Ch 1

Ervin tidak tahu sama sekali kalau akhir dari OSPEK di Universitasnya amatlah repot dan bikin dirinya kesal setengah mati. Ia kira pembubaran OSPEK hanya acara menginap satu malam di kampus dengan diisi berbagai acara kontes –entah apa –dan kemudian tidur sampai pagi. Tapi nyatanya, saat ia sudah amat lelah dan ingin sekali membaringkan tubuhnya ke lantai yang berlapis tikar itu, belum juga setengah jam ia menutup mata sudah dibangunkan oleh senior-senior panitia OSPEK yang dengan tak ada rasa lembutnya menggedor-gedor pintu ruangan kelas yang kelompok Ervin pakai untuk tidur, membuat puluhan siswa yang berniat beristirahat mengeluh dan menggerutu. Bahkan Ervin yakin tadi ada yang berbisik 'Anjing' kepada senior bertubuh tambun tadi.

Dan disinilah sekarang, Ervin Farjana Herwit, berbaris di lapangan universitas bersama peserta OSPEK yang lain dengan mata setengah terpejam. Sungguh ia benar-benar merasa amat lelah dan ngantuk. Cowok manis berkulit putih itu sesekali menguap bosan kala senior yang di depan menjelaskan acara malam ini yang samar-samar Ervin dengar dengan nama acaranya 'JURIT MALAM'.

Yeah, pasti kalian sudah tahu acara apa itu. Yups! Acara berkeliling daerah Universitas dengan di takuti beberapa hantu bohongan hasil samaran senior usil yang bertujuan para MABA itu takut dan kaget. Hampir semua peserta OSPEK di lapangan itu mulai mengeluhkan takut nanti bertemu hantu beneran, terutama peserta perempuan yang berisiknya minta ampun. Tapi berbeda dengan Ervin, ia berlagak tidak peduli sama sekali. Bahkan saat pembagian kelompok pun dia tak mendengarkan sama sekali, sampai ada seseorang yang menepuk bahunya, Ervin berbalik sambil menguap malas.

"Vin, Lo sekelompok sama gue. Anak cowok Cuma berdua tiap kelompok, sedangkan cewek satu kelompoknya tiga orang."

Jujur, Ervin tidak fokus yang sedang bicara itu siapa, maka Ervin hanya mengangguk saja karena matanya amat berat.

"Yaelah ni bocah dari dulu sampai sekarang sifat kebonya gak ilang-ilang. Woii Vin, lo tahu gue ini siapa?" Cowok yang terlihat lebih tinggi dari Ervin itu mengguncangkan sedikit bahu agar ia sedikit sadar.

Ervin mengangguk, "Tahu lah. Lo kan Beni."

Cowok yang ada di depan Ervin menepuk dahinya, lalu menggeleng heran, "Bener-bener deh lu Vin. Sama sahabat sendiri, kalau lagi ngantuk gak ngenalin. Gue Hakam, Vin, HAKAM!"

Ervin mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu terkekeh. Sementara itu cowok bernama Hakam itu berdecak sebal.

"Nah, peserta Jurit malam, bersiap-siaplah untuk tantangan ini. Inget ya, jangan sampai ninggalin temen kelompok kalian, mengerti?" Terdengar salah satu panitia acara tersebut berseru melalui microfon ­dengan lantangnya. Tapi Hakam tahu, Ervin tak mendengarnya karena dia melihat Ervin tadi hendak jatuh karena mengantuk.

"Vin, udah mau mulai nih. Buruan bangun." Meskipun begitu, saat Hakam memberitahunya, Ervin langsung sigap dan kedua matanya melebar. Membuat Hakam terkekeh lalu merangkulnya.

"Vin, entar elo jangan takut ya kalau ada setan yang muncul. Itu Cuma senior kok yang nyamar jadi setan."

"Gak salah nih? Bukannya elo yang lebih penakut dari gue?"

Dan Hakam tak bisa membalas, ia merasa menyesal setelah ngomong hal ini tadi. Karena pada kenyataannya memang dirinyalah yang lebih penakut dari pada Ervin, meskipun cowok itu memiliki wajah manis yang terbilang cute karena postur tubuhnya yang langsing, Ervin adalah tipe cowok pemberani. Bahkan Hakam pernah melihat Ervin memukuli kakak kelas sewaktu mereka masih kelas 1 SMA. Memang benar, segala sesuatu jangan hanya dilihat dari covernya saja.

%%%%%%

Seperti yang sudah Ervin duga, Hakam dari dulu hanya OMDO a.k.a Omong doank. Lihatlah kini sekarang! Dirinya telah Hakam tinggalkan di hutan buatan Universitas karena tadi Hakam ketakutan saat melewati pohon besar, ada senior yang berdandan seperti pocong, muncul mengageti mereka. Seketika tadi Hakam kaget, berteriak, dan ia lari terbirit-birit melupakan Ervin yang ada di sampingnya.

Kini Ervin memutar kedua bola matanya bosan saat senior berpenampilan bak pocong itu menghalangi jalannya.

"Senior, kau membuat temanku ketakutan tadi." Ujar Ervin dengan santai sambil memainkan senternya.

Pemuda yang berdandan pocong itu sedikit heran –ia berpikir tadi saat bercermin ia yakin dirinya sudah sangat seram dengan polesan bedak putih dan sedikit warna hitam di lingkar matanya. Ia sengaja meniru make-up pocong di film-film dan hasilnya cukup oke karena tadi ada puluhan junior yang menjadi peserta jurit malam ketakutan. Tapi ini kok –

"Dek, kamu gak takut dengan penampilan kakak yang kayak gini?"

Padahal tadi ia kira, juniornya yang ini yang bakal lari ketakutan karena melihat wajahnya yang manis dan tipe-tipe anak mami.

Dengan pandangan mata bosan, Ervin menjawab, "Tidak. Tapi kau menakuti temanku."

"Sungguh?" pocong bohongan itu masih saja tidak percaya.

Ervin mengangguk, "Sekarang, bisakah senior minggir dan membiarkanku pergi dari sini. Aku sangat ngantuk dan butuh tidur."

Seringai tercetak di bibir enior itu, yang bila dilihat dengan kostum nya itu terlihat amat menakutkan, sebuah pemikiran usil terlintas di kepala salah satu panitia OSPEK sekaligus jurit malam itu.

"Well, Gue mau beri lo jalan, kalau lo berteriak takut."

"Jangan harap. Sebelum saya marah, dan masih bertindak sopan, silahkan beri saya jalan."

Songong juga ini bocah ---pikir senior itu sambil terus melotot kearah Ervin.

"Gue gak akan kasih jalan buat lo, dek."

Ervin menghela napas kesal. Ia memijit pangkal hidungnya lalu menunduk. Sungguh, ia merasa amat lelah da ingin segera menyelesaikan permainan ini. Baiklah jika senior ini tak ingin ia bersikap sopan, mungkin cara kasar boleh juga.

"Baiklah, senior. Kau membuat saya bertindak kurang ajar."

"Apa maksud –ARGHHHH"

-----tepat saat pemuda-berkostum-pocong itu legah, Ervin menendang selangkangannya hingga ia menjerit kesakitan dan menunduk memegangi sesuatu yang ada di selangkangannya itu.

"Brengsek –ARGHH!!!"

Belum sembuh rasa sakit yang ada di benda saktinya, pemuda itu kembali merintihkan kesakitannya lagi karena Ervin memukul kepalanya dengan senter yang sedari tadi ia pegang.

"Nah, kan sudah saya bilang, kau membuatku tak bisa bersikap sopan lagi. Jadi –saya pergi."

Dengan seringai yang mengejek, Ervin pergi meninggalkan seniornya itu dalam keadaan sakit di tubuhnya.

%%%%%%

Sekarang Ervin terasa seperti tersangka pemubunuhan yang sedang di periksa oleh polisi. Kini, tiga orang senior, dua laki-laki dan satu perempuan tengah menatapnya heran –tidak, hanya dua yang menatapnya heran, si perempuan dengan senior laki-laki yang tadi menggedor pintu kelas saat membangunkan kelompoknya, sedangkan laki-laki yang satu lagi adalah pemuda yang tadi berpakaian pocong dan kini sudah berubah dengan tampilan biasa.

"Met, lo yakin ni anak yang mukul elo?"

"Yaelah Prita, gue masih inget sama wajahnya kali. Iya ini anaknya."

Ervin hanya menatap bosan ketiga senornya itu. Sebenarnya ia sudah sangat jengah karena sehabis permainan jurit malam, ia malah di panggil oleh senior di Divisi kedisiplinan karena telah memukul seniornya. Sudah lima belas menit kini ia berdiri tegak, di sebuah tenda yang khysus di buat untuk para senior yang bertugas sebagai panitia acara itu. Ia sudah lelah, lesu, ngantuk, dan merasa lengket badannya karena keringat.

"Met, kayaknya lo salah deh. Ini bocah manis gini dilihatnya, masa bisa mukul elo yang badannya segede itu sih?"

"Bobby, mata gue masih normal, gak kena minus. Gue sangaaattt yakin ini bocah yang mukul gue. Elo pada jangan percaya tampang manisnya, dia itu aslinya sepicik iblis!"

"Apa kamu bilang?!" –cukup sudah! Ervin tidak bisa diam jika ia dihina seperti ini!

"Apa? Mau nantang lagi? Mau mukul gue lagi?"

Kedua tangan Ervin terkepal saat senior yang tadi ia pukul seakan menantangnya.

"Udah, Slamet! Lo gak malu apa nantang orang yang lebih kecil dari lo badannya." Kali ini Senior yang perempuan sendiri memandang dirinya,

"Prita, nama gue Ferry, Slamet itu eyang gue!"

Namun, gadis itu mengabaikannya dan beralih menatap Ervin yang tingginya sama dengannya. "Dek, apa alasan kamu memukul Slamet tadi?"

"Tadi saya gak boleh lewat kak –"

"Bohong tuh bohong –"

"Slamet! Diem dulu bisa gak?"

Pemuda yang dipanggil Slamet itu langsung terdiam dan mendengus keras.

" –terus saya boleh lewat kalau saya berteriak ketakutan." Lanjut Ervin dengan melirik tajam ke arah senior yang tadi ia pukul.

"Slameeett!!!"

"Apa? Ayolah Prit, dia tuh salah satu anak yang gak takut waktu gue takutin. Kan gue jadi kesel."

Gadis bernama Prita itu menghela napas lalu menatap Ervin, "Meskipun begitu, kamu tetap kakak hukum ya dek karena melanggar peraturan di permainan jurit malam."

Dan tepat saat itu, senior bertubuh tambun yang bernama Bobby datang dengan membawa ember kecil.

"Nih Prit."

Terlihat pemuda yang dipanggil Slamet tadi terkekeh melihat ember yang ternyata berisi air yang terlihat keruh itu.

"Siram air ini ke kepala kamu."

Ervin menaikkan sebelah alisnya. Mencerna apa yang tadi gadis itu katakan, "Apa?"

"Ayo kerjakan! Ini hukuman buat kamu agar lebih bisa menghormati seniormu!"

Ervin mendecih, tadi gadis itu sok baik, sekarang malah memarahinya, "Air apa itu? Kok keliatan keruh."

"Air bekas pel kelas." Kali ini, Bobby yang menjawab.

"Cepet lakukan, dek! –eh? Tunggu! Satria mana?"

"Satria? Tau tuh. Paling lagi menyendiri di markasnya." Jawab Bobby.

"Gahh! Dasar tu cowok! Jadi koordinator Divisi kedisiplinan malah minggat! –eh, lo sapa namanya?"

"Ervin kak."

"Lengkapnya –aduh ni anak."

"Ervin Farjana Herwit."

"Baiklah, Ervin, karena saya masih ada rasa kemanusiaan, jadi hukumannya diganti."

"Apa? –wah, Prit, jangan main ganti-ganti donk."

"Diem, Slamet, ini tugas divisi kedisiplinan. Elo kan di divisi konsumsi!"

Kembali Slamet bungkam dengan wajah kesal bukan main.

"Besok kamu harus nyari orang yang bernama Satria Mahardika, lalu kamu kasih bekal buatnya."

"Hah? Tapi kan saya gak kenal dia, kak."

"Halah, semua Mahasiswa disini hampir ngenalin dia. Pokoknya kamu harus ngasih bekal bikinanmu, terus kotak bekalnya harus ditandatangani sama dia –"

"Tapi kak, saya..."

"Kamu mau sertifikat OSPEK kamu di tahan sama saya?"

Ervin menggeleng lesu.

"Yasudah, turuti omongan kakak. Ini juga ringan kok. Entar kalau udah ditandatangani, tu kotak bekal tunjukin ke saya sebagai bukti kalau kamu melaksanakan hukuman dengan baik. Mengerti, Ervin?"

Sebenarnya Ervin lebih memilih mengguyur dirinya dengan air kotor itu karena hukumannya cepat selesai, tapi apa daya, dia tidak bisa menolak dan diancam seperti itu, "Mengerti kak."

%%%%%%

Seorang pemuda tampan dengan postur tubuh jangkung dan bentuk tubuh yang proposional itu berkali-kali menyunggingkan senyum kepada setiap mahasiswa yang menyapanya terutama para perempuan yang menyapanya dengan sedikit nada menggoda. Sudah biasa, dan pemuda itu tidak gampang tergoda. Sesekali ia juga menunduk sopan saat ia melewati beberapa dosen yang ia lihat.

"Pagi kak Satria, kuliah siang ya kak?" nada sok akrab dari adik tingkatan sudah sering ia dengar. Tapi toh, dia tersenyum ke arahnya dan menjawab pertanyaannya.

"Iya. Sudah dulu ya."

Pemuda bernama Satria Mahardika itu sebenarnya tidak ada kuliah hari ini, namun dia bosan di rumah, jadi dia kabur ke kampus dan menuju ke tempat biasa ia kunjungi di kampusnya kalau sedang ingin menyendiri –ruang kosong yang kini di tempati oleh teman-temannya jika sedang suntuk. Tapi yang lebih sering, Satria lah yang ada disana.

"Hah~ akhirnya sampai juga." Pemuda berhidung mancung itu menghirup napas kuat-kuat dan menghempaskan dirinya di sofa satu-satunya yang terletak di ruangan itu. Jika sudah begini, ia malas pulang. Mending sendirian di tempat ini daripada sendirian di rumah yang kedua orang tuanya jarang ada di rumah.

"Sial banget si Bagas! Udah tahu bokser nya di bawa pulang malah masih tetep disini!" Satria mendengus sebal kala melihat sebuah bokser berwarna kuning menggantung di ruangan itu. Memang temannya yang satu itu suka kelupaan jika habis main futsal dan berganti pakaian disitu.

Berniat menghiraukan bokser yang menggantung tak elit itu, pemuda berwajah tampan itu menutup kedua matanya dan berniat tidur. Namun usahanya tertunda saat pintu ruangan itu di ketuk dari luar.

"Masuk. Gak di kunci kok."

Satria menutup kedua matanya saat seseorang masuk ke ruangan itu dan kembali menutupnya.

"Apa kamu yang bernama Satria Mahardika?"

Suara ini asing –itu pikiran Satria.

Akhirnya dia membuka kedua matanya yang tajam dan berwarna onyx itu. Satria semakin menaikkan sebelah alisnya saat kedua retina matanya menangkap sosok yang belum ia kenal.

Pemuda dengan tubuh langsing dan lebih pendek darinya. Wajahnya manis dan berkulit putih. Bahkan Satria tidak yakin dia seorang pemuda jika ia tidak melihat jakun di lehernya dan suaranya yang sedikit berat.

"Ya. Itu gue. Lo siapa?"

Pemuda manis itu tersenyum –dan Satria mengakui bahwa senyuman pemuda itu sungguh amat manis. Bahkan gadis saja jarang ia lihat senyuman semanis itu.

Dia transgender kah? –pikir Satria heran.

"Aku Ervin. Mahasiswa baru di sini. Maaf kak mengganggu, tapi bisakah kakak memakan bekal buatanku?"

"Heh?"

Tak menyadari, Satria kini melihat kotak yang ia yakini berisi makanan tengah pemuda sodorkan di depannya.

"Ini, kak. Tolong dimakan ya. Kalau sudah habis, tolong kotak bekalnya ditandatangi."

Satria memandang mahasiswa baru itu dengan ekspresi campur aduk. Seingatnya semalam ia tidak bermimpi yang aneh-aneh, malah ia tidak tidur karena sibuk main PS. Lah, ini sekarang apa? Dia baru sampe ke markasnya, berniat menenangkan diri. Tapi tiba-tiba ada cowok manis yang sepintas terlihat cantik datang menghampirinya dengan kotak bekal yang ia berikan untuknya.

Ini...ada apa sebenarnya?

Tbc

A/N : ini... perkara baru? Gahhhhhh!!! Entahlah, tiba-tiba ada ide beginian muncul di otak saya. Saya tahu banyak utang cerita yang belum selesai, tapi ide ini memberontak ingin cepat ditulis. Ini baru awal. Kalau ada yang minat, bakal saya terusin kok ini.

So? Delete or continue?

Vote dan beri komentar ya guys~

Arigatchu~

Multimedia : sebagai Ervin Farjana Herwit.

n9"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top