27. Mendinginkan Benak
Seharusnya Baskara memilih jalan tikus untuk pulang supaya tidak perlu melewati Resto Kenanga. Sebab, bara api di dalam dadanya masih berkobar.
Kini, seperti ada yang menggerakkan kakinya untuk terus menekan pedal gas hingga memasuki pintu tol Waru, pemandangan yang tertangkap olehnya berikutnya adalah jalan panjang dengan mobil-mobil berkecepatan minimal 60 km/ jam, pohon berderet, sawah dan sesekali lapangan hijau. Namun agaknya, ketenangan di dalam mobil tidak sama seperti di kepalanya. Setiap kali Baskara mengingat status WhatsApp Cahaya, jantungnya seperti diremas-remas.
Congratulation, Wisnu. Akhirnya kamu bisa mendapatkan Michelin Guide. Semoga hadiah ini menjadi awal menuju cita-citamu selanjutnya.
Karena Baskara yakin Cahaya masih mendendam dan sengaja ingin membuatnya kesal, dia langsung mencari status teman-temannya yang lain yang mengenal Wisnu. Dia juga memeriksa beberapa link berita terbaru dan populer di gawainya. Benar saja, berita Wisnu mendapatkan Michelin Guide terpampang di media sosial koran terbitan lokal. Dengan tangan masih memegang setir bundar usai membanting ponselnya ke kursi penumpang, segala hal yang Baskara lakukan selama ini seperti embun hilang diterpa cahaya matahari. Segala hal yang diusahakannya, tidak membuahkan hasil dan menambah pilu. Lagi-lagi, Baskara harus bertekuk lutut kepada nasib. Atau, takdir? Kemudian, Baskara sadar dirinya adalah sang pecundang dan seteru abadinya tetap jadi pemenang.
Sembari menatap jalanan, Baskara menghela napas panjang kemudian meraup mukanya dengan kasar. Dia membuka laci mobil dan meraih sebatang rokok, lantas memantiknya setelah membuka kaca mobil dan mematikan AC. Dia berharap, kepulan asap segera memenuhi dada dan kepalanya. Dia berniat mengusir penat.
Setelah menghirup dan melepaskan asap rokok, Baskara tidak menyangka pekat dalam benaknya menipis. Lelaki yang tengah bersedih itu teringat sudah lama tidak mengunjungi makam bapak dan ibunya. Dengan menambah kecepatan mobil, semangatnya ikut terpantik. Dia ingin bercerita banyak hal kepada mereka, terutama kepada almarhumah ibunya. Selain itu, jika alam mengizinkan, Baskara berniat menyusul mereka.
***
Jatikalen terletak di Kodya Kediri. Hanya butuh beberapa jam bagi Baskara untuk sampai tempat tujuan ketika surya telah tenggelam. Dia memutuskan beristirahat di rumah punden yang pernah dijual keluarganya untuk ibunya berobat dan sebelum pindah ke Surabaya, kemudian dibeli kembali oleh Baskara.
Di rumah beraroma apak karena lama tidak ditinggali, Baskara duduk termenung di atas tikar dengan punggung menempel di tembok. Suasana pun sunyi. Hanya terdengar suara binatang malam dari luar. Kemudian, Baskara memindai foto berpigura yang menempel di dinding. Tampak seorang pria berdiri di belakang sang bocah dan seorang wanita duduk anggun berkebaya. Hadi dan Puspitasari―bapak dan ibunya, serta Baskara.
Perasaan hangat menjalar. Tiba-tiba dia rindu sekali kepada orangtuanya.
Tidak berapa lama, kenangan bersama mereka mendesak hadir.
Baskara seolah bisa menghidu kepulan asap dari dapur. Suara penggorengan menyisip halus. Mirip sebuah rol film, masa lalu diputar di depan matanya bak menyaksikan layar tancap. Di hadapannya kini, ibu dan bapaknya masih tampak muda dan berdaya.
"Memasak sepertinya sudah jadi bagian keluarga kita ya, Pak," Puspitasari berkata sambil merajang sayuran untuk diolah. Dia duduk di meja makan yang menyatu dengan dapur, sedangkan seorang bocah tengah duduk di hadapan ibunya tanpa mendengarkan obrolan mereka. Sedangkan Baskara kecil sibuk dengan mainannya. "Kapan kita coba peruntungan buka warung, Pak? Kata teman-teman arisanku, masakan kita layak jual."
Di depan tungku dengan api menjilat-jilat, Hadi tampak mengelap peluh di dahinya. Dia menoleh kepada istrinya sebelum membalas, "Omong-omong soal buka warung, tiba-tiba aku ingat mimpiku beberapa hari ini. Mimpi yang sama."
Biasanya Puspitasari akan mengerucutkan bibir karena jengkel pertanyaannya dibalas pertanyaan, tetapi kali ini tidak. "Memangnya mimpi apa, Pak?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Kamu ingat kan, beberapa kali kita pernah ke makam―"
"Makam siapa, Pak?" Baskara kecil tiba-tiba memotong kalimat bapaknya. Puspitasari dan Hadi kompak tersenyum, kemudian menggeleng kecil supaya putranya tidak bertanya lebih lanjut. Seperti bisa membaca maksud kedua orangtuanya, Baskara kembali bermain.
Hadi mencoba menarik atensi Puspitasari kembali dengan berdeham sebelum bicara kembali, "Beberapa hari ini aku mimpi, setelah sowan ke makam Demang Joyo Ngadiro, kita akhirnya buka warung dan laris."
Jeda mengalun membentuk keheningan.
"Apa ini tanda ya, Pak?" Puspitasari mencoba membaca mimpi suaminya.
"Tapi seumpama kita gagal, bagaimana? Tidak mungkin aku minta bantuan saudara-saudaraku, apalagi bapak dan biyungku."
"Sama, Pak."
Keduanya menghela napas panjang, menyadari nasib kurang beruntung mereka.
"Dicoba saja," Baskara menceletuk, tetapi matanya masih sibuk dengan mainannya.
Lantas, kedua ujung bibir Hadi dan Puspitasari naik membentuk senyuman.
Setelahnya, mereka mulai membangun mimpi selepas sowan ke makam yang mereka sebutkan sebelumnya.
Tidak perlu waktu lama bagi Hadi dan Puspitasari untuk menaruh fondasi mimpi-mimpinya. Warung yang mereka kelola di luar prediksi, ramai. Mereka sampai kewalahan dan tidak cukup beristirahat. Warung pun berkembang pesat. Kehidupan mereka tidak lagi muram.
Sampai suatu hari, Puspitasari jatuh sakit. Dari diagnosa dokter, dia butuh istirahat.
Keseimbangan yang hadir sebelumnya perlahan meredup. Muram. Bahkan kali ini terasa lebih dahsyat. Untuk pengobatan istrinya, Hadi harus mengorbankan segalanya sampai yang tersisa hanya raga. Utang menggunung, sampai warung dan rumah raib. Mereka akhirnya memutuskan pindah ke Surabaya supaya lebih dekat dengan rumah sakit daerah untuk pengobatan Puspitasari.
Berbekal talenta di bidang memasak, Hadi bisa bekerja di Rumah Makan Daharan. Pemiliknya, Prabu, berbaik hati memberinya izin ketika ada jadwal istrinya berobat, sampai akhirnya Puspitasari kehilangan rona hidupnya dan mengembuskan napas terakhirnya di pelukan Hadi. Dunia Hadi luluh lantak, tetapi ketika teringat ada titipan nyawa di tangannya, pria yang masih bersedih itu harus terus menatap hari esok dengan kepala tegak. Tidak ada tangis tertuang untuk menutup dukanya. Sebab, hidup tidak pernah mau menunggu seseorang mengurai belitan kesedihannya.
Baskara kecil hanya tahu ibunya terbujur kaku ditutupi jarit di ruang tamu kontrakan mereka. Tanpa bisa ditanyai, bocah itu tampaknya kebingungan mengolah rasa kehilangan. Malam harinya, dia meraung ingin tidur bersama ibunya. Jika bukan karena bentakan Hadi supaya diam, Baskara kecil mungkin sudah berlari menuju makam ibunya yang masih basah, memeluk gundukan tanah di atasnya dan memejam. Duka sepertinya sanggup menarik orang-orang saling mendekat. Mereka pun memproses kesedihan masing-masing, tanpa pernah berbagi obrolan tentang duka itu sendiri.
Selesai azan subuh berkumandang, berikutnya, terdengar ketukan pintu dan berhasil membuyarkan lamunan Baskara. Dia beranjak dari tempat duduk dengan langkah malas. Setelah memastikan siapa yang mengetuk pintu, barulah Baskara berani membukanya. Pak RT. Meski sedikit ganjil, dia persilakan Pak RT-nya itu duduk di ruang tamu yang juga tidak luput dari debu dan bebauan khas rumah tidak dihuni dalam jangka waktu lama.
"Selamat pagi, Mas Baskara. Maaf mengganggu waktu istirahatnya," Pak RT bernama Tio membuka percakapan usai menolak secara halus tawaran teh Baskara. Sedetik sebelum mendengar jawaban Tio, sang tuan rumah belum mampu memastikan apakah kompor serta gas di rumahnya masih bisa untuk menjerang air atau tidak. Syukurlah, dia tidak perlu mempermalukan dirinya sendiri.
"Iya, selamat pagi. Sama sekali tidak terganggu, Pak... Tio." Baskara tampak lega usai mengais memori tentang siapa nama orang yang menemuinya pada pagi buta tersebut, dan berhasil mengingatnya.
Anggukan Tio memancing tarikan napas lega Baskara. Cukup aneh bagi laki-laki itu ketika melihat Tio mengenakan baju koko, bersarung dan berkopiah, masih manggut-manggut sembari membetulkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. Tebakan Baskara, pengurus warga itu memiliki urusan penting dengannya sampai-sampai sepulang dari musala langsung ke rumahnya. Atau, Pak RT sengaja mampir ke rumah Baskara lebih dulu sebelum menuju tempat ibadah yang terletak tidak terlalu jauh dari kediaman mereka.
Sembari terdiam dengan pikiran masing-masing, Tio bisa memprediksi, hening akan terbentuk cukup lama jika tidak ada yang memecah kesunyian lebih dulu.
"Kira-kira, ada perlu apa ya, Pak?" Akhirnya, Baskara bertanya lebih dulu dengan nada sopan karena tidak tahan berlama-lama berdiam diri. Sebab, dia ingin melanjutkan sesi melamunnya atau benar-benar mengistirahatkan benaknya jika bisa.
"Oh, maksud kedatangan saya ke sini adalah ingin memeriksa rumah Mas Baskara. Sebab, semalam saya lihat ada mobil terparkir di depan rumah, tetapi tidak ada yang melapor ke saya. Sebagai RT, saya tidak ingin ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di kampung ini."
Menyadari kesalahannya yang tidak melaporkan diri, Baskara sedikit menunduk karena sungkan. Dia juga menyesali pertanyaannya sebelumnya. "Mohon maaf, Pak."
"Tidak apa-apa, Mas Baskara. Untungnya saya ingat plat nomor dan jenis kendaraan Mas Baskara, jadi saya hanya memastikan apakah yang tinggal di sini benar Mas Baskara atau bukan."
"Terima kasih atas pengertiannya. Kira-kira, kalau saya lapor sekarang apakah diperkenankan?"
"Tidak usah, Mas. Lain kali saja, kalau berkunjung ke sini, langsung saja mampir ke rumah saya. Mas Baskara masih ingat rumah saya, kan?" kelakarnya.
Baskara mengangguk pelan.
Setelah merasa urusannya telah selesai, Tio hendak beranjak dari kursinya. "Karena sebentar lagi saya mau salat Subuh di musala, jadi ngobrolnya bisa disambung lagi nanti."
"Iya, Pak."
Keduanya berjalan menuju pintu yang terbuka lebar.
"Oh, hampir saja saya lupa. Kebetulan hari ini akan ada kerja bakti menyambut bersih desa, jadi Mas Baskara nanti ikut, ya."
Baskara bingung mau menolak atau mengiakannya. Namun karena masih sungkan telah berbuat kesalahan sebelumnya, dia lantas mengangguk kecil.
"Seingat saya, Mas Baskara pandai memasak. Bagaimana kalau nanti membantu saja di dapur umum? Kebetulan di sana kekurangan tenaga," imbuh Tio. "Tapi sebelum pelaksanaan kerja bakti, Mas Baskara diharap kumpul dulu di lapangan desa untuk pembagian tugas. Saya akan kasih tahu panitianya."
"Iya, Pak. Nanti saya ke sana."
"Kalau begitu terima kasih. Saya pamit dulu ya, Mas. Selamat pagi."
"Sama-sama. Selamat pagi."
Begitu punggung Tio telah menjauh, Baskara diserang dilema. Dia menyesal telah mengiakan. Bahkan, Baskara sampai berpikir untuk melarikan diri saja karena tidak berniat bertemu dengan orang-orang kampung yang tidak terlalu dikenalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top