Chapter 6 : Giou Kanata (2)
Hari ini cuaca cerah. Langit dipenuhi dengan beberapa awan-awan putih seperti salju. Matahari sesekali bersembunyi di balik awan-awan kapas ini. Dengan cuaca seperti ini, siapa pun yang menghadapi hari pastinya bersemangat dengan senyum yang melekat di wajah. Seharusnya sih begitu …
“Dulu kita sering bermain di jalan ini. Kita sering juga jajan di toko itu jika bosan …”
“Ah, ya, Amano, kau masih suka milk tea? Mau kubelikan?”
“Oh, mungkin ada baiknya jika kita membeli snack agar selama perjalanan kita tidak bosan.”
“Kau lelah? Mau istirahat dulu?”
“Hari ini cerah. Jika saja tadi kau bangun lebih pagi, maka kita bisa melihat sunrise di pantai …”
Amano mendesah dalam dengan bahu turun setelah mendengar kata-kata Kanata. Sepanjang perjalanan, ada saja yang menjadi tempat pemberhentian. Entah karena Kanata menceritakan beberapa tempat yang dikatakannya sebagai “tempat bermain masa kecil keduanya”, berhenti untuk membeli makanan atau minuman—Amano tidak tahu kepada siapa Kanata membayar karena tidak ada satu pun orang selain keduanya—di tempat yang Kanata bilang enak, atau beristirahat sejenak setelah beberapa puluh menit berjalan.
Kini keduanya sedang beristirahat di sebuah restoran siap saji sekaligus makan siang juga.
Amano merasa janggal selama duduk di dalam sana. Di display makanan, terdapat beberapa makanan yang seperti baru dibuat hari ini. Selain itu, jumlahnya juga tidak bisa dikatakan sedikit. Bisa dikatakan cukup untuk 100 orang. Siapa yang membuat semua makanan ini? Makanan kemarin? Tidak, ini bukan makanan kemarin. Jika ini makanan kemarin, tidak ada aroma makanan segar seperti yang tercium saat ini.
Karena tidak ada pelayan, Kanata mengambil sendiri makanan-makanan yang ada di display dan membawakannya menuju meja tempat Amano dan Kanata duduk. Kanata juga cekatan dalam menyiapkan minuman. Berbagai mesin minuman bisa digunakan Kanata dengan mudah, seakan-akan dia sudah terbiasa menggunakannya.
Anehnya lagi, Amano sedikit heran karena dia merasa bahwa dirinya tidak terkejut mengetahui Kanata bisa mengerjakan semua hal ini. seakan-akan dirinya sudah tahu bahwa Kanata bisa. Ekspresi heran muncul di wajah Amano. Perlahan-lahan, Amano merasa apa yang Kanata katakan tentang dirinya dan dia ada benarnya. Jika Amano tidak mengenalnya, seharusnya dia tidak memiliki perasaan seperti mengenalnya. Hanya saja, jika Amano mengenalnya, yang jadi pertanyaan adalah mengapa dia tidak mengingat segala sesuatu tentang Kanata?
“Maaf menunggu lama.”
Jika bukan karena tempat ini tidak ada orang lain selain dirinya dan Kanata, maka Amano yang tengah termenung akan mengira yang berbicara dengannya tadi adalah seorang pelayan.
Di atas meja, terdapat dua buah hamburger, dua kentang goreng, ice cream, dan minuman soda terletak di atas tray dengan rapi. Kanata duduk di hadapan Amano. Dia mengambil salah satu minuman soda dan meletakannya di depan Amano.
“Minumlah. Kau pasti haus selama menungguku menyiapkan semua ini …”
“…” Amano menatap lekat pada Kanata. Dalam hati dia ingin sekali bertanya apakah Kanata adalah pemilik restoran cepat saji ini? Tapi Amano menelan seluruh pertanyaannya karena Amano merasa bahwa Kanata akan menjawab tidak. Amano tidak tahu dari mana dia bisa memikirkan seperti ini, tapi Amano sangat yakin Kanata tidak mungkin bekerja di restoran cepat saji.
Mengingat kemampuannya memasak tadi pagi, jika benar dia seorang chef, maka minimal dia akan bekerja di restoran bintang tiga.
“Amano?” Kanata sedikit memiringkan kepalanya melihat Amano diam.
“…” Amano mengacuhkannya dan meminum minuman soda yang ada di depannya.
Kanata mengambil satu batang kentang goreng, lalu mencelupkannya ke saos tomat. “Jika kau sibuk, kau sering sekali melewatkan makan siang …”
Amano sedikit terkejut mendengar perkataan Kanata yang tepat sasaran, tapi dia tidak berkata apa-apa dan diam mendengar lanjutnya.
Setelah memakan kentang goreng tadi, Kanata mengambil sebatang lagi dan mencelupkannya lagi ke saos tomat. “Karena sering sekali melewatkan makan siang, akhirnya kau pun menderita sakit mag. Pernah sekali kau masuk rumah sakit akibat terlalu stres dan jadwal makan tidak teratur. Adikmu sampai panik mengetahui kau dikabarkan masuk rumah sakit.”
Amano melihat keseriusan di mata Kanata. Ya, apa yang Kanata benar. Amano memang punya riwayat penyakit yang berhubungan dengan lambungnya. Saking sibuk dan stresnya Amano, dia sampai tidak memiliki nafsu makan sehingga cukup sering melewatkan jam makan. Akhirnya Amano collapse karena kondisi tubuhnya sudah tidak sanggup lagi menahan pengacuhan Amano atas kondisi tubuhnya yang memburuk. Akibat dari itu, Amano sampai harus rawat inap selama dua minggu beberapa hari untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
“Selain makanan di rumah sakit yang tidak enak, kau sering sekali meminta untuk pulang karena tidak nyaman dengan kondisi rumah sakit.” Kanata sedikit tertawa saat mengatakannya. “Sayangnya dokter tidak mengizinkan karena kondisimu sangat buruk.”
Amano mengingat dengan jelas kebenaran dari apa yang sudah Kanata katakan.
“Sejak kecil kau sangat pemilih ketika makan. Ibumu sampai pusing melihat jumlah makanan yang kau makan sangat sedikit …”
Kali ini Amano menunjukan rasa terkejutnya. Tangannya memegang erat gelas minuman soda. “Kau … dari mana kau tahu?”
Ekspresi sedih ditunjukan Kanata. “Sudah kukatakan, aku adalah temanmu semasa kecil.”
“…Lanjutkan. Aku ingin mendengarkan lebih dalam.” Amano berusaha menenangkan hatinya yang tidak karuan. Kini dia yakin apa yang Kanata katakan benar. Dia memang teman semasa kecilnya!
“Saat di rumah sakit, kau sering sekali mengeluh padaku tentang masakan rumah sakit yang tidak enak dan memintaku untuk membawakan makanan setiap hari.”
Amano memegangi dagunya dan mencoba mengingat. Anehnya, untuk bagian ini, Amano tidak bisa mengingat dengan jelas. Dia tidak bisa mengingat tentang Kanata, tapi Amano yakin saat itu, memang ada seseorang yang selalu membawakan makanan untuknya setiap harinya selain adiknya. Meski begitu, Amano merasa tidak hanya seorang, tapi ada beberapa orang dan herannya dia hanya bisa mengingat adiknya saja.
“Hampir setiap hari kau meminta makanan spesifik. Untunglah aku seorang chef, sehingga semua makanan yang kau minta bisa kubuat.” Kanata tertawa bangga ketika mengatakannya.
Mendengar Kanata seorang chef, hati Amano merasa lega bahwa apa yang diduganya benar. “Mungkinkah secara tidak langsung aku tahu, tapi tidak mengingatnya?” Amano menggumam dengan wajah menunduk.
Meski suara Amano kecil, Kanata mendengar perkataannya cukup jelas. “Sebaiknya kau makan. Sedari tadi kau belum menyentuh makananmu.”
Melihat makanan yang ada di meja, bisa dilihat sudah setengah kentang goreng milik Kanata habis termakan, sedangkan Amano, hanya gelas minumannya saja yang berkurang seperempat.
Amano mendesah. Sebenarnya dia ingin mengetahui lebih dalam tentang Kanata. Mengapa dia tidak mengingat segala hal tentang Kanata? Dari yang Kanata katakan, semua hal yang disebutkan olehnya seakan-akan familiar dan tidak asing sama sekali. Herannya, perasaan curiga yang dirasakan saat awal bertemu sudah hilang. Padahal, untuk orang asing yang mencoba akrab dengan Amano, minimal dibutuhkan sebulan atau dua bulan untuk dekat.
Amano adalah tipe orang yang waspada. Amano cukup peka apakah orang yang ingin mengenalnya memiliki niatan tertentu ataukah dia memang murni ingin mengenal Amano lebih dalam. Berdasarkan feeling ini, seharusnya dia memang mengenal Kanata.
Yang menjadi misteri, apa yang membuatnya bisa melupakan Kanata? Apakah ini ada hubungannya dengan dirinya yang mendadak sadar di kota ini tanpa sebab yang diketahui? Apa yang sesungguhnya terjadi sebelum dia sadar? Apakah ada seseorang yang berbuat sesuatu padanya hingga memorinya tentang Kanata hilang? Jika begitu, apa tujuannya membuat Amano lupa pada Kanata?
Amano mendesah. Matanya tertuju pada Kanata yang kini sibuk makan. Jika Kanata memang kenalannya sejak kecil, mengapa dia tidak bertanya pada Amano tentang ingatannya yang hilang? Terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan Kanata.
“… Sepertinya dia tahu sesuatu, tapi tidak memberitahukanku.” Amano membatin dengan dahi mengernyit.
Sadar dirinya ditatapi, Kanata berhenti menyantap dan melirik Amano. “Kenapa?”
“Haruskah kutanyakan?” Amano bertanya dalam batin pada dirinya sendiri.
“Amano? Apakah kau tidak menyukai makananmu? Mau kuambilkan yang lain?” Kanata melihat Amano tidak menyentuh makanannya sama sekali.
Amano menggeleng sambil mendesah dalam batin. “Tidak. Aku akan makan.” Amano mulai menyentuh makanannya dan makan. “Akan kutanyakan nanti. Dia tidak bertanya mengapa aku tidak mengingatnya, itu berarti dia tahu bahwa aku tidak mengingatnya. Dia tahu alasan mengapa aku bisa melupakannya dan terperangkap di kota ini.” Amano termenung sambil makan.
Melihat sorot mata Amano yang distant, bisa diketahui bahwa saat ini Amano sedang termenung. Kurang lebih Kanata bisa menebak sedikit, tapi dia tidak menanggapi. Saat ini, bagi Kanata yang terpenting adalah menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama Amano.
Berbeda dengan kondisi sebelumnya, di mana sepanjang perjalanan tadi Kanata mengajaknya bicara tentang berbagai hal yang ada di sekitar mereka. Kali ini, Kanata diam sambil sesekali melirik Amano. Berjalan di jalan pedestrian dengan suasana hening ini membuat suasana menjadi sedikit kaku. Jalanan yang lurus dengan rumah di kiri dan kanan. Tidak ada siapa pun selain keduanya.
Meski di permukaan Amano tenang, hatinya sedikit gelisah. Hatinya terus bertanya-tanya tentang Kanata. Jika memang benar keduanya saling mengenal, tapi Kanata tahu apa yang tengah terjadi pada Amano, apakah Kanata tengah berniat buruk padanya? Saat ini Amano memang tidak bisa melihatnya, tapi dia yakin Kanata pasti memiliki tujuan tertentu.
Amano mengepalkan tangannya. Dengan tidak ingatnya dirinya terhadap Kanata, Amano menjadi tidak tahu apakah sikap saat ini adalah sikap Kanata yang sesungguhnya ataukah berpura-pura. Mungkin saja Kanata yang telah berbuat sesuatu padanya? Saat ini, Amano tidak memiliki bukti apa pun sehingga hanya bisa menduga-duga.
Rasa curiga yang tadinya hilang kini kembali lagi. Amano membawa Kanata berjalan tanpa arah tujuan. Pikirannya kini tidak lagi fokus sehingga segala tempat yang dilewati tidak lagi Amano perhatikan. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang tengah Kanata rencanakan.
Jika Kanata mengetahui apa yang tengah Amano pikirkan, mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak karena Kanata memang tidak ada niatan buruk terhadap Amano. Dia memang mempunyai tujuan, tapi dia tidak akan mengatakannya pada Amano.
Melihat dahi Amano mengkerut, refleks tangan Kanata mengusap-usap rambut Amano yang lembut.
Amano tersadar dari renungannya. Dia tidak sadar bahwa saat ini Kanata berada sangat dekat dengannya—tadinya mereka berjalan dengan jarak minimal 1 meter—dan kini tengah mengusap rambutnya dengan lembut.
Tindakan Kanata sangat alami, seakan-akan dia sering melakukannya. “Jangan sering mengkerutkan dahi. Nanti kau cepat tua.” Terdapat nada candaan pada perkataannya. Kanata sedikit tertawa ketika mengatakannya.
Anehnya, Amano tidak refleks menjauh, tapi justru menatapi Kanata dengan datar. Samar-samar, Amano merasa wajahnya sedikit memanas dan detak jantungnya meningkat. Apa yang terjadi? Amano sendiri heran akan reaksi tubuhnya yang tidak wajar. Detak jantungnya terus meningkat dan semakin kuat seakan-akan menghantam dadanya; seperti ingin meledak. Rasa khawatir yang tadi dirasakan kini berubah perlahan menjadi senang dan tenang.
“… Mungkinkah kecurigaanku salah lagi?” Amano membatin dengan perasaan bingung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top