Bab 27 - Sewa Selingkuhan
"Hidup gue udah penuh sama masalah. Gue aja sampe bosen nyeleseiinnya."
Untuk kali ini, Skylar tidak bisa menahan kekecewaannya. Cowok itu merasa malu, sedih, juga marah. Malu karena mereka jadi tontonan orang dan sekarang hidupnya tidak tenang. Sedih karena telah melukai hati cewek yang begitu dicintainya. Marah karena ternyata sifat Asha tidak juga berubah.
Cewek itu selalu mengambil kesimpulan dengan cepat. Parahnya, dia enggan disalahkan sekalipun anggapannya salah. Jadi, kalau sudah salah, ya dia bakal terus tersesat dengan pemikiran-pemikirannya.
Seperti tuduhan tak berdasar Asha beberapa hari lalu. Padahal sudah dijelaskan dengan jujur, tetapi cewek itu mana mau percaya. Akhirnya, Skylar juga yang kena batunya.
Waktu itu, Asha menangis sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang menyudutkan. Skylar bingung dong dia harus bersikap bagaimana, sementara ketika didekati, Asha akan langsung mundur atau mengencangkan tangisannya.
"Malah bengong," tegur Nanza sambil menjentikkan jari di depan mata Skylar.
Seharusnya, Skylar tidak berhubungan dengan Nanza untuk saat ini, setidaknya sampai amarah Asha mereda. Namun, Cici terus menangis dan merengek ingin bertemu sahabatnya itu. Akhirnya, tadi sore Nanza datang berkunjung. Seketika kesedihan Cici menguap, berganti keceriaan yang menenteramkan hati Skylar.
Baginya, melihat senyum Cici saat ini adalah obat dari segala penyakit hatinya.
"Gak kok. Sorry malah ngelamun," kata Skylar yang berusaha kembali fokus pada bahasan.
Mereka tengah belajar bersama untuk mata pelajaran terakhir yang diujikan besok. Cici baru saja tertidur nyenyak di pangkuan Nanza. Bocah itu tampak begitu nyaman berdekatan dengan Nanza, entah karena apa. Namun, yang jelas Skylar merasa begitu berterima kasih pada Nanza karena dia selalu mau direpotkan oleh mereka.
"Gak apa. Gue juga baru kelar tidurin Cici nih." Nanza menunduk dan senyumnya melebar begitu saja ketika melihat wajah damai Cici. "Dia lucu banget sih, Sky."
Skylar ikut tersenyum. "Bagi gue, saat ini dia matahari yang harus gue jaga untuk tetap bersinar agar gue ketularan cahaya semengat hidup," katanya diplomatis.
"Bijak bangeeet," goda Nanza agar suasana canggung di antara mereka segera mencair.
Tawa pelan terdengar. Skylar akhirnya bisa tersenyum setelah seharian pasang wajah serius di sekolah. Bagaimana tidak, orang setiap dia muncul, ada saja bisikan miring yang menyudutkan. Lama-lama kan bikin gerah.
"Lo masih tahan sama Asha?"
Akhirnya, setelah sekian lama suasana berubah hening—selain suara dari televisi dan mesin di akuarium berukuran sedang di dekat mereka, satu tanya dari Nanza mengudara. Namun, hal itu justru menambah jeda baru.
Gelengan Skylar menjawab sebagian pertanyaan Nanza.
"Gue bingung," beber cowok itu.
"Bingung kenapa?" Nanza mengernyit penasaran.
"Asha. Lo tahu kan gimana dia. Ya kalau dulu, gue bisa aja buktiin bahwa gue masih cinta sama dia. Tapi sekarang keadaan udah berubah. Ada Cici yang harus gue prioritasin. Kehidupan gue juga udah tanpa ortu, mau gak mau gue harus belajar mandiri, kan? Gue juga harus mulai serius sekolah biar bisa urus perusahaan peninggalan Mama."
Skylar berujar dengan nada yang pelan dan terkesan amat lelah. Bahkan, kedua tangannya sambil memeluk lutut dengan pandangan berubah kosong.
Satu tepukan mendarat. Lantas, senyuman Nanza menyusul. Senyuman menghangatkan yang harusnya diberikan oleh Asha.
Skylar cepat-cepat menggeleng. Kenapa dia mulai membandingkan Nanza dan Asha? Apa kekesalannya sudah teramat besar sampai mulai mengurangi rasa percayanya pada cewek itu? Namun, wajar sih, orang karena ulah Asha, sampai sekarang dia tidak bisa tenang saat membuka ponsel. Ada saja berita atau notifikasi yang mengarahkan Skylar pada keributan di jagat maya.
"Lo tahu, hidup itu makin terasa pedih ketika kita terpaksa harus membuat keputusan melepaskan sesuatu demi tidak kehilangan lebih banyak hal berharga," kata Nanza yang menatap dalam-dalam pada wajah Skylar.
"Maksud lo?" Sedetik kemudian, Skylar menoleh, membalas tatapannya.
Cepat-cepat Nanza membuang pandangan. "Gue yakin banget, makin hari pundak lo makin berat kan karena harus menanggung dua beban sekaligus?"
Lama Skylar terdiam dan tidak memberi jawaban.
"Bisa aja suatu saat nanti, Asha minta lo buat pilih dia atau adik lo." Nanza tertawa hambar. "Anak itu selalu egois, mau menang, mau diutamakan. Sementara di sini lo mulai sibuk sama beberapa hal. Hubungan kalian belakangan mulai gak baik, kan?"
Analisis Nanza tepat seratus persen. Membuat Skylar hanya bisa tertunduk sambil mengatur napas.
"Gue gak bisa milih antara Nanza atau Cici. Mereka sama-sama spesial dan gue cintai," ungkap cowok itu.
"Tapi keduanya bakal nuntut lo ke hal-hal berseberangan. Yaaa, sedia payung sebelum hujan, kan? Lo harus bersiap dari sekarang kalau suatu saat nanti akan kehilangan salah satu dari mereka."
Pemaparan Nanza memang ada benarnya. Itulah kenapa Skylar memilih tidak menjawab. Karena untuk sekarang hatinya terasa masih berat.
Sadar akan kebingungan yang dirasakan Skylar, Nanza pun memilih untuk tidak melanjutkan obrolan berisi hasutannya. Dia memilih mengalihkan topik pembicaraan.
"Adik lo kayaknya bakal jago di bidang seni. Kebutki dia bisa nyontek gambar yang gue bikin dengan baik."
Pandangan Skylar pun beralih pada Cici yang tertidur nyaman di pangkuan Nanza. "Dia dari dulu juga paling suka lihat tayangan yang berbau seni. Di sekolah juga pelajaran seninya selalu dapat nilai bagus."
"Adik lo pintar juga," sanjung Nanza.
"Tapi lemah banget di Matematika," beber Skylar yang terdengar agak kecewa.
"Ya elah, yang namanya manusia tuh gak ada yang sempurna. Tugas lo sebagai kakak adalah, bikin dia tetap berbesar hati dan bisa menerima segala kekurangannya," hibur Nanza.
***
Beberapa hari sebelumnya, setelah kejadian yang menghebohkan itu, Asha merasa kecewa lantaran Skylar justru terkesan menjauh. Cowok itu tidak ada menghubungi via telepon atau pesan singkat. Membuatnya keki bukan main.
"Dasar cowok!" Asha menginjak lantai keras-keras untuk menyalurkan amarahnya. Namun, dia tidak sengaja menginjak ujung sepatu Diyan.
"Aish!" Cowok itu mengaduh sambil refleks menyentuh kaki.
Tatapan keduanya bertemu.
"Kenapa injek kaki gue?" tanya Diyan to the point.
"Ya salah kaki lo yang ada di sana!" jawab Asha dengan tidak santai.
Diyan menatap datar. Tanpa kata, dia pun berlalu.
"Eh, tunggu-tunggu!" tahan Asha. Dia berhasil menggenggam tangan kiri Diyan, menahan kepergian cowok itu.
"Lepas."
Asha paham, tetapi dia justru memiliki ide lain. "Akan gue lepas kalau lo mau turutin kemauan gue." Senyuman manisnya merekah, pertanda akan ada sesuatu yang terjadi.
Hela napas terdengar. Diyan berbalik dan menatap cewek itu datar. "Emang lo siapa? Pejabat? Presiden? Harus banget gue turutin kemauan lo?"
"Dih, tumben banget lo ngomong panjang," cibir Asha yang merasa heran.
Meski tidak terlalu kenal, dia mengecap bahwa Diyan itu cowok yang irit bicara dan anti basa-basi. Namun, kali ini ada sedikit perbedaan dan itu membuatnya sedikit heran. Ditatapnya cowok jangkung beralis tebal itu dari atas ke bawah beberapa kali. Yang ditatap tetap diam.
Sensor alami di kepala Asha berbunyi, melaporkan beberapa hal padanya. Segera dia membuat dugaan dengan cepat.
"Gue bisa bantu masalah lo," celetuknya.
"Gak bakal bisa," sangkal Diyan.
"Ih, gue serius! Gue kaya, banyak duit, banyak kolega." Asha membanggakan diri.
"Hidup gue udah penuh sama masalah. Gue aja sampe bosen nyeleseiinnya."
Senyum Asha melebar. Dia makin yakin kalau saat ini Diyan tengah dalam keadaan yang bisa dikatakan mendesak. "Ya udah, lo bantuin gue, dan gue bakal bantuin lo balik," tawarnya sungguh-sungguh.
Peserta ujian satu per satu sudah meninggalkan ruangan. Kelas itu hampir kosong sekarang, jadi Asha merasa bisa lebih leluasa berbicara berdua dengan Diyan. Dia tidak peduli kalau ada yang diam-diam memotret lalu menyebarkannya di sosial media. Toh, bukannya itu bagus karena kalau Skylar lihat, cowok itu akan marah-marah dan kesal?
"Gue lagi susah, yakali bantuin lo yang juga lagi kesusahan," balas Diyan malas.
Jujur, saat ini dia hanya perlu memanfaatkan waktunya untuk push rank agar segera dapat duit. Adiknya tengah berjuang di rumah sakit, dia tidak bisa bersantai-santai, seperti meladeni ocehan tidak jelas cewek ini.
"Ihhh, dengerin dulu makanya!" rengek Asha, habis kesabaran. Namun, tidak-tidak, dia tidak boleh menyerah. "Apa yang lo butuhin? Duit, kan?"
Diyan menatap lekat tepat ke sepasang matanya. "Bukan urusan lo."
"Dih, jutek banget lo jadi cowok." Asha mencibir sambil mengangangkat sudut bibir atasnya.
Diyan tidak bereaksi, justru cowok itu kembali berbalik, hendak melanjutkan langkah. Sayang, lagi-lagi Asha menahannya.
"Jangan sentuh-sentuh gue! Gue terlalu mahal untuk disentuh orang kayak lo," celetuk Diyan yang membuat Asha langsung ngakak kencang.
Melihat itu, Diyan hanya bisa menghela napas.
"Cepat, apa urusan lo?" Dia memilih mengalihkan keadaan karena ditertawakan seorang cewek ternyata cukup memalukan.
"Nah, gitu dong!" kata Asha yang terlihat langsung memasang wajah bahagia. "Lo cuma perlu nemenin gue main ke beberapa tempat doang."
"Gak beberapa, sekali aja," tawar Diyan.
Asha mencebik sebal. "Gue bakal bayar mahal buat ini."
Mendengar kata 'bayar', jelas yang terbayang di kepala Diyan adalah uang. Saat ini dia tengah butuh uang, jadi bolehkah dirinya menerima tawaran ini? Sementara pasti ada risiko yang menanti.
Jangankan disengaja, kemarin saja ketika namanya terus dibawa-bawa sebagai pelakor di dalam hubungan Asha dan Skylar yang tidak sengaja, hidupnya sempat tidak tenteram selama beberapa saat. Apalagi sekarang. Meski dia dibayar yang artinya bekerja untuk Asha, tetap saja setelahnya akan ada setumpuk masalah yang bisa melebar ke mana-mana.
Diyan memejamkan mata.
"Oke, lo cuma perlu nemenin gue sekali aja. Nanti, sehabis pulang sekolah," putus Asha dengan berat hati.
"Oke."
"Bawa motor?"
Diyan mengangguk.
"Biar sopir gue yang bawa. Lo sama gue pergi, naik mobil mahal gue," kata cewek itu.
"Lo yang nyupir?" tanya Diyan spontan.
"Ya lo lah! Yakali pergi sama cewek, tapi ceweknya yang nyetirin. Gak romantis amat lo." Asha mengomel dengan sebal.
"Gue gak bisa bawa mobil."
Pernyataan singkat dari Diyan berhasil membuat Asha membuka mulutnya lebar-lebar. "Serius lo?"
Cowok itu mengangguk, membuatnya tambah tidak habis pikir.
"Ih, lo cowok tulen apa bukan sih? Kok gak bisa bawa mobil? Padahal itu gampang, nyaman juga, bisa sambil duduk."
"Lah, kan bawa motor juga sambil duduk. Yakali sambil kayang." Diyan menyahut cepat dengan nada pelan.
"Gak gitu, Bambang!"
"Bambang nama bapak gue," kata Diyan ketus.
Asha langsung melipat lidahnya, lantas menarik-embuskan napas. "Pokoknya gue rugi dah kalo bukan lo yang bawa mobil."
"Ya udah kalo lo maksa harus gue yang bawa mobil," kata Diyan dengan ekspresi datarnya.
"Oh, tadi lo cuma bohong? Aslinya lo bisa bawa mobil?" duga Asha penuh harap.
"Gue bawa mobil lo, tapi kita otw akhirat," sambung Diyan.
Seketika Asha memasang tampang kesal. "Hih, cowok kok gak bisa bawa mobil."
Diyan tidak menjawab, entah tidak mendengar gerutuan Asha atau memang pura-pura tuli.
"Terserah lo. Kalo lo keberatan sama hal itu, cari aja cowok lain," celetuk Diyan setelah mereka terdiam selama beberapa menit.
"Ih, gak bisa! Soalnya nih, nama lo udah banyak dikenal orang, udah pernah dibawa-bawa sebagai pelakor gue sama pacar gue. Jadi, gue cuma mau manfaatin berita itu doang biar ayang gue percaya sama sandiwara gue." Tanpa sadar Asha membeberkan rencananya.
Sadar ditatap lekat-lekat oleh Diyan, juga apa yang baru saja dikatakannya barusan, Asha segera menutup mulut dengan sebelah tangan lalu membuang muka.
"Intinya gue bakal bayar mahal lo," katanya untuk mengembalikan mereka ke topik awal.
"Harus," balas Diyan.
"Dih, dasar matre!" Asha melayangkan tatapan jijik pada cowok itu.
"Kan lo pernah bilang kalau semua cowok itu pasti butuh uang."
Asha mencibir dalam diam. "Oke! Gue bayar setengah sekarang, sisanya nanti setelah lo jalanin peran lo dengan baik!"
Mendengar itu, Diyan hanya bisa mengangguk menyepakati.
"Mana norek lo?"
"Nih." Diyan memperlihatkan layar ponselnya.
Selama beberapa detik, Asha fokus pada ponsel, mengetikkan sesuatu. "Udah. Itu baru DP ya." Dia pun berdiri dan merapikan seragamnya.
Diyan langsung mengecek aplikasi rekeningnya. Kedua matanya seketika membola begitu melihat angka-angka yang tertera sebagai jumlah sisa saldo. Cowok itu ingat betul, semalam dia melakukan penarikan tunai sampai hanya menyisakan 20.000 lagi di dalam rekening.
Sejuta? Gak salah lihat gue? batin cowok itu sambil tetap menatap layar ponsel.
"Gue baru transfer sejuta sebagai DP. Jadi, nanti lo kerja yang bener, ya!" kata Asha yang setengah berbisik di dekatnya. Kemudian, cewek itu berlalu pergi sambil memainkan rambutnya.
Tahu apa yang dilakukan Diyan?
Tidak ada. Cowok itu hanya terpaku di tempat dengan kening berkerut dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top