Chapter 3 : Five Strangers (2)
“Kau … siapa?” ucap Amano dengan ekspresi ragu.
“Siapa, katamu?” Dia sedikit memiringkan kepalanya sambil menyentuh dagunya. “Hum … coba kau tebak siapa aku?” Dia tersenyum tanpa memberikan jawaban pada Amano.
Amano langsung mengernyit. Apa maksud pria itu? Bagaimana dia bisa tahu soal pria itu jika Amano saja tidak pernah mengenalnya. Amano merasa dia tengah dipermainkan oleh pria yang ada dihadapannya. Sebuah kesan minus Amano berikan pada lelaki berambut ruby ini.
Di lain sisi, pria itu sangat sabar menanti jawaban Amano. Dia bisa melihat Amano kebingungan atas pertanyaannya, tapi dia sangat enjoy melihat ekspresi Amano. Ingin sekali dia menggoda Amano, tapi dia menahan keinginannya dalam-dalam. Bisa dilihat Amano menunjukan ekspresi “aku tidak mengenalmu dan jangan coba-coba mendekatiku."
Amano mendesah panjang. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah dia harus menanggapi pria di hadapannya ini ataukah pergi saja. Setelah berpikir cukup lama, Amano memutuskan untuk menanggapinya. Sejauh ini, Amano hanya melihat dua orang dan satu orang yang dia tidak yakin nyata ataukah ilusi. Saat ini keberadaan Kanata tidak diketahuinya dan Amano tidak tahu apakah selain pria dihadapannya ini, adakah orang lain selain dia dan Kanata?
“Aku tidak mengenalmu dan aku juga tidak perlu mengenalmu.” Amano menegaskan.
Seketika senyuman yang ada di pria itu mengkaku. Mendengar bahwa Amano tidak ingin mengenalnya serasa memecahkan hatinya yang rentan bagaikan kaca. Perkataan Amano terlalu pedas di telinganya hingga membuat pikirannya kosong sesaat.
“Apa yang terjadi pada kota ini? Kemana semua penduduk kota ini?” Amano bertanya tanpa memperdulikan perasaan pria itu.
“… Odagiri Suzaku”
“Haa…?” Alis Amano terangkat sebelah ketika dia mendengar kalimat yang bukan merupakan jawaban dari pertanyaannya.
“Namaku Odagiri Suzaku. Aku adalah relasi kerjamu.” Suzaku memperkenalkan dirinya dan memberikan sedikit informasi kepada Amano tentang dirinya dan Amano.
Alis Amano berkedut sesaat. Jelas-jelas tadi dia berkata bahwa dirinya tidak tertarik untuk mengenal Suzaku, tapi Suzaku justru memperkenalkan dirinya dan mengacuhkan pertanyaan yang diajukan Amano tadi. Berusaha menyingkirkan rasa sebalnya, Amano mencoba menenangkan dirinya.
Amano mendesah pelan sebelum bertanya, “Apakah Anda mengetahui apa yang tengah terjadi di kota ini, Odagiri-san?”
“Apa yang terjadi? Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Yang pasti, aku tidak bisa menemukan siapa pun selain dirimu.” Suzaku berkata sambil mendekati Amano. Dia sedikit membungkuk hingga jarak wajah mereka cukup dekat. Dia menyeringai dengan mata sedikit menyipit.
Refleks Amano mundur beberapa langkah dengan punggung sedikit ke belakang. Entah mengapa Amano merasa Suzaku sedang menggodanya. Dia mengernyit karena tidak mendapatkan jawaban yang ingin didengarnya.
Amano merasa heran dalam hatinya. Suzaku dan Kanata tidak panik mengetahui mereka terjebak di kota ini, sama seperti dirinya. Selain itu, Amano merasa keduanya santai dan seperti tidak memperdulikan keadaan. Seakan-akan, terjebak di sini adalah hal yang wajar.
Apakah keduanya tidak memiliki pekerjaan atau keluarga yang mengkhawatirkan mereka, sehingga keduanya tidak khawatir jika seandainya harus terjebak di sini selamanya? Mungkinkah keduanya tahu alasan mengapa mereka bisa terjebak dan mengetahui kapan mereka bisa keluar? Jika begitu, mengapa Suzaku mengatakan dia tidak tahu?
Dahi Amano semakin berkerut. Ada begitu banyak pertanyaan di hatinya, tapi tidak satu pun pertanyaan terjawab. Amano memutuskan untuk bertanya sekali lagi. Jika jawaban dari Suzaku kembali mengecewakannya, maka dia akan mengacuhkan Suzaku.
“Anda sungguh tidak tahu apa pun?” Amano menatap lekat mata red scarlet Suzaku. Memperhatikan apakah ada kebohongan di sorot matanya.
“Jikalau aku tahu sesuatu, apa yang akan kau perbuat agar aku memberikan jawaban untukmu?” Suzaku mencoba mengulur-ulur waktu Amano. Sorot matanya tenang bagaikan air. Tidak ada kepanikan.
“…” Amano sulit memperkirakan apakah pria yang di depannya ini jujur ataukah ahli berbohong. Apakah benar dia tahu ataukah tengah mempermainkan Amano, Amano tidak ingin merendahkan dirinya hanya demi mendapatkan informasi yang tidak diketahui kebenarannya.
“Well?” Suzaku tersenyum lebar. Dia begitu menanti jawaban dari Amano.
“Aku tidak mempunyai waktu denganmu.” Setelah mengatakannya, Amano pergi meninggalkan Suzaku tanpa menoleh padanya lagi.
Suzaku tidak mengejar Amano. Dia tersenyum pasrah sambil mendesah pelan. Tangannya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sambil menatap lekat punggung Amano yang terus mengecil.
Kota Laguna hanya memiliki dua tempat wisata. Yang pertama adalah laut dan yang kedua adalah sentral festival. Di sentral festival, jika tidak ada hari perayaan, maka tempat ini akan kosong dan sering digunakan anak-anak sebagai tempat bermain. Luas sentral festival ini hanya 1 hektare. Meski ini kota pinggiran, cukup banyak turis yang berkunjung ketika hari festival. Banyak juga turis yang menginap di akhir pekan demi melihat sunrise. Meski turisnya tidak sebanyak hari festival, tapi kunjungan turis untuk melihat sunrise membantu kota ini tumbuh menjadi lebih baik.
Amano berjalan dengan perasaan bingung. Kakinya berjalan ke mana pun asalkan dirinya tetap melangkah. Tidak disadarinya, dia tiba di sentral festival. Sepanjang mata memandang, hanya ada lapangan kosong beralaskan paving yang tersusun rapi. Beberapa pohon rindang dan tanaman perdu yang berhias berbagai bunga yang mekar indah mengisi kekosongan lapangan di sisi kiri dan kanan. Mata Amano tidak bisa melihat satu pun anak-anak yang umumnya bermain di sini.
Setiap kali Amano pulang kemari ketika liburan, bersama kakak dan adiknya, dia sering sekali melewati tempat ini ketika tidak ada festival dan melihat puluhan anak bermain bersama dengan girang. Kadang tawa, histeris, dan suara lari terdengar saat dia berada di sini.
Kini, tidak ada satu pun suara yang terdengar. Hening dan senyap. Hanya ada dirinya seorang di sini.
Amano mendadak merasa sedih. Di sini hanya ada dia seorang. Terisolasi di dalam kota ini. seakan-akan, tidak ada lagi manusia di dunia ini selain dirinya. Baiklah, Amano merasa dirinya terlalu cepat pesimis. Masih ada orang lain di kota ini selain dirinya. Mungkin dari bantuan mereka, Amano akan menemukan cara untuk keluar dari kota ini.
Amano tidak mencari Kanata atau Suzaku, melainkan tetap berjalan tanpa arah tujuan untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Jika dia tidak bisa keluar, berarti Kanata dan Suzaku juga tidak bisa. Selama kedua orang itu terperangkap, maka Amano bisa menemui keduanya kapan saja.
Sambil melamun, Amano terus melangkah. Sekilas, ketika dia tengah melamun, Amano merasa dia melihat seseorang menatapinya dari kejauhan. Saat dia menoleh ke arah orang yang dilihatnya tadi, orang yang tadinya ada di dekat pohon rindang dengan daun yang sedikit kekuning-kuningan telah menghilang.
Amano melihat seorang pria tadi, tapi bukan Kanata dan Suzaku. Bukan pula orang misterius yang menghilang bagaikan ilusi tadi. Sesaat, Amano hanya melihat bahwa pria itu memiliki rambut violet dengan mata hijau jade. Selain itu, jika Amano tidak salah lihat, dia melihat pakaian yang dikenakannya berwarna putih. Sisanya Amano tidak ingat karena tidak melihat dengan pasti.
Amano memegangi dagunya dan termenung. Apakah dia melihat ilusi lagi? Jika tidak. Bagaimana bisa orang yang dilihatnya bisa menghilang dengan cepat bagai debu yang tertiup? Untuk menjawab pertanyaannya, Amano mendekati lokasi tempat dia melihat pria tadi. Matanya melirik kiri kanan. Tidak ada siapa pun di sana.
Mendadak Amano merasa kakinya seperti menyenggol sesuatu. Kepalanya menunduk dan melihat apa yang ada di kakinya. Sebungkus kantong plastic dan di dalamnya terdapat isi. Tadinya Amano sempat mengira plastic ini adalah plastic kosong tanpa ada isi. Amano mengambilnya dan melihat isinya. Hanya dua botol minuman dan sebuah kertas yang terlipat dua.
Amano membuka kertas tersebut dan membacanya.
“Minumlah dan tenangkan pikiranmu, Amano.
Dari Nagashima Ryuusei”
Setelah membaca isi kertas tersebut, Amano mengangkat kepalanya dan mencari pria berambut violet tadi. Sepertinya dia masih ada di sekitar sini dan Amano tidak melihat ilusi. Di mana pria bernama Nagashima Ryuusei ini, selama apa pun matanya mencari, Amano tidak bisa menemukannya.
Meski Amano tidak mengenalnya, tapi Ryuusei tampaknya mengetahui namanya. Mungkinkah seseorang yang dikenalnya, tapi karena jarang berhubungan sehingga Amano melupakannya? Tapi mengapa dia masih mengingat Amano jika mereka jarang bertemu? Amano memiringkan kepalanya ke kiri dan termenung. Tidak lama dia menggelengkan kepalanya karena dia tidak menemukan satu pun informasi tentang Nagashima Ryuusei di kepalanya. Meski begitu, dia merasa familier tanpa sebab yang jelas.
“Terima kasih, Nagashima-san!” Amano berbicara dengan lantang, agar di mana pun Ryuusei berada, maka dia dapat mendengar ucapannya.
Tidak begitu jauh dari Amano berada, Ryuusei yang bersembunyi di balik batang pohon besar, tersenyum tanpa melihat ekspresi Amano. Dia memiliki alasan mengapa dia tidak menemui Amano untuk saat ini.
Amano masih menoleh kiri dan kanan sebelum pergi, berharap bisa menemukan Ryuusei yang entah di mana. Gagal menemukannya, Amano mendesah dan pergi. Tidak lupa dia meminum minuman yang telah Ryuusei belikan untuknya. Setelah Amano melihat baik-baik minuman apa yang diberikan, ternyata milk tea kesukaannya.
Ketika meminumnya, rasa haus yang dirasakan berkurang. Kegelisahan di hatinya juga berkurang. Amano tidak memiliki tujuan, sehingga setelah keluar dari sentral festival, langkah Amano terhenti karena berjalan tanpa arah tidak akan membawanya ke mana-mana.
Suara deburan ombak yang samar-samar membuat pandangannya tertuju pada laut yang tidak begitu jauh. Amano berhenti di atas bendungan yang berjarak 10 meter dari laut. Tidak ada yang berbeda dari tadi pagi. Sepanjang mata memandang, Amano melihat ombak laut yang menghantam pasir pantai. Tidak ada satu pun aktivitas yang terjadi di tengah laut. Di pantai, hanya ada pasir kuning bersih dan … seseorang?
Amano memperhatikan orang yang tengah membelakanginya. Dia memandangi lautan dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku. Selama 10 menit pengamatan, pria berambut pirang itu tidak bergerak bagaikan patung.
“… Haruskah kutemui?” Amano bergumam pelan sambil mengernyit. Dia ingin menggali informasi dari pria yang belum pernah ditemuinya ini, tapi dia khawatir pria ini tidak akan memberikan jawaban pasti seperti halnya Suzaku. Entah mengapa juga, Amano merasa pria itu bukan orang baik, tapi Amano juga merasa dia bukan orang yang jahat. Dia tidak tahu dari mana datangnya firasat ini, tapi Amano yakin firasatnya tidak akan salah.
Amano mendesah dalam. Seburuk apa pun hasilnya nanti, Amano memutuskan untuk menemuinya. Di Kota Platina, Amano, yang telah bekerja 3 tahun sebagai asisten direktur dari sebuah perusahaan teknologi besar, telah bertemu berbagai macam orang. Dari eksentrik, flamboyan, sopan, sombong, hingga yang tidak senonoh. Semaksimal mungkin Amano menahan emosinya jika bertemu berbagai orang menyebalkan demi meningkatkan karirnya.
Jadi jika memang orang yang akan ditemuinya ini memang bermasalah, maka Amano tahu berbagai cara untuk melindungi dirinya jika dia mencoba berbuat sesuatu yang tidak pantas. Sambil mendekati lelaki berambut pirang ini, Amano memikirkan berbagai cara untuk melindungi diri sebagai persiapan hal tidak terduga.
Kaki Amano bergesekan dengan pasir kuning bersih. Untungnya dia mengenakan sepatu. Jika sendal, mungkin kakinya sudah kemasukan pasir. Mata birunya tertuju pada punggung pria pirang itu. Salah satu tangan pria itu memegangi pinggangnya, tidak lagi memasukan kedua tangannya ke dalam saku seperti tadi. Posisinya berdiri tidak terlalu tegap. Seakan-akan, dia tengah menikmati pemandangan yang ada di depannya dengan santai di tengah teriknya sengatan matahari.
Amano berhenti dengan jarak 3 meter di antara keduanya. Sebelum menyapa pria itu, Amano menarik napas, lalu berdehem pelan.
Suara dehem Amano didengar, sehingga pria tersebut menoleh. Seketika napas Amano terhenti sejenak ketika melihat kedua matanya. Pria dihadapannya ini memiliki bola mata yang unik. Dia memiliki mata golden di kiri dan biru sapphire di kanan. Wajahnya begitu menawan dengan hidung yang mancung. Tingginya 211 sentimeter.
Dengan jaket hitam berlengan panjang, beserta baju v-neck ketat bergaris hitam putih vertikal yang dikenakan, Amano bisa melihat tubuh six pact di balik ketatnya bajunya. Selain itu, pria ini mengenakan celana pensil yang memperlihatkan lekuk kakinya yang tampak berotot. Entah mengapa pria ini memberi kesan sexy menurut Amano. Senyum sinisnya mengesankan bahwa dia memiliki percaya diri bahwa tidak ada orang lain yang lebih menawan darinya.
Meski sesaat ekspresi Amano berganti dari tenang menjadi kagum, dia segera menenangkan diri dan kembali ke ekspresi normal. Sejujurnya. Jantungnya sedikit berdebar-debar dibandingkan sebelumnya. Ya, sepanjang hidupnya, Amano harus akui bahwa orang yang dihadapannya ini adalah orang yang paling menawan yang pernah ditemuinya.
“Ada apa, Amano?” Dia berjalan mendekati Amano, seketika tangannya mengusap pipi Amano ketika Amano tengah lengah.
Refleks Amano mundur dengan mata melebar. Tidak ada angin dan hujan, pria yang tidak dikenalnya ini menyentuhnya sebelum memperkenalkan diri! Selain itu, bagaimana pria tersebut mengetahui nama Amano? Amano hanya mengernyit sambil menatap tajam pria dihadapannya.
Penilaiannya terhadap pria tersebut sempat plus 50, tapi kini penilainya turun drastis menjadi minus 50!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top