Ch 8

Setelah baca, wajib beri vote dan komentar ^^

.

.

"Astaga.... Ervin!" Eva, kakak perempuan Ervin membelalak kaget saat mendapati adiknya yang baru pulang kuliah langsung menghidangkan berbagai makanan yang ia beli di atas meja ruang tengah, "ini kamu semua yang mau makan?"

Ervin terdiam, ia masih sibuk membuka bungkusan martabak untuk ia pindahkan ke piring.

Eva mendengus kesal, adiknya memang tipikal cowok jutek dan pendiam, tapi ia kira adiknya jika ia tanya selalu menjawab. Tapi ini kok –"Kamu sedang marah ya?"

Ervin masih tak menjawab. Ia lalu mengambil mangkok berisi satu porsi bakso dan menaruh sambal cukup banyak.

"Dek, kalo sambelnya segitu, kamu bisa diare..."

Gemas, Eva mengambil bungkusan sambal yang masih Ervin tuangkan ke mangkuk baksonya.

"Apaan sih kak?!" Ervin segera menepis tangan kakaknya hingga ia jatuh ke karpet.

"Astaga! Kamu yang apaan, Vin. Kamu lagi kesurupan setan apa, huh? Sedari tadi kakak tanya diem terus!"

"Kalo Ervin diem berarti Ervin lagi gak mau ngomong!"

Eva tersentak kaget saat adiknya berbicara dengan nada tinggi padanya. Biasanya Ervin akan manis jika berhadapan dengannya. Ini adiknya kenapa?

Setelah perdebatan singkatnya, Ervin kembali fokus pada makanannya. Ia aduk sambal pada baksonya hingga merata. Dan tanpa buang waktu ia melahapnya.

Eva memandangnya diam. ia menghela napas pasrah –yeah... mungkin adiknya sedang ada masalah. Biasanya begitu, jika ia sedang ada masalah, makan terus-menerus tanpa henti. Jadi Eva berdiri dari duduknya dan kembali duduk di sofa –bersebelahan dengan Ervin dan ia menyalakan TV.

"Dek, kakak minta martabak manisnya ya?"

"Gak boleh!"

Eva tersenyum kecut, lalu ia kembali fokus ke arah TV dan sesekali melihat ke arah adiknya. Dan tepat ia kembali melihat adiknnya untuk kesekian kalinya, kini ia melihat air –jelas itu air mata yang melewati pipi putih adiknya. Segera, Eva merasa panik.

"Dek, kamu kok nangis?"

Ervin meghentikan acara makannya. Ia tolehkan kepalanya ke arah sang kakak. Dan dengan segera ia mengusap matanya dengan cepat.

"Enggak kok. Ervin gak nangis," Sangkalnya. Meski Eva tahu, mata adiknya kini memerah dan hidungnya juga basah, "Ervin hanya kepedasan." Lanjutnya.

Ya. Ervin memang sedari tadi seperti kepedasan karena makanan itu. Tapi Eva bisa membedakan, itu bukanlah air mata akibat rasa pedas yang di deritanya. Buktinya, kini buliran air mata yang lain kembali turun satu demi satu. Mana mungkin itu hanya kepedasan?

"Kamu istirahat aja gih. Sepertinya kamu butuh istirahat ketimbang melampiaskan amarahmu degan makan banyak."

Ervin mengangguk setelah ia menyeka air matanya menggunakan tangan. Eva tak memaksa adiknya untuk bercerita. Toh, jika ia paksa, adiknya tak mungkin bercerita. Ia sudah tahu tabiat Ervin sejak dulu. Memendam perasaannya sendirian dan mengobatinya dengan makan banyak.

"Nih, kamu bawa martabaknya ke kamar." Eva menyerahkan piring berisi penuh dengan martabak manis yang tadi Ervin siapkan pada adiknya, "Inget ya dek, kamu mungkin gak mau cerita masalahmu ke kakak, tapi kamu harus berbagi masalahmu dengan temanmu agar hatimu merasa lebih lega. Mengerti?"

Ervin mengangguk. Lalu dengan dorongan pelan di bahunya, ia berjalan menuju kamarnya yang memang letaknya tepat di ruang tengah.

.

.

.

Menutup kamarnya dan menaruh piring berisi martabak, Ervin segera menjatuhkan tubuhnya ke ranjangnya. Ia menghela napas keras-keras. Wajahnya terasa dingin akibat air mata yang tadi turun, kini mulai mengering. Ia mengumpat dalam hati. Kenapa ia menangisi hal bodoh macam ini? Ia bukan cowok berhati cewek. Bahkan dulu ia tak menangis saat Revan memutuskannya dan pergi ke luar negeri tanpa pamitan padanya.

Tapi ini...

Ervin tak mengerti sama sekali. Ia tanpa terasa tadi menangis. Rasanya hatinya sakit jika ia tak mengeluarkan air matanya. Kejadian di bus yang tadi ia lihat kembali terbayang.

Siapa gadis itu?

Adiknya? –bukan! Ervin tahu, Satria itu anak tunggal.

Apa gadis itu Prita? –ah, Ervin sering lihat kalau kawan Satria itu sering bawa motor sendiri.

Atau sepupunya? Yah, mungkin itu cukup masuk akal.

Tapi jika menelisik ke belakang....

Satria berkata bahwa ia menyayanginya. Bahkan satria pernah menciumnya di bibir –Ervin masih merasakan ciuman itu. Sifatnya yang manis dan perhatiannya yang berlebih padanya, membuat Ervin mengatakan dalam hati bahwa Satria juga mencintainya. Tapi kenapa Satria tidak mau menjadikannya kekasih?

Apa dia takut dikira Gay?

Ervin mendengus kali ini. Hei, hubungan mereka bisa disembunyikan kok. Ervin tak apa.

Nah, sudah jelas kan kalau gadis itu pasti kekasih Satria? Jika memang itu bukan kekasihnya? Kenapa Ervin masih digantung hubungannya oleh Satria?

Ervin tersentak saat suara ponselnya berbunyi. Segera ia ambil dan melihatnya.

Kak Satria is Calling....

Satria mendengus, lalu tanpa berpikir lagi, ia me-reject panggilan dari Satria. Dan tepat saat itu, ia melihat puluhan pemberitahuan pesan dari LINE maupun SMS. Dan itu semua dari Satria yang berisi ucapan maaf karena tidak jadi menjemputnya akibat ada halangan.

Hah!

Alasan kuno! Iya. Halangannya adalah ia lebih memilih menjemput gadisnya ketimbang Ervin. Memang Ervin belum melihat wajah gadis yang berboncengan dengan Satria –karena wajahnya tertutupi helm, tapi ia yakin, ia tidak mengenali gadis itu

Dengan wajah tanpa ekspresinya, Ervin segera mengeluarkan batrei ponselya. Agar tak ada yang bisa menghubunginya malam ini –terutama si Satria itu.

Tanpa peduli lagi, ia lemparkan ponselnya ke nakas, bertepatan dengan itu juga, sebuah benda terjatuh dari meja nakas itu.

Ervin mengambilnya. Sebuah jepit rambut.

Masih ingat beberapa hari yang lalu, ia menemukan benda itu di mobil Satria. Yang mengakibatkan dirinya terus kepikiran dengan hal-hal yang mesti ia curigai pada seniornya itu.

"Dasar brengsek!" umpat Ervin dengan suara lirih, "Dia bisa saja mempermainkan gue, tapi jangan harap gue bakal menangis dihadapan lo."

.

.

.

"Ervin! Kenapa mata lo? Kayak panda tuh. Lembur ngerjain tugas?"

Ervin melirik malas pada teman sekelasnya yang kali itu duduk di dekatnya."Gak. hanya lembur main game."

Itu memang kenyataan. Semalam Ervin tak bisa tidur, maka dari itu, ia memutuskan untuk bermain game dan kembali menghabiskan makanannya yang memang semalam sempat tertunda karena ia sibuk menggerutu marah pada Satria. Jika kau mengira Ervin menangis seperti waktu di ruang tengah, maka jawabannya 'tidak'. Ervin sudah berjanji ia tidak akan menangisi seiornya itu karena telah mempermainkannya, meskipun dalam hati Ervin, ia sudah sangat sakit dan hancur.

"Game apaan?"

Ervin kembali melirik malas pada temannya yang menurutnya mengganggu itu, "Bisa gak lo diem? Kepala gue pusing karena kurang tidur!"

Pemuda itu terdiam saat melihat wajah dingin Ervin yang seperti mau membunuhnya, "O-oh. Oke. Silahkan tidur dulu. Dosennya juga belum masuk."

Ervin mendengus, lalu ia tumpukkan lengannya di atas meja dan menjatuhkan kepalanya di sana.

Baru beberapa menit ia merasakan rileks dengan posisi seperti ini, tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya. Segera saja Ervin menegakkan tubuhnya tapi dengan malas. Dan yang pertama ia lihat, adalah gadis yang ia kenali.

"Kak Prita?"

"Hai, Vin. Sori ganggu."

Ervin membenarkan letak duduknya dan sedikit merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, "Ada apa kak?" ucapnya dingin. Entah kenapa ia kini tak bisa ramah mengingat Prita itu adalah kawan Satria.

"Er... boleh keluar sebentar? Ada yang mau bicara sama elo."

Ervin menaikkan sebelah alisnya, "Siapa?"

"Makanya ayo buruan keluar."

Ervin menurut. Ia beranjak dari duduknnya dan berjalan mengikuti Prita yang ada di depannya.

Dan saat Ervin ada di luar, ia mencari sosok yang sepertinya ia kenali untuk mengajaknya bicara. Namun ia tak kunjung menemukan orang yang ia kenali. Kecuali satu. Seorang gadis, dengan rambut ikal panjang yang di warnai coklat gelap dengan potongan kaos merah muda berlengan panjang dan di patutkan dengan rok berwarna hitam dengan corak lingkaran kecil berwarna putih yang panjangnya hanya di atas lutut. Menurut Ervin tampilan gadis itu sangat mencolok. Terutama kacamata hitam yang ia pakai. Membuat puluhan pasang mata melihatnya antara kagum karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan pandangan iri atas apa yang mereka lihat.

"Vin, kenalkan" –dan benar, Ervin berhenti tepat di depan gadis itu yang kini telah melepas kaca mata hitamnya dan memandangnya dingin. "dia Sonia."

Ervin menerima jabat tangan dari gadis itu meskipun dengan wajah yang ragu.

"Ervin." Kenalnya pada gadis cantik yang masih memandangnya dingin.

"Saya Sonia." Gadis itu melepas jaat tagaya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada, "saya pacarnya Satria."

Dan seketika itu pula, kedua mata Ervin melebar. Sedangkan Prita, hanya menunduk cemas atas keputusannya kali ini.

.

.

.

Pertemua yang tidak Ervin duga. Ia akhirnya menitipkan absen pada teman kelasnya hanya karena gadis yang bernama Sonia yang baru ia kenal mengajaknya berbicara di tempat sepi. Jadi Ervin membawanya ke sebuah gazebo dekat kolam buatan di fakultasnya yang memang tempat itu sedikit sepi jika jam pagi seperti ini.

Prita berkali-kali membisikkan kata maaf pada Ervin sebelum gadis itu meninggalkan dirinya dengan Sonia.

Ervin hanya memaklumi Prita. Ia mengatakan, bahwa Prita juga kaget dengan kedatangan Sonia di rumahnya dan meminta di pertemukan dengan Ervin.

"Jadi... kamu yang namanya Ervin?"

Sonia membuka pembicaraannya. Ia memandang lurus ke arah kolam tanpa melihat ke Ervin.

"Ya. Benar. Kenapa kamu bisa kenal denganku?"

Sonia mendengus, ia lalu beralih memandang Ervin dengan senyum sinisnya.

"Tentu aku tahu. Kamu adalah orang yang sedang dekat dengan Satria."

Ervin terdiam. Masih memandang Sonia dengan dingin.

"Aku tidak mengira, bahwa Satria, yang terlihat seperti lelaki normal. Tapi di belakangku dia tak lebih dari seorang lelaki homo."

Ervin mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ia harus bisa menahan diri, karena Sonia adalah seorang gadis yang sedang mengintrogasinya. Ervin tahu itu.

"Aku akui. Kau terlalu manis untuk ukuran laki-laki." Sonia memandang detail bentuk wajah Ervin, "dan aku cukup kaget juga mengetahuinya."

Dengan mendengus keras, Ervin mencoba bersabar.

"Berapa laki-laki yang masuk perangkapmu? Apa kau sudah tidak tertarik dengan lawan jenismu?"

Cukup sudah. Ervin lama-lama jika terus bersama wanita itu, ia bisa menghajarnya habis-habisan.

"Apa maumu, hah?!" ucap Ervin dengan emosi tertahan.

Sonia menyeringai licik. "Mauku? Pasti kau sudah tahu." Lalu ia tertawa lirih, sebelum ia melanjutkan ucapannya dengan wajah dinginnya, "Jauhi Satria. Dia hanya milikku."

Tbc

A/N : aduhh... kok saya jadi bikin karakter Sonia jadi jahat gini sih? Huhuhu TAT gak papa deh biar greget!

Yups! Setelah baca, wajib vote dan kasih komentar, kalau ada yang komen 'next thor' atau 'lanjut author...' akan bakal saya update lama. Males sih kalo komen Cuma gitu-gitu aja! Gak punya kalimat lain apa? Hahaha.... XD

Akhir kata,

Arigatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top