8. Pesona Sang Penyusup

Duduk di dekat jendela kaca menembus pemandangan vertical garden, Cahaya sibuk mengutak-atik tablet sewaktu Baskara datang membawa semangkuk es campur. Saking seriusnya menatap layar tablet, Cahaya tidak menyadari kedatangan Baskara dan baru mendongak setelah mendapat tepukan pelan di bahu.

Cahaya tersenyum, sedetik kemudian memelotot. "Aku nggak sehaus itu ya, Baskara Mahendra!"

Baskara terkekeh, sengaja ingin membuat Cahaya meradang. Dia membawa semangkuk es campur berukuran sebesar baskom. "Silakan dinikmati. Mumpung masih fresh," katanya. Baskara lalu duduk seberang meja sambil bersedekap. Air mukanya mendadak serius.

"Yang pantas ngambek itu aku, ya," protes Cahaya, tak mau kalah saat menggeser mangkuknya mendekat. Dia pasang pula wajah seriusnya.

Berharap tidak memantik peperangan kembali, Baskara mengalah dan melemaskan otot wajahnya setelah menghela napas panjang. "Masih mau lanjut marahnya?"

"Nggak. Marah sama kamu lama-lama tuh percuma. Bikin capek sendiri!"

"Akhirnya sadar juga."

"Heh―" Cahaya menepak lengan Baskara dengan tenaga penuh sampai mengaduh.

"Bercanda," potong Baskara sembari mengelus-elus lengannya yang panas, kemudian meletakkan jari telunjuknya di bibir. Matanya beredar. "Minta tolong volume suaranya agak dikecilin supaya nggak ganggu pengunjung lain."

Mau tidak mau, Cahaya ikut menyapukan pandangannya. Dia menangkap beberapa pengunjung Resto Kenanga mulai membubarkan diri setelah makan siang. Namun, di antara pengunjung itu, masih ada beberapa yang tinggal. Salah satunya duduk paling dekat dengan meja mereka. Dari caranya duduk, mereka terlihat terganggu dengan keadaan sekitar. Cahaya seketika menyesali suara bariton yang biasa diredamnya.

"Sori," sesal Cahaya, sedikit merunduk dan tidak berani melirik ke kanan kiri lagi.

"Asal mereka nggak komplain di media sosial, aman," ujar Baskara lirih, menenangkan. "Dan sekarang yang paling penting, kalau es campurnya nggak segera kamu nikmati takut keburu dingin."

Kepala Cahaya mendongak, gemas. "Garing!"

"Sttt...." Pengunjung resto meja sebelah akhirnya bereaksi dengan mendesis, memperlihatkan lirikan tajam nan mengintimidasi.

"Maaf, Pak." Cahaya tampak salah tingkah saat mulai menyendokkan potongan buah ke dalam mulut supaya tidak banyak cakap. Hal itu berhasil memantik senyum Baskara, sementara Cahaya merengut dan meletakkan jari telunjuk di bibir dan melebarkan pandangannya.

Wajah masam Cahaya bertahan sebentar, kemudian berganti kilatan bahagia. Tak lama berselang, pengunjung di sebelah meja mereka pergi. Diangkatnya satu buah yang tidak sengaja tersendok. Bentuknya transparan. Jika sebelumnya matanya berkilatan, kali ini Cahaya tidak segera menutup rapat mulutnya. Dia menggeleng-geleng tidak percaya.

Tersadar Cahaya tidak bisa berkata-kata, Baskara mewakili bertanya, "Kolang-kaling?"

Cahaya manggut-manggut.

"Buah kesukaanmu," lanjut Baskara. "Dan jumlahnya aku banyakin supaya kamu puas makannya."

"Thank you, you are the best."

"You're welcome."

Seruputan es campur berlanjut dengan sukacita. Cahaya menggoyangkan kepala ke kiri kanan tanda bahagia. Segampang itulah mengembalikan kebahagiaannya. Sementara teman dekat tapi tak pacarannya itu menikmati sajian, Baskara meraih tablet yang tergeletak di meja, kemudian meminta izin untuk membukanya. Disapukannya tablet tersebut, kemudian Baskara serius meneliti pekerjaan Cahaya.

"Kamu masih cek-cek sosial media Resto Kenanga?" tanya Baskara setelah menemukan sebuah konten dalam bentuk vlog.

"Iya, lah. Aku kan sudah bayar mahal content creator buat kembangin bisnis kita lewat sosial media. Sekarang yang lagi in tuh lewat vlog. Biar resto kita nggak ketinggalan sama resto lain." Cahaya berdecak, gemas. "Jangan sampai teman-temanku bilang kalau bisnisku sudah mulai jadi artefak. Amit-amit jabang baby."

"Memangnya ada pengaruh langsung ke resto pakai promosi model begini ini? Yang ada kita keluar duit doang."

"Sejauh ini belum signifikan. Tapi namanya promosi kan nggak bisa dibuat patokan untuk narik pengunjung secara langsung. Kita butuh engagement. Butuh hype. Terus ending-nya dapat crowded."

"Mungkin pasar kita memang bukan untuk mereka, Aya. Makanya nggak ada pengaruh." Baskara memperlihatkan salah satu laman sosial media Resto Kenanga berisi Reel Instagram hasil tagging salah seorang food vlogger.

"Maksud kamu kaum milenial dan generasi di bawahnya?"

Baskara mengangguk lambat seraya meletakkan tablet ke meja kembali. "Betul. Menurutku kamu bayar mahal mereka buat dongkrak penjualan restoran kita juga percuma."

Sebelum menyanggah, Cahaya menghabiskan dulu kunyahan di mulutnya. "Nah," prolognya. "Begini ini kalau kerja sama yang mukanya muda tapi pikirannya jompo. Jangan bilang kamu mau nerapin lagi sebar brosur buat narik pengunjung? Sekarang sudah nggak zamannya lagi, Bas. Yang ada jadi sampah."

Rahang Baskara mengetat. Tangannya mengepal sempurna. "Bagian mana dari kalimatku yang bikin kamu mikir kalau aku termasuk orang yang nggak bisa diajak maju?"

"Ditambah suka ngeyel. Klop," tandas Cahaya.

Baskara benar-benar memperlihatkan ketersinggungannya dengan tatapan menusuk. "Coba jelasin!" pintanya, tidak terima.

"Begini gampangnya. Seumpama pangsa pasar kita adalah keluarga atau kita kerucutkan lagi menjadi dewasa dan dewasa muda, buat apa kita capek-capek promosi ke mereka? Mereka bakal datang ke sini tanpa diminta. Sekarang, pekerjaan rumah kita adalah yang doyan nongkrong di kafe dan cuma ngemil di luar sana supaya mampir dan makan ke restoran kita. Minimal, mereka tahu kalau kita punya resto dan siapa tahu mereka mau ajak orangtuanya buat makan di sini? Itu poinnya."

Tampaknya Baskara sedang berpikir keras. Sebenarnya dia malu mengakui, tetapi pemikiran Cahaya seringnya satu langkah di depan untuk urusan pengembangan bisnis. Jauh di lubuk hati, Baskara merasa terbantu dengan keberadaan Cahaya. Dia akui dan yakini, bersama Cahaya, kelak mereka bisa melebarkan sayap dengan membuka cabang baru Resto Kenanga.

Akan tetapi, pemikiran itu segera terbantahkan ketika Cahaya meraih tablet dari atas meja. Dia menggulir layar sentuh tablet sebelum menunjukkannya kepada Baskara.

"Kamu tahu grafik ini kan, Bas? Kamu bisa bacanya, kan?" terang Cahaya dengan raut serius. Selain kotak warna-warni dan angka, Baskara tidak paham dengan pertanyaan Cahaya. Dia menggeleng, menunggu penjelasan.

"Ini tuh parameter Resto Kenanga di dunia maya," Cahaya menambahkan.

"Kok grafiknya turun?"

Akhirnya, Baskara tahu ke arah mana pembicaraan ini akan bermuara. Mendadak dia mulas sebentar lagi mengetahui kenyataan di luar sana. Keruh di bola matanya tampak semakin nyata. Ujung bibirnya tertarik ke bawah.

"Engagement kita di dunia maya sedang nggak baik-baik saja, Bas."

Layaknya pisau, kalimat Cahaya menghujam. Baskara merangkai beberapa kemungkinan mulai dari menurunnya pengunjung dan pengaruhnya terhadap omzet. Berkurangnya sewa venue untuk event. Terakhir, stock bahan makanan sampai harus dibuang karena beberapa barang mentah sampai menyentuh tanggal kadaluwarsa. Dia merasa harus berpikir cepat, termasuk mulai memikirkan cara mendongkrak popularitas restorannya kembali. Membuka cabang Resto Kenanga sepertinya akan sulit digapai kalau jalannya seperti ini.

"Kira-kira bisa kita perbaiki, nggak?" Baskara bertanya seolah sedang menelan pil pahit. Dia berharap pil pahit tersebut bisa menyembuhkan penyakitnya.

"Kita cari solusi sama-sama. Salah satunya adalah dengan cara kerja sama sama content creator." Suara Cahaya mendadak ceria. Rautnya optimis. "Hal penting lainnya adalah mind set kamu minta tolong diubah. Kita bukan hidup di zaman batu lagi, jadi sosial media itu penting keberadaannya!"

"I know―"

"Dan aku minta sama kamu jangan ikut-ikutan Pak Angger!"

"Kenapa sama Pak Angger?"

"Launching buku, tapi nggak pernah di-release dalam bentuk digital. Kuno!" Cahaya melongo seperti tersadar dengan sesuatu yang salah dari ucapannya barusan. Dia menepuk pelan pipinya. "Ya, Tuhan. Aku lupa." Dia beranjak dari tempat duduk sembari meringkas tablet dan juga ponselnya cepat. "Thanks, minumannya. Duluan ya, Bas. Mau ke toko buku buat beli bukunya Pak Angger. Bye."

"Iya," balas Baskara sambil menggeleng-geleng dan tergelak.

Sehormat-hormatnya Baskara dengan guru memasaknya itu, dia belum pernah membeli satu pun bukunya. Selain Baskara tidak hobi membaca, dia ingin Angger masih tetap sama seperti yang dilihatnya sejauh ini. Dirga hanya ingin memiliki hobi memasak dalam hidupnya dan sekarang menjadi mata pencahariannya. Termasuk, mewujudkan cita-citanya yang lain yaitu memperoleh Michelin Guide pertama untuk restoran di Jawa Timur.

***

Tiba di toko buku yang terletak tidak jauh dari Resto Kenanga, Cahaya langsung menuju rak buku nonfiksi setelah memastikan buku Angger tidak ada di rak new arrival. Matanya menjelajah, barangkali ada yang terlewat. Dia tidak memperhatikan sekitar sewaktu menemukan buku incaran, selain menandak. Buku dengan warna pastel bersampul makanan dan juga foto tampak setengah badan Angger bertajuk: Camilan Masa Kini. Murah, meriah, dan bahannya selalu ada di dapur, langsung menyedot perhatiannya.

Tanpa sadar, terjulur tangan lain dan berhasil meraih buku incarannya itu lebih dulu. Spontan, pandangan Cahaya mengikuti uluran tangan tersebut, menyamping. Dalam sekejap mata, dia rebut kembali buku yang sudah ada pada uluran tangan orang tersebut.

"Oh, sori," ucap orang itu cepat sambil menggeser jarak berdirinya. Cahaya menoleh, memperhatikan. "Aku kira Mbak nggak mau ambil buku yang aku ambil tadi waktu aku bilang permisi―"

Mereka beradu tatap. Sekian detik terasa sejam, seolah waktu berhenti dan suara-suara dalam toko buku menyusut dan menghilang.

"Eh...."

"Oh, hi," sapa cowok itu sembari memamerkan lesung pipinya. "Apa kabar?"

"Ka-kabar baik," Cahaya sedikit grogi membalasnya.

Telunjuk mereka sama-sama masih terulur, kemudian cepat-cepat mengendurkannya. Kerutan di dahi masing-masing terbentuk. Mereka sedang berpikir, mengingat-ingat sebelum bicara.

"Mas Wisnu kan, ya?" Cahaya berhasil bertanya duluan.

Cowok berperawakan jangkung itu mengangguk lambat sebelum bersuara kembali. "Dan Mbak, Mbak Cahaya, betul?" Senyumnya merekah. Rambutnya yang lurus kecokelatan dengan bola mata bening mengilat, berhasil menyedot perhatian Cahaya hingga dadanya bergemuruh. Baru kali ini Cahaya menemui cowok berkulit seputih susu dan tampak bersinar, terawat. Namun dari kesemuanya itu, lesung pipinya saat tersenyum menambat perhatiannya. Entah kenapa, pertemuan kali ini tidak sebiasa seperti pertemuan mereka dulu.

"Panggil Cahaya atau Aya saja. Nggak usah pakai Mbak."

"Oke. Kalau gitu sama. Panggil Wisnu, tanpa embel-embel Mas," balas Wisnu ringan.

Untuk pertama kali, Cahaya merasa es campur bikinan Baskara tidak ada apa-apanya dibanding sosok rupawan di hadapannya kini. Bagi Cahaya, cowok itu terlihat manis dari segala angle, tetapi sepertinya tidak untuk disesap legitnya. Ups.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top