29. Demang Joyo Ngadiro

Waktu seolah berlari kencang. Hampir sebulan Baskara tinggal di Jatikalen, dan satu kata yang bisa mewakili suasana hatinya adalah betah. Kesibukan membersihkan rumah, membantu Sulis di warung, dan berkendara bersama Robi menjadikan hari-harinya sibuk. Segalanya terasa menenangkan. Sayangnya, dia merasa dunianya baik-baik saja di siang hari. Begitu malam tiba, kesunyian membungkusnya hingga tersisa kepedihan. Berkali-kali mimpi buruk pun hadir. Kali ini, Baskara memegang sebotol bening cairan dan berniat menenggaknya. Namun, teriakan nyaring berhasil menghentikannya. Baskara mendongak. Sepi. Sejurus kemudian, dia kembalikan pandangannya. Botol di tangannya sudah terkuras separuh, dan Baskara yakin bukan dia pelakunya.

Seolah alur cerita melompat-lompat, Baskara kini berada di sebuah pemakaman. Nisan tak bernama menarik perhatiannya.

Belum juga Baskara tersadar, mimpi memboyongnya ke sebuah restoran dalam satu kedipan mata. Dia melihat orang-orang mematung, memandang ke satu arah. Ketika Baskara mengikuti arah pandang mereka, dia memekik mendapati beberapa orang yang dibencinya tengah menggelepar-gelepar meraih udara. Tangan mereka memegangi leher. Bola matanya seakan mencelat.

Begitu ketenangan direngkuhnya kembali, perlahan, Baskara menyeringai. Kepuasan menggenangi batinnya. Sedetik kemudian, seringai itu berubah kekehan. Orang-orang yang mematung sebelumnya, melebarkan mata, kemudian menunjuk dan berteriak. "Dasar pembunuh!"

Seperti terlempar dari alam mimpi, Baskara terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dahinya berhias titik-titik peluh. Bahunya naik turun, dengan debar jantung tak beraturan.

Hal pertama yang dilakukan Baskara setelah sedikit tenang adalah memastikan keberadaannya. Birai-birai jendela dengan tirai brokat tipis tertiup angin, menyadarkan bahwa dia sedang di kamarnya yang temaram. Ditolehnya benda di atas nakas, isi botol bening yang muncul dalam mimpinya masih utuh. Baskara kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Dia lalu teringat obrolannya bersama Robi saat terakhir kali nyekar.

"Aku pernah ikut bapakmu ke kuburan Mbah Demang di Kedongrejo," sebut Robi saat keduanya berjalan bersisian menuju makam orangtua mereka. "Ingat, Bas?"

"Mbah Demang Kedongrejo?"

"Iya, bapakmu pernah mengajak kita ke sana naik bus. Masa kamu lupa?" Robi menggeleng-geleng dan berdecak, tidak percaya dengan daya ingat teman masa kecilnya yang payah.

Anggukan Baskara menambah raut frustrasi Robi.

"Kira-kira, kamu memberitahuku soal ini dalam rangka apa?" Baskara menelisik maksud Robi. "Apa kita perlu ke sana?"

"Kalau aku sih, nggak. Yang perlu ke sana mungkin kamu, Bas. Soalnya, bapak dan ibumu dulu sering ke sana. Siapa tahu makam itu penting."

"Aku tahu."

Pembahasan makam Kedongrejo terhenti ketika mereka sampai di mulut gapura makam. Baskara tidak menyangka, pembahasan itu akan mengganggu jam tidurnya dan membuatnya terjaga.

Di hari yang sama, Baskara memutuskan memesan ingkung atau ayam panggang utuh, dan berniat mengunjungi tempat tersebut.

***

Gapura besar bertuliskan makam Kedongrejo terlihat. Di sekelilingnya, tanaman beluntas setinggi pinggang orang dewasa dan berfungsi sebagai pagar tampak terawat. Tinggi dan lebarnya sama, dan sepertinya dipapras secara berkala.

Hari ini Baskara berpakaian rapi. Pilihan kemeja biru tua polos dengan celana kain gelap melengkapi penampilan necisnya, bersepatu.

Matahari mulai turun sewaktu Baskara memarkirkan mobilnya cukup jauh dari gapura makam karena setapak semakin menyempit. Dia melangkah dengan perasaan waswas seraya menoleh ke kanan-kiri. Tangan kanannya memondong ingkung, sementara tangan kirinya mencangking seplastik kembang setaman.

Terdapat setapak berlantai batu-bata berlumut di sepanjang gapura sampai makam pertama terlihat. Baskara berhati-hati setiap melangkah. Tengkuknya mendadak meremang, sebab sejauh mata memandang tidak seorang pun terlihat. Siapa juga yang mau ke makam saat matahari hampir tenggelam? Bodoh, seharusnya nyekarnya pagi saja, umpatnya dalam hati. Jika saja ingkung yang dipesannya dari warung makan datang tepat waktu, dia tidak mungkin nekat ke makam pada sore hari. Bukannya pelit, dia hanya terlalu menghargai makanan dan tidak sanggup membuangnya, apalagi menghangatkannya.

Tidak ingin membuang-buang waktu, bola mata Baskara langsung memindai satu persatu batu nisan yang dilaluinya. Dia bahkan sampai menggosok sebuah nisan makam berumur, berharap menemukan nama yang dicarinya.

Hampir setengah jam menunduk dan berjalan, Baskara menegakkan punggungnya kembali. Pinggangnya kaku. Dia lalu meneruskan pencariannya dengan menggunakan alat bantu senter dari ponselnya karena pandangannya mulai memburam. Namun sayangnya, pemakaman terlalu luas untuk dijelajahi dalam kurun waktu singkat. Sepertinya, mustahil menemukannya cepat.

Tanpa Baskara sadari, sebentuk tangan tersampir di pundak setelah tepakan pelan mendarat. Refleks, pekikan terbentuk. Jantung Baskara seperti turun ke dengkul. Sesaat, keraguan hadir. Otaknya segera memastikan, tangan tersebut adalah tangan manusia, sementara hatinya meyakini kalau penunggu makam sedang ingin menyapa, mengajaknya berkenalan. Amit-amit jabang bayi, sebutnya dalam hati.

Bersama pompaan jantung yang mengencang, Baskara memberanikan diri menengok. Seorang kakek-kakek atau sesosok sepuh, berbadan ceking dan berpotongan plontos dengan mata cekung, berdiri dengan raut datar.

Baskara meneguk ludahnya susah payah sebelum bertanya, "Ngapunten, nyuwun sewu (Maaf, permisi), Mbah. Nami kulo (Nama saya), Baskara. Menawi semerap sarehane (Apakah tahu makamnya), Demang Joyo Ngadiro?" tanyanya dalam bahasa Jawa halus.

Lagi-lagi ludah Baskara susah merosot melewati kerongkongan, melihat wajah tidak bersahabat di hadapannya. Sepertinya menyebut nama makam tersebut membuat pria tua di depannya tidak senang. Akan tetapi, paling tidak, kakinya menapak dan ada anggukan kecil saat membalas. Baskara segera menghela napas lega.

Tanpa berkata-kata, kakek-kakek itu berjalan lebih dulu dengan langkah kecil, dan seketika berhenti kemudian berbalik badan.

Terdiam beberapa saat lamanya, Baskara tersadar saatnya mengekorinya. Kakek-kakek itu kemudian lanjut melangkah melewati sisi-sisi makam sampai ke tengah pemakaman.

Mendadak, kakek-kakek itu menghentikan langkahnya kembali sebelum berbalik badan dan menatap Baskara. Yang ditatap tergeragap mendapati aksi tersebut. "Jenengku (Nama saya) Sentot. Kuncen kuburan iki (Penjaga makam ini)," katanya seperti menggumam saat memperkenalkan diri.

Mencoba untuk menormalkan kedua alisnya yang bertaut, Baskara mengangguk lambat. "Inggih (iya), Mbah Sentot. Matur nuwun (Terima kasih) Mbah purun ngateraken kulo (mau mengantar saya)."

"Podo-podo (Sama-sama)."

Selepas perkenalan singkat itu, mereka melanjutkan perjalanan. Entah dari mana datangnya, ketenangan mampu Baskara raih kembali dalam hitungan detik. Perasaan waswas lenyap. Sentot, sang kuncen makam Kedongrejo membuatnya merasa aman dari gangguan makhluk gaib.

Sampai akhirnya mereka tiba di satu makam berteralis besi, cukup luas dan berundak terbuat dari batu-bata.

Sentot kemudian menyipit mengarahkan pandangannya kepada Baskara. Dahinya yang berlipat-lipat, terlihat bertambah dalam ceruknya. Dia terheran mengetahui seorang pemuda mencari makam seseorang yang sudah berusia lebih dari seabad. Bahkan, menurutnya, makam tersebut bukanlah makam biasa. Tidak banyak orang mengetahuinya. Menilik waktu nyekar pun, sepertinya tidak ada yang melakukannya saat matahari sebentar lagi amblas.

"Siapa namamu, Mas?" Sentot mengulangi pertanyaannya dengan nada medok yang kentara.

"Baskara, Mbah," balasnya singkat.

"Mas Baskara." Kakek-kakek itu mengangguk-angguk, mengulangi. Telunjuk Sentot terarah ke satu makam.

Dalam diamnya, Baskara melayangkan pandang ke makam yang ditunjuk, di dalam pagar berteralis besi berbentuk persegi. Dia membaca sebuah plang berpenyangga, bertuliskan: Ki Ageng Sapto Mangundirjo. Dahi Baskara mengerut, meragukan apa yang diterangkannya sebelumnya. Bukankah aku tanya makam Demang Joyo Ngadiro? Apakah kakek-kakek ini nggak paham maksudku?

Sentot berdeham cukup keras, hingga membuat Baskara tersentak.

"Di sebelah makam Ki Ageng Sapto Mangundirjo, Mas Baskara. Nisannya memang tidak ada namanya," kata Sentot seolah bisa membaca pikiran Baskara.

"Oh. Iya, Mbah."

Tanpa menunggu lagi, Sentot membuka pintu teralis menuju makam. Sebelum menyadari perihal ganjil mengenai makam di hadapannya, Baskara sudah melungsurkan ingkung yang dibawanya kepada Sentot. Untungnya, kakek-kakek itu menerimanya tanpa banyak tanya dan hanya mengucapkan terima kasih.

Akan tetapi, belum juga perihal makam terjawab, kerut di dahi Baskara terbentuk kembali. Sentot ikut duduk di sebelahnya.

"Sebelum Mas Baskara nyekar, Mas juga boleh tanya-tanya ke saya soal makam Mbah Demang," Sentot menerangkan sebelum diminta.

"Mbah Demang?"

Sentot mengedikkan dagunya ke arah makam sederhana―bahkan terlalu sederhana, melihat nisannya seukuran batu bata berlumut dan termakan usia―di depan mereka.

Mengetahui maksud kakek-kakek itu, Baskara tidak melanjutkan bertanya.

Bau hujan masih pekat di udara ketika Baskara mulai mengaduk kembang setaman dalam plastik yang dibawanya. Aroma kembang kamboja kuburan mulai terendus, dibawa kesiut angin melenakan. Mulutnya segera komat-kamit membaca doa. Matanya memejam dengan tangan menengadah setelah meletakkan sementara waktu kembang setaman yang dibawanya, sedangkan Sentot tidak berkata apa-apa selain tangannya terampil mencabuti gulma yang sebentar lagi menunjukkan kuasanya.

Baru saja Baskara mengusap wajahnya dengan sebelah tangan selepas berdoa dan hendak menaburkan kembang setaman, Sentot berbicara, atau lebih tepatnya melemparkan pertanyaan, "Mas Baskara tidak curiga kenapa nisannya tidak bernama?"

Pertanyaan tersebut berhasil memantik rasa ingin tahu Baskara. Dia menoleh, memandangi Sentot sebentar sebelum membalas, "Kalau boleh, saya ingin mendengarnya setelah menaburkan bunga dulu."

Sentot mengangguk tipis, mempersilakan Baskara melanjutkan kegiatannya.

"Menurut sejarah yang saya ketahui, Mbah Demang Joyo Ngadiro adalah sesepuh sekaligus kawula di Kadiri yang berasal dari Kedongrejo. Namanya cukup tersohor, tetapi seperti hilang ditelan bumi. Tidak berbekas, kecuali beberapa orang yang mendengar kisah sesungguhnya. Kisah seorang pahlawan yang berani mengorbankan dirinya untuk dicap mbalelo atau berkhianat, demi bangsanya," Sentot memulai ceritanya setelah keduanya duduk di satu pinggiran kijing, tidak jauh dari makam yang dikisahkannya. "Sayangnya, banyak orang lebih percaya dengan cerita yang menyebutnya sebagai pengkhianat."

"Memangnya, apa yang dilakukan Mbah Demang Joyo Ngadiro?"

"Mbah Demang menyusup ke markas musuh. Sebagai orang yang bisa memasak, Mbah Demang berhasil mengelabuhi musuh supaya menjadikannya sekutu dan membuatnya dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Butuh waktu cukup lama bagi Mbah Demang untuk mengambil hati musuh. Ketika semua sudah dalam kendalinya, di satu malam yang mencekam, Mbah Demang melancarkan aksinya."

Baskara menelan ludah, mengantisipasi pelintiran cerita. "Aksi apa?"

"Meracuni mereka," Sentot menandaskan kalimatnya dengan nada ringan. Baskara bergidik ngeri setelah mendengarnya.

Dari jauh, azan Magrib berkumandang sebagai tanda bahwa nyekar dan cerita di makam hari ini harus segera diakhiri. Setelah pamit dan berterima kasih karena telah diperdengarkan sebuah kisah yang membangkitkan ide dalam benak Baskara, dia pun meninggalkan makam dengan perasaan campur aduk. Dia ingin menjadi penyusup di antara hubungan Cahaya dan Wisnu, dan merebut kembali kekasihnya.

Di langkah terakhirnya sebelum berbelok begitu sampai di depan gapura, ada keragu-raguan dalam dirinya untuk berbalik badan dan melihat apakah sosok Sentot masih ada di makam. Dia takut, kakek-kakek itu menghilang. Alhasil, Baskara memutuskan untuk terus berjalan tanpa menengok-nengok lagi sampai mobil dan menjalankan mesinnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top