari sana. Namun sebelum mencapai pintu, langkahnya berhenti. "Aku minta maaf karena membiarkan kamu muncul di depan wartawan dan menjawab pertanyaan yang ... menyakitkan."
Kana mengatupkan bibir rapat. Semakin mematikan hati.
Begitu punggung itu lenyap bersama pintu yang menutup, Kana membiarkan tubuhnya luruh ke lantai.
Yang Kana mungkin baru sadari, ketika dia menyakiti Satya, rasa sakit itu justru menyerangnya berkali lipat. Matanya yang basah kemudian menangkap Lala yang berlari masuk. Memeluknya.
***
"Ini pertama kalinya gue dengar kalian berantem." Reza berkata hati-hati. Mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor agensi. "Gue tahu, lo bakal ngalah."
"Karena gue memang salah."
Reza mengoreksi. "Kalian sama-sama salah."
"Gue yang lebih salah. Nggak becus jadi suami Kana."
"Emang Kana becus jadi istri lo?" Reza cepat meralat. "Oke, maaf. Nggak maksud apa-apa."
"Kana terluka dua kali, Ja. Dan itu karena gue." Lantas wajah bahagia Kana membayang. "Selama ini, dia cuma pura-pura bahagia."
"Mau dengar pendapat gue?" Reza tidak menunggu jawaban. "Kalian sama-sama bahagia, cuma salah aja caranya. Ketika mulai jalan, kalian lupa bangun jembatan komunikasi. Jadi kalau ada masalah, cuma pegang asas saling percaya. Sementara kalian mungkin sama-sama ragu. Karena udah saling percaya jadi nggak butuh penjelasan. Kalian terjebak di pola itu."
"Kana nikah sama gue karena punya kepentingan."
"WHAT?!"
"Gue memang menyedihkan."
"Kana cuma lagi emosi. Omongannya pasti ngawur." Reza bukannya membela Kana.
Satya menggeleng. "Dia serius."
"Mana mungkin? Dia udah terkenal tanpa dompleng nama lo, Sat. Selama ini biar pun istri lo aslinya nyebelin, dia nggak pernah tuh gila sensasi. Apalagi mikir popularitas."
"Tahulah, Ja." Satya mengusap wajah. "Besok gue ngomong lagi sama Kana kalau udah sama-sama tenang."
"Tour lo weekend besok, mau ditunda dulu?"
"Nggak usah. Kasihan yang udah beli tiket."
"Indi?" Reza melanjutkan. "Gue sampai lupa punya ponakan baru."
Sesaat pembicaraan sedikit lebih santai. "Lancar, Ja. Anaknya laki-laki. Sesuai keinginan Mama yang pengin punya cucu laki."
"Gue mampir ntar malam ya."
"Besok aja main ke rumah. Indi dan bayinya udah boleh diajak pulang besok pagi."
***
Entah kenapa aku merasa chapter ini kurang maksimal. Aku dah galau aja dari kemarin. Semoga bisa ketambal di chapter2 berikutnya.
Makasih udah ngikutin ♥
Kamis, 20.08.20
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top