Chapter 11 : Still Unsure

Terbangun di pagi hari dengan baju turtle neck tanpa lengan berwarna hitam, beserta celana kain putih dengan garis hitam lurus ke bawah sudah bukan hal mengejutkan lagi bagi Amano. Kelihatannya, apapun perbuatannya semua akan berakhir sia-sia. Dia sudah berhenti memasang penghalang di pintu rumahnya dan dibiarkan tidak terkunci sepanjang malam.

Mata kantuknya perlahan melirik ke meja belajar di kamarnya. Buku-buku yang berasal dari rak diletakannya di atas meja belajarnya semalam. Amano mendesah. Dia menggosok-gosok matanya dengan lembut. Dia berharap apa yang dilihatnya salah. Setelah berkedip beberapa kali, matanya kembali tertuju pada meja belajarnya, lalu berpindah ke rak buku.

Matanya tidak menipunya. Buku-buku di atas meja kemarin sudah tidak ada lagi di sana. Kini, buku-buku itu sudah kembali ke rak buku dalam keadaan rapi. Seakan-akan, apa yang Amano lakukan dikamarnya semalam hanyalah sebuah mimpi yang tidak pernah terjadi di kenyataan.

Amano berantem dengan selimut yang membalutinya saat tidur. Setelah berhasil menyingkirkan selimut, Amano meninggalkan kamarnya yang berantakan dan menuju kamar mandi. Menyegarkan dirinya sebelum memulai aktivitas.

Kepalanya disirami oleh aliran air dari shower. Tangannya memegangi dinding kamar mandi. Matanya terpejam dengan kepala menunduk selama beberapa menit. Busa-busa di tubuhnya perlahan turun hingga tidak satu pun yang tersisa. Pikiran Amano tenggelam begitu dalam. Dia tengah merenungkan beberapa hal, tapi dari sekian banyak kesimpulan yang dibuat, masih sulit diputuskan apakah pemikirannya ini benar ataukah salah.

Pakaiannya diganti di saat dia tidur, sayuran diisi kembali setelah digunakan, barang-barang kembali ke tempat semula, dan kota yang sepi. Hanya terdapat lima orang dan Amano sendiri. Amano sudah terperangkap di kota ini selama lima hari. Tidak ada perubahan pada kota ini. Amano melihat sayuran, daging, dan makanan siap saji di beberapa restoran tampak masih dalam kondisi segar tanpa ada tanda-tanda pembusukan.

Reset. Semua yang terjadi seakan-akan tidak terjadi dan terulang dari awal. Amano merasa ini semua bagaikan sebuah mimpi yang tiada henti. Bedanya, Amano masih bisa mengingat apa saja yang dilakukannya. Hal yang tidak berubah adalah hubungannya dengan seseorang setelah menemuinya. Hanya hal ini saja yang tidak di-reset.

Amano merasa selama beberapa hari ini cuaca selalu cerah dan tidak sekali pun mendung atau hujan. Karena baru beberapa hari, Amano masih belum berani menyimpulkan bahwa segala sesuatu di kota ini mengalami reset. Dia baru yakin jika sudah sebulanan di sana. Hanya saja, Amano sendiri tidak ingin terjebak di sana hingga sebulan.

Dengan bos yang sepertinya tidak bertanggung jawab dan menyerahkan pekerjaannya pada Amano, keabsenannya selama sebulan bisa membuat kondisi perusahaan kacau balau. Amano memang tidak ingat mengapa dirinya bisa sampai bisa bekerja di sana, tapi dia yakin terdapat alasan kuat. Hutang budi? Mungkinkah atasannya adalah kenalannya atau orang tuanya? Gaji yang tinggi? Tawaran dari universitasnya?

Kelopak mata Amano terbuka perlahan. Air hangat yang terus membasuh dirinya terhenti ketika kran shower dimatikan. Tangannya mengambil handuk dan segera mengeringkan seluruh tubuhnya. Seluruh tubuhnya wangi sabun dan pikirannya terasa segar seperti badannya.

Amano berjalan menuju ruang ganti dan segera mengenakan pakaiannya. Selagi mengenakan pakaian, dia merenung sebentar.

Dari beberapa kemungkinan yang membuat Amano menerima pekerjaan saat ini, Amano merasa jika bukan karena rekomendasi dari kenalannya atau orang tuanya, hutang budi juga memiliki potensi besar untuk memengaruhi keputusannya. Gaji besar ataupun tawaran dari universitas tidak akan terlalu memengaruhi keputusan Amano.

Untuk keuangan, keluarga Amano bisa dikatakan berkecukupan. Biaya hidup ayah dan ibunya ditanggung oleh kakak tertuanya. Sedangkan biaya hidup dirinya dan adiknya, Amano sendiri yang menanggung semenjak dirinya mulai bekerja. Biaya kuliah Amano berasal dari beasiswa. Biaya transport dan makan didapatkan dari hasil kerja magang. Adiknya juga magang selagi tinggal bersama Amano. Selain biaya tinggal yang masih dibebankan kepada kedua orang tua saat Amano masih kuliah, biaya-biaya lain diusahakan dari jerih payah dan keringat.

Keluar dari ruang ganti, Amano langsung menuju ke lantai dasar. Seperti kemarin, dia menemukan sosok Kanata di lantai dasar. Bedanya dengan kemarin, hari ini Kanata sudah selesai memasak dan menunggunya di meja makanan. Seperti kemarin, semua masakan Kanata tampak lezat dan menarik nafsu makan. Wangi masakannya selalu harum dan menggoda selera.

"Pagi." Kanata langsung menyambutnya dengan senyuman.

"Pagi ..." Meski baru beberapa hari, entah mengapa keberadaan Kanata terasa seperti keberadaan adik Amano. Biasanya sang adik selalu sarapan bersama dengannya di pagi hari.

Keduanya sarapan tanpa banyak bicara. Ketika selesai sarapan, Kanata segera membereskan semua peralatan makan di meja makan dan membawanya ke tempat pencucian piring. Amano masih termenung di depan meja makan. Menatapi meja yang telah bersih dan kosong. Mata birunya berpindah ke Kanata yang tengah mencuci manual. Di Kota Platina, jarang sekali ada restoran mempekerjakan orang untuk mencuci piring. Dengan sebuah alat dish washer, hanya dalam 1 menit seluruh peralatan makanan yang sangat kotor bisa dibersihkan tanpa meninggalkan satu pun noda.

"..." Amano berpikir, jika seandainya Kanata tidak membersihkan seluruh peralatan makan saat ini, seharusnya tidak menjadi masalah karena besok semua akan ke-reset jika dugaannya tidak salah. Dia ingin memberitahukan Kanata soal ini, tapi masih terdapat keraguan di hatinya. Sehingga dia memutuskan untuk tetap diam.

Kanata selesai membersihkan peralatan makan. Dia kembali ke meja makan sambil membawakan makanan penutup. Segelas kecil susu dengan ice cream yang disirami sirup cokelat sebagai toping...

Melihat ice cream, ekspresi Amano menggelap karena mengingat kejadian kemarin. Dia tidak lagi marah akan Suzaku, tetapi masih cukup kesal akan sikap memaksanya.

Menyadari perubahan ekspresi Amano, alis Kanata terangkat sebelah. "Ada apa?"

"Tidak ..." Amano mendesah pelan lalu berusaha untuk menormalkan perasaannya.

"Apakah hari ini kau akan keluar lagi?"

Amano mengangguk pelan.

"Bolehkah aku ikut?"

"..." Sesungguhnya, Amano ingin melakukan eksperimen. Dia ingin mengetahui apakah selain rumah orang tuanya, tempat lain juga mengalami reset setiap pagi menjelang. Amano merasa jika sekadar memindahkan barang, maka bisa saja ada seseorang yang mengembalikannya ke posisi semula, tetapi bagaimana jika barang yang rusak? Jika barang yang dirusaknya bisa kembali seperti semula di esokan harinya, maka Amano bisa membuktikan jika memang terjadi reset di kota ini. Bagaimana bisa dan apa penyebabnya, Amano akan mencari tahu nanti setelah membuktikan apa yang diperkirakannya.

"Maaf, Kanata. Tidak hari ini. aku masih ingin sendiri." Amano menolak permintaannya.

Kanata mendesah, tersenyum pasrah dan tidak memaksa.

"Aku pergi dulu." Amano berdiri dari kursi duduknya.

"Hati-hati ..."

Amano mengangguk pelan dan berjalan menuju pintu keluar.

Mata Amano memperhatikan sekelilingnya. Ada banyak rumah dan tempat usaha yang bisa dijadikannya kelinci percobaan. Yang pasti, Amano tidak ingin melakukannya di sekitar rumahnya agar tidak menarik perhatian Kanata.

Dirinya melangkah. Sekitar 1 kilometer dari rumahnya, masih di wilayah perumahan, Amano berhenti di depan salah satu rumah yang dipilihnya secara acak. Matanya melihat pekarangan sekitaran rumah tersebut. Rumah pilihannya ini memiliki berbagai pot berisi tanaman hias. Jumlah pot yang ada di sana, setelah dihitung dengan seksama, terdapat lima belas buah pot.

Lima pot berisi tanaman sejenis dedauan tanpa bunga dan sepuluh pot berisi tanaman dengan beberapa jenis bunga yang berbeda. Yang menakjubkan, seluruh bunga di kesepuluh pot ini bermekaran tanpa satu pun yang kuncup. Seakan-akan, bunga-bunga ini bermekaran dengan serempak dan sudah diatur sedemikian rupa.

Amano menatapi rumah tidak berpenghuni ini. Dengan tangan yang mengatup di depan wajah, Amano menunjukan ekspresi menyesal dan berkata, "Maafkan aku karena sudah memecah pot ini. Jika benar seandainya pot yang kupecahkan ini tidak kembali seperti semula, maka aku berjanji akan menggantinya setelah berhasil keluar dari kota ini." Amano sedikit membungkukan pingganggnya saat mengatakannya.

Setelah meminta maaf, Amano mengambil lima buah pot secara asal dan memecahkannya di lokasi yang sama. Amano memecahkan dua pot berisi tanaman bunga dan tiga pot tanaman dedaunan.

Sejenak Amano menatapi pot yang pecah. Amano memperhatikan setiap tanaman yang berhamburan di tanah. Amano mengingat baik-baik tanaman apa saja yang dipecahkannya, sehingga dia bisa mengenali esok harinya tanaman apa saja yang kembali seperti semula.

Selain itu, Amano mengambil pecahan pot, selanjutnya menatapi kaca jendela rumah. Amano menarik napas dan menenangkan dirinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Amano berniat untuk melakukan sebuah kejahatan. Ya, dia berniat memecahkan kaca jendela. Semua ini dilakukan untuk lebih memastikan bahwa apa yang terjadi di kota ini benar-benar ter-reset.

"Maaf ...." Amano menggumam pelan sebelum melemparkan pecahan pot ke arah kaca jendela.

Prang!

Bunyi nyaring dari pecahan kaca jendela terdengar. Sebagian kaca yang pecah terjatuh dan sebagian lagi masih menempel di jendela tampak retak.

Amano memejamkan mata sesaat setelah melemparkan pecahan pot. Perlahan, matanya mulai terbuka. Terdapat rasa penyesalan di hati Amano setelah melihat kondisi jendela. Tentunya dengan kondisi kaca seperti itu dibutuhkan teknisi khusus untuk memperbaikinya dan tidak sembarangan orang bisa memperbaiki jendela ini.

Setelah menatapinya beberapa sesaat, Amano memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Dia sudah tidak memiliki urusan di sana. Meski begitu, ada rasa depresi dan gelisah menghantui di hati.

Berkali-kali dalam hati, apakah tindakannya ini benar? Dia terus bertanya dalam hati bagaimana jika seandainya esok hari segala sesuatu tidak ter-reset seperti yang diduganya? Apa yang harus dikatakannya ketika ingin mengganti rugi kerusakan yang telah dilakukannya? Orang merusak sesuatu tentu karena ada alasan, tetapi karena ingin bereksperimen akan sesuatu? Selain tidak meminta izin pada pemiliknya, tindakannya ini sudah digolongkan sebagai tindakan kriminal meski dia tidak memiliki niat mencuri atau melukai seseorang di rumah itu.

Amano mendesah dalam. Baru tadi pagi dia merasa sedikit lebih baik. Kini rasa depresi kembali menghantuinya. Amano melangkah tanpa arah tujuan hingga langkahnya terhenti di depan sebuah kafe kecil. Beberapa meja terletak di teras yang luas. Kafe outdoor dengan meja dan kursi berwarna kuning dan putih kebiru-biruan. Di tengah-tengah meja kafe, terdapat sebuah vas kecil berisi setangkai bunga krisantemum putih.

Matanya tertuju ke dalam kafe yang sepi. Amano mendesah lagi. Dia duduk di salah satu kursi di kafe. Saat ini, dia tidak ingin melakukan apa-apa hingga matahari terbenam. Sesekali, matanya melirik sekitarnya sambil berharap ada seseorang berada di sekitar sini. Meski begitu, dia berharap siapa pun yang akan datang, bukanlah Kanata atau pun Suzaku. Sepi sekali ...

Mata Amano berhenti memperhatikan sekelilingnya dan memperhatikan bunga krisantemum di hadapannya. Bunga tersebut tampak segar seperti baru dibeli dan tidak ada tanda-tanda layu. Padahal tidak ada seorang pun di kota ini yang mengganti bunga di kafe ini.

"Apa yang tengah kau lakukan, Amano?"

Amano sedikit terperanjat. Dia tidak mendengar suara langkah kaki sama sekali, tapi mendadak seseorang sudah ada di dekatnya? Amano segera melihat siapakah orang yang muncul tiba-tiba bagaikan hantu ini ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top