Bab 12 - Kekecewaan Skylar

"Kamu memang pacarku, tapi bukan pemilikku seutuhnya."
***

Cowok itu berdiri beberapa langkah di hadapannya dengan tatapan sulit di artikan. Tidak ada kesan hangat seperti biasa, apalagi senyuman manis yang memabukan Asha.

Ya, ternyata kecurigaannya salah besar. Skylar masih berdiri kokoh dan dalam keadaan sehat. Namun, yang meninggal adalah ibu sang pacar.

Kesedihan tak bisa disembunyikan dari wajah cowok tinggi atletis itu. Matanya menyorotkan luka yang teramat dalam.

Asha ingin bergerak mendekat lalu mendekapnya untuk menguatkan. Namun, ... cowok itu seolah-olah memberikan jarak tak kasatmata yang membuatnya kebingungan.

"Yang, maaf." Suara Asha bergetar, saking bingung dan takutnya dia sekarang.

Kenapa dia merasa bahwa cowok di hadapannya ini bukan yang dia kenal selama ini. Mendadak Skylar terlihat begitu asing.

"Bagaimana aku akan selingkuh seperti tuduhanmu saat wanita yang kucintai berjuang di saat-saat terakhirnya?"

Pertanyaan pertama itu seperti sebilah pedang tajam yang langsung menancap tepat ke jantung Asha.

Ya, beberapa saat sebelumnya, Skylar mengaktifkan ponsel yang terabaikan sejak semalam. Begitu data diaktifkan, puluhan panggilan tak terjawab dan pesan menyerbu kontak WhatsApp-nya.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan cewek di depannya ini?

Hatinya bergejolak, harga dirinya terluka begitu membaca semua tuduhan yang dilayangkan dengan pedas oleh Asha.

"Apa aku bisa jalan dengan cewek baru saat aku harus mengurus jasad ibuku?" Sindiran pedas itu jelas tertuju pada Asha.

Sementara itu, Asha diam mematung dan masih begitu syok. Lidahnya kelu, sulit untuk membalas dua kalimat pedas dari pacarnya.

"Bagaimana aku bisa bahagia dengan cewek lain, saat untuk tersenyum pun ... saat ini terasa sulit buatku." Suara Skylar bergetar, matanya pun mulai memerah, menambah parah jejak sembap yang terlihat memilukan.

Suasana halaman belakang masih hening. Apalagi sekarang para pelayat dan keluarga sudah pada pulang karena acara pemakaman telah selesai beberapa saat lalu.

"Kamu memang pacarku, tapi bukan pemilikku seutuhnya." Kali ini Skylar berbicara dengan nada pelan. Ada keraguan yang terdengar. Jujur dia takut kalimatnya ini sampai melukai cewek yang dia cintai.

Dia belum bisa kehilangan seseorang tercinta lagi dalam waktu dekat ini.

"Memang, ekonomi keluargaku lebih buruk dari keluargamu. Aku juga tidak bisa menyingkirkan fakta bahwa kamu selalu membantuku dari segi ekonomi. Tapi, aku juga masih memiliki hati dan harga diri." Sempurna sudah, tatapan Skylar dipenuhi luka yang bisa ditangkap jelas oleh Asha.

Ada rasa bersalah yang merayapi hati cewek itu. Tubuhnya juga mulai gemetar. Entah, dia merasa terluka mendengar semua kata yang terucap dari mulut Skylar, juga menyesal atas semua sikap kekanakannya.

Kekanakan? Dia rasa hal wajar kalau seseorang mengkhawatirkan pacarnya.

"Aku memang banyak bergantung padamu selama ini, karena aku pun tidak bisa menolak semua pemberianmu dengan beberapa alasan." Skylar mengangkat kepala, kembali memandang lurus pada cewek yang terlihat akan menangis itu. "Aku menyayangimu dan menghargaimu, sama seperti rasa terhadap anggota keluargaku. Kamu mendapat tempat istimewa di hatiku, dan itu tak tergoyahkan. Sampai ... hal tadi."

"Gak!" jerit Asha yang takut untuk mendengar kalimat selanjutnya dari mulut Skylar.

Skylar menggeleng pelan, tetap berdiri di tempatnya. Biasanya, kalau Asha menangis, cowok itu akan langsung berlari dan memberinya sandaran sekaligus perlindungan ternyaman.

"Sha, kalau boleh egois, aku kecewa sama kamu. Saat aku butuh kehadiranmu, kamu justru menuduhku dengan beragam kalimat menyakitkan yang ... entahlah."

Diserang sedemikian rupa oleh kalimat mengejutkan yang keluar dari mulut Skylar, Asha hanya bisa menangis. Isakannya makin terdengar, tetapi Skylar tetap membisu.

"Ma ... maaf." Asha bersusah payah mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata itu. Bisa dibilang, kata tersebut termasuk jarang keluar dari mulutnya. Ada harga diri dan diri yang harus dijaga setiap Asha akan mengucapkannya.

Hening. Asha menangis makin kencang dan Skylar tidak bergerak seinci pun.

Setelah sedikit tenang, Asha mengangkat kepalanya lagi. Dia memandang sendu pada cowok bersetelan hitam di hadapannya. "Yang, kok kamu gak peluk aku?"

Senyum miring terbit di wajah Skylar meski hanya bertahan selama beberapa detik. Dia tidak habis pikir dengan cewek ini. Dia paham bahwa Asha adalah cewek manja, tetapi rasanya untuk sekarang terlalu keterlaluan.

Kamu tetap egois dan mementingkan diri sendiri di atas siapa pun, sesuai Asha yang kukenal selama ini.

"Pulanglah, aku akan berkunjung ke makam Mama," usir Skylar dengan nada lebih lembut.

Asha menggeleng pelan. "Aku ikut!" pintanya, atau perintahnya.

"Tidak. Silakan kamu pulang dan beristirahatlah."

Gaya bicara Skylar sudah berubah, gestur cowok itu juga terlihat lebih kaku.

"Yang ... aku—"

"Aku gak bisa bawa cewek yang masih pake seragam sekolah ke makam," potong Skylar sambil menunduk.

Air mata Asha yang kesekian kembali jatuh dan tidak berapa lama, aliran sungai air mata pun tercipta di pipinya.

"Tapi ... tapi aku gak akan bikin kamu malu, kok."

Penolakan ini ... seperti yang dialaminya dulu. Penolakan memuakkan yang membuatnya terasa dibuang ke tempat paling kotor dan menjijikan.

"Gak." Skylar bersikeras. Untuk saat ini, dia hanya ingin menyendiri. Dia akan hanya makin emosional jika ada Asha di sisinya.

"Tapi—"

"Pulanglah, Asha!"

Bagai tersambar petir, tangis Asha langsung terhenti. Bayangan-bayangan traumatis di masa kecil secara beruntun muncul di kepalanya.

Dengan cepat Asha diliputi rasa takut yang teramat sangat. Dia menggeleng berulang kali dengan air mata masih mengucur, tetapi tidak terdengar isakan sedikit pun.

Cewek itu berjalan mundur, matanya menatap kosong. Kemudian, dia berbalik dan berlari pergi meninggalkan halaman.

Skylar memandang kepergian cewek itu dengan sama terlukanya. "Maaf," bisiknya penuh sesal.

Asha terus berlari sampai meninggalkan rumah itu dan lanjut menyusuri jalanan. Sang sopir sepertinya tidak sadar bahwa majikannya telah meninggalkan tempat tersebut. Dia tengah ngopi di warung pinggir jalan dengan santainya.

Tahu kan, ketika seseorang tengah kalut, dia hanya ingin terus berlari meski tidak memiliki tujuan. Itu yang Asha lakukan sekarang. Kedua kakinya mendadak kuat, otot-otot di tubuhnya juga bisa diajak kompromi. Padahal biasanya untuk olahraga saja dia mager, kecuali pergi bersama Skylar.

Tiba-tiba klakson sebuah kendaraan berbunyi dengan nyaring dan mendadak.

Asha menjerit kaget dan menutup kupingnya dengan tangan, tetapi dia masih berdiri di tengah jalan. Membuat cowok yang membawa motor beat itu kesulitan menghindar. Akhirnya dia membanting setir dengan sembarangan, tetapi membuatnya kehilangan kendali dan berakhir jatuh berguling di jalanan yang sepi.

Inilah akibat ngebut, walau di jalanan sepi, bahaya bisa datang dengan mendadak.

Diyan meringis kesakitan dan merasakan kepalanya begitu pusing. Kepalanya terbentur kencang ke bahu jalan. Meski memakai helm, efeknya tetap terasa.

Hal pertama yang dia lakukan adalah membangunkan motornya. Sepertinya kendaraan roda dua itu rusak di beberapa bagian. Kemudian, dia melepas helm untuk mencari udara karena pernapasannya agak terganggu.

Kemudian, setelah itu, pandangannya yang agak kabur mengedar karena mendengar samar-samar tangisan seseorang. Ah ya, kupingnya juga terasa pengang.

Nasib-nasib, beginilah kalau memakai helm yang tidak sesuai SNI lagi.

Diyan mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandangan saat melihat seseorang yang tengah duduk. Suara tangisan itu berasal darinya. Dia pun berjalan dengan tertatih untuk mendekati cewek itu.

"Hey, kamu gak apa-apa?" Suaranya bergetar karena dadanya terasa sedikit sesak.

Mendengar ada seseorang yang berbicara padanya, Asha sontak mengangkat kepala. Dia menduga itu adalah Skylar yang menyesali perbuatannya tadi lalu memutuskan menyusul. Namun, ternyata hanya teman sekolahnya.

Dia membolakan mata saat melihat cowok itu tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri di dekatnya.

"Di–Diyan ...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top