31. Tekad Membulat
Tempurung kepala Baskara bagai dihantam balok kayu. Dia linglung―lupa waktu, lupa hari, lupa makan. Sembari menatap kosong dinding di hadapannya, Baskara duduk di lantai kamar, punggungnya melengkung dengan kaki ditekuk dan siku bertumpu pada lutut. Dia merasa bukan hanya hidupnya yang hancur, tetapi nasib buruk berhasil melumatnya sampai habis. Ada penyesalan membuka blokir IG Wisnu dan melihat unggahan barunya. Di salah satu feed IG memperlihatkan sebuah cincin melingkar di jari manis seorang cewek. Ikon love tertera pada statusnya. Tanpa menyebutkan nama pun, Baskara tahu siapa pemilik jari tersebut. Jari Cahaya.
Alam pikiran Baskara sontak terguncang. Dia merasa sudah mendekati gila.
"Apa dengan kamu diam seperti ini masalahmu akan beres?" Hadi, bapaknya, seolah hadir dan ikut duduk di sebelah Baskara. Dari sosok yang diharapkannya hadir, justru Hadi yang muncul, bukan ibunya.
Putranya menggeleng lemah. "Selain mengalah, sepertinya menyerah akan jadi nama tengahku, Pak."
Baskara mendengar tawa kecil bapaknya. Tawa yang jarang diumbar.
"Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Kenapa bapak dulu selalu menyuruhku menyerah dengan dalih berpasrah?" Baskara menoleh, menunggu jawaban.
"Karena kekecewaan selalu hadir menyakitkan jika kita terlalu berharap akan sesuatu dan yang didapat malah kekalahan atau kegagalan. Bapak tidak mau kamu mengalaminya―"
"Makanya bapak nggak pernah lagi minta sesuatu setelah kematian ibu?"
Hadi mengangguk kecil. "Sejak permintaan bapak atas kesembuhan ibumu tidak terkabul, bapak tidak lagi minta apa-apa dalam hidup ini."
Tidak, tidak. Bukan itu jawaban yang aku mau, Baskara membatin dan menggeleng kuat-kuat.
"Lalu apa maumu, Bas?" Hadi bertanya seolah bisa membaca pikiran putranya.
"Mengambil apa yang menjadi hak-ku. Kalau perlu, merebut apa yang seharusnya menjadi milikku," ucap Baskara dengan dada naik turun karena menahan emosi. Tatapannya lurus, membentur dinding kamarnya.
"Kalau begitu lakukanlah. Namun, ada yang perlu kamu ingat." Hadi sengaja memberi jeda dengan ikut menatap lurus. "Terkadang, menyerah juga bisa jadi jawaban atas segala yang kamu inginkan dalam hidup, sebelum terlambat dan supaya hatimu tenang. Pilihan ada di tanganmu, Bas."
Baskara kembali menoleh. "Dalam kondisi terpuruk pun, kata menyerah nggak pernah ada dalam kamus hidupku, Pak!"
"Aku tahu kamu akan menjawabnya seperti itu." Hadi memamerkan senyumnya lagi, dan Baskara belum percaya dengan apa yang dilihatnya kini. "Seharusnya kamu gunakan energimu untuk menata hidupmu kembali. Misal, buka warung di Jatikalen atau ikut Pak Angger kerja di kapal pesiar. Siapa tahu hati dan pikiranmu bisa menemukan ketenangan di sana."
"Bapak sok tahu!" Gelengan kuat-kuat Baskara berhasil menggusah keberadaan Hadi di sebelahnya. Dia kini sendirian di dalam kamarnya yang tampak seperti kapal pecah.
Tersadar dari lamunan, pandangan Baskara tertambat pada sebuah botol berisi cairan di atas nakas. Sebuah ide menari-nari di atas kepalanya.
Baskara kemudian bangkit, segera mandi dan mengganti pakaian. Ada hal penting yang perlu dilakukannya sekarang.
***
Ada gelenyar jengah mengendap di dalam dada. Baskara menyesal tidak tidur semalam. Sebab, kini kantung mata dan lingkaran hitamnya memperlihatkan bahwa hidupnya sedang nelangsa. Ada keraguan ketika harus menunjukkan kelemahannya di hadapan seterunya, tetapi Baskara cepat-cepat mengusirnya pergi. Dia bertekad ingin menyudahi kemelut dalam hati dengan cara menemui musuhnya.
Untuk pertama kalinya, Baskara menginjakkan kakinya di halaman Depot Kamboja. Nuansa kental budaya Jawa sudah tampak dari janur kuning tinggi yang dipasang di gapura pagar sebelum mobil masuk, seperti penanda ada gawe atau acara pernikahan adat.
Sambutan Wisnu dengan tatapan hangatnya sungguh memuakkan. Namun, untuk memuluskan rencananya, Baskara harus memasang senyuman untuk seteru abadinya itu. Kalau perlu, selebar-lebarnya. Bahkan, Baskara tidak memercayai dirinya sendiri mengetik pesan untuk Wisnu supaya mau bertemu dan mengobrol dengannya.
"Akhirnya kamu ke sini juga, Bas." Wisnu melangkah mendekat dengan begitu bersemangat.
"Maaf, aku baru bisa datang ke restoranmu sekarang," Baskara membalas dengan mengikat kuat-kuat setan dalam pikirannya supaya tidak menghantam orang yang telah menghancurkan hidupnya itu.
"It's okay."
Kini, Wisnu berdiri di hadapan Baskara dengan senyum tak kunjung raib. Untuk memaksimalkan performanya, Baskara menarik tubuh Wisnu mendekat, kemudian memeluknya. Hangat. Baskara bisa melihat kelegaan dari wajah mantan sahabatnya itu, apalagi saat Wisnu mengakhirinya dengan helaan napas begitu melepaskan pelukannya. Bola matanya berkaca-kaca.
"Kamu harus coba semua masakanku, Bas. Kamu boleh pesan semuanya!" Wisnu menarik tangan teman lama dirindukannya itu supaya ikut masuk ke restoran.
Baskara menurut, berkelakar, "Kalau tahu kamu menjamuku dengan bebas seperti ini, aku akan mengosongkan perut sejak kemarin."
Mereka tertawa seperti waktu kecil dulu, dan hal itu menambah hangat di hati Wisnu.
Benar saja, semua menu masakan dan minuman Depot Kamboja seolah tumpah di hadapan Baskara. Mejanya penuh, sampai Baskara berdecak dan berkata cukup. Dia juga bilang kepada Wisnu untuk menemaninya makan dan Wisnu mengangguk-angguk dengan mata berbinar.
"Kamu tahu ini pemborosan kan, Nu? Walaupun kamu memberikannya ke yatim piatu sepertiku." Baskara bercanda sambil mengunyah makanannya.
"Nggak apa-apa, Bas. Udah, jangan bawel. Makan aja lagi. Ini nih kesukaanmu!" Wisnu mengambil udang siram saus telur asin kegemaran Baskara.
"Terima kasih." Baskara kembali menikmati udang pemberian Wisnu di piringnya. "Aku mau minta maaf karena beberapa waktu lalu pernah memukulmu, dan telat bilang maafnya."
Tangan Wisnu sempat membeku di udara sebelum meletakkan sendok udang siram saus telur asin. Hening terbentuk, mendadak.
Wisnu menelan ludah dengan susah payah, dan berakhir dengan sedikit menunduk. "Aku memang pantas dipukul―"
"Nggak ada seorang pun yang pantas dipukul, Nu."
"Aku pantas mendapatkannya. Selain nggak tahu diri, aku pikir aku selalu menghalangi kebahagiaanmu dalam hal apa pun," Wisnu bersikukuh.
Baguslah kalau kamu sadar. Harusnya respons-ku bukan hanya memukulmu tapi membunuhmu, Baskara membatin. Dia segera memasang wajah seramah mungkin supaya kata hatinya tidak berubah menjadi kenyataan.
"Aku nggak akan membenarkan kelakuanku selama ini, tetapi aku merasa aku menjadi penjahat di matamu sejak aku lebih memilih pergi ke Italia untuk sekolah. Aku berutang ribuan maaf padamu," Wisnu menambahkan.
Baskara berhenti mengunyah. Dia tidak menyangka Wisnu akan memulai obrolan ini sebelum dia bertanya. "Itu masa lalu, Nu. Sudah, lupakan saja," ada sedikit penyesalan kenapa mengatakan hal itu, tetapi Baskara tidak mungkin menarik kata-katanya kembali.
"Nggak bisa, Bas," Wisnu memupuk nyalinya untuk menjelaskan segala hal yang selama ini menjadi jurang untuk persahabatan mereka. Dia merasa momen kali ini mungkin saja tidak akan berulang. "Waktu itu aku nggak ada pilihan. Papa memberiku pilihan sulit. Aku harus tetap berangkat ke Italia dan biaya berobat bapakmu ditanggung papaku." Wisnu memandang nanar Baskara. "Kalau saja aku tahu itu cuma akal-akalannya saja, aku nggak akan memilih hal itu. Aku bahkan sudah nggak mau berhubungan lagi dengan Papa sejak itu. Aku menghukum diriku sendiri dengan cara itu."
Satu tangan Baskara mengepal di atas pangkuan. Hukuman itu kurang berat, Nu, pikirnya. Dia ingin mengingatkan Wisnu, sebelum drama yang diceritakannya barusan, mantan sahabatnya itu telah menikamnya lebih dulu dari belakang. Dia merebut beasiswa sekolahnya. Namun, logikanya bermain. Baskara harus memasang tampang malaikatnya supaya Wisnu tidak curiga. "Sudahlah, Nu. Aku sudah melupakannya."
Wisnu menghela napas panjang. Dadanya terasa lapang. "Terima kasih."
Apa katamu? Terima kasih? Hei, aku nggak akan melupakannya, dan nggak akan pernah memaafkanmu! Baskara berseru dalam hati. Kamu membuatku sengsara.
"Lalu, soal kenapa aku membangun Depot Kamboja, kamu pasti mengingatnya. Kita pernah berjanji saling mengunjungi kalau kita punya restoran masing-masing."
"Aku yakin bukan itu alasannya. Kamu sengaja mau bersaing denganku, kan?" Baskara memasang tampang serius saat mengatakannya. Wisnu mengerjap, tidak enak hati. "Bercanda, Nu," imbuh Baskara diselingi dengan tawa. Wisnu agak canggung saat ikutan tertawa. "Dan sekarang lihatlah. Aku ada di sini kan, mencoba masakanmu yang jauh lebih berkembang sejak terakhir kali kamu mau membunuhku dengan olahanmu yang nggak enak itu."
Setelah tawa keduanya meniris, suasana makan pun semakin cair.
Ada satu pertanyaan berkejaran di kepalan supaya terungkap. Baskara tidak bisa menahannya lagi. "Terus, kenapa kamu merebut Cahaya dariku?" akhirnya, pertanyaan itu muncul juga.
Hati Wisnu mencelus. "Kalau itu, aku benar-benar minta maaf, Bas. Aku jatuh cinta dan aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuang perasaanku itu, tapi tetap nggak bisa."
Mereka beradu tatap. Wisnu tahu ada luka menganga di sana. Kemudian, Baskara menunduk, tampak kalah dan tidak berdaya. Kedua tangannya menggenggam erat di bawah meja dan rasanya ingin menghadiahi mantan sahabatnya itu bogem mentah. Namun, dia ingat-ingat kembali tujuannya ke restoran menemui Wisnu.
"Ya, sudah. Mungkin Cahaya memang jodohnya bukan denganku," Baskara berkata lemah.
"Syukurlah kamu memaafkanmu."
"Dan mulai sekarang, aku akan mendukungmu. Apa pun itu. Dan, selamat ya Nu, lamaranmu akhirnya diterima Cahaya. Dia lebih cocok denganmu."
Wisnu tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengangguk, haru. Ucapan terima kasih membanjir dari mulutnya.
"Tapi, aku merasa kamu sudah banyak merugikanku," Baskara melanjutkan kalimatnya. Wisnu sontak melongo.
"Maksudmu?"
"Sudah seharusnya aku minta kompensasi padamu."
Bola mata Wisnu membulat.
"Tenang saja. Aku nggak akan minta uang padamu. Aku hanya minta bantuanmu. Itu pun kalau kamu bersedia membantu."
Keraguan tebersit dalam benak Wisnu sebelum dia bertanya untuk memastikan, "Bantuan apa, Bas?"
"Aku ingin mengumpulkan modal untuk membuka warung di kampung, di Jatikalen sana, tetapi aku belum punya uang cukup sekarang. Kamu tahu sendiri aku bangkrut." Baskara memberi jeda. "Aku ingin kerja di dapur Depot Kamboja kalau kamu buka lowongan kerja."
Setelah berhasil menelaah permintaan sahabatnya itu, Wisnu langsung memasang wajah semringah. Dia mengangguk-angguk. Air matanya mulai menggenang. "Kalau kamu mau, kamu bisa mulai kerja besok, Bas!"
Keharuan Wisnu sudah bisa Baskara prediksi sebelumnya. Seterunya itu tidak akan mungkin menolak permintaannya. Baskara tidak menyangka, mengelabuhi Wisnu bisa semudah ini. Tahu hasilnya akan seperti ini, sudah dari dulu dia melaksanakan rencananya itu. Dasar bodoh!
Baskara dan Wisnu melanjutkan mengunyah, seolah baru menghabisi kesalahpahaman yang terpelihara selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top