Bab 22 - Mendekat dan Menjauh
"Janji adalah sebuah bualan karena bisa dengan mudah diingkari, entah oleh diri sendiri atau keadaan."
Skylar terus menerangkan beberapa hal, sementara Asha malah tiduran tanpa mendengarkan cowok itu. Padahal, beberapa saat lalu dia menyanggupi untuk ikut belajar dengan Skylar di taman belakang kelas sebelas.
"Ternyata lo di sini," celetuk seseorang.
Kenal dari suaranya, sontak Asha langsung mengangkat kepalanya dari permukaan meja. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus.
Mendapat tanggapan tidak bersahabat, Nanza hanya berdecih pelan. "Mau pinjamin buku paket ke pacar lo."
"Ya udah, GPL!" titah Asha tidak bersahabat.
Sempat-sempatnya Nanza mencibirnya dengan nada pelan sebelum beralih pada Skylar. "Nih, buku bekas kakak gue. Moga membantu lo." Dia menyerahkan buku tebal berwarna-warni yang berisi latihan soal masuk perguruan tinggi.
"Kakak gue pintar sih, dia lolos UI di percobaan pertama. Jadi, di buku ini udah ada semua jawaban lengkap dengan penjelasan tambahan dari kakak gue," sambung Nanza. Dia berdiri di dekat Skylar duduk.
"Keren, keren," sanjung Skylar dengan nada pelan.
Dari tempatnya, Asha mencibir keki. Sok akrab dih, malesin banget!
"Lagian lo buru-buru amat dah. Mau narget unive mana coba, sampe harus belajar dari sekarang. Padahal masih ada setahun lagi buat santai-santai."
Skylar melirik Asha sebelum memutuskan apakah dia harus menjawab jujur atau tidak. Bukannya apa, belakangan hubungan mereka sedang tidak baik. Terlebih Asha juga ngambek karena nilai UTS-nya kebanyakan gagal total sampai cewek itu harus beberapa kali remedial.
Dia belum membicarakan apa pun terkait rencana masa depannya. Memang, mereka telah memiliki rencana awal yang matang, tetapi belakangan Skylar merasa ingin memiliki tujuan lain, yang tentu menentang.
"Yaaa, gue masih berat ke Cici sih. Gue gak bisa ninggalin dia, walau gue punya mimpi besar." Skylar menjawab pelan.
"Kalian ngobrolin apaan sih?" sela Asha sebal. Dia menutup ponselnya setelah melihat instastory Nanza yang mengunggah sebuah foto hasil gambar corat-coret—sepertinya hasil anak kecil—beberapa menit lalu.
"Apaan deh, kepo banget," cibir Nanza.
Asha menghela napas. Namun, sebelum amarahnya meledak, Skylar lebih dulu menengahi.
"Nanza pinjamin aku buku paket buat aku belajar, itu doang," jelas Skylar.
"Tahu. Terus apa tadi, kamu ada rencana kuliah? Kok si Nanza lebih tahu dari aku sih? Kamu curhat apa aja ke dia? Kamu lebih percaya ke dia gitu? Gini ya, emang kalian sahabatan, tapi posisi aku lebih penting dan dekat dari si Nanza. Aku pacar kamu, Yang. Kok tega sih kalau kamu lebih percaya apa pun ke dia daripada aku?"
Asha kambuh lagi. Skylar hanya bisa menahan diri untuk tetap terlihat biasa saja.
"Gue pergi. Mak Lampir resek ini bikin gue gak mood lama-lama di sini." Setelah mengatakan itu, Nanza melangkah santai meninggalkan tempat.
"HEH, MULUT LO, YA!" jerit Asha.
"Yang, udah-udah, nanti suara kamu habis." Skylar menggenggam tangan kanan Asha, bersikap selembut mungkin.
"Kamu ada rencana kuliah, hah?" Kemarahan Asha sekarang tumpah sepenuhnya pada sang pacar.
Skylar hanya bisa menunduk selama beberapa saat, mengumpulkan keberanian dan menimbang banyak kemungkinan buruk.
"Hidupku harus tetap berlanjut, Yang. Aku nanti harus besarin Cici, aku juga harus terusin usaha peninggalan Mama dan Papa. Untuk itu, aku perlu mempersiapkan diri dengan ilmu dan pengalaman yang gak sediki—"
"Terus pernikahan kita? Janjimu yang akan nikahi aku selepas lulus?" potong Asha dengan amarah tertahan.
Diam selama beberapa saat, Skylar tengah menyusun kata-kata. "Seingatku, waktu itu aku gak nyanggupin atau janji dengan serius. Aku cuma akan mengusahakan untuk mewujudkan impian kamu tentang kita," jelasnya selembut mungkin.
Namun, dalam sekejap kedua mata Asha berkaca-kaca dan beberapa tetes bulir bening menyusul setelahnya. "Jadi, sejak awal kamu niat ingkar?" tuduhnya dengan terluka.
"Bukan gitu ...." Skylar bingung harus menjelaskan apa lagi.
"Udahlah! Kenapa sih kamu makin berubah belakangan ini? Kamu makin sibuk, makin ngejauh, makin banyak alasan. Padahal aku selalu sediain waktu dan berusaha selalu ada buat kamu," serang Asha.
Skylar mengakui apa yang diucapkan Asha memang benar. Hanya saja, dia makin merasa kalau Asha itu egois. Selalu minta dimengerti, ditemani, diprioritaskan, sementara keadaannya sudah berbeda sekarang. Ada Cici yang harus diperhatikan, ada masa depan yang harus dipertimbangkan ulang.
"Keadaan ..., kamu kan tahu keadaan aku gimana sekarang. Selepas Mama pergi, sumber keuangan keluarga cuma dari perusahaan yang dikelola Om. Aku pengin selalu ada buat Cici biar dia gak merasa kesepian terus. Aku juga harus mikirin masa depan dia—"
"Dan mengabaikan masa depan kita?" sela Asha lagi.
"Gak gitu!" Skylar kelepasan, nada bicaranya agak naik sekarang. "Tolong, kamu ngerti posisiku, Yang. Aku serba bingung sekarang. Keluarga dan kamu mulai berjalan bertolak belakang. Aku harus apa?" Dia terlihat begitu frustrasi.
Belakangan, intensitas perdebatan mereka makin sering terjadi. Entah karena hal penting seperti sekarang, atau hal-hal remeh yang berujung besar karena Asha terus bersikap egois dan membuatnya lelah. Lelah yang berujung amarah.
"Dua tahun kita bersama, tapi baru kali ini aku lihat kamu emosi bicara sama aku. Aku kecewa!"
Asha lalu melangkah pergi, berjalan cepat-cepat dengan kepala menunduk. Langit di penghujung Oktober tengah mendung, seolah-olah memahami apa yang dia rasakan sekarang, juga apa yang terjadi di dalam kepala Skylar.
***
Keretekan hubungan mereka tercium oleh publik, apalagi di saat bersamaan video sikap buruk Asha pada teman segengnya tersebar. Makin meledaklah kabar itu. Makin dibesar-besarkan oleh teori liar para netizen.
Asha berusaha mengurangi waktu mainnya di sosmed, tetapi dia tidak memiliki kesibukan lain sehingga berujung hanya main ponsel nyaris seharian. Dia dan Skylar bisa duduk bersama, tetapi tidak ada obrolan atau kehangatan lagi. Bahkan, meski dia bermanja, cowok itu tetap diam, seolah-olah berubah jadi patung.
"Ke mana?" tanya Skylar yang menyadari pergerakan pacarnya. Dia menutup buku paket dan mengangkat pandangan.
"Kantin, lapar," jawab Asha dingin.
Baiklah, sekarang dia memilih untuk membalas perbuatan Skylar meski terasa begitu menyiksa baginya. Sejak kapan dia sanggup cuekin Skylar, pacar yang sangat dicintai dengan sepenuh hatinya, dalam waktu lama?
Memang, gengsi itu berat.
"Perlu kutemenin?"
"Gak usah. Pacaran aja sama buku sana!" Asha menjawab ketus.
Lalu, cewek itu pun berjalan meninggalkan tempat. Di perjalanan, dia tidak berhenti menggerutu.
Sekarang ada perubahan lain yang mulai terasa. Orang-orang yang berpapasan dengannya lebih sering melempar tatapan mencibir ketimbang mengagumi seperti dulu-dulu. Tidak ada pula yang tiba-tiba mengajak berfoto. Membuat Asha tidak nyaman saja.
"Lo cocoklah jadi artis tanah air, penuh sensasi," sindir seseorang yang berhenti di belakang Asha.
Asha berbalik dan menemukan Hanna. Dia mendesis sinis. "Dasar iblis!"
"Ups, jahat banget mulutnya, Mbak," cibir Hanna, sengaja membuat emosi cewek yang lebih tinggi darinya itu kebakaran.
"Heh, yang jahat dan ular itu lo!" Asha sudah muak.
Namun, Hanna malah tertawa dengan santai, lantas mengibas-ngibaskan tangannya. "Udah-udah, bisa bengek gue ngetawain lo yang makin menyedihkan ini."
Asha mengepalkan tangan, menahan emosi juga bersiap menampar mulut pedas adik kelasnya yang kurang ajar ini.
"Gue cuma mau sampein amanat penting dari Kak Dyra," sambung Hanna. Tangannya merogoh saku rok sepan sependek lutut untuk mengambil ponsel. "Gini, dengerin dan pasang baik-baik telinga lo itu, ya!"
"Set—"
"Kak Dyra bilang, 'Na, tolong lo bilangin ke si Asha kalau selama berita yang lagi heboh belum suru, sebaiknya dia jangan ikut syuting dulu. Gue juga capek ngadepin sikapnya yang sok berkuasa itu.' Nah, gimana?" Hanna terlihat begitu puas setelah membacakan pesan yang dikirim Dyra semalam.
"Sial!" umpat Asha. Dia kesal bukan main. Apa-apaan, seolah-olah dirinya akan dibuang hanya karena berita murahan yang jelas-jelas direkayasa. "Kalian licik banget sumpah!"
"Aih, tapi gue waktu itu sakit hati banget lho dibentak sama lo." Hanna malah sengaja berakting pura-pura sedih. Membuat Asha tambah marah saja.
Cewek itu melangkah maju mendekati adik kelasnya. Kemudian, dia memajukan wajah sampai begitu dekat dengan telinga kanan Hanna. "Kalian cuma bikin alasan aja, kan? Emang sejak awal kalian pengin gue keluar dari Lovers?" tuduhnya dengan nada sinis.
Tawa pelan terdengar, tawa yang penuh kebahagiaan.
"Tumben lo pinter, deh. Biasanya kan lo tolol, cuma cinta doang yang ada di otak kecil lo itu," hardik Hanna setengah berbisik.
Emosi Asha seketika melonjak. Tangan kirinya terangkat, hendak memukul Hanna.
"Ampun! Jangan, Kak!" jerit Hanna yang menyadari niat Asha. Dengan lihai, dia berakting seolah-olah begitu tersakiti.
Asha mengerjap dan baru tersadar bahwa sekarang mereka jadi tontonan.
"Ih, si Asha kok makin kelihatan busuknya sih?"
"Canti, tapi kasar banget kelakuannya. Amit-amit deh."
"Gak sangka aku. Padahal kesan dia di sosmed itu anak manis, baik, penurut, lugu. Eh, ternyata aslinya emang belagu."
"Udah-udah, mending kita bubar, sebelum kena pukul sama dia."
Beberapa siswi membubarkan diri sambil masih melayangkan tatapan mencela pada Asha.
"Sial!" Asha mendesis sebal. Kedua tangannya terkepal.
"Ups, akting gue kelewat bagus kayaknya. Haha, mampus." Hanna memeletkan lidah sebelum berlalu dari sana. Terdengar Asha yang mengumpat kasar, tetapi dia malah kesenangan.
Setelah hari itu, waktu Asha terasa berjalan begitu lambat. Dia makin sering merasa bosan atau lelah menghadapi para manusia yang mulai menyerangnya secara perlahan. Skylar sendiri terus sibuk belajar dan menyediakan waktunya untuk Cici. Asha terpaksa membiarkan, terlalu lelah berdebat dengan cowok itu. Terpenting sekarang dia masih bisa bermanja pada cowok itu, walau respons Skylar juga mengecewakan.
Belakangan, Skylar malah sering mengajaknya belajar bersama. Awalnya Asha semangat karena mereka bisa berduaan lagi, tanpa ada gangguan dari mana pun, di kafe bernuansa romantis dengan menyewa ruangan privat.
Sayangnya, Asha malah berujung stres sendiri. Kepalanya terasa ngebul. Skylar juga sama, hanya cowok itu terus berusaha dengan memanfaatkan internet.
"Kira-kira ini udah benar belum, ya?" Skylar sengaja meminta pendapat Asha.
"Gak tahu. Aku gak paham lah, malah belajar kayak gini bikin aku tambah pusing," jawab Asha dengan kekesalan yang tidak bisa disembunyikan. "Udah deh, mending kita TikTok-an aja, gimana? Bikin video gitu buat naikin mood," sarannya.
Namun, Skylar menggeleng. "Aku masih belum bisa pecahin rumus ini."
"Ih, nyebelin!" protes Asha.
Skylar menyerah berupaya sendiri. Dia pun mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. Sebelumnya, dia memfoto bagian soal yang gagal dipecahkan, lalu dikirim pada Nanza. Beberapa saat kemudian, balasan pesan WhatsApp-nya tiba. Nanza mengirimkan beberapa foto yang berisi pemecahan soal.
Senyum Skylar melebar. Tidak salah dia bersahabat dengan Nanza, cewek itu ketularan pintar dari kakaknya.
"Pulang, yuk! Aku capek dan bosen," ajak Asha tiba-tiba.
Skylar hendak menolak, tetapi rajukan Asha membuatnya mengalah. Dia pikir mereka akan langsung pulang karena dia ingin segera lanjut belajar. Namun, ternyata Asha minta ke sana-sini dulu. Dari mal, ke kafe, bioskop, wahana bermain. Hujan turun dengan deras, pulangnya mereka terjebak macet cukup lama. Akhirnya, Skylar tiba di rumah pukul sepuluh malam.
"Aa, Aa dari mana aja? Cici khawatir tahu sama Aa!" rajuk Cici begitu melihat kemunculan Skylar yang baru saja menutup pintu.
"Eh, Za, sejak kapan lo di sini?" sapa Skylar begitu melihat kemunculan Nanza.
"Dari abis Magrib sih. Cici yang hubungi gue, nangis-nangis minta ditemenin," jelas Nanza apa adanya.
Memang, dia memberikan nomor WhatsApp-nya pada bocah 10 tahun itu. Cici juga sudah bisa main ponsel dan dipantau ketat oleh kakaknya.
Skylar langsung menatap adiknya yang masih memeluk lututnya dengan erat. Dia langsung memangku Cici. "Cici, maafin A Sky ya, karena tinggalin Cici lama, terus gak bilang juga."
Hari ini Skylar memang menyimpan ponselnya di rumah karena ingin fokus belajar, yang malah berujung gagal karena Asha.
"Gak papa, yang penting A Sky pulang," kata Cici polos.
Dari sepasang mata cokelatnya, Skylar bisa menenemukan rasa takut akan kehilangan. Penyesalan makin besar saja memenuhi hatinya. Dia memeluk erat Cici.
"Udah makan lo?" tanya Nanza.
"Tadi. Lo?"
"Udah, sama Cici."
"Cici tadi disuapin ayam goreng lho sama Teh Aza. Teh Aza juga masakin Cici sup tahu, A, enak bangeeet!" sela Cici yang bercerita dengan heboh. Keceriaannya kembali dengan mudah.
Skylar menatap Nanza, mengutarakan rasa terima kasih yang teramat besar. Cewek itu mengangguk datar, seolah-olah mengatakan bahwa itu bukan masalah besar baginya.
"Gimana sama rumus tadi?" Sekarang Nanza sudah duduk berhadapan dengan Skylar.
"Ah, iya! Masih gak paham gue," jawab Skylar lantas menyengir lebar.
"Otak lo mendadak lemot, ya. Gitu tuh kalau kebanyakan bucin," cibir Nanza dengan blak-blakan.
Skylar manyun saja.
"Ya udah, sekarang kita belajar lagi. Gimana, lo mau? Rumus yang tadi gue udah lumayan hafal, meski tadi diajarin sama Abang sih."
Mendapat tawaran menggiurkan, tentu saja Skylar langsung menyanggupi. Mereka pun lanjut belajar di ruang tengah. Nanza menjelaskan semua pengetahuannya tentang rumus yang ada di soal dengan bahasa ringan. Skylar menyimak serius.
Fokus pada soal-soal membuat mereka lupa waktu. Tahu-tahu dua jam sudah berlalu.
"Lah, malah tidur," cibir Nanza begitu menoleh. Dia heran, kok setiap pertanyaannya tidak ditanggapi lagi, tahunya Skylar sudah tertidur dengan posisi kepala menempel ke meja, sementara kedua tangannya masih memegang buku dan pulpen.
Nanza geleng-geleng. Kalau Skylar sudah tidur begini, dia bak melihat sosok anak kecil. Dia pun melepas selimut tipis yang menutupi tubuhnya, lantas dipindahkan ke tubuh Skylar. Cowok itu bergerak pelan, membuat Nanza menahan tangannya selama beberapa detik. Beruntung Skylar kembali tidur lagi.
Nanza menoleh pada jam dinding di ruangan, sudah pukul 12.05. Dia pun mencari ponsel untuk menghubungi sopir pribadi. Beruntung dalam tiga kali mencoba, sopirnya menjawab dan dengan sigap menyanggupi perintahnya.
Sebelum pergi, Nanza membangunkan Teh Ika dulu untuk mengunci pintu, juga menulis sesuatu di kertas. Tak lupa, dia membereskan buku-buku yang berserak di ruang tengah.
Pukul empat pagi, Skylar terlonjak bangun. "Astaga, gue ketiduran! Maaf, Za ...." Ucapannya menggantung lantaran tidak ada sosok lain di ruangan itu.
Skylar celingukan, kemudian menemukan robekan kertas yang terpisah dari benda lain, di atasnya ada pulpen dan penghapus. Sepertinya itu sebuah surat.
'Dasar kebo. Gue lagi nerangin, lo malah enak-enakan tidur. Gue pulang tengah malem, tanggung jawab lo! Kalau sampai besok gue gak sekolah, berarti terjadi apa-apa sama gue, dan lo yang harus disalahin.
Anw, coba cek pipi lo, siapa tahu lo ngiler, soalnya tadi lo tidur mangap banget.'
Seketika Skylar mengusapi pipinya yang bersih, tetapi dia tetap tidak percaya sampai mengecek berkali-kali. Rambutnya agak acak-acakan, mukanya juga kusut. Dia pun memutuskan ke kamar mandi, lalu nanti mengecek Cici.
Paginya, Skylar bersiap berangkat sekolah. Setelah ada Mang Adi, sebenarnya dia bisa lebih santai karena ada yang akan mengantar Cici. Jadi, dia bisa menjemput Asha seperti dulu-dulu.
Setelah siap, Skylar pun mengambil ponsel untuk menghubungi pacarnya, minimal basa-basi menyapa seperti kebiasaan mereka. Namun, sudah tiga hari tidak ada sapaan yang menyambut pagi atau ucapan malam harinya.
Skylar mengernyit saat melihat Asha membuat status WhatsApp yang agak mencurigakan. Dia pun mengetuk status Asha dan menemukan sebuah foto yang mengejutkan. Cewek itu menggunggah foto hitam putih yang memperlihatkan tangan kanannya tengah memegang jaket seseorang. Orang itu hanya terlihat setengah badan dan dia ... cowok.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top