Ch 2

Dua hari setelah Satria bertemu dengan Ervin yang tiba-tiba datang ke markasnya dan memberikannya sebuah kotak bekal yang Satria akui memang makanan itu sangat lezat. Awalnya memang Satria mengira Ervin itu adalah cewek tomboy bahkan trangender. Pemikiran konyol itu segera tertepis kala dengan polosnya Satria bertanya,

"Lo beneran cowok?"

Saat itu Ervin yang sedang melihat-lihat isi ruangan yang di sebut Satria markasnya langsung mengernyit heran.

"Kakak kira aku cewek?"

Masih dengan memegang sendok, Satria menjawab lagi dengan polosnya, "Iya. Tapi lo kan ada jakunnya, berarti lo cowok."

Waktu itu Satria melihat bahwa wajah Ervin memerah sampai ke telinganya.

Cute.

Itulah kesan Satria saat melihat wajah Ervin yang nampak malu. Bahkan Ervin berkata bahwa bekal yang dimakannya adalah asli buatannya.

Heel! –Satria selalu berasumsi bahwa seorang cowok yang selain koki tidak akan bisa masak seenak itu selain cewek tentu saja.

Dan sejak saat itu Satria membatin, mungkin Ervin ditakdirkan jadi seorang perempuan, tapi saat lahir, kelaminnya berubah.

Dan sejak saat itu, Satria terkadang sepintas memikirkan mahasiswa baru itu, meskipun ia telah yakin Ervin itu seorang pemuda sama sepertinya, tapi bayangan saat mukanya memerah membuatnya tak hilang dari otaknya. Bahkan kemarin, Satria dengan sengaja memutar ke arah gedung anak FISIP –dimana fakultas yang anak itu ambil di universitasnya, namun ia tidak beruntung, karena Satria tak menemukan Ervin disana.

Mengingat betapa konyolnya ia, Satria tersenyum geli.

"Yaelah ni anak senyum-senyum sendiri."

Lamunannya terhempas, saat Satria mendengar suara temannya yang sekarang memandangnya dengan aneh.

"Siapa yang senyum-senyum sendiri?"

"Elo! Lo lagi dapet duit banyak ya dari nyokap lo? Traktir kita-kita napa!"

Satria memukul kepala temannya itu karena seenaknya saja menyimpulkan, "Lo kalo ngomong suka asal ceplos ya, Met?"

"Lo juga asal ceplos, Sat. Berkali-kali gue bilang, nama gue bukan Slamet."

"Halah, sama aja. Nama panjang lo kan ada Slametnya."

Pemuda yang ada di sebelah Satria pun merengut jengkel, "Terserah deh. lo pada dari SMA emang gitu ke gue. Panggilan gue kan Ferry"

Satria terkekeh mendengar keluh kesah sahabatnya sedari SMA itu, ia lalu meminum jus nya lagi saat matanya menangkap sesosok yang sudah ia cari dua hari ini.

Ervin.

"Ngapain tu anak ada di kantin sini? Bukannya dia anak FISIP?"

Satria langsung menoleh ke arah Ferry yang berbicara dan pandangan matanya ke arah dimana Ervin dan dua temannya yang lain duduk.

"Emang kenapa si, Met? Suka-suka Ervin lah."

"Sumpeh Prit, gue masih dendam sama dia."

"T-tunggu! Kayaknya ada yang kelewat nih selama gue minggat dari tugas kepanitiaan." Satria melihat Prita dan Slamet satu-satu dengan pandangan curiga, kecuali Bagas temannya yang sedari diam karena sedang menikmati bakso pedasnya, " –kalian kenal Ervin?"

"Kenal lah! Dia kan yang bikin gue bonyok!" ucap Ferry dengan menggebu-gebu. Ternyata pemuda berkulit gelap itu masih merasa kesal atas insiden jurit malam itu.

"Bonyok? Elo? Sama siapa?"

"Ervin lah! Yaelah! Elo sih, kemaren minggat jadi gak tahu, Sat!"

Satria masih mencerna kata-kata Ferry yang menurutnya kurang masuk di akal. Mana mungkin masuk akal? Bagaimana bocah semanis Ervin bisa bikin Ferry yang badannya tinggi besar itu bonyok?

"Ngaco lo Met. Mana mungkin lah Ervin kayak gitu. Kemaren dia juga ngasih gue makanan. Dan makanan buatannya enak kok."

Terdengar Prita terkekeh geli mendengar penuturan polos Satria. Satria memang tampan, keren, dan cool tapi terkadang dia juga teramat bodoh di saat-saat tertentu.

"Kenapa lo ketawa, Prit?"

Prita berusaha menghentikan tawanya, gadis berkuncur kuda itu terbatuk untuk menyembunyikan tawanya, "Haduh Sat, emang Ervin gak cerita alasan dia ngasih makanan ke lo?"

Satria menggeleng, "Gue kira dia salah satu penggemar gue?"

"Pede lo! Dia bahkan gak tahu lo sebelumnya." Celetuk Ferry.

"Nih ya Sat, waktu jurit malam, Ervin di hukum karena mukul Slamet yang waku itu nyamar jadi pocong. Dan memukul senior itu suatu pelanggaran. Akhirnya gue kasih Ervin hukuman dengan membuat bekal buat lo plus tanda tangan lo."

Seketika raut penasaran dari Satria hilang, tapi tergantikan dengan wajah....kecewa?

Entahlah. Yang jelas, kini Satria memandang nanar ke arah tempat Ervin duduk di ujung sana.

Jadi, dia bukan fans gue?

"Tapi, kenapa harus gitu hukumannya? Kan gue jadi salah sangka."

Prita mengedikkan bahunya, "Entahlah. Itu ide yang terlintas di otak gue."

"Udah bro! Jangan di pikirin." Bagas yang baru saja menghabiskan baksonya menepuk bahu Satria dari belakang, "guys, gue ada kelas. Duluan ya."

"Dasar si Bagas, kalau ngumpul Cuma buat makan aja tuh bocah!"

Satria tak mendengarkan ocehan Ferry. Ia kembali fokus memandang Ervin dari kejauhan. Melihatnya tertawa dengan teman-temannya, entah mengapa membuat dirinya tanpa terasa ikut tersenyum.

%%%%%

Ervin baru saja menyelesaikan kelas keduanya dan bergegas keluar dari kelas dengan mengecek ponselnya. Kuliah minggu pertama diisi dosen dengan perkenalan saja, wajar kalau cepat selesai. Dan karena Ervin belum mendapatkan teman yang akrab di kelas, ia memutuskan untuk pulang saja setelah ini karena tak ada kelas lagi yang harus ia masuki.

Hakam memang satu universitas dengannya, tapi ia beda fakultas dengannya. Fakultas ekonomi sangat jauh dari fakultasnya. Sebenarnya Ervin malas untuk pulang, tapi Hakam bilang ia ada kelas sampai sore sedangkan Linda yang berada di fakultas Pendidikan juga sama halnya. Mereka bertiga memang teman SMA, dan bersyukur masih di satukan dengan satu Universitas. Jadi jika jadwalnya sama-sama kosong, mereka akan kumpul.

"Ervin!"

Mendengar namanya disebut, Ervin berhenti berjalan dan mengalihkan pandangannya dari ponsel ke orang yang memanggilnya.

Kedua mata Ervin menyipit kala seorang pemuda yang waktu itu ia beri makanan menghampirinya.

"Ngapain lagi sih tu orang?" gumamnya saat melihat pemuda yang diketahui bernama Satria itu berlari dan berhenti di depannya.

Sebagai bentuk rasa sopan, Ervin sedikit mengangguk dan tersenyum ke seniornya itu.

"Akhirnya ketemu juga..." ucapnya dengan napasnya yang belum teratur karena sehabis berlari.

"Err... ada apa kak?"

Sejenak, Satria tampak canggung dengan menggaruk tengkuknya yang Ervin yakini tidak terasa gatal. Ervin memandan Satria, menunggu jawaban dari pemuda tampan itu.

"Gue..." Satria kembali menggaruk tengkuknya lagi, " –g-gue mau berterima kasih atas makanannya waktu itu."

"Oh..." Ervin mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, "Sama-sama kak."

"Makanamu sungguh enak."

Ervin hanya tersenyum, ia juga bingung mau menanggapi apa.

"Kalau begitu... jika tidak keberatan, aku pergi dulu, kak."

"O-oh apa? –oh... yahh... silahkan."

Ervin kembali tersenyum dan berbalik untuk menuju halte untuk menunggu bus yang akan membawanya pulang ke rumahnya. Sebelum Ervin melangkah lebih jauh, ia sempat mendengar umpatan yang berasal dari Seniornya itu .

"Ck! Dasar bego! Bego! Bego!"

Ervin hanya mengedikkan bahunya. Ia tak ambil pusing dengan tingkah seniornya itu yang bersikap aneh di hadapannya.

%%%%%

"Astaga! Astaga! Astaga! Kak Satria lihat ke sini. Dia liatin gue?"

Ervin memutar kedua bola matanya saat lima menit yang lalu Linda –teman perempuannya berisik karena melihat senior favoritnya yang juga ada di kantin.

"Linda...Linda... cewek macem lo gak bakal di lirik sama cowok keren macem kak Satria."

"Ih... Hakam sirik aja! Gue yakin kok kak Satria lihatin ke sini." –dan Linda kembali rusuh dengan membenarkan pakaian serta rambutnya yang tergerai.

Ervin menenggak sodanya yang membuat kaleng soda yang tinggal sedikit habis seketika, lalu ia tolehkan kepalanya ke belakang dimana Linda sedari tadi ribut karena Satria –cowok yang katanya paling tampan di kampusnya sedang duduk dan melihat ke meja mereka.

Ervin menaikkan sebelah alisnya saat senior tampan itu tersenyum ke arahnya seraya menganggukkan kepala.

Dia senyum ke gue? –batin Ervin.

Namun sekali lagi teman perempuannya histeris sambil memukul lengan Hakam dengan raut senang.

"Kyaaaa~ Kam, lo lihat kan! Dia senyum ke gue –astaga!! Mimpi apa gue semalem?"

"Yaelah Lin, pede banget sih lo~" Lalu Hakam ikut melihat Satria yang memang matanya tertuju ke mejanya. Namun saat Hakam menelisik lebih jauh, pandangan mata seniornya itu bukan ke arah Linda, melainkan ke –erghh Ervin? Loh?

"Lin, kayaknya lo bener-bener ke-pede-an. Kayaknya dia senyum ke Ervin deh." Hakam melirik Ervin yang memasang wajah dingin meskipun kedua matanya tertuju pada Satria.

"Masa' sih?" Linda mulai memasang wajah kesal karena saat ia memperhatikan lebih jauh, omongan Hakam memang benar.

"Eh! Kak Satria jalan kesiniiii –astaga!" dan wajah gadis itu segera berubah kembali ceria saat melihat Satria berdiri dan sepertinya berjalan ke meja mereka. Gadis yang mengambil jurusan pendidikan bahasa Indonesia itu kembali berisik dan ribut merapikan baju dan rambutnya yang bahkan tak perlu di rapikan.

"Err... maaf ganggu waktu makan siang kalian –"

"Ah... enggak ganggu kok kak." Linda segera memotong perkataan Satria yang sudah ada di meja mereka dengan nada manjanya.

Satria tersenyum canggung ke arah gadis itu, lalu matanya teralih menuju Ervin yang kini juga sedang memandang heran padanya, "...bisa pinjam Ervin sebentar? Gue mau ngomong sebentar sama dia."

"Oh... boleh kok kak. Silahkan aja. Gak dikembaliin juga gak papa." Ucap Hakam asal, membuat Ervin mendelik padanya. Sementara Linda menganga tak percaya bahwa Ervin lah yang dicari senior tampannya itu.

"Bisa gak kakak ngomong disini saja."

"Gak bisa. Gue gak enak ada temen lo." Satria melirik Linda dan Hakam bergantian.

Mengerti bahwa kehadirannya tidak diinginkan, Hakam berinisiatif untuk pergi dan ninggalin Ervin berdua dengan seniornya itu, "Oh. Kita bisa pergi kok kak –ayo Lin!"

Meskipun gadis itu enggan pergi dari sana, ia akhirnya menurut saat Hakam menariknya pergi.

Sepeninggal teman-teman Ervin, Satria mengambil kursi dan menempatkan dirinya duduk di sebelah Ervin.

"Jadi... ada apa, kak?"

Seperti kemarin, Satria merasa canggung jika sudah berhadapan dengan Ervin. Dia juga tidak tahu kenapa bisa begitu.

"Err... gue pengin kenalan sama lo."

"Kan udah waktu aku ngasih makanan ke kakak." Ucap Ervin enteng.

"Yahh... tapi kan itu gak formal."

Ervin mengedikkan kedua bahunya, "Menurutku sama saja."

Satria menatap heran juniornya itu. Astaga! Kenapa muka semanis Ervin bisa berekspresi dingin seperti itu sih?

"Err... sebenarnya gue pengin minta nomor lo. Pin BB juga boleh, atau ID LINE... mungkin?"

"Kakak lagi modus ya?"

Ucapan asal Ervin membuat dirinya membeku.

Modus?

Astaga!

Apa gue lagi modusin ini anak?

Dirinya malah tidak sadar dengan hal itu.

"Baiklah. Mana ponsel kak Satria, biar aku masukkan nomorku. Line bisa di add dengan nomorku itu."

Tak disangka, Satria kira ia tidak akan berhasil, namun Ervin malah memberikannya dengan gampang. Dengan semangat, Satria mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya ke Ervin.

"Thanks Vin. Tunggu pesan dari gue, ya." Ucapnya saat ia menyimpan kontak nomor Ervin ke ponselnya.

Dengan perasaan senang, Satria pergi dari sana dan melambaikan tangannya.

"Dasar cowok aneh."

A/N :please Vote dan coment for this story. Jangan jadi silent readers ya~

See ya di chapter selanjutnya ^^

Arigatchu~ :*

Multimedia : Sebagai Satria Mahardika

tr

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top