Chapter 2 : Five Strangers (1)


Mata Amano sedikit menyipit ketika melihat seorang pria tidak dikenal ada di dalam rumah orang tuanya. Dia mengenakan baju v-neck hitam dengan jaket lengan pendek berwarna cokelat. Celana tanggung jeans-nya hanya menutupi kakinya hingga lutut saja. Sambil mengernyit, Amano meningkatkan kewaspadaannya terhadap orang asing ini. Dari sekian banyak tempat, mengapa dia bisa menemukan seseorang di rumah orang tuanya sendiri? Siapa dia?

Rambut orang asing itu biru bagaikan langit. Tingginya sekitar 176 sentimeter. Matanya berwarna hijau jade menatapi Amano. Sebuah senyum merekah ketika matanya bertatap langsung dengan mata biru Amano yang seperti laut.

“Amano …” Dia mendekati Amano. Tidak terlalu cepat, tidak juga lambat.

Tanpa Amano sadari, dirinya melangkah mundur sambil bersiaga melindungi diri jika orang asing ini ingin berbuat macam-macam. Bagaimana dia tidak curiga? Dia berada di dalam rumah orang tuanya. Lain ceritanya jika mereka bertemu di jalanan. Selain itu, dia juga mengetahui nama dirinya, tetapi Amano tidak mengenalnya. Dalam hati Amano merasa sangat waspada meski bisa dilihat orang asing ini tidak seperti ingin berbuat buruk padanya.

Orang asing itu sedikit mengernyit dengan senyum pasrah. “Amano, aku tidak akan melukaimu.” Dia berhenti beberapa langkah dari Amano, berusaha meyakini Amano bahwa dirinya tidak akan berbuat buruk padanya. “Kita sudah lama mengenal, jadi kau tidak perlu sewaspada itu.”

Dahi Amano semakin mengkerut. Sudah lama mengenal? “Siapa kau?” Amano segera menggaris bawahi bahwa dia dan orang asing ini benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun.

Dia terlihat tenang ketika Amano menanyakan identitasnya. Tidak ada keterkejutan atau pun kepanikan di wajahnya. “Namaku Giou Kanata. Aku adalah teman semasa kecilmu di Kota Laguna ini.”

Teman semasa kecil? Amano masih mengernyit sambil termenung. Jika dia memang berasal dari kota ini dan teman semasa kecilnya, mengapa Amano merasa bahwa dirinya tidak bisa mengingat satu pun hal tentang Kanata? Amano merasa Kanata bohong, sehingga membuatnya semakin waspada dan khawatir terhadap Kanata.

Melihat Amano mencurigainya bohong, Kanata tidak berkata apa pun untuk berusaha meyakinkan Amano. Jika dia memberi banyak alasan, maka dia yakin Amano akan semakin tidak percaya. Hanya diam dengan keteguhan saja yang akan membuat Amano memercayai bahwa tidak ada kebohongan akan kata-katanya.

Amano bisa melihat sorot mata Kanata yang teguh. Tidak terdapat satu pun keraguan hingga dia berani menatap lekat mata Amano dengan lurus tanpa berpaling sedikit pun. Setelah beberapa saat Amano bertatapan mata dengan Kanata, akhirnya mata Amano berpaling darinya karena merasa tidak nyaman.

Amano termenung dalam hati. Dia merasa apa yang dicurigainya salah, tapi dia juga tidak yakin apakah yang Kanata katakan benar atau tidak. Amano memang mempunyai beberapa teman semasa kecil. Jika seandainya memang benar Kanata adalah teman semasa kecilnya, mengapa dia tidak bisa mengingatnya? Amano hanya mengernyit.

“Amano?” Melihat Amano memalingkan muka, Kanata mendekatinya dan menyentuh pipi Amano dan membuatnya menoleh ke Kanata.

Dahi Amano semakin berkerut ketika dia merasakan sentuhan tangan Kanata di pipinya. Refleks dia mundur dua langkah, menjauhkan tangan Kanata dari pipinya. Amano tidak suka orang asing ini bersikap akrab dengannya.

“Jangan sentuh aku.” Amano memberikan tatapan tajam menusuk, seperti mengancam Kanata untuk berhati-hati atas tindakan dan sikapnya.

Kanata tersenyum kaku setelah mendengar perkataan tajam Amano. Tangannya yang menjulur masih dapat merasakan hangatnya pipi Amano. Dia ingin menyentuhnya lagi, tapi khawatir hal ini akan membuat Amano menjadi marah dan bahkan membencinya, sehingga dia menarik tangannya dengan perasaan tidak berkenan. Dia pun mendesah dalam hati.

“Mengapa … kau ada di rumah ini?” Amano sedikit ragu-ragu saat menanyakannya.

“Aku mencarimu, Amano.” Senyum kakunya berubah menjadi alami. Dari ekspresi yang ditunjukan, dia memperlihatkan kekhawatirannya yang Amano tidak tahu sebab dan alasan yang membuat Kanata khawatir.

Amano merasa tidak nyaman karena Kanata terus memanggil nama pemberian orang tuanya, bukan marganya. “Mengapa, Giou-san1?”

Pipi kanan Kanata sedikit berkedut mendengar Amano memanggilnya menggunakan marganya. Bisa dirasakan Amano memberi garis pembatas antara mereka berdua. “Bukan apa-apa.” Kanata menggelengkan kepalanya.

Meski Amano merasa Kanata tidak bohong, tapi dia tetap bersikap waspada dihadapan Kanata. “Apakah kau tahu apa yang terjadi di kota ini? Mengapa tidak satu pun penduduk kota ini terlihat? Aku tidak menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan sepanjang pencarianku.”

Alis Kanata terangkat sebelah. “Kau tidak menemukan siapa pun?”

“Hanya kau saja.”

Senyuman di wajah Kanata melebar. Tampaknya suatu hal membuat dia senang dan ini membuat Amano merasa aneh. Amano merasa gelisah ketika mengetahui tidak seorang pun yang terlihat di kota ini, tapi pria yang ada dihadapannya ini, dia tidak menunjukan kegelisahan, tapi justru senang akan kosong yang kota ini!

“Mengapa kau tersenyum …?” Amano mengernyit karena tidak bisa menebak apa yang tengah Kanata pikirkan.

Kanata sekali lagi menggelengkan kepalanya. Senyum masih melekat di wajahnya. “Kau pasti lelah setelah berjalan-jalan melihat keadaan kota. Ada baiknya kau istirahat dulu di kamarmu.”

Sekali lagi Amano mengernyit. Dia heran bagaimana Kanata bisa tahu bahwa ini rumahnya? Apakah dia sungguh-sungguh teman semasa kecil Amano, sehingga dia tahu ini rumah keluarga Yamane? Ataukah Kanata adalah seorang penguntit yang mengetahui segala sesuatu tentang Amano?

Sejujurnya, di Kota Platina, Amano memiliki banyak mantan kekasih dikarenakan kekasih Amano tidak memiliki hubungan yang panjang dengan Amano. Antara mereka yang tidak tahan dengan sikap Amano atau dicampakan Amano karena beberapa sebab. Tidak sedikit orang yang sakit hati padanya, tapi dia tidak memerdulikan dan mengacuhkan mereka. Pernah beberapa kali ada penguntit yang mengikutinya, tapi tidak satu pun dari mereka berusaha melukai Amano meski bisa sampai tahap menganggu. Rata-rata penguntit yang pernah tertangkap oleh petugas keamanan mengaku bahwa dia hanya ingin kembali menjalin hubungan kembali dengan Amano yang terus mengacuhkannya, tapi Amano tetap menolak mereka.

Sekali dia atau Amano memutuskan hubungan antara keduanya, maka Amano tidak akan memberikan kesempatan kedua. Bagi Amano, masih banyak orang yang lebih baik dari mantan-mantannya.

Anehnya, meski Amano mencurigai Kanata sebagai penguntit, dia tetap tidak bisa mengingat di manakah keduanya pernah bertemu. Apakah memang pernah bertemu ataukah Amano melupakannya karena hanya pernah bertemu sekali dua kali, Amano tidak tahu.

“Jika … kau tidak ada lagi urusan denganku, bisakah kau meninggalkan rumah ini?” Meski Kanata adalah satu-satunya manusia yang berhasil ditemukannya di sini, tapi Amano merasa ada baiknya dia tidak terlalu dekat dengannya. Selama Amano tidak tahu dari mana Kanata mengenalnya, maka ada baiknya Amano waspada.

“Baiklah …” Kanata hanya tersenyum pasrah setelah mendengar Amano mengusirnya.

Setelah Kanata pergi, Amano bernapas lega. Kejadian aneh di kota, tidak bisa keluar dari kota ini tanpa sebab yang diketahui, dan bertemu dengan orang asing. Amano merasa tegang sepanjang hari ini. Orang tuanya juga tidak ada di rumah ini. Rasa cemas membuat Amano mengernyit. Dalam hati dia berharap tidak terjadi sesuatu terhadap orang tuanya.

Menenangkan pikiran yang sempat kacau, Amano berjalan mengitari seisi rumah. Tidak ada perubahan pada rumah ini. Semua sama persis seperti ingatan terakhirnya. Ruang dapur yang berisi kompor gas, wajah, piring, gelas, dan berbagai peralatan lainnya semua terletak di tempat biasanya. Ruang makan rapi tanpa ada satu pun piring kosong. Lantai rumah ini bersih, seakan-akan baru saja dibersihkan.

Langkahnya membawa Amano menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Kasur yang terletak di sisi barat dengan jendela yang menghadap ke laut. Rak yang dipenuhi berbagai buku terlihat bersih tanpa satu pun debu yang menempel. Meja belajar yang kosong dan bersih. Lemari pakaiannya juga rapi ketika Amano membuka dan melihat isinya. Tidak banyak baju di lemari karena hampir seluruh baju yang dikenakannya berada di tempat tinggalnya yang ada di Kota Platina.

Mata Amano berpindah ke jendela. Cahaya yang masuk dari jendela membuat suasana kamarnya menjadi cerah. Dinding kamarnya di cat berwarna biru laut. Langit-langit kamarnya bercat putih polos seperti awan. Di balik kerangka jendela besi yang dicat cokelat, pemandangan laut yang biru bisa dilihat.

Terdapat rasa nostalgia ketika Amano melihat keluar. Sejak kecil, dia sangat menyukai kamarnya yang selalu bisa melihat matahari terbit di ujung horizon. Dulu, dia merasa melihat matahari terbit merupakan hal yang membosankan karena hampir setiap hari melihatnya.

Kini, setelah berpindah ke Kota Platina, dirinya begitu sibuk hingga selalu terbangun ketika matahari tidak lagi di ujung horizon. Selain itu, banyaknya gedung-gedung pencakar langit menghalangi dirinya melihat matahari yang akan terbit.

Mata Amano berpindah dari laut ke bawah, di sebuah jalan pedestrian. Ada seseorang menatap ke arah jendela kamarnya. Bukan Kanata, tapi orang lain. Rambutnya seputih salju dengan mata violet yang misterius, dia mengenakan baju lengan panjang berwarna silver dengan jaket berlengan pendek seperti jubah berwarna biru dengan garis kuning di pinggiran resleting. Celana kain hingga ujung kaki yang dikenakannya berwarna hitam polos. Ekspresinya datar dan menatap lurus pada mata Amano.

“…” Amano seperti merasakan sesuatu dari sorot matanya. Hanya saja, dia tidak tahu dengan pasti apa yang dirasakannya. Siapa dia? Apakah dia mengenal Amano?

Amano memutus kontak mata dengan pria misterius itu dan berlari keluar dari kamarnya, lalu menuju pintu keluar rumah. Dirinya berlari ke tempat di mana pria misterius tadi berada. Saat tiba di sana, tidak ada siapa pun. Seakan-akan, apa yang dilihatnya tadi hanyalah sebuah ilusi yang hilang bagai tertiup angin.

Amano tidak menyerah begitu saja. Matanya mencari-cari ke setiap sudut yang bisa dilihatnya, berharap dia bisa menemukan sosok pria itu. Memastikan tidak satu pun orang yang dilihatnya, Amano berjalan ke sembarangan arah sambil mencari-cari pria tadi.

Setelah beberapa saat Amano mencari, dari kejauhan dia melihat seseorang, tapi bukan pria misterius tadi atau pun Kanata.

Pria yang tengah membelakangi Amano ini memiliki rambut ruby pendek. Bisa dilihat dia memiliki punggung lebar yang tertutupi jaket lengan panjang berwarna navy blue. Kedua tangannya memasuki kantong celana kain hitam. Celananya menutupi hingga ke ujung kakinya.

Pria itu tampak menatap ke atas langit, melihat cerahnya hari ini.

Amano ingin mendekatinya, tapi terdapat keraguan karena dia tidak mengenal orang asing ini. Meski begitu, Amano tetap mendekatinya. Mungkin orang ini tahu sesuatu dengan apa yang tengah terjadi di kota ini. Tadi dia tidak bertanya kepada Kanata karena merasa tidak nyaman akan dia yang Amano duga sebagai penguntit. Apa pun jawaban Kanata, Amano tidak akan memercayainya sehingga lebih baik tidak bertanya pada Kanata.

Suara langkah kaki Amano terdengar oleh pria itu sehingga dia menolehkan kepalanya, melirik siapa yang tengah mendekatinya. Saat melihat Amano yang mendekat, sebuah senyum sinis merekah di wajahnya. Dia segera berbalik dan menghadapi Amano dengan senyum “normal”. Senyumannya merupakan senyum bisnis yang sudah sangat familiar baginya.

“Halo …” Pria berambut merah itu menyapa Amano.

Amano menatapi matanya yang red scarlet. Amano tidak tahu ini perasaannya saja ataukah memang benar, tapi dari sorot mata pria itu, dia memiliki sorot yang sama dengan Kanata dan pria misterius tadi. Sorot mata yang menunjukan seakan-akan, mereka mengenal dirinya.

Pria dengan baju t-shirt hijau tosca lebih tinggi 22 sentimeter dari Amano, sehingga Amano sedikit mengangkat kepalanya saat menatapinya. Pria itu berhenti dengan jarak 3 meter dengan Amano. Jika dia berniat mendekati Amano lebih dari itu, maka Amano akan mundur untuk menjaga jarak.

Alis Amano sedikit terangkat sebelah. Entah mengapa dia merasa pria di hadapannya ini tahu akan kebiasaannya yang selalu menjaga jarak dengan orang asing. Siapa dia? Jangan bilang dia penguntit juga …

“Kau … siapa?” ucap Amano dengan ekspresi ragu.
_______
1. -san :  kata untuk orang yang dihormati atau yang lebih tua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top