Chapter 7 : Giou Kanata (3)
Pada pagi hari, Amano menemukan kondisi pintu masuk rumah tidak lagi terdapat penghalang. Amano sangat yakin semalam dia sudah memberi penghalang lagi, tapi mengapa penghalang itu seperti kembali ke tempat semula?
Kanata lagi-lagi datang tanpa izin, seakan-akan ini rumahnya. Tujuannya datang pagi ini sama seperti kemarin, membuatkan sarapan untuk Amano dan dirinya.
Selain penghalang yang kembali ke posisi semula, kemarin Amano baru menyadari bahwa seseorang seperti habis merapikan kamarnya yang acak-acakan dua hari lalu. Selain itu, kamar orang tua Amano juga rapi kembali. Siapa yang telah merapikannya? Kanata? Tidak mungkin, karena Kanata sepanjang hari bersama Amano kemarin, sehingga dia tidak memiliki waktu untuk merapikan semua itu.
Selain itu, ada hal lain disadari Amano. Dua hari lalu, Amano yakin tidak sempat membuang botol kosong milk tea yang terletak di atas meja di ruang tamu. Selain itu, posisi remote TV yang kemarin diletakan di sofa juga kembali tertata rapi di samping toples berisi cemilan.
Jika dikatakan ada seseorang yang merapikan tempat ini, entah mengapa Amano merasa janggal. Bukan karena tempat ini dirapikan, tapi semua barang yang bergeser seperti kembali ke posisi semula.
Handuk yang Amano gunakan kemarin juga seperti tidak pernah dipakai sebelumnya saat Amano mandi tadi. Yang lebih aneh lagi, kejadian kemarin terulang kembali. Amano sudah mengenakan pakaian tidur kemarin malam dan pagi harinya dia melihat dirinya mengenakan pakaian yang sama saat dia pertama kali sadar di kota ini.
Ini baru dugaan, tapi Amano merasa semua keanehan ini berhubungan erat dengan terisolasinya kota ini. Informasi yang Amano miliki masih belum cukup untuk menjawab misteri yang tengah dihadapinya, tapi informasi kecil seperti ini merupakan kemajuan yang baik daripada terhenti di tempat.
Mata Amano berpindah ke arah dapur, di mana Kanata sudah selesai memasak sarapan. Pagi ini semangkok nasi, suny side egg, bacon, dan semangkok kecil salad sudah terletak rapi di atas meja di ruang makan. Tidak lupa dua gelas susu hangat sebagai pelengkap.
“Semua sudah siap. Ayo sarapan, Amano.” Kanata tersenyum saat melihat Amano tengah memandanginya.
Amano tidak memiliki alasan untuk menolak. “Tadi pagi …” Amano sedikit ragu menanyakan soal penghalang di pintu.
“Ya?” Kanata menanti lanjutan kalimat.
“Tadi pagi, kau tidak mengalami masalah saat masuk?” Amano tidak menyebutkan penghalang di pintu karena merasa Kanata akan memberi jawaban yang sama persis seperti kemarin.
“Ya. Tidak ada masalah. Mengapa?” Kanata sedikit kebingungan mendengar pertanyaan Amano.
“Tidak …” Amano sudah menduga penghalang yang Amano berikan di pintu masuk sudah tidak ada saat Kanata datang. “Nanti siang aku tidak akan ada di rumah.”
“Aku tahu.”
“Jangan ikuti aku.”
Ekspresi sedih langsung Kanata tunjukan. “Kenapa?”
Sejak kemarin, ketika Amano merasa jantungnya berdebar-debar tidak karuan saat bersama Kanata, kini dia ingin menyortir perasaannya dan memahami lebih dalam apa yang tengah dirasakannya. Setelah berpisah dengan Kanata kemarin malam, hingga Amano tertidur, perasaannya masih tidak karuan. Kini, berada di dekat Kanata masih membuat detak jantungnya meningkat.
Apa yang membuatnya seperti ini? Dari mana datangnya perasaan ini? Mungkinkah ada hubungannya dengan ingatan yang tidak diingatnya? Saat ini, hanya jawaban itu saja yang dipikirkan Amano.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri saja.” Amano tidak ingin memberitahukan alasan sebenarnya.
Bahu Kanata turun, menandakan bahwa dia pasrah. Kanata tidak ingin memaksa Amano untuk memberikan jawaban. Dia tahu, Amano tidak suka dipaksa dan akan marah jika terlalu disudutkan. “Baiklah, tapi biarkan aku membuatkan makan malam untukmu.”
Setelah memikirkannya sejenak, Amano mengangguk pelan. Harus diakuinya, bantuan dari Kanata sangat membantu dirinya.
“Jika kau ingin berada di sini, maka kau kuizinkan.” Amano mengatakannya karena dia mulai memercayai Kanata, tapi hanya sedikit. Bagaimana pun juga, Kanata menyembunyikan sesuatu tentang Amano, sehingga selama dia belum mengatakannya, maka Amano tidak akan percaya sepenuhnya pada Kanata.
Kanata langsung tersenyum. “Ya.”
“Tapi kau tidak bisa menginap di sini.” Amano menegaskan.
Kanata tertawa pelan mendengarnya. “Untuk apa aku menginap di sini jika rumahku tepat ada di sebelahmu?”
Mata Amano terbelalak, tapi hanya sesaat karena dia berusaha bersikap tenang. Ini bukan hal yang mengejutkan. Jika Kanata memang teman semasa kecilnya, maka bukan hal aneh jika rumahnya berada di sebelah rumah keluarga Yamane.
Amano mendadak memegangi dagunya sambil menunduk. Dia teringat suatu kemarin. “Aku memang sempat melihat rumah dengan papan nama keluarga Giou …” Amano bergumam, tapi Kanata bisa mendengar dengan jelas.
“Ya, itu memang rumahku.” Kanata tertawa pelan melihat Amano cukup lamban menyadari keberadaan rumahnya.
“…” Amano termenung. Aneh, begitu yang Amano rasakan saat ini. Dari sekian banyak tetangga, Amano baru menyadari bahwa dia tidak bisa mengingat salah satu anak dari keluarga Giou. Selain itu, tanpa sebab yang jelas nama keluarga Giou juga sempat terlupa dalam ingatannya.
Keluarga Giou memiliki dua anak. Seorang anak perempuan yang usianya 5 tahun lebih tua dari Amano dan Amano mengingat dia dengan baik. Sedangkan satu anak lagi, seorang lelaki, dia hanya berbeda 1 tahun beberapa bulan dari Amano.
Anak lelaki dari keluarga Giou ini tidak bisa diingat oleh Amano. Seperti apa rupanya, sifatnya, kebiasaannya, dan kesehariannya saat Amano masih kecil. Mendadak perasaan Amano sedih karena tidak bisa mengingat anak termuda dari keluarga Giou. Sepertinya dia dan anak termuda Giou ini sering bersama saat kecil. Keberadaannya juga terasa penting bagi Amano. Sepenting apa? Amano sendiri tidak tahu.
Tampaknya Amano harus ke rumah keluarga Giou untuk mengetahui lebih dalam. Apakah dia harus memberitahukan Kanata? Jika dia memberitahukan Kanata, apakah Kanata akan mengikutinya?
“Ya?” Sadar dipandangi terus-menerus, mulut Kanata pun gatal untuk bertanya.
Ya, tanpa sadar Amano sudah memandangi Kanata cukup lama. “Aku nanti akan ke rumah keluarga Giou.” Meski dipastikan tidak akan ada orang di sana, paling tidak Amano merasa harus meminta izin kepada Kanata sebelum memasuki rumah keluarganya.
Kanata mengangguk.
“Kau tidak ikut bersamaku?”
“Tidak. Bukankah kau bilang agar aku tidak mengikutimu hari ini?” Kanata sedikit tertawa mendengar pertanyaan Amano. Meski Amano ke rumah keluarganya, dia tidak ingin mengambil kesempatan. Dengan pernyataannya bahwa dia akan mengikuti kemauan Amano, Kanata berharap kepercayaan Amano padanya akan meningkat.
Amano mengangguk pelan.
“Pergilah. Aku akan di sini dan menyambut kedatanganmu ketika kau pulang.”
Amano mengangguk lagi. “Aku pergi.”
Entah mengapa, setelah percakapan singkat dengan Kanata, Amano memang merasa rasa kepercayaannya terhadap Kanata meningkat sedikit. Perhatian dan pengertian Kanata terhadap dirinya yang membuat Amano meningkatkan sedikit kepercayaannya terhadap Kanata.
Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di rumah keluarga Giou. Rumah keluarga Giou yang berada tepat bersebelahan dengan rumah keluarga Yamane kini berada di hadapan Amano. Luas rumah keluarga Giou kurang lebih sama dengan rumah keluarga Yamane, rumah ini tidak bertingkat seperti rumah keluarga Yamane.
Pagar rumah tidak terkunci, sehingga Amano bisa memasukinya tanpa masalah. Pintu rumahnya juga tidak terkunci. Saat masuk, ruangan tamu yang familiar langsung memasuki pandangan Amano. Dalam ingatan Amano, rumah ini sudah bagaikan rumah kedua baginya. Paman dan bibi Giou sangat baik terhadap dirinya seperti menganggap Amano sebagai anak mereka juga. Anak tertua di keluarga Giou juga sudah seperti seorang kakak perempuan bagi Amano. Meski hubungan Amano dengannya tidak terlalu akrab, tapi keduanya berkomunikasi cukup baik.
Sedangkan untuk anak termuda di keluarga ini …
Amano menggeleng kepalanya dengan pelan dan mendesah. Tidak bisa, Amano tidak bisa mengingat apa pun tentang dirinya. Hal ini membuat Amano sangat bingung. Jika dia bisa mengingat dengan jelas tentang seluruh keluarga Giou, mengapa hanya anak termuda keluarga Giou saja yang tidak bisa diingatnya? Apa yang terjadi pada memorinya?
Mata Amano tertuju pada meja yang ada di ruang tamu. Meja tersebut terbuat dari kerangka kayu dengan kaca di atasnya. Di balik kaca, Amano bisa melihat dengan jelas isi dalam rak meja itu. Meja ini adalah meja rangkap rak mini. Dalam rak, terdapat beberapa foto album keluarga.
Amano mengeluarkan satu album dari rak dan meletakannya di atas meja. Dibukanya halaman pertama. Foto pertama yang dilihatnya adalah foto pernikahan paman dan bibi Giou. Wajah mereka begitu bahagia di foto itu. Amano bahkan melihat foto ayah dan ibunya ketika masih muda beserta beberapa tetangga lain.
Beberapa halaman kemudian, terdapat sebuah foto bayi dan dia adalah anak pertama keluarga Giou. Amano terus membalikan ke halaman selanjutnya, tapi dia gagal menemukan foto tentang anak terakhir keluarga Giou.
Amano mengernyit melihat hal ini. Seolah-olah, anak termuda keluarga Giou tidak pernah ada di dunia ini, sama seperti ingatan Amano yang hilang. Amano mencoba mencari petunjuk di album lain. Dari total album sebanyak 3 buku, tidak satu pun foto yang menunjukan tentang anak terakhir keluarga Giou. Beberapa foto hilang di beberapa halaman di ketiga buku album ini. Seperti sengaja dikeluarkan dari album dan semua foto tersebut seperti berhubungan dengan anak termuda di keluarga Giou.
Amano merapikan album ini dan mengembalikannya ke rak di bawah meja. Matanya berpindah ke sebuah pintu yang tidak jauh darinya. Pintu tersebut menghubungkan ruang tamu ini dengan kamar anak termuda keluarga Giou.
Amano mendekati pintu tersebut, lalu membuka dengan perlahan. Jantungnya berdebar-debar. Dalam hati dia bertanya pada dirinya sendiri apakah ruangan ini masih sama seperti ingatannya ataukah tidak.
Nuansa kamar ini sangat nyaman. Warna hijau pucat menghiasi dinding kamar. Jendela dengan rangka besi dihiasi dengan gorden putih cream. Single bed terletak melintang di samping jendela yang berhadapan tepat dengan pintu masuk. Terdapat meja kayu dengan beberapa buku yang tersusun rapi beserta tempat alat tulis yang berseberangan dengan single bed. Di samping meja, ada lemari pakaian berwarna biru langit setinggi 1,5 meter. Lantai kamar ini berwarna biru air.
Sama persis. Tidak ada perubahan pada kamar ini. Amano melangkah masuk dan terhenti di depan meja belajar. Tangannya menyentuh buku yang tersusun rapi di meja. Buku-buku tersebut adalah novel, bukan diary atau sesuatu yang ditulis oleh pemilik kamar ini.
Lirikan Amano berpindah ke single bed. Single bed ini rapi dan tidak terlihat benda lain selain yang berhubungan dengan single bed ini. Tangan Amano memegangi bantal dan mengangkatnya. Ada beberapa orang yang mempunyai kebiasaan menyimpan sesuatu yang penting di balik bantal tidurnya. Entah itu surat cinta, nilai ujian buruk, atau pun berbagai hal rahasia lain. Amano berharap bisa menemukan suatu, tapi harapannya pupus karena tidak ada benda apa pun di balik bantal.
Amano menunjukan kekecewaannya dengan mendesah panjang. Dengan bahu yang turun, dia duduk di single bed sambil melihat lantai. Di dekat kakinya, Amano seperti melihat sebuah foto yang tersembunyi di bawah single bed. Tangannya pun segera meraih dan mengeluarkan foto tersebut.
Sebuah foto yang berisikan dua anak kecil berusia sekitar 5 tahun. Keduanya bergandengan tangan dengan senyuman manis. Amano mengenali salah satunya karena itu adalah dirinya. Sedangkan yang satu lagi, Amano tidak bisa mengingat siapa dia, tapi Amano merasa anak kecil ini adalah anak termuda keluarga Giou.
Amano membalikan foto tersebut dan menemukan sebuah tulisan. Mata Amano terbelalak. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak satu pun ucapan yang keluar dari mulutnya. Debaran jantungnya meningkat dan terdapat perasaan hangat yang menyerang tubuhnya.
Ku kan selalu mencintaimu.
Giou Kanata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top