Bab 28 - Makin Rumit

"Kalau kamu selamanya kayak gini, aku bakal susah mertahanin kamu."

Nasib jadi jomlo sejak lahir, Diyan tidak tahu bagaimana dia harus bersikap saat tengah jalan sama cewek. Seumur-umur dia belum pernah jalan sama cewek. Dia juga tidak pernah dekat dengan cewek, teman-temannya kebanyakan cowok sejak dulu.

Dia bukan sejenis homo atau kaum pelangi, melainkan baginya berurusan dengan cewek itu ribet. Terbukti pas SMP dulu, ada cewek agresif yang menyatakan cinta padanya. Dia Arin. Sudah ditolak bukannya mundur, eh cewek itu malah makin gila. Sampai-sampai dia berhasil menemukan rumah Diyan dan datang hampir tiap hari.

Akhirnya Diyan laporin perbuatan Arin ke orang tuanya. Kena marahlah si cewek, terus ngamuk ke Diyan. Apa Diyan peduli? Benar, mana peduli dia. Justru saat itu Diyan mengatakan, "Sekolah itu buat belajar, bukan buat cari pacar. Kamu masih bau kencur, sekolah dulu yang jujur."

Arin mau kesal, tetapi dapat kata-kata bijak dengan nada datar segitu saja, hatinya langsung meleleh bak kutub utara yang kena pemanasan global. Akhirnya dia mundur, tetapi tetap menyimpan perasaannya itu. Dia sekolah sungguh-sungguh sampai bisa meraih peringkat satu di kelas.

Setelah lulus SMP, Arin datang lagi, menembak Diyan. Jawaban Diyan?

"Pacaran cuma merugikan, sayang waktu sama tenagaku."

"Ih, Diyan, kamu bikin aku potek lagi. Tapi tenang, aku gak akan nyerah sama kamu. Pokoknya aku bakal terus berjuang buat dapatin hati kamu!"

Cewek itu sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Bahkan, dia sampai rela pilih SMA yang jauh demi bisa satu kelas sama Diyan. Sampai akhirnya, Diyan harus pindah ke Bandung Kota karena ikut orang tuanya.

Hari itu, saat Arin tahu pujaannya akan pergi besok, dia menangis kencang sambil terduduk di pinggir jalan. Diyan lama-lama merasa kasihan, jadi dia berusaha menenangkan cewek itu.

"Please, ini pertemuan terakhir, kan? Jadi, aku mau nanti malam kita jalan. Tempatnya bebas kok, terserah kamu. Asal kita bisa jalan," bujuk Arin dengan air mata yang terus bercucuran.

Karena merasa kasihan, Diyan pun mengangguk.

Malamnya, mereka sungguhan jalan. Arin sudah tampil cantik, rapi, dan wangi. Sementara Diyan cuma koloran dengan atasan kaus hitam polos. Namun, yang namanya orang sudah dibutakan cinta, rambut Diyan yang acak-acakan pun dikatakan tampan banget.

Diyan berhenti di depan gerobak tukang bakso langganannya, yang hanya berjarak lima belas meteran dari rumah.

"Kok berhenti? Ada yang ketinggalan?" tanya Arin sambil mengernyit.

Diyan menggeleng. "Pesen gih," titahnya.

Arin diam cukup lama, coba berpikir untuk meluruskan kebingungannya. Kemudian, ditemukanlah satu fakta yang membuatnya langsung kecewa. "Kita jalan ke sini?"

Anggukan polos Diyan makinlah membuat hatinya kecewa. Namun, dia tidak berlama-lama menyimpan kecewa karena sadar, satu detik waktu bersama Diyan itu langka dan berharga.

Jadilah agenda jalan bersama mereka berakhir di tukang bakso gerobak di pengkolan.

"Kok kamu bawa aku ke tukang bakso langgananmu sih? Kukira kita bakal pergi ke pasar malam di desa sebelah." Arin melempar topik agar perjalanan pulang mereka tidak garing-garing amat.

Sudah mah perjalanannya singkat, usahanya untuk memperlambat waktu pun gagal. Diyan jalannya kayak orang buru-buru, membuatnya yang sengaja melambatkan langakh jadi tertinggal jauh.

"Jauh. Lagian ke Mang Aji juga kan sama-sama jalan," jawab Diyan cuek.

Arin mendesah kecewa. Dia heran deh, hati Diyan terbuat dari apa sampai di wajahnya itu tidak ada reaksi apa pun saat berbicara dengannya. "O ya, kalau udah pindah nanti, tolong jaga hati kamu, ya. Jangan sampai dimaling orang."

Dimaling yang Arin maksud adalah ada orang lain yang mengisi hati Diyan. Kan cintanya bisa kandas sebelum dirinya berjuang lebih keras.

Diyan menghela napas. "Kalau hati aku dimaling, ya aku mati. Kan buat ambil hati orang itu tubuhnya harus dibedah dulu."

Tidak salah tetapi juga tidak benar. Sudahlah, Arin lelah.

***

"Oy, oy!" Asha sebal karena baru sadar bahwa Diyan tengah melamun, entah sejak kapan.

Diyan menghela napas. "Apa?"

"Ih, dari tadi lo gak dengerin gue ngomong?" tuduh Asha yang sudah siap mengomeli cowok di depannya ini.

Sialnya, Diyan malah mengangguk.

"Dahlah!" Daripada menghamburkan tenaga untuk hal tidak berguna, Asha memilih kembali melangkah untuk mencari toko lain yang bisa menarik perhatiannya.

Karena sudah dibayar mahal, Diyan hanya bisa pasrah jadi anjing manis Asha. Tadi dia sudah terpaksa menuruti Asha yang memintanya mengganti seragam dengan pakaian serbahitam.

Semua pakaian itu dibeli dadakan oleh Asha, berupa celana jin hitam dengan bawahan robek-robek, kaus putih, jaket jin hitam, serta topi dan masker senada. Cewek itu juga membeli perlengkapan lain, seperti tas, parfum, juga kalung dan gelang cowok. Semuanya harus dipakai oleh Diyan, tidak boleh ada yang terlewat.

Seragam Diyan serta tasnya disimpan di dalam mobil.

Dalam sekejap, tampilan Diyan berubah derajat, jadi lebih tampan. Asha sempat naksir, sebelum memaksa kekhilafannya itu berakhir. Ingat, ini hanya sandiwara untuk membuat Skylar menyesal dan takut kehilangannya.

Tadinya sih Asha hanya akan meminta Diyan jadi model, tetapi sayang dong dia sudah bayar mahal untuk sewa cowok itu. Lagian pas badmood gini emang paling enak belanja sampai puas.

"Sana, lo masuk dulu!" suruh Asha saat Diyan baru selesai menaruh paper bag belanjaan Asha di jok tengah.

Cewek itu menunjuk kursi di balik kemudia, membuat Diyan bingung.

"Ini lo nyuruh gue nyetir? Yakin lo udah bosen idup?" tanya cowok itu dengan polosnya.

Asha berdecak. "Bukan gitu dodol! Udah, sana lo masuk!"

Diyan pasrah, segera membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi.

"Apa lagi?"

"Lepas topi, masker, sama jaket lo," suruh Asha.

"Mau ngapain sih? Lo gak akan macem-macem, kan?" Diyan berujar sambil menuruti perkataan Asha.

"Ya ilah, geer banget lo. Ya kagak lah! Yakali gue mau nyosor lo," jawab Asha yang sibuk mengotak-atik ponselnya.

"Terus?"

"Madep sana!" Tangan kanan Asha menunjuk arah kanan.

Lagi-lagi Diyan cuma menurut. "Terus?"

"Coba lo gaya candid."

Diyan tidak paham apa yang dimaksud oleh cewek itu. Dia hanya menatap lurus ke luar jendela yang menampilkan lampu-lampu jalanan.

"Udah," kata Asha yang sudah memotret Diyan beberapa kali. "Keluar!"

Keduanya pun keluar untuk bertukar tempat. Perjalanan melelahkan malam itu pun berakhir.

***

Marah? Tentu saja. Begitu Skylar melihat pembaruan status Asha beberapa menit lalu, dadanya seketika terasa begitu panas. Mukanya juga merah padam.

"Apa yang kamu mau, Sha?" geramnya dengan nada pelan.

"Kenapa?"

Nanza masih ada di rumahnya, baru saja pamit akan pulang. Cici juga sudah tidur nyenyak setelah tertidur nyaman di pangkuan cewek itu.

"Gue ada urusan mendesak. Lo hati-hati di jalan, ya," pesan cowok itu sebelum memasukkan ponselnya dengan terburu-buru, lantas masuk ke rumah.

Merasa penasaran, Nanza pun memutuskan pergi, tetapi dia tidak akan langsung pulang, tetapi akan mengikuti Skylar secara diam-diam.

Skylar memacu motor ninja merahnya membelah jalanan kota yang hening. Tujuannya saat ini adalah kediaman Asha untuk meminta penjelasan cewek itu. Nanza yang juga membawa motor, sempat merasa kesusahan mengejar cowok itu, tetapi setelah mengambil jalur di persimpanga, dia bisa menebak akan ke mana perginya Skylar.

Beberapa menit kemudian, Skylar tiba di depan rumah Asha. Dia memarkirkan motor dan terburu-buru lari ke dalam setelah disambut oleh pekerja Asha.

"Sha, ini aku! Keluar segera!" Dia menggedor pintu dengan tidak sabar.

Skylar berusaha untuk tetap tenang, tetapi amarah yang menggelegak di dalam hati begitu susah dikendalikan. Dia butuh penjelasan segera, sebelum hatinya makin terluka.

Mendengar ada sedikit keributan di bawah, Asha yang sedang santai-santai sambil main sosmed di kamarnya pun melebarkan senyum. Dia kenal suara itu, suara Skylar tentu saja.

Ternyata triknya kembali berhasil. Dia baru saja mengunggah foto Diyan yang diambilnya beberapa hari lalu setelah bersabar selama beberapa hari. Dia pikir, ketika dirinya mengabaikan Skylar, cowok itu akan mencarinya dan berusaha menjelaskan keadaan. Namun yang ada, Skylar malah tidak sekali pun mengiriminya pesan, apalagi menelepon.

"Non, ada Den Skylar di bawah."

Suara salah satu ART yang bekerja di rumahnya terdengar, menyusul setelah suara ketukan pintu di kamarnya.

Asha pun turun dari ranjang dan merapikan tampilan. Dia baru saja selesai maskeran, jadi wajahnya terlihat segar. Rambutnya juga digelung dua, sementara untuk pakaian dia sudah mengenakan setelan tidur.

Saat menuruni anak tangga satu per satu, Asha mulai bisa melihat Skylar yang duduk dengan resah di ruang tamu. Cowok itu tidak bisa menghentikan pergerakan tangannya, juga berkali-kali menghela napas kencang.

"Ekhem!" Asha berdeham, membuat Skylar langsung menoleh ke arahnya.

Melihat bagaimana emosi yang ditampilkan cowok itu di wajahnya, Asha ingin tertawa terbahak-bahak. Ternyata Skylar masih begitu mencintainya, hanya saja mungkin gengsi terlalu besar sehingga cowok itu enggan menghubunginya beberapa hari ini.

"Kita harus bicara," kata Skylar tidak sabaran.

"Memang." Asha melangkah santai, lantas duduk di samping Skylar. Sikapnya yang santai membuat cowok itu makin panik tak jelas.

"Apa kabar? Kamu gak kangen aku?" tanya Asha sambil melebarkan senyum manis.

Skylar mengambil napas panjang sambil memejamkan mata sebelum mulai bicara. Dia harus tetap tenang, atau masalah ini akan membesar dan berujung fatal.

"Siapa dia?" tanya Skylar langsung ke inti.

"Dia?" Asha pura-pura bingung dan memasang wajah polos.

"Kamu serius mau putus sama aku?" lanjut Skylar tanpa menghiraukan sikap Asha.

Karena hening, dia pun melanjutkan, "Jadi, permintaan putus kamu waktu itu benar? Dari lubuk hati kamu? Kenapa? Kamu udah mulai bosan sama aku?"

Reaksi Skylar yang di luar dugaan membuat Asha kebingungan. Cewek itu terdiam dengan mata memelotot. "Bukannya kebalik, ya? Justru kamu yang udah gak cinta lagi sama aku, makanya mulai cuekin aku dan deket sama si ular itu!"

Tahu bahwa Nanza yang disinggung Skylar, emosi cowok itu makin tak terkendali saja. Terlebih ketika dia ingat tangisan Nanza waktu itu, yang disebabkan oleh cewek di dekatnya ini.

"Berhenti memutar balik fakta, Sha," pinta Skylar. Dia masih berusaha menahan amarah meski nada bicaranya mulai tidak terkontrol.

Asha tertawa hambar. "Gimana sih rasanya diabaikan berhari-hari? Bahkan kamu gak kirim chat apalagi telepon untuk mencari tahu kabar aku." Ditatapnya lurus-lurus wajah penuh emosi cowok itu.

"Kamu tahu, sejak dulu aku gak bisa diabaikan, bahkan aku pernah cerita kan alasannya ke kamu? Lalu apa yang kamu lakuin, Sky? Pas aku lihat kamu lebih dekat sama si ular itu, kamu tahu gimana hati aku? Kamu sadar? Kamu peduli?" cecarnya.

Selang beberapa detik kemudian, wajah putih cewek itu sudah dipenuhi air mata.

Di luar sana, ada yang celingukan sambil mengendap-endap pelan mendekati pintu masuk. Saat mendengar sedikit keributan, dia makin penasaran, jadi langsung saja beraksi untuk mengintip. Beruntung suasana aman sehingga dia bisa leluasa.

Ditempelkannya tubuh ke dinding dekat pintu, kemudian kepalanya melongok ke dalam dari celah pintu yang terbuka. Seketika mulutnya terbuka begitu berhasil menguping pembicaraan.

"Salah kalau aku coba cari teman baru? Salah kalau aku coba hibur diri aku yang kesepian dan sendirian dengan menemukan orang baru?" Asha berbicara di sela tangisnya yang sudah tidak terbendung.

Di tempat duduknya, Sky hanya bisa mengepalkan kedua tangan dengan napas berantakan. Berkali-kali dia memejamkan mata sambil berusaha mengatur emosi.

Kenapa posisi gue jadi serba susah gini sih? Dia mengeluh di dalam hati.

Suasana berubah hening. Hanya tangis Asha yang perlahan mulai terdengar. Skylar yang bingung harus bersikap bagaimanapun berakhir menarik cewek itu ke dalam pelukannya. Pertama-tama, dia harus menenangkan cewek itu.

"Kamu masih sayang sama aku, kan?" tanya Asha di sela tangis.

"Iya."

"Jadi, kenapa kamu mulai mengabaikan aku?"

Skylar menghela napas. "Aku gak ada sekali pun niat abaikan kamu." Dia mengelus-elus rambut Asha. "Hanya saja, maaf, aku marah saat mendengar kamu minta putus dengan begitu mudah."

Jeda terjadi cukup lama.

"Tahu gak, Sha, setiap kamu minta putus, hati aku hancur. Aku selalu mempertanyakan apa kamu benar-benar cinta sama aku atau gak, sampai begitu mudah bagimu buat ngucapin kata haram itu," sambung Skylar.

Asha masih menangis di pelukannya. Perasaan cewek itu saat ini hanya dipenuhi ketakutan. Takut akan kehilangan cowok yang tengah memeluknya ini. "I–itu cuma pelampiasan aja."

Skylar memilih menahan lidahnya sebelum mengeluarkan kata-kata yang akan memperburuk suasana. Sampai tiba-tiba, ponsel di sakunya berdering cukup kencang. Skylar buru-buru merogoh benda itu. Ternyata panggilan masuk dari Teh Ika.

Sesaat setelah tombol hijau digeser, terdengar tangis yang begitu dikenali Skylar. Cici menangis!

"Halo, Teh," sapa Skylar dengan panik.

Mendengar nada panik dari suara cowok itu, sontak Asha mendongak tanpa melepas pelukannya.

"Halo, A. Ini maaf, Cici nangis nyariin Aa. Teteh udah coba tenangin, tapi katanya dia mimpi habis ketemu Ibu," lapor Teh Ika yang juga terdengar panik.

Jantung Skylar seperti terjun bebas dari ketinggian. Dia menahan napas selama beberapa detik dengan tubuh mematung. Segera dilepasnya pelukan Asha, lantas berdiri dengan tangan masih menempelkan ponsel ke pipi.

"Aku pulang sekarang ya, Teh."

"Iya, A."

"Coba ponselnya kasih ke Cici, Teh," pinta Skylar. Sekarang di wajahnya hanya ada kepanikan, kedua matanya juga mulai berkaca-kaca.

"Aaa ...." Cici memanggil dengan suara sengau.

"Cici sayang, maaf Aa ninggalin kamu. A pulang sekarang, ya. Sementara Cici tenang dulu sama Teh Ika. A janji, akan cepat sampai ke rumah," cerocos Skylar.

"Mama ...."

Rasanya hati Skylar tersayat sembilu begitu mendengar kata terakhir dari Cici sebelum dirinya memutuskan panggilan.

"Kamu mau pergi?" Asha bertanya dengan nada tak suka.

Skylar berbalik, tampak kepanikan tergambar jelas di wajahnya yang kusut. "Cici nangis, aku harus pulang segera."

"Oh, jadi kamu lebih bela dia?" Asha tertawa miris. "Aku, di sini, yang jelas-jelas kamu lihat bahwa aku juga sedang nangis, kamu tinggalin gitu aja?"

Mendapat sambutan yang kurang mengenakan, Skylar hanya bisa menunduk sambil menahan diri. Mengapa Asha selalu memperumit suasana?

"Tolong pahami aku, Sha," mohonnya yang terdengar seperti sebuah bisikan.

"Mengerti sampai kapan, hah?" teriak Asha. Tidak bisa ditahan lagi, dia sudah merasa muak dan sebal akan sikap Skylar yang terkesan berat sebelah. Apa-apaan cowok itu, lebih memilih meninggalkannya dalam keadaan kacau seperti sekarang?

"Di rumahmu ada Teh Ika, kan? Kenapa gak kamu titipin Cici pada dia aja, hah? Kalau dia gak bisa, apa gunanya kamu sewa pembantu kayak dia, hah?" Amukan Asha sudah tidak terkontrol lagi. Ditatapnya dengan tajam wajah cowok yang masih bertakhta di hatinya itu.

Dia pikir Skylar akan melunak, tetapi ternyata tidak. Cowok itu justru balas menatapnya dengan lebih garang.

"Apa maumu sekarang?"

Skylar sudah ada di batas kesabarannya. Saat ini dia sudah lelah menghadapi banyak masalah, ditambah Asha yang tidak bisa mengerti sedikit pun keadaannya.

Air mata Asha kembali berjatuhan. "Kenapa kamu nanya gitu, hah?" Ada emosi yang keluar, tetapi dia justru mengatakan isi hatinya dengan nada pelan. "Seolah ... kamu udah siap meninggalkan aku."

Ada jeda cukup lama sebelum suara Skylar akhirnya terdengar.

"Kalau kamu selamanya kayak gini, aku bakal susah mertahanin kamu," pungkas Skylar sebelum dia berbalik dan memutuskan pergi.

"Sky, Skylar! Sayang!" Asha terus memanggil, tetapi tetap diabaikan oleh Skylar.

Cowok itu terus berjalan menuju pintu utama dengan emosi yang menggebu-gebu. Kepalanya penuh sekarang, dadanya sesak oleh amarah. Dalam keadaan kacau, cowok itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi.

Di jalanan, berkali-kali dia mendapat klakson atau umpatan dari pengendara lain yang merasa terganggu akan sikap ugal-ugalannya. Namun, Skylar tidak mendengar atau berusaha peduli. Kedua matanya hanya terfokus ke depan, menyalip kendaraan demi kendaraan dengan lincah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top