Ch 11 END
Habis baca, beri Vote dan komentar itu wajib!
.
.
.
SatriaMahardika : Ervin, plis bales pesan gue. Gue minta maaf banget, Vin.
Dan pesan LINE itu hanya di baca tanpa di balas oleh Ervin. Sudah berkali-kali Satria mengirimi Ervin pesan dari ke sosial media sampai SMS –dan semuanya hanya dibaca tanpa adanya balasan. Satria tahu, dirinya sudah membuat Ervin menjadi sakit hati dan marah padanya. Harusnya ia tidak punya muka lagi untuk mengirimi Ervin pesan dan mengharapkan balasan darinya. Tapi apa daya? Satria masih menyayangi bocah manis itu. Bahkan terhitung sudah hampir empat hari sejak insiden dimana Sonia menemui Ervin dan Satria bertengkar hebat dengan Sonia karenanya, Ervin semakin terang-terangan sedang menjauhinya. Pernah Satria sesekali berpas-pasan dengan Ervin saat sedang nongkrong di fakultasnya bersama teman-temannya, Satria waktu itu ingin mendekatinya. Namun sebelum ia berjalan ke arah Ervin, tiba-tiba kedua matanya dan Ervin bertemu. Begitu sakit hatinya saat Ervin segera memalingkan pandangannya dan kembali berbicara dengan teman-temannya. Saat itu Satria menyadari, bahwa kini ia tak diharapkan kehadirannya oleh Ervin. Dan dengan wajah tertunduk karena menahan rasa sakit pada hatinya, Satria brbalik dan pergi dari kampusnya.
"Satria!"
Seketika lamunannya terhempas saat sebuah suara dan tepukan dibahunya oleh seseorang. Satria menoleh ke samping. Dimana ada seorang gadis yang sangat ia kenali tengah menatapnya heran.
" –eh, lo udahan makannya, Son?"
Yeah. Satria sekarang tengah makan malam di sebuah kafe yang mereka temui setelah seharian Sonia mengajaknya jalan untuk sekian lama setelah mereka berhubungan jauh karena hobi Sonia.
Setelah ia memutuskan untuk terus menjadi kekasih Sonia, ia berusaha untuk menuruti kemauannya. Meskipun kini hatinya tak ada rasa untuk Sonia, meskipun juga setiap ia dan Sonia sedang jalan bersama, pikirannya hanya tertuju pada Ervin. Pemuda itu telah memerangkapnya dalam sebuah kubangan yang sulit untuk keluar.
"Ngelamun aja. Makananku udah habis dari tadi, kamu nya aja yang belum."
Satria menunduk untuk melihat makanannya yang ada di atas meja. Memang, makanannya masih banyak. Entah kenapa, napsu makannya akhir-akhir ini memburuk setelah Ervin telah membuat tembok besar sebagai pembtas antara diriny dan Ervin.
Satria tersenyum kaku, "Gue udah kenyang, Son."
"Masa? Katanya tadi pagi gak sarapan. Siang juga tadi kita hanya minum jus. Masa kamu gak laper?"
Satria menaruh sendok dan garpunya dan menelungkupkannya di atas piringnya, "Beneran gue udah kenyang."
Sonia memandan curiga pada Satria.
Sebenarnya Sonia bukannya buta akan hal ini. Malam harinya, setelah ia mendengar pernyataan Satria untuk tetap bersamanya, sebenarnya Sonia memikirkan –betapa egois nya aku. Memang bukan salah Satria sepenuhnya jika Satria membagi hatinya kepada orang lain, tapi ini juga salahnya yang karena hobinya, ia jadi tidak memikirkan kemungkinan terburuk karena hubungan jarak jauhnya yang malah minimnya komunikasi lewat saluran telepon atau internet. Salahnya juga yang membantah larangan Satria dan tetap pergi.
Ini bukan Salah Ervin karena Satria kini telah jatuh ke pesonanya. Bukan.
Sonia memikirkan itu semua. Dan memang, beberapa hari ini saat mereka pergi bersama, Satria sering melamun. Raganya memang berada di dekatnya, tapi tidak dengan jiwanya. Satria memang jadi penurut akhir-akhir ini padanya. Ia mau di ajak pergi kemanapun olehnya. Tapi Sonia kecewa, Satria sering tak mendengarkan ucapannya, selalu tak berkosentrasi. Dan pernah ia hampir marah saat Satria salah menyebut namanya dan memanggilnya 'Ervin'.
Sonia menghela napas, mencoba agar tidak memikirkan hal-hal membingungkan ini, toh, sekarang Satria telah ia dapatkan kembali.
"Kamu kalo kayak gini terus bisa sakit, Sat." Ucap Sonia dengan tangan kanannya memegang lembut tangan besar Satria.
Satria terdiam. Ia seperti ini juga karena Sonia. Ia harus memaksakan hatinya untuk terus bersamanya. Dan menurut Satria, ini seperti....menyiksanya.
Akhirnya Satria tersenyum dan memandang Sonia. "Kita pulang aja, ya?"
Dan Sonia mengangguk kali ini atas permintaan Satria yang tiba-tiba.
.
.
.
"Satria."
"Hm?" Satria membukakan helm dan melepasnya dari kepala Sonia. Ia memandang balik gadis itu yang sedang memandangnya serius.
"Boleh aku tanya?"
Sebenarnya Satria sedikit gugup mendengar nada ucapan serius yang keluar dari mulut Sonia.
"Kamu masih kepikiran sama Ervin?"
Benar kan?
Satria sudah menduga bahwa pembicaraan ini mengenai Ervin.
Satria menunduk. Ia belum menjawabnya, memikirkan terlebih dulu jawaban untuknya. Sampai ia tersenyum miris dan memandang nanar pada Sonia, "Menurutmu, bagaimana?"
"Masih. Kamu masih sangat memikirkannya."
Tidak menolak. Tentu saja. Memang itu kenyataannya. Maka yang dilakukan Satria hanya memandang kosong ke jalanan kompleks perumahan orang tua Sonia yang sudah sepi.
"Aku bukannya gak tahu ya, Sat. Tapi aku merasa banget kalau kamu gak sama aku pikirannya kalo lagi jalan bareng. Kamu sering melamun. Pasti kamu mikirin Ervin!"
Satria hanya tersenyum tanpa memandang Sonia. "Ucapanmu benar, Son. Tapi apa yang sekarang lo khawatrin? Gue udah milih lo dari pada dia."
"Tapi hati kamu gak milih aku Sat."
Satria menoleh cepat ke arah Sonia. "Apa maksud lo?"
"Kamu udah gak ada rasa lagi sama aku... benar kan?"
Tenggorokan Satria tercekat mendengar ucapan Sonia yang tepat mngenai dirinya. Satria hanya duduk mematung di atas motornya dengan kedua bola matanya yang memandang tak berkedip pada Sonia yang kini sedang menahan tangis.
"Maaf, Son..." ucap Satria lirih.
"Jadi ucapanku benar?" kini suara Sonia mulai gemetar. Satria tidak bisa memandang Sonia yang hampir menangis. Lalu ia tarik pelan kepala Sonia untuk ia benamkan ke dadanya.
"Sori, Son. I can't help it! Gue udah berusaha ngelupain dia, tapi usaha gue gagal, Son."
Sonia tidak menjawab. Ia terisak lirih di dada Satria. Dan yang Satria lakukan hanya mengelu punggung gadis itu mencoba menenangkan.
"Tapi gue udah milih lo Son. Gue yakin, dengan adanya lo, hati gue bisa lo miliki lagi."
"Enggak, Sat!"
Sonia menarik dirinya dari pelukan Satria. Wajahnya memerah dan penuh air mata saat memandang Satria.
"Apa maksud lo, Son? Gue udah yakinin, gue bakal ngelupain dia –"
"Dan aku gak bisa nunggu sampe kamu benar-benar kembali lagi sepenuhnya ke aku." Sonia menggeleng-gelenggan kepalanya frustasi, "gak Sat! Aku gak tahu, kapan kamu sepenuhnya buat aku. Aku gak mau nunggu!"
"Tapi pasti gue bisa Son. Gue bakal berusaha."
"Kamu berusaha, iya, oke. Tapi selama kamu berusaha, waktu kebersamaan kita bakal gak ada artinya kalau pikiranmu ke Ervin terus, Sat!"
Satria diam. Memang betul ucapan Sonia. Ia bahkan tadi sempat ragu dengan ucapannya ke Sonia.
"Kamu kok bisa sih kayak gini, Sat?" Sonia menghapus air matanya meski suaranya masih parau karena tangisannya. "kamu kok jadi suka cowok? Apa kamu udah beralih jadi gay, hm?"
Satria menggeleng lemah, "Gak Son. Laki-laki yang gue suka Cuma Ervin, gak yang lain. Makanya, jika gue balik baikan sama lo, gue kemungkinan bisa suka lagi ke lo."
"Bohong!"
Satria menghela napas, perempuan memang begitu, dikasih hati malah minta jantung.
"Lalu maumu apa, Son?"
Sonia menunduk, ia memainkan jarinya beberapa saat. Dan dengan kasar ia usap lagi wajahnya lalu menatap Satria, "Aku mau kita udahan aja."
"Apa?!"
"Kita putus."
"Son. Lo gak tahu apa yang lo pikirin. Gimana dengan orang tua –"
"Aku yang bakal ngomong sama orang tuaku. Toh, memang hubungan kita udah rusak sejak lama. Sejak aku sering traveling ke sana kemari."
Satria mendorong rambutnya ke belakang lalu menghela napas frustasi. Ia tidak tahu lagi apa yang akan dia lakukan.
"Kamu bisa bebas dariku, Sat." Sonia memandang Satria dengan mata sembabnya, "dan kamu bisa bersama dengan Ervin. Aku bersungguh-sungguh."
Dan memang, ketika Satria memandang kedua mata Sonia, ia tak melihat adanya kebohongan dimata Sonia.
.
.
.
Satria Mahardika. Pemuda tampan yang banyak di kagumi oleh kaum hawa dan beberapa kaum adam yang gay. Statusnya kini adalah single –maksudnya adalah, ia jomblo tak mempunyai kekasih sejak smalam Sonia memutuskannya.
Ya.
Satria telah menerima semua keputusan Sonia untuk berpisah. Ia juga sejujurnya lega karena kini ia tak terjerat rasa bersalah karena terus membohongi hatinya dan Sonia agar terus bersama.
Dan kini, ia sedang mengharapkan sebuah keajaiban. Dimana kini ia berada di depan pintu rumah Ervin. Berjongkok di depan gerbang rumahnya, menanti Ervin pulang dari kampus. Menyedihkan memang. Tapi Satria tidak peduli. Ia sedang berusaha menggapai hatinya. Meski ia tahu sembilan puluh persen Ervin bakal menendangnya pergi, ia masih mempunya sepuluh persen harapan, dimana Ervin akan mendengarkan keluh kesahnya selama Ervin menghidarinya.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Satria tersentak kaget. Suara halus yang Satria rindukan terdengr olehnya. Satria mendongak, dan tersenyum kala Ervin sedang menunduk memandangnya dengan ekspresi wajah dinginnya.
Satria berdiri. Ia masih menjaga senyumnya untuk Ervin.
"Hai..."
Ervin masih memandangnya dingin.
"Vin, gue... gue mau bicara sama lo."
Ervin tidak menanggapi, ia malah mendorong gerbang besi itu dan mencoba masuk ke dalam. Tapi dengan cepat, Satria mencegatnya.
"Plis, Vin. Beri gue kesempatan buat bicara sama lo."
Ervin memandang Satria, "Bicara saja sekarang."
"Gak disini, Vin. Lo mau ikut gue?"
Sebua anugerah, Ervin dengan mudahnya ia tarik dan menyuruhnya untuk duduk di boncengan motornya. Bahkan Satria tersenyum lebar saat Ervin menerima helmnya dan memakainya langsung.
.
.
.
"Ngapain aku dibawa kesini?"
Ervin memandang aneh dengan tempat yang sekarang ia lihat setelah ia dan Satria turun dari motor Satria. Sebuah taman dengan danau buatan yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya.
"Biar enak aja ngomongnya."
Satria mendudukkan dirinya di rumput tepi danau itu. Tempat itu kebetulan sepi dan Satria sangat suka suasana di tempat ini. Dulu ia juga sering kesini saat masa-masa manis bersama Sonia.
Ervin mengikuti, ia mendudukkan dirinya agak jauh dari tempat dimana Satria duduk.
"Kok Jauhan Vin?"
Ervin menatapnya sinis, lalu ia membuang tatapannya dan beralih memandang danau yang berkelip terkena cahaya matahari.
"Apa kabar lo, Vin?"
"Baik." Dingin. Ucapan Ervin kembali seperti dulu saat ia baru mengenalnya.
"Sejujurnya... selama lo ngehindari gue, gue sangat terpuruk, Vin."
"Jangan bilang seperti itu saat kamu sudah mempunyai kekasih cantik disana." Ucap Ervin sinis dengan masih kedua matanya terpacang pada danau yang ada di depannya.
"Gue udah putus sama Sonia."
Penjelasan singkat, dan itu membuat Ervin menoleh ke samping dan memandang seniornya yang juga sedang memandangnya.
"Apa?"
"Gue diputusin sama Sonia."
"Apa –apa gara-gara aku?" ucap Ervin lirih, sedikit ada rasa tak enak menyergap hati Ervin mengetahui fakta baru ini. Karena, bisa dibilang Ervin adalah pihak ketiga diantara hubungan Satria dan Sonia yang sudah berlangsung lama.
Namun Satria menggeleng, "bukan, Vin. Sebelum gue kenal lo, memang hubungan kami udah lama buruk. Kita masih bersama karena ketidak enakan gue sama orang tua Sonia."
"Lalu... tujuan kamu ngajak aku kesini?"
Satria bergeser, mendekatkan duduknya dengan Ervin yang memandangnya penasaran.
"Vin, mungkin gue udah brengsek banget. Tapi... gue mau minta maaf ke lo. Maafin gue ya, Vin?"
"Aku dah maafin kok. Cuma ..." Ervin menggantungkan kalimatnya.
"Cuma?"
"Aku masih gak terima kalo kakak...mainin perasaanku."
"Gue gak bermaksud begitu –"
"Aku tahu. Kak Satria hubungannya sedang berantakan dengan Sonia, terus ada aku yang membuat kk Satria sejenak lupain Sonia. Aku tahu kok, aku hanya sebagai selingan kak Satria."
Satria menghela napas berat. Ervin sudah berpikiran negatif tentangnya. Kesempatan untuk meminta ia mendekati Ervin lagi sejenak ragu.
"Gak Vin! Gue beneran jatuh cinta ke lo. Gue sayang banget sama lo, Vin."
Sebelah alis Ervin terangkat, seakan-akan wajahnya menyiratkan ketidak percayaannya pada Satria.
"Vin, beri gue kesempatan satu kali lagi. Gue tahu, gue ak pantes minta ini ke lo, tapi gue udah sayang bnget sama lo Vin, dan ingin miliki lo."
Satria menatap penuh harap pada Ervin. Jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban yang di lontarkan oleh Ervin.
Cukup lama Ervin untuk menjawab. Ia memandang kosong pada Satria. Ia juga mencintai Satria. Sunguh. Tapi rasa sakit hatinya sudah sangat berbekas dihatinya. Ia bahkan kadang merasa malas jika menemukan Satria berada di kampus dan menatapnya terus menerus. Dan juga Hakam –sahabatnya pasti akan marah besar jika ia dengan mudah kembali pada Satria.
"Maaf..."
Ucapan awal dari Ervin membuat selruh syaraf Satria seakan mengendur, ia suda sangat lmas untuk mendengar penuturan Ervin selanjutnya.
"maaf kak. Aku gak bisa..."
Satria menunduk. Ia tahu, ia sudah sangat bodoh apabila mengharapkan Ervin memberinya kesempatan dengan mudah.
"Tapi..."
Seketika kepala Satria langsung menegak kala mendengar suara Ervin lagi. Ia memandang Ervin dengan wajah penuh harapan dan senyum tertahan. Sedangkan Ervin masih tetap memasang wajah dinginnya.
" –tapi jik kak Satria menunjukkan keseriusan untuk mendekatiku lagi, akan kupikirkan."
Senyum langsung menghiasi wajah Satria. "Gue janji, Vin! Gue janji, gue bakalan gak nyakitin lo lagi dan gue serius sama lo."
Ervin mendengus mengejek, ia berdiri dan menepuk-nepuk celananya untuk menyingkirkan debu. "Aku gak butuh janji kak, yang aku butuhkan itu bukti dan tindakan."
Satria ikut berdiri, ia memegang tangan halus dan kecil milik Ervin. "Gue janji, Vin. Gue gak bakal ngingkarin ini."
Ervin menyentak pegangan tangan Satria pada tngannya. Dan ia mengelus tangannya bekas dimana Satria tadi memegangnya seakan-akan ia sedang menyingkirkan sesuatu disitu.
"Jangan janji-janji lagi, kak. Aku masih belum bisa percaya. Dan jangan sembarangan pegang-pegang aku. Anggap kita sementara ini hanya kenalan sampai aku bisa percaya lagi dengan kak Satria."
Lalu Ervin berbalik dan melangkah pergi. Membuat Satria memandangnya heran.
"Vin, mau kemana?"
"Pulang!"
Mendengar itu, Satria segera mengejar Ervin dan langsung memegang tangannya.
"Kak! Kan udah dibilangin jangan sembarangan pegang-pegang!"
Satria tersenyum geli dengan menggeret pelan Satria menuju motornya.
"Masa sih gue tega ak nganterin pulang ke orang yang gue sayang? Bagaimana bisa nanti lo percaya ke gue?"
Setelah menyuruh Satria memakai helm dan duduk di boncengan, Satria menyalakan mesin motornya.
"Pegangan ya, Vin."
"Ogah! Kita hanya kenalan!"
Satria menghela napas pasrh, ternyata Ervin berpegang teguh pada ucapannya.
Dan Satria tidak akan pernah tahu, bahwa Ervin tersenyum di balik punggungnya melihat wajah Satria yang kecewa karena ia menolak kontak fisik dengannya. Tapi Ervin tak bohong, ia akan kembali menerima Satria jika Satria telah membuktikan rasa sayang padanya.
TAMAT!
A/N : yesss tamat! Wohohoho~ maaf mungkin kalian berpikir, 'loh udah? Tamat ini? Kok gantung? Gak jelas gini?
Iya, saya emang niat bikin cerita ini singkat kok. Bikinnya gara-gara seharian lagu Kpop yang judulnya RESET punya JK Tiger. Eh, malah kepikiran buat bikin cerita.
Terimakasih dengan readers yang udah nyempetin buat baca cerita absurd ini. Terutama terimakasih BANGET buat readers yang udah ngevote dan komentar ^^
Makasih udah ngikutin cerita ini sampai akhir. Dan ini aku bikin ceritanya di notebook kakak karena laptopku trouble lagi hahaha TAT Tunggu cerita lainnya dari saya XD
Dan akhir kata, karena ini ending, berharap bnyak yang ngasih vote dan komentar ^^
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top