Chapter 9 : Something Change

Amano langsung pulang sesaat setelah meninggalkan Suzaku. Dia bahkan tidak segan-segan membanting pintu rumah saat dia pulang, hingga membuat Kanata, yang saat itu ada di dapur, terkejut hingga terperanjat.

Mata Kanata beralih ke jam yang tergantung di dapur. Sudah mendekati pukul 3. Kanata mengira Amano akan pulang sekitar pukul 5 atau 6 sore. Selain itu, dari suara pintu yang dibanting, Amano terkesan sangat marah akan sesuatu. Kanata tentu bertanya-tanya apa yang membuat Amano sampai semarah itu.

Kanata baru 5 menit di dapur. Dia sedang berpikir akan memasak apa sambil melihat bahan makanan yang terdapat di kulkas dan dapur. Kini aktivitasnya terhenti karena kedatangan Amano. Dia segera keluar dari dapur, tapi tidak di sangka-sangka dirinya hampir bertabrakan dengan Amano yang tengah menuju dapur.

Kini Amano yang terlonjat karena kaget bukan main melihat Kanata hendak keluar dapur. Dia sungguh lupa bahwa dia sendiri yang mengizinkan Kanata untuk tetap di sini. Amano berencana mengambil air dan menenangkan dirinya yang kesal dan marah.

Melihat Kanata sangat dekat dengannya, wajahnya sedikit memerah saat mengingat kalimat yang ada di dalam foto waktu itu.

Ku kan selalu mencintaimu.

Karena marah, dia sempat melupakan hal ini. Kini, melihat Kanata dihadapannya, rasa marah itu segera berganti dengan perasaan hangat di hati ...

Wajah Amano terasa memanas, sehingga sebelum wajahnya berubah semerah tomat, dia segera berpaling, tapi keduanya tidak bergerak dan tetap berhadapan satu sama lain. Kanata bisa merasakan kecanggungan pada Amano.

"Amano, ada apa?" Kanata memperhatikan Amano.

Diperhatikan oleh Kanata justru membuat Amano semakin canggung. Dia segera menggeleng pelan dan melewati Kanata untuk memasuki dapur. Amano membuka kulkas dan dirinya terperangah.

Amano yakin Kanata memasak menggunakan bahan-bahan yang ada di kulkas dan tidak membawa sayur atau daging dari luar rumah ini. Setelah melihat isi kulkas, Amano merasa dugaannya salah karena bisa dilihatnya isi kulkas ini masih utuh seperti tidak pernah disentuh. Matanya berpindah pada bagian tempat menempatkan minuman botol.

Lagi-lagi dia terdiam menatapi botol-botol minuman yang ada. Amano yakin jumlah milk tea di kulkas hanya tiga botol, sisanya jenis minuman lain. Kini, di kulkas Amano melihat botol milk tea ada tiga. Antara baru diisi kembali oleh Kanata atau ...

Setelah mengeluarkan sebotol milk tea, Amano berbalik dan menghadap Kanata yang ada di belakangnya. Kanata menunjukan ekspresi bingung, tapi tidak berkata apa-apa.

"Aku mau bertanya, untuk makanan kemarin dan hari ini, kau membawa sayuran dari luar?" Amano menatap matanya. Kini dia menekan dalam-dalam perasaannya agar bisa tetap tenang dan terkendali.

"Tidak. Semua berasal dari kulkas ini. Mengapa? Apakah kau ingin makan sesuatu yang tidak ada di kulkas ini?" Kanata memegangi dagunya sambil memiringkan kepalanya.

"Semua ... dari sini?"

"Iya? Ada masalah?"

Mata Amano melirik sesaat pada kulkas, lalu berpindah pada Kanata. "Jika dari kemarin kau menggunakan isi kulkas ini, apakah kau mengisi ulang kulkas hari ini sehingga tampak penuh seperti sebelumnya?"

Mata Kanata tampak tertuju pada kulkas. "Tidak. Bukankah kau yang mengisi ulang seluruh isi kulkas ini?"

"Tidak. Aku kira kau yang melakukannya ..." Amano terperanjat setelah mengatakan hal ini secara tidak sadar.

Kanata menggeleng kepalanya dengan pelan.

Amano termenung sambil melihat Kanata tanpa berkedip sekali pun. Lagi-lagi dia mengetahui hal yang tidak wajar. Bagaimana ini bisa terjadi? Amano merasa ini tidak masuk akal. Barang yang kembali rapi dengan sendiri, terbangun dengan baju yang sama meski sudah berganti pakaian tidur, dan kini benda yang seharusnya tidak ada lagi berada di depan matanya.

"Amano, kau baik-baik saja?" Kanata melihat kompleks Amano. Amano terlihat tidak normal seperti biasanya. Seperti ada yang mengganggu hatinya, sehingga Kanata menjadi cemas.

Botol milk tea yang masih digenggam tangannya dicengkram dengan erat. Dia tidak membalas Kanata, sehingga langsung berjalan menuju kamarnya dan segera masuk.

Kanata mengernyit melihat kepergiaan Amano. Meski dia penasaran apa yang tengah terjadi pada Amano, dia memutuskan untuk menunggu hingga Amano berniat mengatakan sendiri apa yang mengganggu hatinya.

Setelah menutup pintu kamarnya, Amano bersandar di pintu kamarnya. Dengan botol milk tea yang dingin, dia mengompres dahinya yang dipenuhi berbagai pikiran. Selain keanehan yang terjadi di sekitarnya, Amano merasa dirinya juga menjadi aneh. Mengapa dia tidak bisa mengingat satu hal pun tentang Kanata?

Tubuhnya perlahan merosot turun hingga Amano terduduk di belakang pintu. Dengan kepala yang miring ke samping, Amano menatapi lantai dengan tatapan kosong.

Ke depan, mungkin Amano akan menemukan hal-hal lain yang tidak masuk akal. Dalam hatinya dia berharap, dirinya bisa tetap rasional dengan keanehan di sekitarnya.

Matanya berpindah ke kasur. Dengan istirahat, mungkin perasaannya yang tidak karuan akan lebih tenang ...

Ketika malam tiba, Kanata mengetuk pintu kamar Amano beberapa kali, tapi tidak mendengarkan satu pun balasan dari Amano. Dia membuka pintu kamar Amano dan melihat Amano tengah tertidur. Wajah Amano terlihat sangat pulas dan tentram. Dia begitu lelap hingga tidak sadar Kanata datang dan memasuki kamarnya.

Ini tidak biasa karena normalnya Amano tidak pernah tertidur selelap ini. Suara sekecil apa pun bisa membuat Amano terbangun, tapi kali ini tidak. Bisa Kanata duga bahwa ada hal yang begitu berat menganggu pikirannya hingga Amano ingin melupakannya sesaat untuk menenangkan pikirannya yang kacau.

Saat itu Kanata tengah bersitegang dengan pemikirannya. Bangunkan ataukah dibiarkan tetap tidur? Memikirkan keadaan Amano tadi, Kanata menggeleng pelan dan keluar tanpa menimbulkan suara bising. Sebelum menutup seluruh pintu, mata Kanata menatapi Amano sekali lagi.

Saat pagi menjelang, Amano terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Kemarin, dalam sehari dia mengalami banyak perubahaan suasaan perasaan secara drastis, sehingga menguras mentalnya. Dirinya tidak mengganti pakaian tidur karena tahu jika dirinya akan terbangun dengan pakaian yang dikenakannya kemarin, sehingga tidak terlalu memikirkannya.

Setelah pikirannya jernih, ada beberapa fakta yang Amano temukan. Meski kemarin tubuhnya cukup berkeringat, pagi ini pakaiannya tidak bau sama sekali, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Entah mengapa dia merasa bahwa dia mempunyai puluhan pasang pakaian yang sama dengan yang dikenakannya saat ini.

Amano tidak tahu tertawa ataukah meratapi dirinya yang dipenuhi dengan keanehan ini. Matanya pun tertuju pada meja belajar. Mendadak dia menahan napas sesaat dengan pikiran kosong. Kemarin Amano yakin dia belum meminum milk tea botolan yang dibawanya, sehingga dia meletakannya di atas meja belajar. Kini, milk tea, yang seharusnya ada di atas meja, itu sudah menghilang.

Amano berusaha menenangkan dirinya. "Mungkin saja Kanata yang mengambilnya ..." gumannya dengan perlahan.

Setelah diingat-ingat, semalam dia tidak sempat makan malam. Mungkin semalam Kanata masuk ke kamarnya dan tidak membangunkannya karena dia tertidur pulas, lalu dia melihat milk tea di meja belajarnya dan mengambilnya?

"..." Mendadak Amano terperangah. Dirinya sedikit memucat. Jika Kanata semalam datang ke kamarnya, seharusnya dia ada mengetuk dan memanggil dirinya, tapi dirinya tidak terbangun. Antara dirinya terlalu lelap tertidur ataukah Kanata tidak mendatanginya?

Amano segera turun dari kasur dan menuju lantai bawah. Seperti biasanya, aroma masakan tercium semerbaknya ketika Amano menuruni tangga. Kali ini Amano bangun lebih pagi, sehingga Kanata masih belum selesai masak.

"...Pagi ..." Amano sedikit ragu saat menyapanya.

Mendengar sapaan Amano, mata Kanata yang tengah tertuju pada masakan langsung menghadap Amano. Dia sedikit berpaling dengan senyum dan berkata, "Pagi. Kau bangun lebih awal hari ini."

Amano mengangguk pelan. "Semalam ... kau ada datang ke kamarku?"

"Ah ya. Saat aku masuk, kau tertidur sangat pulas, sehingga aku tidak tega membangunkanmu."

"Kau ... ada mengetuk pintu?"

"Ya. Aku memanggilmu sebanyak tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban."

Tiga kali panggilan ...

Amano mengernyit mengetahui fakta ini. Dia sungguh tidak terbangun sama sekali. Normalnya dia akan terbangun, tapi mengapa kemarin tidak? Apa mungkin dia terlalu lelah secara mental hingga membuatnya lelap?

"Kau baik-baik saja?" Kanata bertanya dengan ekspresi cemas. Ekspresi Amano tampak tidak begitu baik.

"..." Amano mengangguk pelan. "Aku akan mandi dulu ..."

Kanata memerhatikan punggung Amano hingga dia tidak lagi terlihat oleh penglihatannya. Bisa dirasakan Amano seperti terbebani oleh pikirannya. Kanata menggeleng pelan dan mendesah. Tidak ada yang bisa diperbuatnya untuk saat ini. Dia hanya bisa menghibur dan membantu Amano semampunya, tapi dia tidak bisa terlibat lebih dalam.

Mata Amano memandangi cermin ketika memasuki ruang ganti sebelum menuju kamar mandi. Melihat raut ekspresinya sendiri, Amano mendesah. Beban pikirannya yang terlalu menumpuk membuat dirinya menjadi sedikit tidak karuan. Ini baru hari keempat. Bagaimana jika sudah seminggu?

Amano tidak mood untuk mencari tahu lebih dalam keanehan ini. Dia khawatir semakin banyak informasi yang tidak masuk akal yang diterimanya, maka dirinya semakin sulit berpikir secara rasional. Hal-hal yang tidak masuk akal ini membebani pikirannya karena dia terus menyangkal hal-hal aneh ini.

Setelah mandi dan sarapan bersama Kanata, Amano keluar, tapi dia tidak tahu ingin ke mana. Jika bersama Kanata, maka dia akan terus memikirkan keanehan pada ingatannya. Kanata tadi ingin ikut bersamanya karena merasa khawatir, tapi Amano tolak. Sendirian membuatnya lebih tenang.

Saat berjalan tanpa arah, Amano mengosongkan seluruh pikirannya. Pandangannya terkadang tertuju pada beberapa tempat yang dilewatinya. Ada beberapa perubahan pada kota ini. Tidak begitu signifikan, tapi cukup menarik perhatiannya.

Beberapa tempat yang menyajikan makanan siap saji semakin banyak di kota ini. Meski teknologi yang digunakan masih tertinggal dibandingkan Kota Platina, tapi masih ada satu atau dua benda modern digunakan di beberapa tempat.

Amano akhirnya memutuskan untuk berhenti di salah satu restoran siap saji. Tempat ini memiliki ruangan tertutup dengan kaca-kaca besar yang berfungsi sebagai penerang alami. Amano bisa melihat isi restoran dari luar. Tidak ada siapa pun di sana.

Matanya tertuju pada bufet, di mana berbagai makanan siap makan tersimpan. Terdapat pemanas dalam bufet, sehingga makanan akan tetap hangat. Amano sebenarnya tidak ingin memikirkan ini, tapi melihat jumlah makanan yang ada di bufet, dia tidak yakin jika tidak ada orang yang telah menyiapkan semua ini. Tidak mungkin kan jika seluruh makanan ini muncul begitu saja? Selain itu, aroma makanan segar tercium, sama seperti di saat Amano mengunjungi restoran siap saji bersama Kanata sebelumnya.

Mood Amano langsung menurun. Ekspresi tidak senang ditunjukan olehnya. Amano merasa seharusnya dia tidak masuk kemari karena tidak ada yang normal di seluruh kota ini. Kini dia jadi memikirkan lagi segala hal tentang keanehan ini hingga membuat dirinya mendesah panjang.

Tadinya Amano kemari karena restoran cepat saji ini menyediakan ice cream berbagai rasa sebagai salah satu keunggulannya. Jika Amano sedang stress, maka dia akan mencari sesuatu yang manis seperti ice cream atau hot chocolate. Sesuatu yang manis dapat membantu meningkatkan mood dan membantu dirinya melepaskan stress yang menumpuk.

"Kurasa aku harus mencoba mengabaikan segala keanehan ini. Tidak akan ada akhirnya jika terus kupikirkan ..." Amano mengernyit dan menggumam sambil melihat ice cream section.

Di ice cream section, Amano kesulitan mencari ice cream scoop. Biasa ada di sekitar ice cream tray, tapi karena seluruh tray penuh seperti tidak pernah diambil, maka wajar saja jika ice cream scoop tidak terlihat. Beberapa pantri diperiksa Amano dan dia gagal menemukan ice cream scoop.

"Kau mencari ini?"

Gerakan Amano terhenti saat mendengar seseorang berbicara padanya. Amano menoleh dan melihat ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top