air yang jatuh dari langit

Masih ingatkah kau dengan kisah si Kuthuk yang nyaris disantap Tuan Tikus got? Namun, sang Induk Ayam selaku ibunya terjaga dan berhasil mengusir pengerat. Si Kuthuk pun kembali dalam eraman yang hangat.

Kini kisah si Kuthuk setelah berusia genap sebulan dimulai.

Kegiatan baru di pagi hari diawali dengan paruh sang Nyonya Ayam yang mendorong para Kuthuk yang telah menjadi Dara. "Ayo, anak-anak ... kita turun sekarang, meski hal ini baru bagi kalian, kalian harus mengenal hangatnya sinar mentari. Bagus untuk kesehatan tubuh kita."

"Apakah matahari bisa kita makan, Bu?"

"Memangnya apa itu matahari?"

"Bukan, anak-anakku. Matahari tidak bisa dimakan. Dia adalah waktu yang bisa membuat kita bisa melihat lebih jelas. Kenalkan sekarang ini namanya Pagi. Kalian harus keluar kandang jika Pagi hari sudah datang."

"Waow, Ibu benar. Aku bisa melihat ada banyak bentuk dan tetangga kita kalau kita keluar!"

"Aku juga mau keluar!"

"Minggir! Aku menetas pertama, jadi aku dulu yang harus keluar!"

"Anak-anakku, jangan saling dorong. Semua turun dengan teratur. Ibu tidak mau salah satu dari kalian apalagi semua kena luka sudut kandang karena saling berebut keluar!"

"Baik, Bu!"

"Tuh, 'kan. Dengarkan kata Ibu. Pelan-pelan."

"Aku tahu, kok."

"Makanya jangan sok paling besar karena menetas pertama kali."

"Sudah-sudah. Jangan bertengkar."

Satu per satu para Dara Ayam berjumpalitan turun dari petarangan penuh antusias. Berlarian keluar kandang. Beberapa langsung memelesat ke tanah gembur sembari menirukan sang Nyonya Ayam.

"Ayo, anak-anak ikut Ibu. Kita mandi di pasir." Sembari mencakar permukaan tanah hingga membentuk kubangan, Nyonya Ayam pun mempraktekkan berguling-guling dan menggesek-gesek sekujur tubuh hingga berbenam pasir. "Kalian harus melakukan ini setiap hari, ya. Mandi di pasir ini berguna untuk membersihkan kutu di bulu, melemaskan otot-otot kalian, dan mengatur suhu tubuh kalian lebih sejuk."

Para Dara Ayam mengikutinya, meski beberapa di antaranya mengikuti Ayam dewasa lain mencatuk-catuk kerikil.

Sedangkan, si Bungsu Dara Ayam masih menatap ngeri penampakan tanah ketika ia mengintip malu-malu dari celah bubutan kandang bambu. Pandangannya bergoyang seketika. Dua kakinya yang masih keoranyean melangkah mundur memasuki petarangan.

"Anakku yang paling Bungsu, kok diam saja di kandang. Ayo, keluar! Kamu butuh udara segar dan sinar mentari pagi!"

Panggilan sang Nyonya Ayam hanya mampu membuat si Bungsu Dara Ayam menjulurkan leher tinggi-tinggi. Meski ia terpengaruh oleh keseruan yang dilakukan saudara lainnya, memoar traumatis masih membelenggu dirinya meringkuk di petarangan.

"Ada apa denganmu, Nak? Kamu nanti gering, lihat bulu-bulumu tambah lepek. Di sini lembap dan dingin!" Seruan panggilan sang Nyonya Ayam terus berkotek, akhirnya ia menghampiri petarangan.

"Tapi Bu, aku takut kalau Tuan Tikus muncul lagi dan mengunyahku bagaimana?" Si Bungsu justru lari mondar-mandir di kandang sambil mematuk bubutan bambu.

"Tidak ada Tuan Tikus di sini. Dia mana berani muncul di saat matahari sedang teriknya begini," tukas sang Nyonya Ayam memasukkan kepalanya agar si Bungsu Dara Ayam itu mampu meraih paruhnya dan tetap merasa aman.

Namun, si Bungsu Dara Ayam masih ragu. Tremor di tubuhnya kembali muncul.

Sang Nyonya Ayam menarik kepalanya keluar. "Ibu tunggu di luar, ya. Ibu juga harus mengawasi kakak-kakakmu."

Si Bungsu Dara Ayam itu justru makin gemetaran begitu sang Ibu meninggalkan sendirian di petarangan. Sementara tetangga Ayam lainnya tengah asyik mandi cahaya matahari. Bahkan ada yang saling beradu jengger. Meminum air genangan hujan.

"Baiklah. Aku tidak mau mati sendirian di kandang." Pelan-pelan dengan masih tremor, ia memaksakan cakar mungilnya menapaki keluar kandang. Kemilau baskara menusuk matanya. Sontak ia terkejut dan terjengkang. Tidak menyangka kalau mentari yang sang Ibu ceritakan itu terlalu bercahaya untuknya yang pertama kali bersentuhan dengan tangan-tangan matahari.

"Tidak apa-apa. Kamu pasti bisa. Kakakmu yang menetas hanya beberapa detik lebih awal dariku kata Ibu saja berani."

Saat matanya mulai menyesuaikan cahaya luar kandang, arah penglihatannya tertumbuk pada sesosok hitam kelam di ujung seberang kandang yang mana pemilik manusianya tinggal.

Di teras rumah manusia ada tampak sepasang sorot mata kuning lemon yang tengah mengawasi. Makhluk bersurai hitam legam dengan kumis panjang di hidung mengingatkannya pada teror hewan pengerat yang pernah melukai sayapnya yang kini telah tumbuh bulu kecokelatan lebih lebat.

Tubuhnya membeku seketika. Kontan ia mundur lagi.

Namun, ketika diperhatikan lebih lama, sosok mencekam tersebut membujurkan perutnya merebah di lantai. Tampak santai, tidak mengintimidasi.

Jika dibandingkan dengan perusuh Tuan Tikus itu jauh lebih kecil dari sosok si Hitam di teras. Apakah sosok itu juga memiliki gigi taring panjang dan akan mengunyah tubuh mungilnya?

Jangan-jangan si Hitam gembrot itu tengah mengintainya.

"Ibu! Ibu! Ibu, temani aku keluar!" pekiknya yang langsung direspon sang Nyonya Ayam yang setengah mencelat menghampiri kandang.

"Ada apa lagi, Nak Bungsuku? Kan, tinggal turun. Ayo, gunakan kedua cakarmu. Ayo, latih agar otot-ototmu tidak loyo!"

"Tapi, Bu. Siapa yang hitam besar di sana itu?" tanya si Bungsu Dara Ayam langsung melesat menabrak paruh Ibunya yang sudah berada di dalam kandang.

Sang Nyonya Ayam menolehkan kepala, mengikuti petunjuk yang dimaksud si Hitam Besar itu. "Astaga. Ibu kira ada apa. Dia Tuan Meng. Dia sedang menikmati santainya."

"Apakah dia akan mengunyahku juga seperti Tuan Tikus, Bu?" Si Bungsu Dara Ayam langsung bergelayut ketika sayap kanan sang Ibu masuk menepuk-nepuk kepalanya.

"Tentu saja tidak, Anakku. Tuan Meng justru diperintahkan Empu Manusia untuk menjaga kita. Justru Tuan Meng-lah yang akan memburu Tuan Tikus jika berani muncul dan mengganggu kita."

Si Bungsu Dara Ayam mengintip dari celah bulu, menatap takut-takut pada Tuan Meng yang tengah asyik menguap lebar. Merasa mendapat tatapan pecundang, Tuan Meng menyeringai lebar.

"Aaaaa ..., tapi Tuan Meng seram."

"Tuan Meng hanya tampak garang di luar, itu untuk menakut-nakuti Tuan Tikus. Aslinya baik, kok. Sering membantu Empu Manusia meramu dedak dan bekatul untuk sarapan Ibu loh."

"Apa iya? Kok aku enggak tahu?"

"Iyaaa. Kamu kan masih bobo di bawah Ibu."

"Uhmm oke. Aku akan turun, tapi Ibu jangan langsung pergi."

"Iya, Nak. Ibu akan menunggu di sini dan membawamu ke tempat saudara-saudaramu."

Si Bungsu Dara Ayam pun mengambil ancang-ancang hendak melompat. Namun, terpelecok dan berguling di leher belakang turun ke punggung, lalu bokongnya mental ketika mendarat di tanah.

Melihat hal itu, Tuan Meng ter-meong sambil terbahak-bahak. "Hai, Nak Kencur, jangan nangis kau kalau pantatmu benjol-benjol."

Si Bungsu Dara Ayam menekukkan wajah sebal.

"Ayo, mandi sambil berjemur."

Sang Nyonya Ayam berjalan di belakang agak menyamping untuk menggiring si Bungsu Dara Ayam memiliki keberanian menapaki tanah hangat.

Di saat melewati tepi teras, si Bungsu Dara Ayam memojokkan diri di ceruk ketiak Ibunya.

"Mau sampai kapan kau akan bersembunyi terus di belakang pantat Ibumu?" seloroh Tuan Meng menggeliatkan ekornya untuk menggodanya.

Tiba-tiba ketika si Bungsu Dara Ayam memberanikan diri berjalan mendahului Ibunya, Tuan Meng mengeong dengan nada sentak setengah mencegat akses setapak si anakan ayam kampung itu.

"AAAAA .... Ibu!" Si Bungsu Dara Ayam terlonjak dan lari tunggang-langgang di ceruk ketiak Ibunya.

Tuan Meng makin terbahak-bahak hingga perutnya kram.

Guntur tiba-tiba terdengar. Mega mendung mulai menari-nari lembut di angkasa, menghalangi sebagian sinar matahari.

Si Bungsu Dara Ayam justru penasaran akan fenomena asing lainnya di langit.

"Aduh, hujan. Padahal masih pengin kekipu," keluh sang Nyonya Ayam.

"Memangnya kenapa dengan hujan, Bu?"

Si Nyonya Ayam berkotek nyaring, memanggil semua Dara Ayamnya untuk menyingkir dan kembali ke kandang.

"Matahari mulai redup. Tanda akan hujan. Kalau hujan tanah jadi basah dan berat."

Namun, bukan hujan lebat, melainkan gerimis lembut, membuat sang Nyonya Ayam agak lega. Malahan para Dara Ayam tampak berjingkrak-jingkrak girang seolah menyambut rintik air yang lembut menyapu bulu halus mereka.

Terdengar pekikan meong teredam. Si Bungsu Dara Ayam menjatuhi atensi kepada Tuan Meng.

Di situlah ia terkejut kalau Tuan Meng belingsatan, lari tak tentu arah sampai tergelincir menabrak pot gerabah ketika di atap teras terdapat bolong-bolong pada beberapa sudut plafon. Sehingga meloloskan air langit dan membasahi surai keringnya.

Hal itu entah mengapa mengingatkan diri si Bungsu Dara Ayam yang bereaksi serupa terhadap Tuan Tikus yang memamerkan taring runcingnya.

Akhirnya, Tuan Meng memilih masuk ke ruang rumah bagian dalam.

"Ibu, Ibu."

"Iya, Anakku?"

"Tuan Meng yang garang itu takut dengan air hujan?"

"Benarkah?"

Melihat sang Ibu yang menengadah sambil membukakan paruh. Si Bungsu Dara Ayam pun mengikutinya. Setetes rinai gerimis mengguyur sejuk menuju temboloknya.

Padahal air yang jatuh dari langit kan enak di tenggorokan. Kenapa Tuan Meng takut, ya ....

2020


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top