32. Membakar Jembatan Pulang

Apa hal tersulit bagi Baskara sekarang? Membuat Cahaya percaya dia berniat memperbaiki hubungannya dengan orang-orang, termasuk dengannya. Belum lagi Mbok Darmi yang bekerja di dapur sering menaruh curiga padanya. Tatapannya mengusik. Termasuk, nada sumbang Prabu ketika berkunjung ke restoran Wisnu. Dia berkata, orang yang sudah nggak punya apa-apa lagi di dunia ini bisa nekad. Kamu harus hati-hati, Wisnu. Jangan lengah. Nggak ada lagi hal yang bisa menghentikannya berbuat jahat. Meskipun tidak menyebut nama, Baskara tahu kalimat itu ditujukan padanya.

Hampir sebulan ini Baskara bekerja di Depot Kamboja. Hubungannya dengan Wisnu perlahan membaik. Sesekali mereka mengobrol di halaman samping restoran ketika istirahat atau sepulang kerja, seperti malam ini. Akan tetapi, entah kenapa, Wisnu merasa Baskara masih membatasi interaksinya dengan orang-orang. Bahkan dengan Musleh yang adalah mantan anak buahnya, mereka tidak berinteraksi di luar dapur.

"Kamu nggak berubah ya," Wisnu bersuara lebih dulu sebelum duduk di sebelah Baskara supaya tidak mengejutkannya. "Merokok cuma setelah kerja."

Baskara membalas dengan kekehan. Dia sedang melamun sembari menikmati semilir angin malam. "You know me so well," balasnya sambil mengerling. Wisnu tertawa.

"Lagi mikirin apa, sih?"

"Lagi ngebayangin dapat Michelin Guide." Berkali-kali Baskara mendengar obrolan tersebut di sekitarnya sampai telinganya pengang.

"Rasanya menyenangkan, Bas. Aku yakin suatu saat kamu bisa mendapatkannya."

"Bantuin, ya," Baskara membalas. Wisnu sejenak terpaku, tidak memercayai pendengarannya. Saat Baskara mengangguk kecil, barulah wajah Wisnu berangsur berseri-seri. Dia balas mengangguk.

"Janji setelah acara lamaranmu, kamu kasih tahu aku apa saja yang harus disiapkan supaya bisa mendapatkannya," sambung Baskara.

"Pasti aku bantu."

"Terima kasih," ucap Baskara. Setelah cukup berbasa-basi, dia mencoba melancarkan rencananya selanjutnya. "Memangnya sudah sampai mana persiapan lamaranmu? Kalau kalian berkenan... maksudku, kalau kamu dan Cahaya butuh bantuanku, jangan sungkan-sungkan."

Keraguan sejenak menghampiri benak Wisnu, tetapi dia tidak ingin Baskara tersinggung apalagi salah paham dengan kebisuannya. Bukan tawaran pertolongan Baskara yang membuatnya gusar, tetapi ada hal lain menyita perhatiannya.

"Malah bengong." Baskara mencoba memutus lamunan Wisnu.

"Sori, Bas." Wisnu mendengkus. Baskara sontak khawatir karena takut rencananya gagal jika Wisnu tidak menerima bantuannya. "Sebenarnya aku masih kepikiran satu hal. Aku dan Cahaya sepakat acaranya sederhana. Kami juga sepakat tukar cincin dan makan malamnya di Depot Kamboja supaya praktis. Undangan juga terbatas, kerabat dan beberapa teman, termasuk kamu. Masalahnya, aku nggak mau pakai orang luar atau WO. Penginnya pakai orang sendiri."

"Coba diperjelas lagi, Nu. Terus terang aku bingung."

Wisnu berdeham. Baskara semakin takut jika Wisnu mencari-cari alasan untuk menolak bantuannya. "Harus ada orang yang aku percaya buat urusin venue dan dapur, tapi aku nggak mau orang-orang yang aku undang sibuk pas acara atau di dapur. Kalian harus ikut merasakan kebahagiaanku―"

"Aku saja yang di dapur," sergah Baskara.

"Jangan, Bas. Aku kan sudah bilang tadi kalau―"

"Nggak ada tapi, Nu. Lagi pula, aku kan masih bisa lihat kalian tukar cincin. Sebelum acara, mungkin hanya fokusku saja yang terbelah."

Masih tersisa raut waswas Wisnu saat bertanya untuk memastikan, "Kamu nggak keberatan?"

"Sama sekali nggak."

Baskara mendengar helaan napas panjang Wisnu dan rekahan senyuman yang mulai terbentuk, tanda masalahnya sudah menemui jalan keluar. "Terima kasih, Bas."

"Sama-sama." Sejenak menimbang-nimbang, Baskara kemudian mulai mengeksekusi rencananya. "Nu, tadi kamu bilang acara lamaranmu sederhana saja. Kamu ingat nggak, kalau dulu kita pernah datang ke acara semacam itu dan bukannya dapat buffet, tapi sajian makanannya pakai piring terbang?"

Bola mata Wisnu seketika berbinar. "Kok kita sepemikiran ya, Bas. Kami pengin acara nanti tamu undangan duduk di kursi saja. Pasti khidmat."

Baskara menjentikkan jarinya. "Menu rawon kayaknya cocok, Nu."

"Boleh."

"Pokoknya aku yang bikin rawonnya!"

"Tentu saja," ucap Wisnu bersemangat.

Kedua orang itu mengadu kepalan tangan. Tos. Tawa menghambur, sampai seseorang membuyarkan kegiatan mereka. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Cahaya berdiri di hadapan Baskara dan Wisnu yang terdiam memandanginya. Mata perempuan itu nyalang, tertuju kepada Baskara seorang.

"Sebenarnya apa rencanamu, Bas?" Cahaya bertanya langsung, lebih ke arah menuduh.

"Ada apa, Cahaya?" timpal Wisnu, sementara Baskara masih terperangah.

Cahaya berpikir sejenak, mempertimbangkan apakah Wisnu perlu tahu dan mendengar secara langsung alasan Baskara meminta pekerjaan di Depot Kamboja. Namun, Cahaya merasa Wisnu belum perlu tahu sejauh itu, mengenai motif Baskara muncul lagi di hadapan mereka. Gigi perempuan itu bergemeletuk menahan amarah sejak mengetahui mantan koleganya bekerja untuk calon suaminya.

"Nu, boleh aku ngobrol sebentar dengan Baskara? Ada hal yang perlu kami selesaikan," Cahaya memutuskan.

Dengan berat hati, Wisnu mengangguk dan meninggalkan kedua orang itu untuk memberikan mereka kesempatan menutup kisah masa lalu, meskipun dia percaya Cahaya sudah menutupnya jauh-jauh hari.

Setelah Wisnu pergi, Cahaya masih berdiri dan melipat tangan di depan dada. Dia masih memilah-milah kalimat paling menyakitkan untuk laki-laki kurang ajar di hadapannya itu saat Baskara berdeham guna memecah kesunyian. Perhatian Cahaya langsung tertuju padanya.

"Aku mau minta maaf sama kamu, Aya. Aku sadar sampai pertengkaran terakhir kita, aku jadi sosok yang menyebalkan dan nggak jelas maunya apa."

"Iya."

Hening, menjalar. Dingin menyergap.

"Cuma, iya?" Baskara bersuara.

Mendengarnya, sontak Cahaya membelalak. "Memangnya kamu berharap aku jawab apa? Oh, itu hanya perasaanmu saja Bas, gitu? Nggak. Kenyataannya kamu memang seberengsek itu Baskara, dan selama ini kamu nggak menganggap perasaan orang di sekitarmu, khususnya aku, sampai-sampai aku muak dan emosiku meledak tanpa bisa aku kendalikan lagi. Bodohnya lagi, kenapa aku nggak meledak sejak dulu." Cahaya berdecak, kemudian mendesah dan mengempaskan pantatnya di kursi sebelah Baskara dengan sisa-sisa emosi. "Aku mungkin sudah gila menunggumu selama itu. Aku kapok, Bas!" katanya jujur.

Seperti salah tempat, Baskara tergelak seolah menemukan kembali kekasih hatinya. Baskara percaya diri, Cahaya tidak akan mungkin bisa marah lama-lama padanya.

Melihat Cahaya memicing dan seperti ingin menelannya bulat-bulat, tawa Baskara berangsur menipis dan lenyap. Sejurus kemudian, Baskara teringat akan sebuah pengkhianatan yang teramat pedih tertulis di dahi Cahaya.

"Tapi jujur," sambung Cahaya. "Aku sudah nggak tertarik lagi padamu, dan aku nggak akan minta maaf untuk hal itu." Sebelum melanjutkan kalimatnya, Cahaya menatap ke kedalaman mata Baskara, masih penasaran apakah akan ada kerapuhan di dalam sana. "Dan sekarang, aku bisa menarik kesimpulan. Kita sepertinya cocok jadi teman, bukannya pasangan," kalimat tersebut Cahaya tuturkan dengan nada datar, tetapi efeknya bagai menghunjam jantung Baskara.

"Aku juga merasa begitu." Baskara memaksakan diri tersenyum. Makian seolah merangkak naik melalui tenggorokannya, tetapi ditahannya setengah mati. "Dan aku nggak akan mengucapkan selamat atas pertunanganmu dengan Wisnu kalau kamu menunggu aku mengatakannya."

"Kita impas."

Mereka beradu tatap beberapa detik dengan cengiran canggung sebelum Cahaya pamit kembali ke dalam restoran.

Ironis.

Sembari menengadah memandang langit bertabur bintang, setitik cairan bening meleleh dari ekor mata Baskara sebelum diusapnya secara serampangan. Dia merasa pertimbangannya telah menemui babak akhir. Sudah tidak ada jalan kembali karena Baskara telah membakar jembatan untuknya pulang. Dia juga mengamini perkataan Prabu, seseorang yang nggak memiliki siapa-siapa lagi di dalam hidupnya nggak akan segan melakukan tindakan nekad.

***

Beberapa waktu kemudian.

Ada satu ungkapan. Mencintai tak harus memiliki. Baskara merasa kalimat tersebut kurang lengkap dan bermaksud menggenapinya dengan, kalau kita tidak bisa memiliki seseorang yang kita cintai, maka mereka (seseorang yang kita cintai dan seseorang yang dicintai atau mencintainya) juga tidak boleh saling memiliki.

Hari ini Depot Kamboja tutup. Beberapa jam lagi akan dilangsungkan acara lamaran. Cahaya tampak anggun dengan kebaya putih beraksen melati sementara Wisnu terlihat gagah mengenakan kemeja batik. Keduanya tampak bahagia.

Restoran didekorasi sederhana dengan menghadirkan banyak bunga hidup, mulai krisan sampai peoni. Meja dan kursi ditata memanjang. Dua kursi diletakkan di panggung kecil. Tempat untuk Wisnu dan Cahaya bertukar cincin pertunangan nantinya.

Beberapa tamu undangan mulai berdatangan. Mereka berbincang bagai dengung tawon di telinga Baskara.

Sama seperti venue untuk acara lamaran, dapur tampak semarak. Dengan komando dari Baskara, mereka menyiapkan makanan pembuka, hidangan utama dan makanan penutup dengan gerakan tertata. Rawon sudah dimasak sehari sebelumnya, dan sekarang sedang dipanaskan. Khusus makanan berkuah gelap itu, cara penyajiannya tidak bisa dilakukan mendadak jika menginginkan hasil maksimal.

Sebelum acara berlangsung, Baskara sempat dibuat dilema ketika tahu Angger datang dan mengabarkan kepadanya untuk segera mengurus urusan administrasi guna bekerja di kapal pesiar bersamanya. Angger juga memberi kabar gembira lain jika dia boleh membawa satu lagi asisten untuk membantunya bekerja di kapal pesiar. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi Angger untuk tidak membawa Dani bersamanya.

Tidak berhenti sampai di situ, sebelum Baskara kembali ke dapur, eyang putri Cahaya berjalan dengan tongkatnya tanpa Mbok Supi, menuju arah Baskara yang masih memandangi penataan tempat acara. "Apa kabarmu, Bas?" tanyanya lembut.

Baskara mencium punggung tangan Eyang sebelum membalas, "Baik. Eyang apa kabar?"

"Kabarku baik."

Dada Baskara dipenuhi kehangatan mendengarnya. Dia tidak menyangka, eyang Cahaya masih mengenalnya. Padahal, mereka hanya bertemu beberapa kali.

"Aku selalu menantikanmu di rumah," Eyang melanjutkan.

"Oh...."

Eyang lalu mengusap kedua bahu Baskara dan menatapnya seperti seorang nenek kepada cucunya. "Jodoh tidak ada yang tahu ya, Bas. Aku kira Cahaya akan berjodoh denganmu. Ternyata, tidak. Jauh sebelum hari ini, Eyang selalu mendoakan kebahagiaan kalian. Semoga setelah ini jodohmu didekatkan dan dimudahkan ya, Bas."

"Amin. Terima kasih doanya, Eyang."

Kalimat tersebut masih berputaran di kepala Baskara sampai eyang Cahaya kembali ke tempat duduk dan Baskara beringsut ke dapur.

Tidak berapa lama, kegiatan di dapur mulai longgar. Baskara meminta Musleh mencicipi rawon buatannya dan kedua jempol mantan anak buahnya itu menyembul.

Selesai menyiapakan empal gepuk untuk segera ditata di atas nasi sebelum disajikan bersama kondemen lain yang tak kalah pentingnya, Baskara memekik, "Astaga," kemudian menepak pelan dahinya sendiri. Pandangannya langsung terarah kepada Musleh.

"Ada apa, Pak?" tanya Musleh hati-hati.

"Aku lupa kalau rawon nggak pakai kecambah yang direbus." Baskara berkacak pinggang, mematung. "Kira-kira di gudang masih ada kecambah atau nggak, ya?" Dia lalu meneleng kepada Musleh. "Tolong periksa kecambah di gudang bahan makanan. Kalau ada, bawa ke sini."

Untuk seorang Baskara melupakan hal krusial seperti itu jelas membuat Musleh berpikir, tetapi dia tidak berkomentar apa-apa selain pergi ke gudang untuk secepatnya menyelesaikan persoalan kecambah.

Begitu Musleh beranjak pergi, detak jantung Baskara meningkat tajam. Dia punya waktu terbatas untuk mengambil mangkuk saji, menuang separuh kuah rawon dari panci dan mengeluarkan botol bening dari dalam saku yang dibawanya ke mana-mana. Kuah rawon akan menyamarkan rasa dan aroma cairan bening yang kini sudah tertuang sepenuhnya di dalam mangkuk. Baskara melakukan semua itu dengan setenang mungkin, tanpa perlu mencicipinya lagi. Sebab, botol bening berisi racun yang didapatnya dari sebuah situs gelap akan membinasakan semua orang yang datang ke acara lamaran Wisnu dan Cahaya, tanpa pandang bulu. Termasuk, Angger dan Eyang yang disayanginya. Oh, dan jangan lupakan Prabu si bajingan itu. Orang pertama yang menorehkan luka paling dalam di hatinya.

Baskara benar-benar berkonsentrasi dengan mahakaryanya itu. Tatapannya tidak berpaling dari mangkuk saji. Bahkan, saat Musleh kembali dan menyiapkan semuanya, termasuk kecambah mentah, Baskara seperti tidak ingin seorang pun mencicipi rawon buatannya sebelum kuah tersebut dituang di atas nasi dan disajikan kepada orang-orang yang sedang berbahagia. Sebab, acara tukar cincin telah selesai beberapa menit yang lalu dan Baskara sama sekali tidak berminat melihatnya.

"Pak Baskara, rawonnya sekarang," beri tahu salah satu karyawan restoran.

"Iya."

Dengan cekatan, Baskara memindahkan mangkuk saji berisi resep rahasianya ke meja. Terus terang, Baskara tidak bisa mengenyahkan wajah tegangnya saat piring-piring racikan rawon mulai mendekat ke arahnya. Dia merasa kekecewaan hatinya harus mendapatkan penghiburan yang setimpal. Ini kan yang kalian semua mau? Bersama-sama sampai maut memisahkan?

Untuk akhir seperti itulah, Baskara bersedia menanggung seluruh dosanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top