9. Obrolan Memikat

Suasana Kafe Cinta tergolong tenang berlatar musik instrumental. Beberapa kursi dan payung besar berfungsi sebagai tempat duduk outdoor. Cahaya berhenti melangkah, kemudian membatin, norak ya nama kafenya? Dia baru sadar setelah merekomendasikan tempat itu kepada Wisnu. Mau mengubah tujuan pun tidak lagi memungkinkan. Wisnu pasti curiga. Ketika mengiakan ajakan Wisnu, dia berpikir cepat mengenai kafe dengan suasana nyaman di dekat toko buku untuk melanjutkan obrolan. Kafe Cinta tebersit begitu saja.

"Kafe Cinta?" tanya Wisnu setelah memarkir mobil dan melangkah ringan menuju tempat Cahaya menungguinya usai memarkir mobilnya sendiri. Alis Wisnu bertaut saat membaca plang nama kafenya.

"Pernah ke sini?"

Wisnu menggeleng lambat.

Melalui ekor matanya, Cahaya menyesal mendapati reaksi Wisnu sebelumnya yang tidak juga raib. "Kamu nggak biasa ke kafe begini, ya? Atau, kafenya aneh?" gumamnya canggung, kemudian tersenyum kecut.

"Bukan itu maksudku." Wisnu segera mengendurkan alisnya supaya tidak ada kesalahpahaman. "Aku pikir menunya pasti enak. Betul?"

Senyum Cahaya menyembul. "Di sini es cokelatnya cokelat banget. Enak." Dalam sekejap senyum di wajahnya luruh menyadari kesalahan pemilihan diksi. Cokelatnya cokelat banget itu apa maksudnya?

Wisnu mengangguk lambat, kemudian tersenyum tipis. "Oke, mari kita coba."

Hampir Cahaya tidak memercayai pendengarannya. Jika Baskara di posisi Wisnu, jelas dia akan rewel. Bahasan cokelatnya cokelat banget bisa sampai tiga hari. Memang sedikit berlebihan, tetapi tebakan Cahaya seringnya tepat. Untung Baskara nggak suka berada di kafe. Dia lebih suka membusuk di restonya, Cahaya membatin hiperbolis.

"Tunggu sebentar." Cahaya menghentikan langkah Wisnu, bertanya, "Yakin mau lanjutin ngobrolnya di sini? Atau, mau pindah ke kafe lain saja?"

"Kalau ini masih soal minuman cokelatnya cokelat banget tadi, sure, aku beneran mau cobain." Wisnu berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. "Selain aku kurang paham tempat nongkrong yang asyik, sepertinya kafe rekomendasimu juga patut dicoba."

Cahaya menghela napas lega, mencoba menyembunyikan kegelisahan. Menyadari reaksi itu, Wisnu cuma memasang senyum seraya melanjutkan langkahnya memasuki kafe. Konsep minimalis yang dipilih menyediakan ruang outdoor dan indoor, lengkap dengan ruang baca kedap suara yang dapat dialihfungsikan menjadi ruang meeting. Hal seperti ini bisa dia gunakan untuk model bisnis masa depan, pikir Wisnu.

Di dalam kafe setelah puas mengobservasi, Wisnu dan Cahaya duduk saling berhadapan. Mereka memilih satu meja di dekat jendela, menghadap ke luar. Tidak berapa lama setelah memesan dua cangkir cokelat panas dan dua piring kecil kue bolu, pembahasan berlanjut mengenai buku yang sama-sama mereka inginkan sejak terbit.

Di sela-sela obrolan, mereka berandai-andai. Jika saja Angger mau jumpa fans atau launching buku barunya di mal atau di toko buku, keduanya pasti akan datang. Diundang ataupun tidak.

"Tahu nggak, aku kira aku itu orang paling aneh sedunia. Nge-idolain tukang masak, bukannya artis. Ternyata ada temannya." Wisnu tertawa kecil sembari membuka plastik buku resep masakan Angger.

"Iya, ya," balas Cahaya yang sudah lebih dulu unboxing bukunya. "Menurutku, karena Pak Angger tuh bukan sekadar tukang masak. Dia tuh jago bisnis juga. Buktinya, restorannya banyak cabang dan rata-rata ada di kota besar. Semuanya ramai. Secara bisnis, dia tuh sudah aku anggap seperti bapakku sendiri."

"Bapak sendiri? Jangan-jangan, kamu―"

"Nggak seperti yang kamu pikirkan ya, Nu," potong Cahaya seolah tahu ke arah mana candaan itu akan bermuara. "Nggak ada cerita anak dibuang apalagi bayi ditukar kayak di sinetron Indonesia!"

Bukannya merasa bersalah, Wisnu malah dibuat terpingkal.

Tak disangka, tawa Wisnu memantik ujung bibir Cahaya tertarik ke atas. Sebentar kemudian, wajahnya merona. "Kalau dipikir-pikir, alasan sebenarnya kenapa aku jadi fans Pak Angger tuh nggak penting. Maksudku, alasanku ngomong tadi," terangnya sedikit ragu.

Tawa yang terbentuk sebelumnya, surut. Mata jernih Wisnu seperti menagih utang penjelasan Cahanya. "Okay, I'am all ears."

Cahaya tergeragap. "Hmm, waktu itu aku dapat info kalau Pak Angger sahabatan sama Bu Sisca Soetomo," lanjutnya sembari memasang raut serius. "Mereka pernah jadi bintang tamu acara memasak. Kebetulan aku datang dan ada tanya jawab. Aku sudah angkat tanganku tinggi-tinggi supaya di-notice, tapi malah nggak ditunjuk-tunjuk. Kesal, dong. Dan sewaktu acara selesai, aku nggak nyangka kalau Pak Angger menyuruh salah seorang kru buat nemuin aku. Dibawalah aku ke ruang tunggu artis."

Wisnu mengangguk-angguk, mendengarkan teman mengobrolnya itu dengan serius.

"Waktu di ruang tunggu, Pak Angger langsung menyambutku ramah. Di sana juga ada Bu Sisca. Kami sampai foto bareng di akhir obrolan." Cahaya merogoh ponsel dari dalam tas, menggulir dan memperlihatkan foto yang terunggah di Instagram-nya. "Ini lima tahun yang lalu, jadi waktu itu aku masih muda banget. Masih SMA. Sejak itu aku mengidolakan keduanya, terutama Pak Angger. Apalagi waktu Baskara bilang kalau kenal juga sama Pak Angger."

Ketika nama mantan sahabatnya itu disebut, senyum tipis Wisnu terbentuk, tetapi segera dienyahkannya karena tidak ingin Cahaya berpikir macam-macam. "Puas dapat foto idolanya?"

"Banget. Selesai foto aku kayak linglung. Foto diapit dua orang yang buku-buku masakannya selalu aku koleksi sejak kecil."

"Sampai segitunya?"

"Iya, lah. Dan ternyata sewaktu di panggung, Pak Angger sebenarnya lihat aku angkat tangan. Kayaknya dia kasihan, makanya aku diundang ke ruang tunggu biar puas tanya-tanya. Karena apa? Aku nggak tahu kalau pertanyaan selama acara itu sudah disiapkan sama panitia, dan yang angkat tangan dan ditunjuk itu sudah di-briefing. Malu banget rasanya."

"Tapi dengan begitu kamu beruntung bisa ketemu sama Pak Angger dan Bu Sisca."

"Untung aku ngelakuin hal yang memalukan itu." Cahaya manggut-manggut. Kemudian keduanya tergelak. "Kalau kamu, Nu?"

"Apanya?"

"Kok bisa jadi fans Pak Angger?"

"Sama kayak temanku... Baskara. Pak Angger itu mentor memasak kami waktu SMK. Orang yang sangat kami hormati. Orang yang bisa membuat kami melangkah sejauh ini―" Wisnu menghentikan kalimatnya sendiri. Wajahnya berubah sedikit keruh. "Ya, kira-kira begitulah ceritanya."

"Kamu hebat. Kalian berdua hebat."

"Ya, itulah kelebihanku," canda Wisnu, jemawa.

Cahaya berdecak, sebal. "Sombongnya pun juga sama." Keduanya tergelak.

"Coba sekarang ada acara masak memasak di tivi nggak pakai drama, pasti aku tonton sampai tamat," Cahaya melanjutkan memanuver topik pembicaraan.

"Kalau nggak ada drama, acara tivi nggak bakalan laku, Aya. Mereka kan butuh rating buat cari duit. Rating pencetak sponsor, dan sponsor ngalirin dana untuk acaranya. Kalau nggak ada itu semua, baru musim satu juga sudah bungkus acaranya."

"Memangnya rating acara Bu Sisca jelek?" tanya balik Cahaya.

"Kayaknya, nggak. Buktinya acara bertahan lama."

"Nah!"

"Tapi bungkus juga kan akhirnya? Berarti ada kemungkinan rating turun atau Bu Sisca sudah nggak mau lanjut kontrak."

"Benar juga."

Sejurus kemudian, pesanan mereka datang tepat setelah pembahasan mengenai rating acara masak-memasak di tivi selesai. Spontan, bola mata Wisnu mengarah ke cangkir putih berisi cokelat panas di hadapannya. Saat pandangannya mengarah ke tangan pramusaji yang menurunkan kue bolu dari nampan, senyum Cahaya terbentuk. Bola mata Wisnu bertambah jernih, tampak terkesan.

"I know, right?" tebak Cahaya seolah mampu membaca pikiran Wisnu. Ekspresi bahagianya tampak ketika melihat kue yang dicarinya setiap kali datang ke acara kondangan adat, kini ada di hadapannya.

"Ini tuh jarang dijual di mana-mana, Aya. Kalaupun ada, nggak mungkin ada sukade-nya―"

"Ternyata ada kafe yang jual dan lokasinya ada di tengah kota. Mantap, kan?" potong Cahaya dengan kilatan bangga di matanya yang tidak bisa disembunyikan.

"Lebih tepatnya, di kafe yang cokelatnya cokelat banget ini," Wisnu menambahkan. Mereka kembali tertawa.

"Pesanannya sudah lengkap ya, Kak?" ucap pramusaji setelah menyuguhkan potongan kue bolu.

"Sudah lengkap, Mas. Terima kasih banyak. Ini kafe terbaik yang aku tahu dan akan aku rekomendasikan ke teman-temanku," balas Wisnu ramah.

"Terima kasih banyak atas atensinya. Kak, maaf mengganggu waktunya. Boleh saya informasikan sesuatu?" Pramusaji itu berkata sopan.

"Boleh," Wisnu membalas, mewakili.

"Begini, Kak... karena bulan ini ada promo beli dua kue bolu gratis satu, kiranya boleh kalau saya foto kakak-kakak ini, kemudian diunggah di Instagram Kakak, lalu nanti di-tag ke Instagram kami dan akan kami hold sampai promo ini habis. Sekitar satu minggu lagi. Kalaupun tidak berkenan, bisa dihapus tanda tag-nya setelah transaksi diselesaikan di kasir, dan kami juga akan hide untuk repost-nya."

"Harus berdua ya, Mas? Kalau saya sih nggak masalah." Wisnu melirik ke arah Cahaya setelah mendengar akan mendapat satu kue gratis kesukaannya kalau bersedia membantu promosi kafe dengan memajang wajah mereka. Cahaya memberi tanda kepada Wisnu dengan menaikkan kedua alisnya.

"Boleh, kok," timpal Cahaya enteng.

"Saya ambil fotonya sekarang atau bisa kasih tahu saya kalau sudah siap ya, Kak," tawar pramusaji, memberi kesempatan kedua tamunya untuk bersiap-siap. "Maaf sebelumnya, saya panggil kakak-kakak ini siapa?"

"Saya Wisnu."

"Aya."

"Baik, Kak Wisnu dan Kak Aya. Kira-kira saya ambil fotonya dari hp siapa, ya?"

Wisnu mengulurkan ponselnya cepat. Setelah menerima ponsel Wisnu, pramusaji itu mundur dua setengah langkah untuk memotret. Cahaya meminta sedikit waktu untuk bersiap-siap dengan memeriksa riasan dan merapikan rambut hitam berkilaunya melalui cermin kecil yang selalu dibawanya.

"Siap ya, Kak. Satu, dua, tiga." Selesai menghitung, pramusaji menekan tombol shutter.

Usai menyerahkan kembali ponsel Wisnu dan menunjukkan caranya mendapatkan gratis satu kue bolu, pramusaji meminta izin untuk mengambilkan gratis kue bolu untuk mereka.

Wisnu mendongak dan bertanya setelah memeriksa hasil foto. "Nama Instagram kamu apa, Aya?"

"Boleh aku ketikkan namanya, nggak?" tawar Cahaya. Wisnu ulurkan ponselnya segera. Sembari mengetik nama dan meminta izin untuk mengunggahnya sekalian, Cahaya terpaku dengan hasil fotonya. Biasanya dia paling cerewet kalau mengunggah foto di Instagram, tetapi kali ini tidak. "Ganteng juga," pujinya pelan.

"Thanks."

Cahaya masih menatap layar ponsel Wisnu saat menyadari rasa malu mulai merayapi hati dan juga benaknya. Dia tidak mengira suara dalam kepalanya bocor. Untuk menetralkan, Cahaya tertawa lirih sambil menyerahkan ponsel Wisnu kembali. Kecanggungan tak terhindarkan.

Sang pramusaji kembali ke meja mereka dengan membawa satu piring kue bolu gratis dan berterima kasih karena mau ikut meramaikan promosi yang dibuat kafe. Sekilas, tatapan Wisnu kepada kue itu seperti tatapan orang yang memuja kekasihnya. Ketika Wisnu mendongak, Cahaya mengangguk kecil tanpa perlu mendengarkan kalimat yang sudah merangkak naik di tenggorokan Wisnu.

"Kuenya buat kamu saja. Hitung-hitung ongkos malu tadi," ucap Cahaya santai.

Seperti bocah mendapat hadiah es krim, Wisnu lahap mengunyah kue bolu gratisnya. "Pantas Baskara kelihatannya sayang banget sama kamu. Kamunya baik begini, mau kasih jatah makanannya ke orang yang baru dia kenal lagi. Kalian pasangan serasi."

"Kami cuma teman baik. Sahabat. Nggak lebih," balas Cahaya tidak tersendat sekejap pun. Ada sekian detik dia tidak memahami perasaannya. Cahaya tidak habis pikir bisa melupakan ambeknya pagi tadi ketika Baskara tidak menyadari perasaannya, untuknya. Anehnya, tidak ada keraguan sedikit pun saat Wisnu bertanya mengenai perasaannya kepada Baskara.

"Nice info." Wisnu mengunyah dengan tersenyum.

Ini semua cuma kegaguman, kan? Nggak lebih! Cahaya membatin sambil membalas senyum Wisnu yang tidak bisa diartikannya secara tepat. Bola mata Wisnu yang jernih teramat hangat ketika menatap, menembus tepat matanya kemudian perlahan turun ke hati.

Cahaya menggeleng-geleng pelan dan tertawa canggung karena merasa mulai gila.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top