Bab 23 - Balas Dendam

"Perspektif orang memang beda-beda dan karena perbedaan itu pula sering terjadi konflik."

Ditanya rencana masa depan, bagi pasangan yang sudah kepalang bucin, pasti jawabannya ya auto nikah.

"Kak Asha, Kak Asha, Kakak habis lulus SMA mau ngapain tuh? Karier apa nikah? Secara kan, Kak Asha mah udah kaya dari lahir, terus dapat pasangan juga bucin parah sama Kakak."

Asha tertawa mendengar pertanyaan polos dari cewek mungil berkacamata bulat yang saat ini memimpin acara podcast. Sore ini, pasangan fenomenal itu diundang oleh youtuber muda yang tengah naik daun. Jadi, ya karena Asha dan Skylar juga tengah heboh belakangan ini, mereka mengadakan acara santai untuk mendongkrak popularitas.

"Ya aku sih penginnya langsung nikah gitu. Secara kan dari finansial udah mapan. Paling kalau gak nikah, ya kita karier dulu lah," jawab Asha dengan senyuman yang belum luntur.

"Hmm, gak ada rencana kuliah tuh?"

"Ada sih, mungkin. Gue gak yakin. Gue sih lebih pengin coba hidup mandiri habis lulus. Ya apa ya, bukan sok dewasa, cuma kan kita gak bisa selamanya bergantung sama orang tua gitu." Asha menjawab percaya diri.

Cewek di depannya yang memakai kemeja kotak-kotak cokelat mengangguk-angguk. "Kalau gitu, Kak Skylar gimana nih soal rencana masa depan?" Dia beralih pada cowok yang terlihat begitu rapi dan tampan.

Skylar melebarkan senyum, membuat cewek di depannya itu seolah-olah terkena sihir Medusa sehingga mematung selama beberapa saat. Pesona seorang Skylar memang tidak diragukan lagi. Senyumannya bisa membuat es meleleh—kalau sambil nyalain kompor.

"Gue mungkin ngikut aja sama kemauan pacar gue. Saat ini belum ada rencana matang." Skylar menjawab di zona aman, karena sesungguhnya dia tidak setuju dengan pendapat Asha, tetapi enggan membuat cewek itu kecewa.

"Yeay, kalau gitu, habis lulus kita nikah aja, ya?" Asha bersorak heboh, lantas memeluk pacarnya dengan tidak malu-malu.

Sontak seisi ruangan menyoraki mereka, membaca keduanya tersipu malu.

Bagi Asha, itu adalah sebuah janji, tetapi bagi Skylar, itu kalimat aman agar tidak mengecewakan pacarnya. Perspektif orang memang beda-beda dan karena perbedaan itu pula sering terjadi konflik.

***

A

sha tidak bisa hanya duduk diam saja ketika Skylar mulai berani melawan dirinya. Dia harus berbuat sesuatu untuk "menghukum" dan memperingatkan cowok itu, bahwa dirinya lebih berharga dan lebih pantas diperjuangkan dari siapa pun.

Malam ini, cuaca berangsur cerah, jadi Asha bisa kelayapan sepuasnya, mungkin. Yah, walau dia sendirian. Dia diantar sopir meninggalkan kediamannya di sekitaran Dago Atas.

Udara terasa lebih dingin belakangan ini. Memang, kawasan Dago terkenal akan cuaca dinginnya, tambah tadi habis hujan. Jadi, Asha memakai jaket krem berbulu lembut yang tebal, kupluk warna senada, dan celana jin gombreng cokelat dengan sedikit robekan di bagian lututnya.

"Gak tahu sih, gue bakal keluar atau gak." Asha tengah melakukan siaran langsung dan membaca komentar yang masuk. "Ya lo pada boleh komentar apa pun kok, tapi titip aja, apa yang lo lihat belum tentu kejadian sebenarnya. Fakta di sosmed itu masih ambigu, bisa direkayasa."

Dia tersenyum sinis. Kemarahan seketika bergejolak di dalam dadanya kala mengingat keempat "sahabatnya" ternyata pandai bermain peran.

Lovers dibentuk tiga tahun lalu oleh Dyra, dengan tim pertama hanya dirinya dan tukang edit video yang sekaligus jadi lawan mainnya. Kemudian, masuk Nanza dan Qieza.

Asha dan Skylar masuk satu setengah tahun lalu, tepatnya setelah hubungan mereka terus viral di area sekolah. Keduanya yang terbilang aktif di beberapa kegiatan, membuat kepopuleran mereka makin meningkat.

Skylar masuk tim basket elite sekolah dan berhasil memamerkan performa terbaiknya. Dia juga ikut tim voli dan futsal. Di kelas, dia selalu masuk sepuluh besar.

Sementara itu, Asha sendiri ikut tim cheerleaders dan OSIS. Namun, keduanya jalur orang dalam, yakni Qieza. Asha dan Qieza bisa dibilang cukup dekat. Asha sering menolong Qieza dari segi materi, maka Qieza dengan senang hati balas budi.

Selepas Asha dan Skylar masuk, Lovers makin dikenal banyak orang. Kepopuleran mereka terus naik setiap harinya. Jadi, mereka pun mulai mengurangi kegiatan di sekolah dan fokus berkarier.

Meski satu tim dan tempat kerja, malah kelihatannya mereka sangat akrab, faktanya itu hanya topeng. Hal yang terjadi adalah, mereka tetaplah bersaing. Persaingan mulai terlihat setelah Asha dan Skylar naik sebagai pasangan terfavorit di tim mereka. Fans keduanya terus bertambah banyak, membuat Dyra muak.

Ditambah lagi, sikap Asha yang bisa dibilang menyebalkan bagi mereka. Cewek itu pandai bermain peran. Di depan umum, dia cewek polos, lugu, imut, baik. Padahal aslinya suka nyuruh, egois, suka merajuk dan memaksa, terakhir bucin akut.

Tidak boleh ada yang dekat-dekat dengan Skylar tanpa seizinnya, apalagi sok akrab dengan cowok itu. Entah cewek atau cowok. Kecemburuan dan sikap posesifnya perlahan-lahan membuat mereka gerah.

"Iya, waktu itu gue gak sengaja bentak Hanna. Tapi apa gue salah, sementara dia nyerang gue duluan? Mulut dia busuk banget, asli! Gue kaget banget pas dia hina harga diri gue pake kata-kata kasar. Terima gak lo dikata-katain sampai harga diri lo diinjak?" Asha mengeluarkan emosi dalam bentuk air mata. Dia pura-pura menangis, seolah-olah mengatakan bahwa dirinyalah yang tersakiti saat itu.

"Kata-katanya masih gue ingat banget, Guys." Asha mengusap kedua matanya. "Jujur saat ini gue capek banget. Lo bayangin, banyak banget berita miring yang mengarah ke gue. Padahal gue gak lakuin apa-apa, lho. Belakangan gue cuma lebih fokus ke dunia nyata gue. Gue selalu update kan, buat ngabarin ke lo semua kabar gue?"

Satu balon komentar tertangkap oleh mata Asha.

'Terus, video yang viral waktu itu, benar Kak Asha?'

"Yang mana sih?" Asha pura-pura mengingat-ingat.

Balon komentar kembali muncul.

'Yang video anak durhaka itu.'

Asha mengangguk-angguk, lantas melebarkan senyum sambil menggeleng. "Bukan gue, yakin deh. Gue mana ada keberanian buat bersikap kayak gitu ke orang tua gue? Iya, gue udah nonton itu video. Gue jadi curiga deh, jangan-jangan itu ada skenarionya alias sengaja dibikin buat jatuhin nama gue. Ya lo pada dengar kan, suara yang ada di video itu jauh banget sama suara gue."

Memang, cara bicara Asha di depan kamera dan pada pacarnya itu diimut-imutkan. Berbeda saat dia tengah kesal.

"Sekarang? Oh, gue mau pergi keluar bentar. Tadi habis main sama Sky sih, cuma yaaa dia buru-buru pulang karena katanya khawatir sama adiknya. Ya udah deh, sebagai pacar yang baik, gue iyain aja. Ini masih pukul sembilan kok, jadi kayaknya aman kalau gue pergi sendirian."

Asha terus berbicara, menjawab komentar yang masuk, yang lolos filter matanya. Karena memang ada banyak komentar tidak benar bahkan hujatan yang ikut mampir.

Mobil berhenti, lampu merah menyala. Asha menghela napas, malam ini cukup ramai. Dia mengedarkan pandangan dan secara tidak sengaja menemukan seseorang yang sepertinya familier. Sebuah ide dengan cepat muncul di kepalanya, menyala terang bak lampu 100 watt.

"Eh udah dulu, ya. Gue udah mau sampai nih. Nanti gue kabarin deh kalau udah sampai rumah lagi," kata Asha. Kemudian, dia pun mengakhiri siaran langsung.

Mobil Asha berhenti dekat bahu jalan, jadi dia bergeser untuk keluar dari pintu yang satunya. Detik di lampu merah masih terlihat lama, jadi dia memiliki waktu untuk menghampiri cowok itu. Tak lupa sebelumnya dia menyuruh sopir untuk membuntuti mereka sambil merekam beberapa adegan penting—contohnya telah disebutkan oleh Asha.

"Gue ikut lo, ya!" Tanpa permisi, Asha langsung duduk di jok belakang motor Diyan.

"Turun!" titah Diyan, sebal bukan main. Jantungnya masih berdetak kencang gara-gara kemunculan cewek ini yang tiba-tiba.

"Gak. Mau ikut lo gue mah." Asha malah mengeratkan pelukannya.

"Ya udah, gue bawa celaka, mau?" balas Diyan dengan sedikit emosi.

"Ih, Diyan!" Karena kesal, Asha memukul pelan helm Diyan. "Gue kan cuma pengin ikut lo, gitu aja kok pelit sih!"

"Bawa lo bisa dapat masalah," kata Diyan apa adanya.

Asha tambah kesal saja sehingga dia mencubit pinggang Diyan.

Lampu hijau menyala, membuat beberapa kendaraan memberi klakson pada mereka.

"Jalan buruan, sebelum ditabrak orang!" titah Asha sambil memukul pundak Diyan.

"Hadeh." Diyan pun dengan terpaksa mengegas motornya. Namun, beberapa meter kemudian, dia kembali berhenti.

"Turun."

"Gak!" Asha bersikukuh.

"Lo penumpang ilegal." Diyan juga bersikukuh.

"Gue bayar berapa pun asal lo izinin gue ikut sama lo," bujuk Asha.

"Ya udah, sejuta sekali jalan."

"Oke! Lo pikir gue gak mampu, hah? Ayo ke depan, cari ATM, gue mau narik uang buat lo. Atau, mana dompet digital lo, biar gue transfer sekarang."

"Gue cuma bercanda."

"Halah, bercanda-bercanda, paling lo serius. Cowok mana sih yang gak butuh duit, yang gak bahagia kalau pacarnya kaya raya," cerocos Asha tanpa memikirkan ucapannya.

Diyan merasa sedikit terganggu dengan hal itu. "Turun," titahnya lagi.

"Gak!" Asha tetap duduk di jok belakang meski sekarang kedua tangannya memegang jok dan kedua kakinya turun menyentuh aspal. 

Tanpa kata, Diyan menyetandarkan motor Beat-nya, kemudian turun dan melepas helm.

"Eh, lo mau ke mana?" tanya Asha panik.

"Noh, bawa motor gue, pergi aja ke mana pun lo mau," jawab Diyan lantas meletakkan helm di kaca spion.

Asha paham sekarang. "Ih, Diyaaan, kok lo tega banget sih?" Dengan cepat kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Sebegitu jijiknya lo sama gue, sampai-sampai gak mau dekat-dekat sama gue, hah? Gue salah apa sama lo?" Suaranya mulai bergetar.

Diyan sukses dibikin panik. Cowok itu garuk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Kemudian, dia kembali duduk di motor dan memasang helm.

"Nah, gitu dong!" Asha kembali memeluk pinggang Diyan. Kesedihan telah sempurna menguap dari mukanya. Dia malah tersenyum lebar karena berhasil membuat Diyan luluh.

Motor mulai berjalan pelan. Kenalpot bisingnya beradu kencang dengan suara-suara lain di jalanan. Angin malam berembus sejuk, menyapa pohon-pohon hias di pinggir jalan. Lampu-lampu oranye menyala terang, menerangi para pengendara.

"Gak usah pegang-peg ...."

Sebelum ucapan Diyan selesai, Asha lebih dulu melepas kedua tangannya dan direntangkan. Dia berteriak-teriak heboh, terhanyut menikmati suasana malam yang indah. Rambutnya yang sekarang dibuat ikal dan agak panjang, berkibar-kibar tertiup angin.

Diyan hanya bisa menghela napas dan  fokus mengemudi.

Mereka berhenti di sebuah Indomaret. Parkiran cukup sepi dari kendaraan. Diyan segera turun setelah menyetandarkan motornya di dekat sebuah mobil, lantas melepas helm.

"Ngapain ke sini?"

"Ya belanja, masa mau ngerampok."

"Ih, Diyaaa—"

"Teriak lagi, gue tinggal lo."

Seketika Asha membungkam mulut, tetapi mengumpat di dalam hati. Dengan terpaksa, dia pun turun dan mengekori Diyan.

Cowok itu pergi ke rak alat tulis.

"Lo mau cari apaan sih?"

"Buku gambar besar karakter Doraemon dan pensil warna 36 warna," jawab Diyan dengan mata fokus meneliti setiap benda yang tersedia.

"Etdah, ribet banget. Nah, itu ada tuh buku gambar yang motif Doraemon." Asha menemukan buku gambar di rak paling bawah.

Namun, Diyan menggeleng. "Gak sesuai permintaan adek gue," katanya.

"Dih, ribet banget adek lo," cibir Asha sebal. Dia heran, kok cowok-cowok itu bucin banget sama adiknya?

Tatapan tajam Diyan langsung teralih ke arahnya. Asha membalas dengan kening berkerut.

"Dia adek yang gue sayangi," kata cowok itu. Kemudian, dia kembali melihat-lihat.

Akhirnya, setelah berputar-putar cukup lama, benda yang dicari Diyan pun ketemu.

Sekarang mereka tengah duduk di kafe yang terletak tidak jauh dari Indomaret, menikmati suasana malam ditemani secangkir minuman hangat.

"Lo pulang sama siapa?" tanya Diyan setelah hening cukup lama.

"Diantar lo lah," jawab Asha dengan yakin.

Diyan menggeleng. "Gak bisa."

"Kenapa? Kok lo nolak terus sih?" Asha langsung melancarkan aksinya.

Diyan menghela napas. "Gak usah kebanyakan sandiwara sama gue, muak lihatnya," katanya cuek.

Asha mendengkus, kesal triknya terbongkar.

"Telepon aja pacar lo," saran Diyan.

"Gak ya! Dia lagi selingkuh sama selingkuhan barunya!" Asha menjawab dengan emosi menggebu-gebu.

Diyan menatap selama beberapa detik, kemudian menyeruput coffe latte-nya. "Terserah lo. Intinya gue gak bisa ngantar pulang."

"Kenapa?" Asha menatap penuh pada cowok itu.

"Gue udah lama ninggalin adik gue."

Asha langsung bersedekap dengan wajah sebal. "Kok lo sebegitu pedulinya sih sama adek lo? Sama aja kayak si Sky. Gue jadi terabaikan, dinomorduakan, di-PHP terus."

"Itu kan derita lo," kata Diyan.

Dia telah selesai minum, jadi langsung saja berdiri dan mengambil barang belanjaannya.

"Eh, mau ke mana?"

"Bayar."

"Sama punya gue, ya?"

Diyan menatap datar. "Ngaku kaya, tapi bayar minuman dibawah dua puluh ribu aja minta dibayarin," cibirnya.

Merasa tersinggung, Asha langsung saja menerobos Diyan menuju meja kasir. Akhirnya, dialah yang membayar minuman mereka.

"Gue kaya, ya!" Asha mengatakan itu sambil menatap garang pada Diyan.

Diyan menghela napas, merasa sedikit kesal pada sikap cewek itu yang suka semena-mena. Namun, karena tidak ingin pusing, dia pun memilih berbalik dan melangkah pergi.

"Eh, tunggu!" tahan Asha. Tangan kanannya berhasil menarik ujung jaket Diyan. Momen singkat itu tentu tidak boleh disia-siakan, dia langsung mengambil ponsel di saku celana dan memotret tiga kali.

Tunggu saja, peringatan darinya kali ini akan benar-benar membuat Skylar menyesal!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top