Ch 10
Setelah baca, Voment jangan lupa! ^^
"Kam, kayaknya kita datang disaat ya gak tepat deh..." Beni berbisik di telinga Hakam yang masih memandang prihatin pada Ervin yang kini sedang menghabiskan kotak es krim keduanya.
Hakam mendesis, lalu ia jauhkan wajah Beni dengan mendorong dahinya dengan cukup keras hingga ia mengaduh.
"Vin..." ucap Hakam lirih, namun Ervin masih sibuk membenamkan wajahnya dibalik kotak es krim tersebut.
"lo bisa sakit Vin kalo kayak gini terus." Lanjut Hakam lagi. Ia sudah tahu masalah yang sedang dihadapi Ervin tersebut kemarin. Makanya, di Sabtu pagi ini ia menyeret Beni untuk menemaninya ke rumah Ervin –berhubung hari sabtu memang mereka tidak ada jadwal kuliah. Setelah Hakam mengetahui cerita itu dari kakak senior jurusannya –prita, ia berniat mau memukul Satria saat itu juga. Tapi keinginannya untuk melihat kondisi sahabatnya jauh lebih penting. Bisa saja Hakam sampai rumah Ervin akan berkata,
"Rasai lo Vin, kan udah gue bilang, Satria itu Cuma mainin lo! Lo sih ngeyel banget sih jadi orang!"
Iya. Bisa saja Hakam bilang seperti itu pada Ervin. Tapi saat ia sampai rumah pemuda manis itu, Hakam langsung bungkam, bahkan Beni berniat mau lari kembali ke motornya saat melihat kondisi Ervin saat ini.
Mata bulatnya tak secerah biasanya, ada lingkar hitam yang sangat jelas di bawah matanya, pandangannya sayu dan terlihat matanya sedikit kemerahan. Rambut hitam legamnya yang biasa tertata rapi dan terlihat halus itu tak terurus rapi.
Bayangkan! Mana tega Hakam mengejek temannya setelah melihat kondisinya yang buruk itu coba? Bukannya mengejek, Hakam langsung merangkul bahu Ervin saat itu juga yang masih memasang wajah dingin dan berdiri kaku di depan pintu. Dan Ervin yang masih memasang ekspresi dingin langsung mendorongnya hingga terjengkang.
Ah, lupakan kejadian tadi. Hakam sangat khawatir pada sahabatnya itu, yah, meski tadi ia terjengkang karena di dorong oleh Ervin, ia segera berdiri dan mengejar Ervin masuk ke dalam rumah, sedangkan Beni, ia yang semula mau pulang ditarik kembali oleh Hakam. Karena Hakam tahu, ia butuh orang lain lagi untuk membuat suasana nanti tidak terlalu kaku.
"Vin, udah donk. Lo bisa sakit perut kalo makan es krim sebanyak itu."
Hakam menghela napas melihat Ervin yang baru menyelesaikan kotak es krim itu. Dan menaruh wadahnya di meja. Beni melongo dan mendesah takjub melihatnya.
Ervin berdiri dari duduknya, ia semula akan berjalan dan meninggalkan sofa di ruang tengah itu, tapi Hakam memegang tangannya.
"Udah Vin. Lo jangan nyiksa badan lo sendiri hanya gara-gara masalah ini. Udah cukup 2 kotak es krim aja. Ya?" pinta Hakam dengan lembut.
"Apaan sih? Emang gue ke dapur mau ambil es krim lagi?" ucap Ervin dengan nada datarnya.
"Lah? Emang bener kan?"
Ervin memutar bola matanya bosan, lalu menghela napas, "Gue mau ambilin lo berdua minuman. Mau lo berdua kehausan?"
Hakam nyengir, Beni juga ikutan terkekeh mengetahui betapa sok tahunya Hakam itu.
"Eh, Kirain... ya maap deh. jus jeruk ya Vin. Kalo enggak es teh juga gak masalah."
Ervin berdecak kesal, ia lalu berjalan menuju dapur setelah Hakam melepaskan genggamannya. Dan beberapa menit, Ervin kembali dengan dua buah gelas berisi jus jeruk dingin di atas nampan dengan setoples kue kering.
"Makasih lo, Vin. Hakam ke rumah gue kepagian, jadi belum sempet sarapan –aduh... sakit, Kam!"
Beni melotot ke arah Hakam yang tadi memukul pahanya dengan cukup keras. Lalu Hakam beralih memandang Ervin yang terlihat sangat menyedihkan dimatanya. Tubuhnya yang sudah kurus, terlihat semakin kurus saja. Padahal semestinya Ervin cepat gemuknya, karena jika ada masalah begini, Ervin meluapkan emosinya dengan makan terus menerus.
"Vin, gue udah tahu masalah yang lagi lo hadepin."
Sebenarnya Ervin sudah malas mengungkit masalah itu lagi dan lagi. Bahkan ia tak cerita ke keluarganya saat menanyakan dirinya yang jarang keluar kamar dan membawa makanannya ke kamar. Itu karena ia malas untuk menceritakan masalahnya. Jika diceritakan, akan menambah sakit pada hatinya terasa lagi.
"Udahlah, Kam. Gue udah males buat cerita."
"Gue gak nyuruh lo buat cerita kok. Tapi lo jangan bikin kesehatan lo buruk hanya karena mikirin masalah ini sendirian."
Ervin mendengus, ia alihkan matanya ke arah lain dan malas menatap temannya itu.
"Sekarang, kalian kesini mau apa? Mau ngejek gue karena omongan lo bener?" terdapat nada sinis pada ucapan Ervin tadi.
Hakam menghela napas, Ervin sedang panas pikirannya, maka ia harus sabar menghadapi sikap menyebalkan Ervin kali ini. "Mana tega gue kayak gitu ke lo, Vin?"
"Iya. Mana tega kita kayak gitu ke lo." Beni ikut-ikutan nimbrung, lalu ia kembali sibuk memakan kue kering yang ada di toples.
"Tapi sebenernya gue nyesel Kam gak dengerin omongan lo waktu itu." Kepala Ervin menunduk. Kedua tangannya saling remas dengan gelisah.
Hakam tahu, sahabatnya itu sedang menahan tangisnya. Memang Ervin adalah tipe anak yang jarang menunjukkan ekspresinya. Terlihat memang ia seperti anak yang lemah dan gampang menangis. Tapi nyatanya, Ervin memang perasa jika hatinya terluka sedikit, tapi ia takkan menunjukkannya dengan tangisan, sebaliknya, ia akan menghancurkan tubuhnya sendiri dengan semua makan-makanan yang ia konsumsi.
"Gak ada yang perlu disesali Vin," Hakam menepuk bahu Ervin –mencoba menguatkan, "inget, Vin. Lo dulu juga lebih buruk dari ini saat di tinggal Revan. Masa Cuma gara-gara si senior itu, lo jadi kayak zombie gini sih? Make a move lah, udah lupain orang gak penting macam si Satria."
Ervi terseyum tipis. Sebenarnya beruntung mempunyai sahabat seperti Hakam dan Beni seperti ini –yah, meskipun Beni disini hanya nemenin Hakam. "Thanks." Sebenarnya Ervin merasa lebih hancur kali ini dibanding dengan dulu saat ia putus dengan Revan. Satria sudah sangat ia sayangi dan ia sudah sangat mengharapkan seniornya itu untuk menjadi miliknya. Jika Hakam menyuruhnya untuk lupain seniornya itu, entahlah, Ervin tidak yakin bakal semudah itu. Memang Ervin sangat marah setelah tahu seniornya itu berbohong dan seperti memainkan perasaannya –meskipun ia tahu, Satria tidak bermaksud seperti itu –tapi ia tentu tidak mudah akan terus melupakan semua yang pernah mereka habiskan waktu bersama. Meskipun baru beberapa bulan ia mengenal seniornya itu, tapi rasa sayangnya sudah begitu besar pada dia seperti sudah mengenalnya bertahun-tahun.
"Gue coba untuk lupain dia, Kam." Ucap Ervin lirih. Meskipun dia yakin, setiap ia ingin melupakan Satria, semakin besar juga ketidak relaannya untuk jauh dari seniornya itu.
.
.
.
.
"Kok kamu gitu sih ke aku?" Sonia memandang nanar pada Satria saat setelah kekasihnya membentaknya dengan wajah yang menakutkan. Sonia berjalan mundur perlahan melihat kekasihnya kalap seperti itu.
Mengetahui tindakannya yang tidak terkendali, Satria mencoba menghela napas agar sedikit lebih tenang, ia tundukkan kepalanya beberapa detik sebelum kembali memandang Sonia, "Sori, gue sedang kacau pikirannya."
"Kamu berubah, Sat."
"Oke. Gue tahu itu, Son."
"Kamu berubah! Pasti gara-gara cowok binal itu kan?!"
"Jaga ucapanmu Son!!!" baru saja Satria mulai tenang, Sonia kembali menyulut kemarahannya dengan julukan kasar dari Sonia untuk Ervin.
Sonia berbalik, ia berjalan menuju sofa yang ada di ruang utama apartemennya. Ia tundukkan kepalanya. Sudah tidak tahu lagi, harus bagaimana ia mengatasi hal ini.
"Son, gue Cuma tanya," Satria berjalan mendekat, lalu mendudukkan dirinya disamping gadis berambut coklat itu."apa tadi kamu nemuin Ervin?"
"Iya! Kenapa? Kamu keberatan?!" ucapnya seperti menantang. Sonia menatap Satria dengan kedua matanya yang sudah basah dengan air mata.
Sejenak, Satria terhenyak saat melihat air mata Sonia yang mengalir, sedikit, ada rasa bersalah dalam dirinya melihat Sonia seperti tersiksa karena dirinya.
"Sat, kamu kira saat aku pergi, aku gak mikirin kamu? Aku terus kepikiran sama kamu. Apa kamu makan teratur, apa kamu berangkat kuliah sesuai jadwal –aku masih kepikiran sama kamu Sat selama aku pergi! Tapi nyatanya –" Suara Sonia tersendat saat ia mulai kembali terisak dengan air mata yang kembali berjatuhan.
" –nyatanya kau selingkuh! Apalagi selingkuhanmu adalah seorang laki-laki! Aku gak tahu, aku mesti bersikap seperti apa saat aku lihat isi ponsel kamu yang ada hanya gambar cowok itu dan semua pesan gombalan kamu ke dia!"
"Son..."
"Lalu apa salah gue nemuin dia? Apa gue salah minta dia jauhin lo –"
"Apa?! Lo ngomong gitu ke Ervin –Son! Elo –argghh gila kamu ya!"
Sonia terpaku, gadis itu memandang terkejut pada Satria yang ekspresinya tak sesuai dengan dugaannya. Dan malah ia mengatai dirinya gila?!
"Apa? Kamu ngatain aku gila?" gadis itu mendecih lirih, "apa yang cowok itu pakai hingga kamu udah gak peduli sama aku? Dia melet kamu?!"
"Cukup Son!" Satria berdiri dari duduknya, ia remas rambutnya hingga berantakan. Makanya Ervin semarah tadi, Sonia telah mengancamnya agar Ervin tidak lagi mendekatinya. Arghhh! Kenapa ini semakin runyam?! "Jika lo memang peduli ke gue, seharusnya dari dulu lo dengerin omongan gue agar tidak pergi-pergi terlalu jauh karena hobi kurang kerjaan yang elo sukai!"
"Heh!" merasa tak terima, Sonia ikutan berdiri, ia tak suka ada orang yang menghina-hina hobinya, "Apa kamu lupa, huh? Sebelum kita mulai pacaran dulu saat SMA, aku udah ceritain semuanya tentang aku ke kamu, dan kamu terima itu semua! Harusnya sudah empat tahun kita pacaran, lo harus ngertiin aku! Jangan terus-terusan aku yang ngertiin kamu dengan ngikutin semua perintahmu!"
Oke, memang ucapan Sonia ada benarnya, dan Satria kesal bukan main karena memang dirinyalah yang sering egois terhadapnya.
"Ya tapi lo jangan bilang ke Ervin untuk ngejauhin gue, Son!"
"Oh.... biar lo masih terus-terusan sayang-sayangan sama dia sementara aku jadi obat nyamuk gitu, di duain! Iya gitu?!"
Satria mengusap wajahnya dengan kasar, "Bukan begitu Son! Ervin itu anak yang baik. Malah lo ngancem dia –"
"Teruuuusss bela aja dia! kamu dipelet apa hah sama tu banci?!"
"SONIA!" Satria sudah akan melayangkan tamparannya pada mulut lancang gadis itu, tapi gerakannya terhenti saat melihat wajah Sonia ketakutan. Segera saja Satria menurunkan tangannya pelan, dan mencoba menenangkan dirinya.
Mengetahui tak ada rasa sakit yang ia terima di wajahnya, Sonia membuka kedua matanya, dan melihat Satria yang kini menunduk dengan terus menahan marahnya.
"Kenapa? Gak jadi mukul? Ayo pukul aja!" mendengus keras, Sonia melipat kedua tangannya di depan dadanya, "dasar! Beraninya mukul cewek. Oh iya, kan sekarang Satria Mahardika jadi penyuka cowok imut. Atau cowok imut itu yang ngegodain kamu habis-habisan. Udah berapa kali kamu nusuk pantatnya?"
"Son, jika lo gak jaga mulut lo, gue tampar juga lo! Ervin bukan anak yang seperti itu, dia anak baik-baik. Dan asal lo tahu, gue yang deketin dia duluan!"
"Apa?!" Sonia kembali memandang tak percaya pada Satria, setelah ia mencoba bertahan pada kesetiaannya, kekasihnya malah mencari yang lain saat dirinya sedang jauh memikirkannya? "kamu yang deketin dia dulu? Sat, apa lo udah bosen sama aku?"
Satria menunduk, ia tak berani memandang langsung ke mata Sonia yang kini mulai menangis lagi.
"Sat, jawab! kamu udah bosen sama aku?"
Satria menggeleng, "Gak, Son. Lo adalah pacar gue yang paling bertahan lama sama gue."
"Cuma itu? Cuma pacar yang bertahan lama?" Sonia berdecih kesal, "sekarang aku tanya, sekarang, lo lebih cinta ke aku... atau Ervin? Huh?"
Pertanyaan sulit. Sungguh. Bahkan ujian fisika yang dulu ia sangat benci lebih mudah dari menjawab ini.
Iya. Jika Satria tidak merasa kasihan dengan Sonia karena pengorbanannya selama ini dengannya, Satria akan bilang ia lebih mencintai Ervin ketimbang Sonia. Tapi lihatlah sekarang, Sonia terlihat rapuh saat ini. Bukannya pulang di sambut dengan keceriaan, kini ia pulang dengan dihadapkan masalah yang baru datang pada hubungannya dengan Sonia. Apakah ia harus mengakhirinya sekarang dan menjadi egois?
"Sat! Jawab donk! Jangan diem terus!" Sonia kembali terisak, bahkan ucapannya tadi sangat sumbang akibat air mata yang terus mengalir, ah, membuat Satria tidak tega saja. Tapi hatinya tidak bisa berbohong bahwa memang, cintanya kini hanya untuk pemuda manis bernama Ervin. Haruskah ia jujur?
Menghela napas, Satria berniat ingin berkata sesuai dengan isi hatinya, "Son, gue –"
Belum sempat ia berkata, Sonia menubruknya dengan sebuah pelukan. Tangisannya terdam karena kepala gadis itu di benamkan di dada bidang Satria.
"Son..." dengan kaku, Satria mengangkat sebelah tangannya untuk membalas pelukannya.
"Aku gak mau kamu pergi dari aku, Sat. Kamu harus tetap disini bersamaku."
Satria tidak tahu lagi. Pikirannya terbelah menjadi dua antara Ervin dan Sonia. Tapi melihat Sonia yang terlihat sangat lemah seperti ini, Satria tak tega untuk menyakitinya lebih dalam.
"Iya... gue gak akan ninggalin elo, Son." –dan entah kenapa ada rasa menyesal setelah Satria mengucapkannya.
Tbc
A/N : ihh..... aku kok jadi kesel sih sama Satria! Hahahaha bakaaarrr aja dah ini tokoh! Bikin sana sini sakit hati! Aku nulis bagian Sonia beneran ngerasain loh sakit hatinya sampe sedikit-dikit berhenti karena kasihan ke sonia TAT
Kayaknya ini bentar lagi saya tamat-in deh, karena memang saya bikin cerita ini gak bakal panjang hehehe....
Sooo~ kasih vote dan komentar ya guys~ inget loh aturannya. Aku gak mau bilang, asal udah tahu lah kalian. Kalo ada yang komen gituan saya bakal lama update XD hahaha~
Akhir kata,
Arigatchu~ :*
Ayo mana tim Ervin, mana tim Sonia?
P.S : chapter 10 awalnya ilang, entah bagaimana. itu dari wattpad yang hilangin, bukan saya. semoga yang belum baca ch 10, sekarang bisa menikmati.... ^^ file nya baru ketemu, maaf lama ya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top