berbagi mimpi

Cinderella berlari keluar dalam keadaan terisak. Matanya sembab. Rambut keemasannya kusut masai. Sekarang pukul sepuluh malam, pesta kerajaan tengah berjalan sudah lebih dari jam undangan yang telah ditentukan. Sudah terlambat baginya untuk memaksakan hadir.

Kakinya tergelincir di bebatuan hulu sungai. Genangan air hujan membuatnya nyaris terperosok masuk ke dalam arus yang besar itu.

Rembulan yang mengusir mega memantulkan perawakannya.

Ia berteriak memukul-mukul tanah becek, mengingat apa yang telah kedua saudara tiri dan Ibu sambungnya lakukan. Kini gaun peninggalan mendiang Ibunya compang-camping. Apakah masih pantas ia menghadiri undangan dansa kerajaan?

Gadis itu menggeleng pelan. Kini kesenangannya yang langka telah direnggut.

Pertama kematian Ibunya yang disebabkan sanitasi kerajaan buruk mencemari pengairan pemukiman penduduk. Lalu Ayahnya yang melanglang buana untuk menghidupi semakin tingginya tuntutan hidup, tiba-tiba datang membawa pengantin janda beranak dua tanpa persetujuan darinya yang merupakan anak semata wayangnya.

Kemudian kematian Ayahnya dari kecelakaan tanah longsor di perjalanan dinas keluar kota menghancurkan hatinya yang masih terluka.

"Apa yang harus aku lakukan!? Aku sudah tidak memiliki apa-apa! Beri aku kekuatan untuk melampaui ini semua, ya Tuhan!"

Riak arus sungai yang menghantam bebatuan kali menjawab panggilan gadis bermata langit musim panas.

Kecipak air memunculkan seekor sirip ikan yang mencelat-celat ke arahnya.

Cinderella sontak menjauh dari tepi sungai.

Hening menjeda kala lompatan ekor sirip ikan itu tak lagi tampak.

Hal tersebut membuat si gadis bergaun rombeng pun menyipitkan mata dan merangkak kembali mendekati sungai.

"Hai!"

Cinderella menjerit ketika sepucuk kepala gadis berambut merah bata nongol dari permukaan air dan berseru seperti suara seorang menyapanya.

Takut-takut sembari memastikan pendengarnya tidak bermasalah, ia mencoba untuk lebih dekat kepada sosok itu.

"Ka-Kau, apa kau ini?"

"Aku Ariel. Seorang Putri Duyung dari laut nan jauh. Lebih tepatnya dari laut terdalam Tanah Denmark." Gadis yang seluruh tubuhnya nyaris tercelup di bawah air itu tersenyum bersahabat. "Jika kau tahu di mana itu Denmark."

"Ah, aku pernah dengar sewaktu Ayah dalam perjalanan bisnisnya, mungkin?" Cinderella menaikkan sebelah alis pirangnya bingung. "Ah, tapi bagaimana bisa kau sampai ke sini? Apa pun itu pasti membutuhkan berkilo-kilo menyeberang hingga ke sungai ini?"

"Ceritanya panjang. Ini ulang tahunku ke tujuh belas. Aku pun mendapat restu untuk berenang ke permukaan oleh Ayahku." Ariel pun mencelatkan diri lalu mendudukan diri di atas bongkahan batu kali.

Cinderella tergugu-gugu. Matanya membeliak melihat penampakan sosok setengah perempuan dari kepala hingga perut. Lalu dengan gradasi lembut sisik zamrud mulai terlihat berkilau, membentuk seperti ekor ikan, yang seharusnya tempat itu adalah sepasang kaki manusia.

"Wu-Wujudmu!?"

"Kau pasti belum pernah bertemu ikan duyung, 'kan?" Ariel terkekeh-kekeh renyah. "Aku setengah manusia dan setengah ikan. Aku seperti lumba-lumba atau paus. Tentu saja kalau kau juga tahu mamalia laut seperti mereka."

Cinderella pun terperangah takjub mendengar hal ajaib baginya. "Aku tahu. Ayahku dulu pernah mengajakku menonton atraksi sirkus dan di sana ada sepasang lumba-lumba di dalam karnaval. Itu sangat keren."

"Omong-omong aku belum tahu namamu. Kenapa kau menangis? Aku yang mendengarnya merasakan kepiluan yang begitu dalam. Ada apa?" mulai Ariel menyambung pembicaraan lebih intens. "Dan kenapa juga bajumu tampak tak seperti gaun-gaun para gadis manis yang kutemui di kapal-kapal pesiar mewah itu? Apa ini mode baru?"

"Aku Cinderella." Tawa gadis si kenalan barunya memudar perlahan. "Tidak. Aku sedih tidak bisa menghadiri pesta dansa kerajaan. Padahal aku sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Ini seharusnya menjadi hiburanku yang selalu dikurung dan diasingkan oleh Ibu dan kedua saudara tiri." Air matanya kembali menetes.

"Nama yang terdengar indah dan tak pantas bersedih. Kenapa mereka melakukan itu kepadamu?" Telunjuk Ariel terulur menyeka pipi Cinderella. "Aku punya Ibu yang selalu melindungiku. Aku juga juga punya banyak saudara, aku akui mereka suka menjailiku, tapi mereka menyayangiku. Bukankah keluarga seharusnya saling menyayangi seperti itu?"

"Terima kasih. Aku juga berpikir begitu, tapi entahlah. Aku merasa ... karena mereka bukan keluarga kandung, sehingga aku disisihkan. Bahkan mereka enggan makan satu meja denganku. Aku selalu dipaksa makan di kandang kuda." Terdengar debas panjang yang terasa melelahkan. "Semenjak Ayah meninggal, mereka tak mengizinkanku keluar rumah sama sekali. Bahkan untuk membeli baju atau piknik ke taman kota. Apalagi menonton atraksi sirkus. Aku rindu kebebasan."

"Kejam. Sungguh ..., keluarga macam apa itu." Sembari menatap teduh, Ariel membelai pucuk kepala Cinderella. "Aku tidak bisa membayangkan jika berada di posisimu. Tapi aku pasti akan memberontak. Atau mungkin lebih baik aku kabur."

"Kabur?" Cinderella menggeleng kencang. "Rumah itu satu-satunya warisan mendiang Ayah dan Ibuku. Aku tidak bisa meninggalkan sisa kenangan kami begitu saja."

"Lalu? Kau akan tetap dikurung di dalam rumah? Seumur hidup?" Ariel mendesah melihat Cinderella mengangguk begitu pasrah. "Oh, ayolah, dunia ini sangat luas. Kau masih muda dan pasti akan menyesal apabila tidak pernah menjelajahi negeri yang tidak pernah kaubayangkan. Kau tidak akan bertemu macam-macam bentuk atraksi parade satwa eksotis, seperti di kebun binatang. Kau pasti tidak tahu apa itu Orangutan, 'kan? Atau pasar apung suku pedalaman, mereka suka pakai caping, kau pasti tidak tahu apa itu caping, ya 'kan?"

Cinderella menggeleng lemah.

"Atau kau barangkali akan menemukan teman yang belum pernah kautemui." Si Putri Duyung itu melirik ke arah sepasang kaki jenjang milik kenalan barunya. "Bagaimana akan tahu, jika kau memilih untuk tinggal, bahkan keluargamu tidak menganggapmu layak," lanjut Ariel menggebu-gebu.

Sedangkan, Cinderella masih bungkam. Pikirannya masih berkecamuk.

"Boleh kusentuh kakimu?" Putri Duyung itu bergeser dudukan ke rumput basah.

Gadis pirang itu tersentak.

"Astaga, lembut sekali kulit kakimu. Andai saja aku bisa berjalan sepertimu, aku bisa menemui Erick," gumam lirih Ariel ketika mengusap pelan-pelan kaki itu.

"Erick?"

Rona kemerahan pada wajah Putri Duyung remaja itu memekat seketika.

"Aku ... jatuh cinta pada laki-laki yang tinggal di daratan sepertimu."

Cinderella menyentuh wajah berbintik Ariel. Gadis Duyung itu mengalihkan mata kembali ke kedua netra sebiru batu safir.

"Mata kita sedikit serupa," celetuk Cinderella. "Milikmu lebih banyak hijau. Cantik sekali."

"Matamu juga," timpal Ariel. "Bagaimana rasanya memiliki kaki?"

"Pertanyaan yang serupa. Bagaimana rasanya memiliki ekor dan berenang mengarungi samudera?" Cinderella terkikik-kikik mendengarnya. "Jika saja ada yang bisa mengubah ekormu menjadi kaki."

"Atau andai saja kita bertukar posisi?" tawar Ariel. "Apa kau berminat?"

Mata Cinderella terpaku pada sisik ekor Ariel yang berkilau ditimpa pantulan rembulan.

"Aku selalu ingin tahu apa saja yang ada di dunia ini. Apa saja yang ada di dasar laut," ujar Cinderella. Pancaran matanya berkilat penuh antusias. "Pasti belum ada satu manusia darat pun yang berhasil menyelami paling dasar dari yang terdasar samudera?"

"Aku memiliki cairan sihir dari Penyihir Lautan. Katanya, aku bisa memiliki kaki sepertimu dengan meminumnya. Tapi jika manusia darat meminum cairan ini akan menjadi sepertiku." Ariel mengeluarkan sebotol kristal yang ia ikat menyelempang di pinggulnya. Kemudian, ia perlihatkan kepada Cinderella yang entah mengapa seolah terhipnotis pada cairan berkilap keperakan itu.

"Apa aku akan jadi Putri Duyung selamanya sepertimu?" tanya Cinderella. Tubuhnya agak bergidik.

"Kau tetap akan memiliki kaki ketika ke darat," sahut Ariel. "Kalau kau merasa ragu, aku akan melakukannya dahulu."

Lekas setengah isi botol itu, Ariel teguk mantap.

Sinar keperakan memenuhi tubuhnya. Napasnya memburu dan limbung. Cinderella yang panik menopang badan Ariel yang perlahan menghangat.

Ekor zamrud itu perlahan berubah menjadi sepasang kaki langsing nan seksi.

Lidah Cinderella yang hendak berkata-kata mendadak kelu.

"Ini bekerja," ucap Ariel. Ia menyadari bahwa dirinya yang sekarang bertubuh manusia perempuan utuh tanpa terlindungi sehelai kain meringkuk menutupi daerah sensitifnya. "A-Apa kau punya baju lain yang bisa kupakai?" tanyanya malu-malu menatap Cinderella yang masih membeku terheran-heran.

"Ah, bagaimana jika aku membawamu masuk rumah? Kurasa kamarku di belakang aman." Cinderella meraih setengah beban tubuh Ariel untuk membantunya beranjak.

Putri Duyung itu meringis. "Sepertinya kau juga harus mengajariku cara berjalan."

Cinderella tersenyum legit. "Kalau begitu bersiaplah."

"Oh ya, bagaimana dengan pestanya? Astaga, kurasa aku telah menghambatmu."

Gadis pirang itu masih tersenyum dan memandang langit. "Keinginanku sekarang berubah."

"Apa itu?"

"Bagaimana kalau kita bersama-sama melakukan perjalanan jauh? Misalnya, suatu ketika kita berjalan di daratan bersama. Suatu waktu lain kita berenang ke dasar laut bersama-sama."

"Ide yang bagus. Kapan? Aku tidak sabar."

"Setelah kau bisa menguasai kakimu untuk berlari."

"Bagaimana dengan Ibu dan kedua saudara tirimu?"

Cinderella terdiam sejenak seraya memilihkan baju pas kepada Ariel yang merasakan dudukan empuk pada ranjang.

"Aku sudah memutuskan, bahwa aku berhak membahagiakan diri. Kupikir Ayah dan Ibuku di Surga sana akan setuju dengan keputusan ini."

"Mungkin ini takdir atau doa kedua orang tuamu dengan mengirimku."

2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top