Ch 6
Ervin melirik ke arah seniornya yang sedang berdiri sebal tak jauh dari tempat duduknya sekarang. Ervin mendengus setelah melihat ekspresi tak mengenakkan yang ada di wajah tampan seniornya itu.
"Jadi... lo sekampus sama Hakam?"
Ervin mengalihkan perhatiannya dari Satria, ke pemuda yang sedang duduk di sampingnya yang tadi bertanya.
"Ehmm –ya. Gue sekampus sama Hakam. Kita juga masih kadang main bareng."
Ervin kembali melirik Satria dari ujung matanya, lalu menyeringai saat ia masih menemukan gerak-gerik bosan dari Satria karena menunggunya berbicara dengan teman SMA nya itu.
Tadi pagi, Ervin yang baru cuci muka tiba-tiba dipanggil oleh ibunya karena ada seseorang yang menunggunya di luar. Dan tak Ervin sangka, seniornya –Satria sudah berdiri di depan pagar rumahnya dengan bersender pada mobil berwarna biru di belakangnya. Ervin hanya menaikkan alisnya saat ia sudah tahu tujuan seniornya sekarang berada di depan rumahnya hanya dari melihat pakaian olahraga yang ia kenakan.
"Siap untuk lari pagi?" Ucap Satria dengan senyum termanisnya di pagi itu. Dan Ervin tak bisa menolak. Ia ikut tersenyum dan mengatakan untuk berganti pakaian.
Tapi saat suasana lari pagi yang menurut Satria sangat menenangkan ini karena bersama Ervin, segera terputus kala ada seorang pemuda yang tingginya hampir sama dengan dirinya –dan Satria akui pemuda itu lumayan tampan meskipun kulitnya sedikit gelap –memanggil Ervin dengan wajah sumringah. Yang kini, mereka sedang berbincang di kursi taman itu, sedangkan Satria berdiri di bawah pohon untuk menunggui Ervin dengan wajah super bete nya.
"Err... Dika, udah dulu ya, kasihan temen gue nungguin."
"Oh, dia temen lo?"
"Iya" lalu Ervin tersenyum, ia berdiri dan merapikan sedikit kaosnya. "Gue kesana dulu ya –"
"Gue ikut."
"Huh?"
Pemuda bernama Dika itu tersenyum, "Gue ikut, mau minta maaf sama temen lo karena udah nungguin lo gitu."
"Oh." Lalu Ervin mengangguk, "Baiklah."
.
.
Satria merasa kesal karena sejak Ervin bercerita dengan temannya, ia seperti seorang yang menyedihkan berdiri sendirian di bawah pohon. Apalagi saat Ervin dan temannya itu saling tertawa –oke, Satria tidak cemburu pada pemuda yang diketahui teman semasa SMA Ervin, tapi Satria hanya –erghh... kesal! Yah... kesal. Karena Ervin jika bersama dirinya jarang mengeluarkan senyum semanis itu.
"Dasar nyuri-nyuri kesempatan saja..." gerutu Satria. Tentu saja itu ditujukan pada temannya Ervin.
Akhirnya, untuk menghilangkan rasa bosan, Satria mengotak-atik ponsel pintarnya dengan wajah kesal yang sangat kentara. Dan ia berjanji, jika dalam lima menit Ervin dan temannya tidak mengakhiri obrolannya, Satria akan –
"Kak Satria!"
"Huh –Ervin?"rencana yang sedang Satria rencanakan di otaknya untuk mengakhiri obrolan mereka musnah sudah saat terdengar suara halus –yang Satria sukai –milik Ervin memanggil namanya.
"Maaf kak, pasti bosan ya nunggu kita selesai ngobrol?"
Satria menghembuskan napasnya pelan, lalu tersenyum manis ke Ervin, "Ah, enggak kok. Jadi..." Satria melirik pemuda yang ada di samping Ervin –tunggu kenapa dia ngikutin Ervin kesini? "jadi, kita pulang?"
Ervin mengangguk untuk menjawab pertanyaan seniornya itu.
"Maaf ya kak, waktu kalian jadi terganggu gara-gara saya." Pemuda yang tadi diam, kini bersuara.
Satria menatapnya tak bersahabat. Ia memandangi teman Ervin dengan mata sebelah yang di naikkan.
"Hm." Jawab Satria singkat.
"Ya sudah. Gue balik, Vin."
Ervin mengangguk, "Hati-hati ya..."
Dan tanpa Satria duga, sebelum pemuda itu pergi, ia mengacak pelan rambut Ervin sebagai salam perpisahan.
"EHEM!" interupsi keras. Teman Ervin pun terlonjak dan langsung mengarahkan kepalanya ke Satria yang tadi menggeram keras. Seperti tahu ada sinyal berbahaya, pemuda itupu segera meleggag pergi.
"Apa?" Tanya Satria saat melihat Ervin yang memadang curiga padanya.
"Kak Satria kok gitu sih? Dika kan jadi lari gitu." –lalu Ervin memasang wajah cemberutnya. Membuat Satria terkekeh kecil.
"Maaf deh.."
"Salah sasaran. Harusnya minta maafnya ke Dika, bukan ke aku."
Satria selalu suka jika Ervin sedang cemberut karena kesal seperti ini. Maka jangan salahkan Satria sering menggodanya agar ia bisa melihat wajah lucu yang dihasilkan dari rasa kesal juniornya itu.
"Gue traktir es krim, mau?"
"Memangnya aku anak umur lima tahun, disogok sama es krim?"
Tak kuat lagi dengan tingkah menggemaskan Ervin, Satria tertawa. Ia tak menyangka, hampir dua bulan mereka saling kenal, Ervin sudah bisa menunjukkan sifat aslinya –suka merajuk.
"Kok Kak Satria tertawa sih? Kalau gitu, aku mau pulang saja!"
"Oke... gue berhenti tertawa –tapi, sumpah muka lo cute banget kalau gi marah gitu."
Ervin mendengus, lalu ia berjalan meninggalkan Satria yang masih berusaha menghentikan tawanya.
"Hei! Mau kemana?"
"Pulang!" Ucapnya tanpa membalikkan badannya. Ervin masih terus berjalan sampai sebuah tangan besar menghentikannya dengan memegang bahu sempitnya.
"Mobil gue di sana Vin~ lo mau kemana?"
Dan wajah Ervin segera terlihat semburat merah di kedua pipinya saat kedua bahunya di dorong pelan oleh Satria untuk menuju ke parkiran dimana mobil Satria disana.
.
.
.
"Katanya tadi mau pulang, kok malah makan rujak disini?" dengan wajah yang semakin kesal, Ervin mengupas buah mangga yang sudah sepuluh menit tak bersih-bersih dari kulitnya.
"Habis olahraga, enaknya ngerujak, Vin."
"Teori darimana? Kok aku baru denger –ini udah bersih kak?" Ervin mengangsurkan buah mangganya ke depan wajah Satria yang juga sama sibuknya sedang mengupas buah kedondong.
"Belom. Tuh, masih ada sedikit."
"Ih, kan Cuma sedikit kak. Gak papa kali."
"Ck. Ck.ck kamu mau makan rujak buah yang enggak bersih? Bagaimana kalo nanti masih ada kumannya?"
Ervin mengembungkan kedua pipinya, tanpa membalas ucapan Satria, ia kembali mengupas bersih buah mangga yang setengah matang itu.
" –aduh!"
Satria segera menghentikan aktifitasnya yang sedang mengupas buah yang lain dan melihat ke arah Ervin yang tadi sedikit berteriak.
"Vin –ASTAGA! Jari lo kok berdarah gitu?"
Ervin meringis menahan sakit. Jari telunjuk di tangan kirinya tergores pisau hingga berdarah. Perih langsung menjalar ke kulitnya yang terbuka.
"Tadi gak liat kak. Tau-tau malah jariku yang ke gores."
Satria menatapnya khawatir, sedikit rasa bersalah karena tadi menyuruh Ervin untuk mengupas buah-buah yang akan ia buat rujak. Segera ia ulurkan tangannya untuk memegang jari Ervin.
"Kita segera ke mobil. Ada kotak P3K di sana."
Setelah Satria meminta air dari warung rujak itu untuk membersihkan luka Ervin, ia membayar rujaknya walau tanpa mereka makan dan Satria menuntun Ervin untuk masuk ke mobilnya.
"Masih sakit?"
"Udah gak papa kok kak. Ini mah luka kecil."
"Luka kecil bisa berakibat fatal, tahu!"
Satria segera mengambil kotak obatnya yang ada di jok belakang, dan segera mengoleskan obat antiseptik ke jari Ervin dengan pelan sesekali meniup-niupkan napasnya ke jari Ervin.
Melihat betapa telaten dan khawatirnya Satria melihatnya terluka sedikit seperti ini, Ervin kembali teringat dengan pembicaraan mereka waktu itu. Dimana Ervin menanyakan, apa Satria sudah mempunyai kekasih atau belum. Seniornya itu masih tak menjawab sampai sekarang. Ia berpikir, jika memang tidak punya, kenapa Satria tidak mengatakan 'tidak' apa sesulit itu?
Ervin curiga, kalau Satria sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi nyatanya, tidak ada gelagat bahwa seniornya itu mempunyai kekasih, karena waktu yang Satria punya setiap harinya, sering mereka habiskan bersama.
"Kak..." panggil Ervin pelan, ia menatap Satria yang kini sedang memasang plester ke jarinya.
"Hm? Apa?"
"Aku mau tanya."
"Tanya apa? –nah, selesai." Satria memandang puas ke jari Ervin yang kini terbalut plester dengan rapi. "Mau tanya apa?" ulangnya.
Ervin tampak gelisah sebelum bertanya. Kedua tangannya memegang celana training nya dengan cukup erat.
"Vin?"
"Kak, sebenarnya, hubungan kita sekarang apa sih?"
Terlihat, Satria menegang setelah Ervin selesai mengucapkan pertanyaannya. Ervin berani mengatakan ini, karena ia sudah penasaran dibalik sikap manis Satria selama ini padanya. Jika berteman, tentu sikap manis dan baiknya menurut Ervin terlalu berlebihan. Bahkan Hakam yang sudah ia kenal lama, jika dirinya jatuh sampai lututnya berdarah, Hakam hanya tertawa tanpa memasang wajah khawatir seperti tadi Satria saat melihat jarinya tergores.
"Itu...." Satria sedikit bingung untuk menjawabnya. Ia garuk kepalanya yang Ervin yakini, seniornya itu sedang tidak merasa gatal.
"Aku dianggap kak Satria teman, adik, junior di kampus, atau... lebih dari itu semua?"
Satria mengigit bibir bawahnya, kedua matanya tak berani memandang ke kedua bola mata Ervin.
"Ayo kak jawab. Karena... selama ini sikap kak Satria terlalu baik padaku. Aku takut, nanti aku .... salah paham, dan berharap lebih."
Kedua tangan Satria terulur untuk memegang kedua bahu Ervin dengan lembut. Membuat Ervin terjingkat dan langsung menatap seniornya itu.
"Vin..." Jeda sesaat, Satria memberanikan diri melihat langsung ke bola mata bulat Ervin, "gue...sebenarnya sayang sama lo. Tapi –"
Senyum Ervin tak bertahan lama saat sebuah kata 'tapi' mengikuti kata indah yang tadi Ervin dengar.
" –tapi gue bukan memaksudkan itu untuk jadiin lo pacar gue –"
"Kenapa? Jadi rasa sayang kak Satria dimaksudkan sebagai rasa sayang ke adik? Gitu?"
"Jangan memotong ucapan gue dulu, Vin."
Ervin memandang kecewa pada seniornya itu. Maksudnya dia berada pada status di gantungin?
"Kak, aku hanya penasaran. Waktu aku tanya kak Satria udah punya pacar atau belum, kak Satria gak jawab. Tapi sikap kak Satria ke aku bikin aku salah paham kakak. Sebenarnya maunya kakak gimana –"
Ucapa Ervin terpotong, saat kedua pasang bibir lembut dan hangat menempel manis di bibir kecil milik Ervin.
Kedua bola mata Ervin terbuka lebar dan napasnya tercekat saat Satria mulai menahan kepalanya dari belakang untuk memperdalam ciumannya dan memagutnya lembut. Pijatan-pijatan lembut nan basah, Satria lakukan pada bibirnya. Menyerah, Ervin menutup kedua matanya. Dan kedua tangannya yang tadi terkepal tegang, melemas seketika. Untuk beberapa waktu, Ervin menikmati semua yang Satria lakukan padanya. Tapi dalam otaknya, saat ciuman itu berlangsung, terbesit sebuah pikiran –ciuman itu seperti tak lepas dan terhalang sesuatu
Ervin membuka matanya saat kedua belah bibir yang tadi membelainya lembut, terlepas. Ervin memandang wajah Satria pias.
"Kak –"
"Gue sayang sama lo, Vin. Lo harus tahu, itu."
Tapi itu bukan jawaban yang Ervin inginkan. Ia sudah tahu perasaan seniornya itu padanya. Yang ia ingin tahu sekarang adalah, hubungan kedekatan mereka itu apa?
Sapuan lembut di rambutnya membuat Ervin terhempas dari lamunannya dan menatap Satria yang kini sedang tersenyum manis padanya.
"Kita pulang. Lo harus istirahat setelah ini."
.
.
.
Suasana canggung dari perjalanan pulang sampai sekarang mobil Satria telah berhenti di depan rumah Ervin, membuat Ervin ingin sekali cepat-cepat keluar. Maka saat ia telah sampai di depan rumahnya, Ervin segera membuka pintu mobil Satria dan segera keluar, tapi lagi-lagi usahanya gagal saat tangan Satria memegang lengannya.
"Vin, lo baik kan?"
Ervin berbalik, memandang Satria dengan senyum manisnya, yang sebenarnya senyum itu tak sampai hati, "Aku baik. Aku turun ya kak?"
"Eh –ya. Silahkan."
"M-makasih atas ajakannya pagi ini."
Satria mengangguk, "Biar aku bukakan pintunya."
"Gak usah –"
Tapi nyatanya, Satria segera keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobilnya. Dan tepat saat itu, Ervin melihat ada sesuatu yang ia lihat di dekat kakinya. Segera ia menunduk dan mengambilnya. Ingin segera ia amati, tapi keburu Satria telah membukakan pintunya. Dan dengan cepat, Ervin memasukkan benda itu ke saku jaketnya.
"Sekali lagi makasih ya kak."
Satria tersenyum, lalu mengacak rambut Ervin lembut, "Sama-sama. Aku pulang ya."
Ervin mengangguk. Ia melihat Satria yang memasuki mobilnya sebelum masuk rumah sampai ia melambaikan tangannya saat mobil Satria mulai melaju.
Ervin menghela napas setelah mobil Satria tak terlihat, ia teringat dengan benda yang ada di saku jaketnya. Dan setelah ia keluarkan benda kecil itu dari saku jaketnya, Ervin menatap benda itu curiga.
"Jepit rambut?" gumamnya. Ya. Itu adalah jepit rambut berwarna merah muda dengan corak bunga-bunga. Ervin yakin, benda ini adalah milik seorang wanita, karena ia juga sering lihat Linda –temannya itu memakai benda yang ada di tangannya itu. Tak mungkin kan Satria yang memakainya?
"Punya siapa ini?"
Kembali, hati Ervin menjadi tak karuan karena ia tahu, ia akan mendapati fakta lain dari seniornya itu.
Tbc
A/N : maaf nunggu lama~ aduhh penyakit liburan nih ; MALES! Kerjaannya males-malesan terus hahaha...
Yups~ berikan vote dan komentar ya agar saya tidak males-malesan lagi untuk menulis~
Don't be a silent reader. Ok?
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top