⚠️Bab 29 - Lost
"Menyakiti diri sendiri cuma tindakan sia-sia dan membuatmu terlihat lebih menyedihkan."
⚠️Note: bab ini berisi adegan sensitif yang akan membuat Anda merasa tidak nyaman.
Asha melempar apa pun yang ditemuinya dengan emosi meledak-ledak. Kamarnya yang biasa terlihat rapi dengan perabotan mahal, kini mulai terlihat kacau. Pecahan barang terlihat di mana-mana, cermin besar yang biasa jadi tempat favorit Asha pun sudah pecah.
Setelah membuat kekacauan itu, Asha belum ingin berhenti. Di tengah tangis yang membuat pandangannya sedikit buram, cewek itu terus mencari apa saja yang bisa dijadikan pelampiasan. Bahkan, ponsel mahalnya pun sudah pecah setelah dibanting berkali-kali ke lantai.
"Kenapa sejak dulu gue gak pernah diinginkan sih?" jerit Asha di sela amarahnya.
Dia menjambak rambutnya yang baru saja selesai dirawat sampai beberapa rontok. Membuat denyut di kepala makin terasa. Namun, Asha tidak peduli.
"Sky, bahkan lo pun ternyata gak menginginkan gue, ya? Sialan!" Asha tertawa miris. Air matanya terus bercucuran. "Emang bangsat! Gue dengan bodoh percaya gitu aja sama semua kata-kata manis lo. Faktanya lo malah selingkuh sama si ular sialan!"
Ketukan di pintu terdengar, lantas sebuah tanya terdengar diucapkan dengan suara penuh keraguan.
"Non, Non tidak apa-apa?" Itu suara salah satu ART.
"Pergi lo, bangsat! Jangan ganggu gue! Jangan datang ke gue kalau lo cuma mau nertawain gue!" Asha berteriak nyalang ke arah pintu.
Kemudian, tidak terdengar suara lagi dari arah sana.
Asha mengatur napasnya yang menderu. Tatapannya berlarian di antara barang-barang yang berserak. Di antara tumpukan pecahan pas dan peralatan kecantikan, sebilah pecahan cermin memancar terkena sinar lampu.
Seperti mendapat bisikan setan, Asha meraih benda itu dan menggenggamnya erat-erat. Dia tidak merasa sakit saat serpihan kaca menggores tangan, membuatnya berdarah. Justru dia merasa begitu senang.
Tawa cekikian terdengar. Asha menatap penuh binar pada darah yang terus menetes. Sudah lama dia tidak merasakan sensasi ini, setelah dulu begitu sering melakukannya. Hidupnya yang sesungguhnya penuh tekanan sejak dulu. Kemudian, Asha tidak sengaja melihat konten yang berbau self harm di sosial media dan dia tergerak untuk melakukannya.
Asha sempat ketagihan selama beberapa waktu, sebelum kemudian Skylar datang dengan segala cahaya terangnya. Cowok itu bak mentari pagi di tengah harinya yang selalu diterjang badai. Secara cepat, Asha mulai jatuh cinta pada Skylar. Dia begitu senang saat tahu ternyata perasaannya terbalas.
"Lo juga bakal pergi ya, Sky?" Asha menatap pergelangan tangannya yang sudah mengucurkan darah. Sementara di atasnya shower terus mengucurkan air dingin yang perlahan membasahi tubuh Asha.
"Kenapa sih? Saat gue udah nyaman sama lo, lo malah milih pergi dengan segudang alasan itu? Oh, apa gue harus mati dulu baru lo bakal cariin gue sampai bakal ninggalin apa pun demi bisa segera nemuin gue?"
Malam itu berakhir dengan kacau. Tidak ada rasa kantuk yang membuat Asha tertidur di kamar mandi, tetapi lelah yang teramat yang kemudian membuat tubuhnya menyerah.
***
Diyan memang cowok tidak peka, tetapi dia bisa menggunakan matanya dengan baik. Dia yakin betul, ada hal mengkhawatirkan yang terjadi pada cewek itu. Apalagi sejak tadi, cewek itu terus memasang wajah dingin dan lebih banyak diam. Tidak pecicilan atau membuat kehebohan seperti kerjaannya yang biasa.
Seisi kelas mungkin bisa mengabaikannya, terlebih dengan berita miring yang baru-baru ini viral. Namun, Diyan yang tahu sedikit apa hal gila yang pernah dilakukan Asha, jelas merasa sedikit terganggu. Dia mulai penasaran apa yang telah terjadi pada cewek itu.
Selepas bel pulang berbunyi, Skylar buru-buru merapikan alat tulisnya dan bangkit berdiri. Dia pikir, Asha akan meninggalkan ruangan paling terakhir. Meski demikian, dia tidak boleh membiarkan cewek itu kabur sebelum bicara dengannya.
"Minggir," suruh Asha dengan nada dingin.
Hari ini, tampilan cewek itu juga aneh. Dia pakai jaket rajut hitam panjang yang juga dikenakan selama mengerjakan soal ujian. Alasannya karena dia sedang tidak enak badan, jadi pengawas pun memberi izin. Asha juga pakai kacamata dan topi hitam. Seolah-olah dia memang sengaja menutupi wajahnya.
"Gak." Diyan malah menyilangkan tangan sambil berdiri di dekat Asha.
Cewek itu berdecak sebal. "Kenapa? Lo baper gara-gara kemarin? Heh, dasar cowok murahan!" cibirnya dengan emosi.
"PMS lo?"
Asha mendongak dan sedikit berjinjit. "Bukan urusan lo!" Lantas, didorongnya tubuh tinggi Diyan, ingin segera pergi.
"Tapi gue ada urusan sama lo," kata Diyan yang diam saja dipukuli oleh tangan ringkih Asha.
Tepat setelah pukulan kelima, Diyan berhasil meraih tangan kiri Asha. Segera tatapannya teralih pada ujung jaket yang terbuka. Kecurigaannya memang benar, apalagi tadi Asha sempat meringis pelan.
"Lo jual otak di mana? Biar gue bantu tebusin," celetuk Diyan yang langsung membuat air mata Asha berjatuhan.
"Sialan! Pergi lo, setan!" bentak Asha.
Tidak, dia tidak boleh menangis di kelas, atau kelihatan lemah di depan cowok menyebalkan ini.
"Apa lagi yang bikin lo sampai nekat gini, Sha?"
Asha langsung membeku setelah mendapat pertanyaan itu. Nada bicara Diyan kali ini terdengar berbeda. Cowok itu bertanya dengan lembut dan terselip kekhawatiran yang bisa Asha tangkap.
"Pergi ..., lo pergi!" Namun, Asha tidak bisa menjawab. Dia sibuk menguasai diri agar tidak meledakkan tangisnya di kelas yang sepi ini.
Paham akan hal itu, akhirnya Diyan memilih diam sambil tetap berdiri di tempat. "Nangis aja. Kalau lo gak pengin ada orang yang lihat lo lagi nangis, jadiin badan gue sebagai tameng. Gratis kok. Lo mau pukulin gue biar emosi lo terlampiaskan juga boleh."
Mendengar kata-kata bernada datar itu, tangis Asha justru tidak tertahan. Cewek itu merosot duduk di lantai sambil mati-matian menahan tangisan. Kedua tangannya membekap mulut, sampai-sampai tak sadar bahwa jaket rajutnya makin tersingkap.
Dari tempatnya, Diyan bisa melihat goresan-goresan kacau di pergelangan tangan kiri Asha. Memikirkan apa yang telah cewek itu lakukan, tak bisa tertahan lagi bahwa dia meringis. Bagi orang yang pernah melakukan hal segial itu, jelas dia juga merasa sedikit terganggu. Apa yang dia lihat sekarang seolah-olah menjadi mantra sihir yang mendorongnya untuk kembali melakukan perbuatan itu.
Diyan menghela napas dan melarikan pandangan ke arah lain. Tepat setelah itu, dia menemukan kemunculan seseorang yang mencurigakan di jendela kaca kelas. Namun, sebelum dikenali lebih jelas, orang itu sudah menarik kepalanya dan sepertinya langsung pergi.
"Kenapa .... Kenapa cuma lo doang yang sadar kalo gue udah gila?" tanya Asha di sela tangisannya. Dia sedikit lebih tenang sekarang.
Diyan tidak menjawab, tetapi terus menatap dalam pada cewek itu.
Asha mendongak, haus akan jawaban dari Diyan. Bagaimanapun, Diyan ini orang asing, cuma sebatas teman sekelas. Mengapa cowok itu harus repot-repot peduli padanya?
"Gue tanya, kenapa?" desak Asha.
"Yaaa ..., soalnya aneh aja sih. Lo kan biasa narsis, berisik, rusuh, tiba-tiba jadi diem," jawab Diyan sekenanya. Dia tidak pandai beralasan, tetapi juga tidak memiliki alasan kuat kenapa dirinya harus menolong Asha.
Jawaban yang tidak mengenakan, membuat Asha pasrah dan kembali mengusapi sisa air mata dari wajahnya.
"Beliin gue tisu dong," pinta Asha.
Tanpa kata, Diyan pun berlalu pergi dengan santai ke luar kelas.
"Lah, duitnya kan belom gue kasih. Dasar cowok aneh!" Asha menggerutu sambil mengubah posisi duduk.
Sebenarnya duduk di lantai yang belum dibersihkan itu akan kotor, apalagi dia pakai rok abu-abu. Namun, mau berdiri pun takut ada orang. Kan, bahaya, dia bisa diwawancara sampai mampus. Sementara untuk sekarang, tampil di depan orang baginya tidak memungkinkan.
Beberapa menit kemudian, Diyan kembali dengan sebungkus tisu yang langsung dipakai Asha untuk membersihkan wajahnya.
Melihat bagaimana sibuknya cewek itu dengan tisu-tisu, Diyan diam-diam merasakan gelenyar aneh di dalam hati. Tangan kanannya tanpa sadar terulur mengambil selembar tisu. Bayangan-bayangan mengerikan ketika melihat bekas goresan di tangan Asha, membuat cowok itu merasa begitu iba.
"Apa gak sakit pas lo ngelakuin itu, hmm?"
Asha terkejut bukan main begitu Diyan meraih tangan kirinya dengan lembut, lantas mengelus bekas goresan yang dibuatnya semalam. Tisu yang dipegang cowok itu memang tidak bisa membersihkan darah atau lukanya, tetapi Asha dapat merasakan hal lain.
"Ke–kenapa lo sok peduli sih?" Asha berusaha membuat kesan ketus dalam nada bicara atau wajahnya. Namun, sia-sialah, karena tatapan Diyan terlihat kosong.
Cowok itu memandang lurus selama beberapa saat. "Entah, mungkin karena gue gak mau hidup orang lain berakhir sia-sia."
"Apa peduli lo? Terlalu peduli sama orang lain itu cuma tindakan sia-sia dan melelahkan, karena lo hanya akan berujung dimanfaatkan," cerocos Asha. Dia ingin menarik tangan kirinya dari genggaman cowok itu, tetapi entah kenapa hatinya merasa begitu nyaman.
Ada jeda yang cukup lama, yang membuat mereka terjebak situasi canggung. Sebelum kemudian, Diyan perlahan melepas tangan Asha sambil terus menatapnya.
"Boleh gak kalau gue bilang sesuatu sama lo?" tanya Diyan.
Asha mendongak, membalas tatapan cowok itu. "Apa?"
"Kalau lo pengin mati, pakai cara yang praktis. Jangan nyiksa diri secara pelan-pelan kayak gini, sia-sia tahu gak? Soalnya lo cuma ngelakuin hal yang bisa bikin duka lo hilang sesaat, sebelum balik lagi dengan penderitaan yang lebih besar. Hal-hal kayak gini cuma bikin lo terlihat makin menyedihkan," kata Diyan panjang lebar.
***
Beberapa menit sebelumnya, sebenarnya ada seseorang yang hendak memasuki kelas itu. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat kemunculan seseorang dengan wajah panik.
"Lo ... mau temuin Asha?"
Skylar dengan yakin mengangguk. Soalnya dia merasa heran karena Asha bertindak agak aneh. Biasanya saat mereka ada masalah, cewek itu akan menyepam status di sosial media dan menyeret-nyeret namanya.
Pagi ini, ketika mengecek seluruh sosial media Asha, tidak ada pembaruan status satu pun. Jelas saja dia langsung heran. Bahkan, cewek itu tidak online. Ketika ditelepon pun ponselnya tidak aktif.
"Kenapa?"
Nanza terlihat ragu menjawab, membuat Skylar mengernyit bingung. "Eee, gue mau memperlihatkan sesuatu sama lo, tapi ...."
Sikap ragu-ragu Nanza membuat Skylar tambah kebingungan sekaligus penasaran. "Apa?" tanyanya serius.
"Mending lo lihat sendiri deh." Akhirnya Nanza menyerahkan ponsel yang sejak tadi digenggamnya. "Gue gak berniat ngintip, tapi tadi gak sengaja lewat terus lihat mereka."
Skylar langsung terdiam begitu melihat foto yang tertera di layar. Terlihat sekali foto itu diambil diam-diam. Foto itu memperlihatkan Diyan yang tengah memegang tangan Asha, keduanya bertatapan.
Memang, Skylar tidak bisa melihat bagaimana tatapan Asha pada cowok di depannya karena cewek itu memakai kacamata hitam. Namun, dia bisa melihat tatapan Diyan meski buram. Ada perhatian yang terpancar samar dari tatapan cowok itu.
Jadi, kamu emang udah nemuin sandaran baru, ya? Secepat ini, Sha? Skylar membatin dengan hati terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top