5. Risalah Hati
Camry warna violet menekuri jalanan merambat Darmo menuju Bongkaran. Dalam perjalanan tidak sampai sejam itu, Cahaya menggunakannya untuk mencuri pandang ke arah Baskara sembari pura-pura memainkan ponselnya. Saat pandangan mereka bertumbuk, Baskara yang tengah menyetir sontak menghela napas pendek. Dia mampu membaca pikiran teman seperjalanannya itu saat seraut cengiran terbentuk.
"Aku turuti kemauanmu bukan berarti nggak punya taste sama penampilanku sebelumnya, ya," keluh Baskara. Cahaya terkekeh. "Tapi terima kasih banyak atas masukannya. Nggak buruk."
"Saranku sama sekali nggak buruk. Kamu kelihatan lebih pe-de sekarang. Lebih... cakep." Cahaya mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil. Baskara tergemap, salah tingkah.
Cahaya ingat pernah membahasnya. Kala itu Baskara meminta saran ingin memberi kesan baik terhadap restorannya. Dengan senang hati Cahaya menjelaskan pros and cons, dan di akhir pembicaraan, dia singgung bahwa pemilik restoran harus menjaga citra produk sama seperti menjaga personanya. Tidak mutlak, tetapi tampilan gembel tidak menjamin seseorang berada di puncak karier. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menggapai, sisanya gagal. Baskara sempat tersinggung sewaktu Cahaya menjabarkan dengan wajah serius. Namun setelah kepalanya dingin, dia baru paham.
"Tapi kalau aku mau pakai kaos atau celana pendek pas pengin santai, akan aku pakai tanpa persetujuanmu!" repet Baskara.
"Absolutely fine. Aku dulu cuma bilang 'jadiin kebiasaan biar nggak ngerasa aneh'. Nggak tiap waktu juga kamu harus dandan keren begini. Tapi kalau mau tiap hari juga boleh, kok, Ganteng."
Pandangan Baskara kembali ke jalan dengan senyum terkembang. Karena tidak lagi ada sanggahan, tangan Cahaya terulur mengutak-atik pemutar musik di dasbor mobil, kemudian meyambungkannya ke ponsel melalui bluetooth. Intro lagu Lucky mengalun lembut. Gumam keduanya terdengar. Mereka menyanyi bersama, kemudian saling menggoda. Lengan Baskara jadi sasaran cubitan Cahaya karena gemas.
Senandung mereka berakhir ketika arahan setir bundar Baskara mendekati tempat tujuan. Pasar Atum. Baru menginjak koridor luar usai memarkir mobil, mereka disambut kuliner mirip street food di Korea. Cahaya menghentikan langkahnya tepat di depan penjual bubur madura. Namun, bukan bubur yang memantik ludahnya hingga menggenang, tetapi lupis campur. Cahaya sempat mematung.
Menyadari teman seperjalanannya itu bergeming, Baskara bertanya sembari mengedikkan kepala ke arah pandang Cahaya. "Mau nyemil itu dulu?"
Anggukan Cahaya bersambut telunjuk Baskara yang mengulur ke dua kursi plastik kosong menempel di dinding. Cahaya menurut, melangkah dengan ringan kemudian mengempaskan pantatnya di kursi yang sedikit riskan roboh itu. Tak lama, Baskara membawa dua pincuk lupis campur. Sendok plastik jadi pelengkapnya.
Lidah Baskara mencecap lebih dulu lelehan gula jawa bercampur parutan kelapa sebelum mengunyah cenil, lalu menggulungnya bersama lupis yang diiris tebal.
"Enak?" tanya Cahaya sembari memperhatikan Baskara yang sedang mengunyah dengan nikmatnya.
Baskara manggut-manggut, kemudian memperhatikan lalu lalang pengunjung ketika Bahasa Madura dan bahasa campuran Mandarin dan Suroboyoan mengental memenuhi kupingnya.
"Mood ambyar langsung balik, kan?" Cahaya melanjutkan perkataannya. Baskara mengamini. Pandangan Cahaya sontak beralih ke tempat lain, kemudian mengedik ke arah Baskara dengan wajah semringah. "Setelah ini aku mau makan lontong sayur di dekat penjual lupis campur. Kita nggak usah pindah tempat duduk. Nanti pesannya sepiring berdua saja, soalnya takut kekenyangan. Dan kamu wajib ikut nyobain!" fetakompli-nya.
"Baik, Nyonya!" goda Baskara. Cahaya tergelak dan menghadiahi tepukan pelan di bahu liat Baskara.
Ronde kedua bergulir. Lontong sayur dengan kuah kuning lauk tempong ayam berhasil menggugah selera mereka. Keduanya makan tanpa selipan obrolan saking enaknya.
Kunyahan Cahaya terhenti. Tampak kilatan jail saat dia berkata lirih, "Aku dengar kalau lontong sayur ini ada jampi-jampinya. Yang makan sepiring berdua akan lengket sampai ke jenjang pernikahan, atau sampai maut memisahkan." Baskara berhenti menyantap. Dia tercenung. Bola matanya membulat. Cahaya tertawa melihatnya. "Kamu tuh kalau panik lucu tahu, Bas. Gemesin."
Hati Baskara berdesir. Dia tidak sanggup berkata-kata selain menatap lurus Cahaya sebelum perlahan kembali memperhatikan lontong sayur dengan benak berkecamuk. Beban tanggung jawab seolah bertumpuk di pundaknya.
"Bercanda lagi." Cahaya meraih lengan Baskara, menggamit dan mengguncangnya pelan. Meski sedikit kesal, Baskara tidak menampik perlakuan itu dan segera melenturkan wajah tegangnya kembali. "Kok aku masih lapar, ya," lanjutnya dengan mata berkilat. "Kita mampir dulu ke food court sebentar sebelum pulang."
Rekahan senyum Baskara dan towelan kecil di hidung bangir Cahaya sekaligus menjadi jawaban "iya" atas permintaan seseorang yang disayanginya itu dengan tulus.
Usai menandaskan olahan kedua, mereka berjalan masuki lobi untuk mencari minuman cincau dingin sebelum naik ke food court. Setiap kali pergi ke Pasar Atum guna membeli peralatan dapur, hiasan natal, imlek, atau lebaran, kebiasaan mereka selalu berakhir di tempat tersebut. Pilihan makanan mereka pun jarang berubah. Nasi bakar Bu Rudi ada di urutan teratas.
"Mereka pikir kita ini pasti lagi pacaran." Cahaya terkikik saat menemukan beberapa pasang mata mencuri-curi pandang ke arahnya sejak mengitari food court sambil menggamit lengan Baskara. Sesekali dia membalas pandangan itu dengan memicing atau menatap mereka lurus-lurus. "Aku juga yakin, mereka pikir aku ini bucin banget sampai-sampai nggak mau lepas gandengan. Takut kalau kamu sampai diembat cewek lain."
"Kalau gitu, jangan pernah lepas tanganmu."
Pandangan Cahaya terkunci sekian detik. Baskara menyadari telah berbicara tidak perlu dan berniat membungkus kecanggungan sesegera mungkin. Akan tetapi, kekakuan tetap tak terhalau ketika Cahaya tidak juga melepas gamitannya. Cahaya menatap kaitan tangannya sendiri, dan baru membebaskan Baskara dalam sekejap saat kepanikan mulai terendus. Keduanya mengerjap untuk melemaskan otot-otot wajah yang sebelumnya tertarik, mengetat.
"Aku pesan nasi bakar Bu Rudi dulu, ya. Beli satu bungkus atau dua? Terus, kamu mau isian ayam atau tuna? Kalau aku isian tuna," terang Baskara lekas.
Dalam ekspresi keruh, Cahaya mengangguk lambat. "Boleh, tapi satu bungkus berdua aja, ya. Tuna."
"O-okay."
Sembari menunduk, Cahaya meremas kedua tangannya di atas meja. Kecanggungan terbentuk dan muara pertanyaan memilukan seolah mengiris-iris benaknya ketika Baskara melangkah pergi. Sebenarnya kita ini apa? Pertanyaan tersebut bergaung di hati, tetapi sayangnya belum pernah lolos menyentuh ujung lidahnya.
***
Aroma khas masakan menyeruak mengisi udara food court. Sebagai tukang masak ahli, beberapa bebauan berhasil Baskara urai dan dia kelompokkan menjadi aroma penggugah selera.
Sejak Baskara menuruti ide absurd Cahaya melepas penat dengan wisata kuliner murah di pasar, dia seolah mendapatkan energi tambahan sepulangnya dari sana. Baskara tidak pernah membayangkan seorang cewek berkulit langsat dengan rambut hitam wangi urang-aring dan berlesung pipi hanya sebelah mau menginjak Pasar Atum, bukannya pergi ke bioskop atau ke pusat perbelanjaan hit di kota Surabaya. Demikianlah uniknya Cahaya di mata Baskara. Cahaya terlalu cuek, apalagi ketika sedang tidak bekerja, atau ketika bersamanya.
Tumbuh di keluarga kaya atau bersendok emas sedari lahir, Cahaya hidup bersama nenek dan kakeknya. Eyang Putri dan Eyang Kung. Kedua orangtuanya meninggal dunia saat Cahaya masih kecil. Sebagi penghiburan, hampir setiap minggu Eyang Putri mengajak cucunya itu ke pasar menggunakan angkutan umum, bukannya kendaraan pribadi. Kata Eyang Putri, kehidupan tanpa kepura-puraan berada di tempat-tempat yang terjangkau oleh semua orang. Salah satunya, pasar.
"Eyang, kapan kita ke pasar lagi?" tanya Cahaya saat mereka sudah berada di atas tempat tidur di satu malam yang dingin. Eyang Kung tidur di kasur lain.
"Besok kita ke pasar, mau?"
"Mau!"
Azan subuh berkumandang. Cahaya melompat dari kasur saat mendapati Eyang Putri tidak bersamanya. Sejak ditinggal orangtuanya, sesekali Cahaya masih terbangun dari tidurnya dan seketika merindukan dekapan orangtuanya. Di usianya yang masih bisa dihitung dengan jari, Cahaya paham, di dunia ini tidak semua hal berjalan sesuai keinginan. Ada saja pengorbanan yang harus dilalui. Mereka berkecukupan, Cahaya menyadari akan satu hal itu. Paling tidak, dia bisa meminta benda apa pun yang ada di dunia ini. Makanya, sejak kecil Cahaya berusaha menelan kesepian dan kekosongan dalam benak.
Cahaya turun dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Senyumnya merekah ketika mendapati Eyang Putri keluar dari kamar mandi.
Begitu matahari menghangat, keduanya telah berada di dalam angkutan umum. Jadwal mereka ke pasar telah ditentukan. Karena Eyang Kung harus mengurus pabrik plastik dan selalu sarapan di rumah, jadi Eyang Putri dan Cahaya hanya bisa ke pasar jika suaminya sedang libur.
Pasar yang mereka tuju tidak banyak berubah. Bangunannya terlihat masih terawat. Plang besar bertuliskan Pasar Atum di dinding luar menyambut kedatangan keduanya.
Langkah Cahaya dan Eyang Putri selalu tertuju ke satu kios kecil di lajur makanan basah. Mata Cahaya berkilatan memandangi aneka kue basah. Klepon dan getas jadi pilihan. Selanjutnya, mereka menuju satu tempat legendaris di sayap kiri Pasar Atum. Kios Jenang Sumsum Mak Yah.
Tepukan pelan di bahu Cahaya menyadarkannya dari lamunan. Dua nasi bakar terulur di meja dan Baskara memilih duduk di depan Cahaya untuk menghindari canggung.
"Lagi ngelamunin apa?" tanya Baskara setelah pantatnya menempel di kursi.
"Habis ini kita ke Jenang Sumsum Mak Yah, ya. Mau?" Cahaya tidak membalas, malahan bertanya balik.
Baskara kontan melebarkan matanya. Cahaya tertawa kecil melihat reaksinya.
"Kamu belum kenyang juga?" Baskara berdecak sembari membuka bungkus daun pembungkus nasi bakar isian tuna. "Kamu nggak bosan makan kudapan itu terus?"
"Memangnya kamu sudah bosan?" Lagi-lagi, Cahaya bertanya balik, sementara Baskara mencoba tidak terganggu dengan cara memulas senyum tipis.
"Sama sekali nggak. Kalau begitu, ayo kita tunaikan tur kecil-kecilan hari ini dengan makan makanan enak."
Kedua ujung bibir Cahaya melengkung ke atas. Hati Baskara yang belum juga menampakkan tanda-tanda akan berlabuh sedikit termaafkan. Cahaya merasa bersyukur, laki-laki itu belum pernah terlihat gagal di matanya. Hanya saja, sampai kapan tarik ulur mengenai hati ini berakhir? Cahaya merasa berpasrah bisa jadi jawaban atau bertanya sekali saja bisa membuka peluang membangun pelabuhan itu bersama-sama?
Perjalanan meniti keraguan begitu menyesakkan.
Berniat mengurangi efek ketidaknyamanan, Cahaya segera menyantap nasi bakar isian tuna di hadapannya dan mengenakan topeng cerianya kembali seperti badut di muka umum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top