Bagian 1

Kembali suara nyaring itu terdengar dari luar. Dentuman-dentuman keras menyusul kemudian. Tidak lama, tembakan saling bersahutan dari senjata-senjata api menjadi musik menyeramkan di telinga kami yang tengah bersembunyi dalam bungker bobrok ini.

Para lansia memeluk erat cucu mereka yang mulai menangis. Tak ada yang tersisa dari kediaman mereka, kecuali pakaian dan ikatan yang tak pernah putus. Debu dan bau mesiu makin menyengat saat langit-langit di atas kepala kami melebar. Perang semakin tidak terkendali. Semuanya kacau, benar-benar kacau!

"Kita enggak bisa terus diam di sini. Tentara musuh sama aliansi pasti bakalan sampai!"

Otto, laki-laki otak otot itu berlari menghampiriku setelah sepanjang jalan mengoceh dengan suara keras. Dia baru saja masuk dan langsung menghapus cahaya harapan di hati para pengungsi.

Aku menghela napas, membuang rasa lelah sebentar. Sambil engetuk kepalanya agak keras aku berkata, "Baca suasananya bego."

"Aduh, sakit!"

Ringisan itu keluar dari mulut Otto, dirinya menatapku dengan wajah bingung sekaligus kesal. Namun, dalam sekejap ekspresi menyesal terbit. Dia mungkin sudah menyadari kalau sebenarnya sudah membuat atmosfer di sekitar sini menjadi keruh.

Setelah menghela napas sebentar aku bertanya, "Terus, apa sudah tau kapan mereka sampai ke sini?"

Otto terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Lalu seolah-olah kembali ke kenyataan dari fantasinya. "Oh, benar. Kalau alat kamu enggak ngelakuin kesalahan. Robot dari pihak Utara sama Barat bakalan jadiin tempat ini medan perang 10 menit lagi."

10 menit lagi? Jumlah lansia dan anak-anak yang kami bawa untuk mengungsi hampir 40 orang. Selain umur mereka yang sudah renta, mental mereka masih terguncang akibat perang ini. Kalau bergerak sekarang harusnya risiko yang didapat akan minimal.

Masalahnya adalah anak-anak. Mereka bisa memang masih muda, tetapi tenaga sangat terbatas. Perlu berapa orang lagi yang harus dikorbankan?

"Oi! Lo enggak berpikir buat ninggalin sebagian orang, 'kan?"

Tiba-tiba tangan Otto menarik kerah bajuku. Pertanyaan tadi juga datang dengan suara bentakan. Aku membalas tatapannya yang tajam. Si otak otot yang selalu memikirkan keselamatan semua orang ini mana mungkin tahu situasi sulit yang sedang di alami!

"Jangan terlalu naif! Mana bisa kita bawa semua orang ini ke wilayah pengungsian. Apa lagi dalam 10 menit tempat ini bakalan jadi medan perang. Kalau kita paksain buat bawa semua orang, yang ada kita semua mati!"

Tidak kusangka malah membalas bentakannya setelah tadi menepis tangan itu. Aku tidak peduli lagi, semuanya harus dipikirkan secara rasional sekarang. Berpikir untuk menyelamatkan semuanya? Pemikiran egois tersebut harus segera kuhilangkan agar tidak mengalami penyesalan seperti sebelumnya.

"Hah, apaan lo bilang!" Otto semakin marah mendengar apa yang aku katakan. Kedua tangannya langsung mencengkramku dan mengangkat tubuh ini dan memojokkannya ke dinding bungker.

Keributan seperti ini tentu saja membuat para pengungsi resah. Aku bisa melihat beberapa anak kecil langsung bersembunyi di balik punggung nenek dan kakeknya.

"Berpikirlah realistis, Otto! Apa kau pikir kita bisa bawa semua orang ini dalam waktu kurang dari 10 menit?" Apa lagi mereka ini sudah tua, anak kecil juga akan dalam bahaya jika kita memaksa semua orang ikut pergi!"

"Lo ngoceh masalah waktu doang! Kita enggak bakalan tau apa waktu kita cukup atau enggak. Yang penting sekarang itu kita berusaha! Berusaha buat bikin semua orang ini tetap hidup! Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau lo pengen nebus kesalahan lo dengan nyelametin banyak nyawa orang dari perang ini?"

"Tidak ...."

Kata-kataku terhenti, tepat ketika melihat kekecewaan yang sangat jelas itu. Otto sudah melepaskan cengkramannya, meninggalkanku meringkuk di lantai yang dingin.

Aku memang berkata ingin menyelamatkan nyawa orang-orang tidak bersalah dalam perang ini. Akan tetapi, setelah melihat neraka yang sama berkali-kali aku menyadari, kalau tidak mungkin untuk menyelamatkan semua nyawa.

Harus ada yang dikorbankan untuk melanjutkan kehidupan orang lain. Mereka, para pengungsi. Kalau aku berusaha menyelamatkan mereka semua, neraka yang sama terulang lagi. Aku ... aku tidak menginginkannya!

Walaupun aku terus berkata tidak menginginkannya, aku tetap ingin menyelamatkan semuanya. Meski begitu, setelah banyak melakukan pengulangan. Aku tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa. Sampai akhhirnya aku menyerah dan berpikir untuk mengorbankan sebagian orang.

"Kalau lo berpikir begitu, apa yang bakalan diucapin Hera? Bukannya di mata dia lo itu pahlawan."

Suara Otto yang lebih pelan masuk ke telingaku. Membuatku menoleh ke arahnya yang terdiam membelakangi. Dia tersenyum tipis sebelum menuju ke arah para pengungsi dan menghibur mereka.

Pahlawan? Aku? Tidak, itu hanyalah gelar yang aku klaim sendiri. Faktanya, akulah yang menyebabakan perang ini terjadi. Menyebabkan banyak nyawa melayang, dan bahkan berkali-kali sudah membunuh kalian, orang-orang yang berharga untukku! Apakah masih pantas menyebut diri sendiri sebagai pahlawan kalau begini!?

Jika saja aku tidak menciptakan itu maka perang antara 4 kubu tidak akan terjadi! Andai saja aku tidak menciptakannya, semua orang akan tetap bahagia seperti yang aku inginkan.

Salah, ini semua salahku! Aku ... aku bahkan tidak bisa memaafkan diri ini. Mana mungkin aku bisa menjadi pahlawan kalau sumber masalahnya adalah driiku sendiri!

"Kami bakalan pergi duluan. Masih ada waktu sekitar 8 menit. Lo harus cepet nyusul kalau udah lebih tenang."

Tidak, Otto. Jangan pergi! Kau hanya akan menjemput ajal bersama mereka jika keluar dari sini dengan orang sebanyak itu. Aku ingin menghentikannya, tetapi meski mulut ini terbuka tidak ada suara apa pun yang keluar.

Aku ... aku gagal lagi. kali ini, berapa banyak yang selamat? Berapa banyak yang mati? Aku sama sekali tidak ingin menghitungnya. Semakin diingat hal ini malah menjadi menyakitkan. Hati ini semakin gelap.

"Otto ...."

Sudah berapa menit berlalu semenjak mereka keluar? Aku tidak bisa mengetahuinya. Suara tembakan yang saling bersahutan terdengar, begitu nyaring sampai-sampai tidak ada suara lain lagi di atas sana. Dengan kata lain, pertempuran antara pihak Utara dan pihak Barat sudah dimulai.

Kejadian ini, garis waktu, dan alurnya. Semua terasa sama seperti pengulanganku yang entah keberapa. Berapa kali pun aku mengulanginya, apakah akhir akan tetap sama? Semua orang ... mati!?

Suara tembakan sudah berhenti tepat setelah menit ke-30. Tidak, ini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Kali ini tidak ada satu Souloid yang turun kemari dan menembakkan senjatanya membabi buta.

Apa pertempuran di daerah ini sudah berakhir?

Aku memutuskan untuk keluar dari bungker, melihat bagaimana kejadian di luar. Akan tetapi, yang menyambutku bukanlah surga, melainkan neraka penuh simbah darah dan banyak mayat lansia dan anak-anak tergeletak.

Mataku semakin melebar, menyaksikan neraka menyakitkan seperti ini lagi. Orang-orang ini adalah mereka yang atdinya masih bersamaku beberapa saat lalu di dalam bungker. Peluru telah melubangi tubuh, meneteskan darah-darah segar yang melukis daerah sekitar. Benar-benar mengerikan.

Salahku ... ini semua salahku. Mereka mati ... karena ilmu pengetahuan yang kukembangkan ....

"Sang pahlawan akhirnya keluar dari cangkang. Katakanlah permintaan maaf pada mereka di alam sana nanti, ya?"

Suara yang dingin itu terdengar, bersamaan dengan tembakan yang dilepaskan. Semuanya ... tiba-tiba menjadi gelap dengan kesadaran yang perlahan-lahan menghilang.

Tidak ... ini belum saatnya. Aku menyentuh lagi gelang dipergelangan kiriku, memutarnya sedikit sebelum benar-benar tidak sadarkan diri.

Catatan:

Pengulangan Ke-102 Gagal

Penyebab Kegagalan: Bergerak Buru-Buru

Dreamlights_

#dreamlights
#eventcerpen
#cerpenremada

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top