Chapter 10
Satya menatap jam besar di ruang tengah dan meja makan secara bergantian. Pukul sembilan. Kana sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin sekitar lima belas menit lagi akan sampai.
"Ja, makan lo masih lama?"
"Kenapa sih?" Reza pura-pura tidak tahu kalau Satya sedang mengusirnya. Dia justru memotong daging steik dengan gerakan perlahan dan dalam potongan yang kecil. Sengaja mengunyah tiga puluh dua kali pula.
Mental Satya benar-benar diuji melihat kelakuan Reza.
"Lo sabar dong. Udah gue bilang, steik buatan lo itu mahal dari segi kualitas daging dan rasa. Jadi gue harus meresapi. Sayang kalau makannya diburu-buru."
"Tahu gitu gue bungkusin aja tadi."
"Ya mana enak! Soto, mi ayam, bakso aja lo bungkus bawa pulang jadi nggak enak rasanya. Apalagi ini."
"Lo kan bisa panasin lagi di rumah."
"Nggak. Jangan ganggu gue."
Satya berkacak pinggang di samping meja makan. "Gue bisa bikinin lagi kapan-kapan."
"Kana palingan kena macet. Lo tenang aja."
Satya mengangkat tangan. Membiarkan. Dia melanjutkan langkah mengambil wine dan dua gelas. Membawanya ke balkon lantai dua. Tempat meja bertaplak putih sudah tertata rapi. Satu lilin besar di bagian tengah. Steik dan segala macam yang tertata di dua sisi.
"Lihat. Lo beneran nguji mental gue." Satya turun dan mendapati Reza membuka rice cooker. Menuang dua centong nasi ke piring steik. Dasar magadir!
Nyengir tanpa dosa. "Gue belum makan nasi dari siang."
Suara mesin mobil terdengar. Satya mencari saklar. Mematikan lampu. Yang otomatis membuat Reza yang baru saja kembali duduk, menjerit histeris. "Nyalain, Sat, nyalain duluuuu! Oke gue pulang! Nggak bisa ya lo lihat gue makan tenang!"
Reza memang takut gelap.
Lampu menyala. Reza langsung menatap sengit Satya. Mengambil tote bag di meja dan membawa piring berisi steik dan nasi dalam dekapan.
Satya bahkan bisa mendengar Reza yang uring-uringan di depan sana. "Apaan lo sok-sok nyebut lihat gue?!"
Itu suara Lala. "Ngapain lo bawa-bawa piring segala?"
"Gue diusir. Lo mending juga balik kanan sekarang. Ada yang mau kencan!"
Satya melangkah ke pintu. Melihat mobil Reza sudah meninggalkan halaman. Menyisakan Kana dan Lala di depan pintu.
"Haruskah gue pergi sekarang?" Lala menatap Satya. Paham tanpa perlu diberi kode pengusiran.
Satya mengangguk. Mengatakan sorry tanpa suara.
Jadi, sebelum pergi dia berpesan ke Kana. "Gue jemput besok agak siangan."
"Oke."
Lala pun enyah segera. Kana menatap sampai sahabatnya masuk ke dalam mobil. Barulah dia beralih ke Satya. Meninggalkan teras.
"Aku punya kejutan buat kamu." Satya menyamakan langkah dan mengambil jemari Kana untuk digenggam.
Kana berhenti di sofa ruang tengah. Duduk di bagian punggung sofa. Membiarkan tangannya dikecup Satya. "Capek ya? Udah ngantuk belum?"
"Belum." Tersenyum tipis. "Kejutan apa?"
"Kita naik ke lantai dua. Tapi tutup mata ya."
Kana mengangguk dengan mudah, tanpa banyak tanya. "Nggak usah pakai penutup mata. Aku bakal nutup mata beneran."
Satya menarik lembut Kana dari sofa. Mulai berjalan menuju tangga dan Kana memejamkan mata seperti yang diminta. Lalu satu tangannya kembali digenggam.
"Kamu mau aku jalan duluan atau sejajar sama kamu?" Satya menatap Kana dalam-dalam.
"Sejajar."
Satya tersenyum.
"Kamu mau buka mata aja?"
"Kenapa kamu berubah pikiran? Tadi bilang suruh tutup mata."
"Tangganya lumayan banyak. Aku takut kamu jatuh."
Kana terdiam. Sesaat.
"Gimana, Na? Mau buka mata aja?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku nggak bakal jatuh." Mengembuskan napas pelan. "Aku percaya sama kamu."
"Makasih, udah percaya." Satya mulai melangkah ke anak tangga. Berkali-kali memastikan Kana tetap melangkah dengan aman. Dia akan berhenti ketika Kana ragu melangkah. Untuk kemudian meneruskan hingga benar-benar sampai di balkon.
"Kamu bisa buka mata sekarang."
Yang Kana temui adalah balkon sunyi yang sering dia abaikan, kini berubah menjadi hangat. Cahaya lilin berpendar sendirian. Menggantikan lampu.
Kana menurut saat Satya membawanya ke sana. Menarik kursi dan membiarkan Kana duduk lebih dulu.
"Kamu nyiapin semua sendiri?" Hati Kana menghangat.
Lihat, dia mudah jatuh pada perlakuan sederhana seperti ini. Lantas sesaat bisa lupa yang terjadi kemarin. Yang dia tahu, ada suami yang mencintainya sedang duduk di depannya. Selebihnya, Kana ingin lupa sebentar.
"Iya, sendiri."
"Reza?"
"Bantu ngerecokin."
Menatap sedih steik di meja yang tampak menggiurkan. "Tapi aku diet."
"Cheating day, please."
"Terus ini, wine. Aduh, kamu cukup kasih aku sayuran, dah cukup."
"Tapi aku kan nggak doyan sayuran."
Kana menatap Satya lamat-lamat di antara cahaya lilin yang sedikit bergoyang tertiup angin. Satu pertanyaan melintas. Ingin sekali dia suarakan sejak lama. "Sat ... kamu bahagia nggak dua tahun hidup sama aku?"
"Bahagia."
"Gimana kalau misal aku datang di urutan kedua? Apa aku bakal ada di hidup kamu dua tahun terakhir?"
Satya diam. Meraba jenis pertanyaan yang diajukan Kana. "Tapi kamu datang di urutan pertama. Meski datang di urutan kedua, aku bakal pilih kamu."
"Iya. Aku beruntung karena saat itu datang lebih dulu ...." dari Rayya.
"Kalau kamu nggak datang lebih dulu, aku yang bakal cari." Satya teringat sepotong kejadian di masa lalu. Tersenyum sendiri. Sampai saat ini hanya Reza yang tahu.
"Kamu masak sendiri?" Kana mengalihkan. Harum steik menggodanya.
"Iya." Satya mencegah Kana yang hendak meraih garpu. "Bentar. Aku punya sesuatu buat kamu."
"Hm?"
Sebuah kotak kecil berwarna silver tersodor. Kana mengambilnya. Cincin berlian. Tergelak pelan. "Kamu beneran beliin aku berlian? Sat, aku cuma bercanda kok."
"Gimana? Kamu suka?"
"Lebih suka kalau sekarung."
Satya tertawa kecil. "Dipake dong."
"Pakein." Kana mengulurkan tangan kanannya.
"Cincin ini penting banget, Na."
"Kenapa bisa gitu?"
"Cincin paling pertama yang kubeli."
Tanpa bertanya lebih, Kana sibuk mengagumi benda yang melingkar di jari tengahnya. "Makasih. Bagus banget. Aku suka."
"Oke. Yuk, makan. Keburu nggak enak steiknya."
"Maaf aku nggak nyiapin apa-apa buat kamu." Kana seharusnya tahu kalau lelaki ini menyiapkan candle light dinner begini. Dia tahu dari status Reza di sosmed. Mereka belanja berdua. Tapi soal cincin itu, di luar dugaan. Pikiran Kana bercabang, dia pikir anniversary kali ini dibiarkan berlalu. Karena toh, bagi Kana ini hanya pengulangan. Bukan sesuatu yang istimewa lagi sejak setahun lalu.
"Nanti, kapan-kapan aku mintanya."
"Apa yang kamu minta?"
Tersenyum. "Nanti."
***
"Kana." Pipinya ditepuk pelan.
"Hm? Udah pagi?"
"Belum. Masih jam dua. Indi kontraksi. Damar telepon aku barusan."
Masih setengah terpejam. "Kamu ke rumah sakit sekarang?"
"Iya." Satya turun dari kasur. Mencari kaus yang entah terlempar ke mana.
Kana mengucek mata. "Aku perlu ikut?"
"Iya."
Mengintip ke dalam selimut, mendesah pelan. Memaksa tubuh bangun, menarik selimut dan berjalan ke lemari. Mencari baju.
Satya sudah sempurna terjaga sehingga bisa fokus menyetir. Sementara Kana masih saja menguap. Ayolah, mereka baru tertidur satu jam yang lalu. Kana sebenarnya tidak ingin ikut, tapi kasihan kalau Satya menyetir sendirian.
"Rileks, Sat."
Menoleh sekilas. "Hm?"
"Kamu diam-diam panik. Damar kan nemenin. Beda sama pas lahiran Indi yang pertama."
"Cuma takut Indi kenapa-kenapa."
"Kandungan dia baik-baik aja. Pasti lancar." Kana tidak panik ketika Satya menambah kecepatan. Dia paham lelaki ini ingin segera sampai ke rumah sakit. Di saat genting, kadang Kana bisa bersikap lebih dewasa.
Dan bicara soal bagaimana Satya yang begitu cemas ke Indi, rasanya Kana bisa mengerti. Satya memang tidak pernah bercerita A sampai Z soal adiknya, tapi Kana tahu, Indi menjadi prioritas kedua. Seakan masih menjadi tanggungjawab Satya, meski Indi sudah bersuami.
Jujur, Kana iri. Karena dia hanya memiliki adik laki-laki, dan bukannya kakak laki-laki. Bukan Kana tidak bersyukur. Kalau dia punya sosok kakak laki-laki, sepertinya Satya akan babak belur sejak awal.
Kana berusaha menyeimbangi langkah Satya yang lupa kalau dia tidak sendirian. Lelaki itu tetap saja cemas. Percuma diingatkan.
Namun, ketika tiba di depan ruang bersalin, Kana nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Dia sempat lupa kalau Rayya sudah dianggap seperti anggota keluarga oleh Mama dan Indi. Tapi bukankah ini berlebihan? Rayya tidak perlu di sini hanya untuk menunggu persalinan Indi.
Kana menatap malas Rayya yang melambaikan jemari. Satya mendekat ke Mama yang duduk di sebelah Rayya. Bertanya keadaan Indi, yang sepertinya masih pembukaan awal. Satu tangan Satya terulur, meminta Kana yang masih berdiri untuk duduk di sebelahnya.
Kana menolak. "Aku cari kopi bentar."
"Aku juga." Rayya ikut berdiri.
Mereka melangkah beriringan. Kana menahan mati-matian untuk tidak terpancing. Jelas sekali perempuan ini sengaja mengonfrontasi. Bukannya Kana mengalah, tapi dia hanya malas meladeni. Lala sering mengingatkan ini ke Kana untuk sering-sering berpikir panjang. Karena sekali Kana meledak, maka habislah sudah.
"Gue tidur di rumah Mama Marlina."
Kana fokus ke vending machine di depannya. Mengambil cangkir kertas, menunggu kopinya jadi.
Rayya yang bersedekap di sebelah Kana, merasa diabaikan. "Mama yang minta gue datang dan tidur di sana."
Kana mengambil cangkir yang sudah terisi. Kemudian mundur dan mendekat ke pembatas. Mulai menyesap kopinya sambil berusaha menikmati pemandangan dari dinding kaca.
Tanpa berniat mengambil kopi, Rayya memilih mengikuti Kana.
"Mau lo apa?"
Rayya menyeringai. "Satya. Mau gue cuma dia."
Menyesap kembali kopinya. "Tiga tahun yang sia-sia. Lo gagal rebut Satya dalam rentang waktu itu."
"Gue masih punya tahun-tahun berikutnya."
"Hebat." Kana terkekeh. "Nggak punya malu."
"Kenapa mesti malu? Lo cuma orang baru di hidup Satya, Kana. Sebagai istri, lo bahkan nggak bisa bahagiain dia. Nggak bisa dukung dia. Lo bangga karena bisa miliki Satya di atas kertas?"
"Gue nggak perlu banyak bacot, Satya memang milik gue."
"Iya. Bener. Lo bisa membohongi semua orang dengan berpura-pura bahagia. Satya juga sama. Pasangan yang kompak. Lo nggak pernah coba tanya ke hati sendiri?"
Menimbang cangkir kertas, Kana membalas tenang. "Kenapa gue harus dengar omongan dari orang yang patah hati? Bangun, Ya. Lo harus berhenti. Tahun-tahun berikutnya? Omong kosong! Satya tetap milik gue."
Ekspresi wajah Rayya semakin mengeras. Tapi tawa sinis itu terdengar sesaat kemudian. "Kana, Kana. Lucu ya. Orang bakal ngira gue playing victim. Padahal lo yang udah ngerebut Satya dari gue."
Sudut bibir Kana berkedut menahan seringai. "Satya nggak peduli meski lo ada di urutan pertama."
***
Karena aku nulisnya character driven, jadi yg aku tangkap sejauh ini:
Mereka gagal dalam berpasangan karena sama-sama tidak menciptakan ruang untuk bicara dan menganggap semua memang baik-baik aja, jadi kenapa mesti diributin. Toh, besok bakal dilupain karena dah sibuk sama kerjaan masing-masing. Pas ketemu, udah ganti topik.
Gitu. Jujur, aku jg horor nulisnya. Takut kebawa jahat beneran wkwkwk :(
Selasa/18.08.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top