26. Menemui Hantu Masa Lalu
Mobil Baskara berderak bagai kesetanan. Ditemani pisuhan dan sesekali menepak setir bulatnya, dia mengklakson kendaraan lain yang lelet dan tidak lekas bergerak ketika rambu lalu lintas berubah hijau.
Begitu melewati jembatan Kali Ireng, Baskara sedikit menurunkan kecepatan mobilnya. Sebab beberapa meter lagi, bekas tempat kerja bapaknya tampak. Bersama itu, memori menyesakkan kembali hadir menggerogoti nuraninya. Bagaimana Baskara bertekuk lutut kepada nasib sekaligus merangkul kehilangan banyak hal.
Jarak untuk sampai tempat tujuan semakin menyusut, dan Baskara merasa ada yang janggal. Selain plang Griyo Dahar tidak lagi kelihatan, tidak tampak pula mobil terparkir, meluber sampai di luar. Baskara tidak memungkiri, sudah lama dia tidak mendengar atau mencari tahu tentang restoran milik Prabu. Jika tidak teringat akan sabotase yang pernah dilakukan pria tua itu, kemungkinan besar benak Baskara tidak akan mengarahkannya kepada orang yang dibencinya tersebut.
Mobil pun berhenti di seberang jalan. Dia turunkan kaca mobil untuk memeriksa sejenak. Pemandangan di hadapannya kini sungguh tidak ada dalam prediksinya. Lengang. Amarah yang sebelumnya menjilat-jilat, kempis. Baskara kemudian menyipit untuk membaca tulisan TUTUP. Rasa senang menyelisip, hadir. Menurutnya, Griyo Dahar sudah sepatutnya pensiun dini.
Ketika Baskara kembali menutup kaca mobil, dia melihat sosok Prabu berada di dalam rumah makan. Tanpa pikir panjang, Baskara memutuskan turun dari mobil dan melangkah menuju tempat yang dulunya sempat dia kagumi. Tempat bagi mimpinya membubung tinggi sebelum terjerembap tak terperi. Namun kini, segalanya tampak benar-benar berbeda. Bangunan tersebut seolah menua. Dinding kusamnya tunduk digerus usia. Rumput liar merayap menghiasi latar. Kayu-kayu berpelitur yang dulunya mengilat, tak ubahnya karat pada besi. Griyo Dahar tampak sakit dan keropos.
Pintu rumah makan berderit begitu Baskara berhenti mengamati sekitar. Tampak Prabu berdiri menggunakan bantuan tongkat. Senyumnya teduh, persis ketika dulu menyambut tangis Baskara yang baru menjadi piatu dan sedang mencari Hadi karena takut ditinggal di rumah sendirian.
"Akhirnya, kamu bertamu ke sini lagi, Bas," Prabu bicara lebih dulu. "Mau duduk di dalam atau di luar?"
"Di luar saja, Pak." Baskara mendekat dan mengulurkan tangannya untuk berjabat. Entah kenapa, niatnya kemari untuk mencari tahu kebenaran mengenai kesialan yang menimpanya akhir-akhir ini sedikit tersingkirkan. Mungkin karena plang TUTUP Griyo Dahar seketika membuatnya bersemangat.
Langkah pelan Prabu menuju teras samping diikuti suara tongkat bertemu lantai. Di belakangnya, Baskara mengekor tanpa banyak cakap. Prabu kemudian memilih dua kursi rotan mengapit meja kaca, sebelum mempersilakan tamunya itu duduk.
Cukup lama keduanya termangu. Tidak ada pertukaran dialog dan anehnya, Baskara tidak keberatan. Biasanya dia alergi berlama-lama bersama seseorang yang tidak membuatnya nyaman.
"Aku kira kamu datang ke sini bersama Wisnu," Prabu akhirnya membuka percakapan lebih dulu.
Gelengan Baskara sekaligus memantik pertanyaan lain dalam benaknya, "Ada apa dengan kaki Pak Prabu?"
"Oh, ini?" tunjuknya dengan kedikkan dagu ke arah tongkat kayu yang tengah dipeganginya. "Biasalah, Bas. Penyakit orang tua. Asam urat lagi kambuh." Prabu terkekeh. Baskara ikut tersenyum tipis.
Baskara tidak menyangka, tidak ada urat berlebih pada pertemuan kali ini. Atau, belum?
Bersama kesiut angin yang tiba-tiba datang dan menambah dingin suasana, Baskara mendengar helaan napas dalam dari hidung Prabu. Baskara melirik sekilas sebelum mengembalikan pandangannya ke jalanan di depan sana.
Tumben hari ini kendaraan tidak seramai biasanya, pikirnya.
"Kamu lihat plang TUTUP di depan tadi, Bas?" Prabu bertanya setelah menguap lebar sebagai tanda bosan.
"Iya, tumben sekali, Pak," Baskara mencoba berbasa-basi. "Seingat saya, Griyo Dahar jarang tutup. Tutupnya pun sebulan sekali, dan jadwalnya bukan sekarang."
"Betul. Sama seperti diriku yang menua, ternyata Griyo Dahar juga tidak luput dari hal itu." Pandangan Prabu kembali menerawang jauh. Sejak tadi keduanya tidak saling tatap ketika bicara, dan mereka sama-sama memaklumi. Sebab, seperti ada sekat tinggi tak kasatmata yang memisahkan keduanya. "Sudah beberapa bulan ini aku tidak sanggup membiayai operasional restoran. Amat sangat disayangkan, putra tunggalku juga tidak peduli dengan tempat yang memberinya kehidupan, menyekolahkannya sampai tuntas dan menjadikannya sesukses sekarang."
Griyo Dahar bangkrut? Baskara membatin, girang bukan main. Dan ternyata, Pak Prabu tidak pernah berubah. Sepertinya tidak ada kata ikhlas dalam kamus hidupnya. Bahkan, ke anaknya sendiri.
"Aku pikir Griyo Dahar masih akan mencapai masa kejayaannya di tahun-tahun mendatang. Ternyata, tidak pernah ada yang bisa memprediksi jalannya hidup," tutup Prabu. Dia lalu memandangi meja kaca di sebelahnya. Kosong. "Oh, sampai lupa. Mau minum apa? Teh atau kopi seperti kesukaan bapakmu?"
"Terima kasih, Pak, tapi tidak usah repot-repot."
"Tidak repot, Bas. Aku tidak sebangkrut itu sampai tidak bisa menjamu tamu. Tunggu di sini sebentar." Prabu bangkit dari tempat duduknya tanpa bisa dicegah, dan hendak ke dalam rumah makan sebelum bersuara kembali, "Kopi atau teh?" tanyanya, memastikan.
"Teh saja, Pak. Terima kasih."
Prabu kembali melangkah menuju ke dalam rumah makan. Tidak lama kemudian, suaranya terdengar seperti sedang memerintah seseorang sebelum dia kembali duduk di sebelah Baskara. Di belakangnya, seorang pesuruh membawa dua cangkir teh untuk dihidangkan sebelum kembali sibuk beres-beres di dapur.
"Sebenarnya, ada perlu apa kamu datang ke sini? Apa kamu mau membeli Griyo Dahar-ku?" Prabu bertanya langsung dan mengakhirinya dengan kekehan.
Ah, akhirnya aku tahu kenapa Pak Prabu bisa seramah ini, Baskara membatin sambil menyunggingkan senyum.
"Memangnya mau dijual di harga berapa, Pak?" Baskara mencoba mengikuti bahasan Prabu. "Siapa tahu rupiahnya cocok," diakhirinya kalimatnya itu dengan tawa kecil.
Bola mata Prabu mengilat. "Sama sekali tidak mahal. Pasti menguntungkan, dan kamu juga boleh pakai nama Griyo Dahar kalau mau."
"Di angka berapa, Pak?"
Prabu berpikir sejenak, menghitung angka imajiner dalam benaknya. "50 miliar. Nego tipis."
Tidak ada keterkejutan di wajah Baskara saat mendengarnya. Tebersit secuil kecurigaan, kira-kira, apakah Prabu tahu bahwa uang miliknya tidak mungkin mencukupi untuk menebus Griyo Dahar seandainya pun dia ingin memilikinya? Atau, ini hanya permainan supaya dia sadar diri dengan posisinya?
"Saya pikir-pikir dulu ya, Pak. Itu bukan uang kecil."
"Tentu saja." Prabu lalu menyadari ada hal yang terlewat. "Oh, sampai lupa. Silakan diminum dulu teh-nya." Dia mempersilakan dan mengambil cangkirnya sendiri, kemudian menyesapnya.
"Terima kasih." Baskara ikut meraih cangkir dan menyesap isinya yang sudah menghangat.
Keduanya kembali memandang jalanan lengang di hadapan mereka.
"Pak Prabu, saya ada pertanyaan yang mengganjal," Baskara langsung bersuara setelah meletakkan cangkirnya di meja kaca. Kali ini, Prabu yang mengekorinya.
"Apa itu?"
"Pak Prabu pernah mengajak saya ke salah satu rumah makan milik mantan pegawai bapak yang ramai sekali waktu itu. Pawon Restoran, namanya. Hari itu, saya masih ingat, ada kejadian seorang pengunjung teriak-teriak kalau di dalam makanannya ada kecoak. Yang saya tidak habis pikir, perkataan Pak Prabu setelah kita pulang dari sana. Kata Pak Prabu, pengkhianat dan pencuri resep makanan harus dihukum berat." Baskara akhirnya meneleng, sengaja menghentikan sejenak kalimatnya. "Apakah Pak Prabu yang menyuruh pengunjung tersebut menyabotase restoran saingan Griyo Dahar kala itu?"
"Kamu juga pasti ingat kata-kataku setelahnya, kan?" Prabu sengaja menatap ke kedalaman mata Baskara.
"Seingat saya, Pak Prabu bilang kalau perangai Pak Prabu termasuk buruk, soal siapa saja yang berani mengganggu Griyo Dahar, maka akan berhadapan langsung dengan bapak. Tentu saja akan berakhir tidak baik." Dalam hati, Baskara muak ketika harus mengatakannya.
"Nah...." Prabu mengangguk-angguk kecil. "Tapi itu dulu, Bas. Manusia bisa berubah. Kamu pasti pernah mendengar kalau manusia itu dinamis, bukan statis. Termasuk, pemikirannya." Kemudian, pria paruh baya itu sedikit memajukan posisi duduknya. "Lalu, kenapa kamu tanya hal yang sudah lama terjadi itu padaku? Apakah ada yang memperlakukanmu sama seperti yang pernah aku lakukan dulu ke Lilik?" senyumnya lebar sekali.
Jangan ia-kan pertanyaannya! perintah Baskara dalam hati. Atau orang tua itu akan senang!
Baskara berakhir dengan menggeleng kecil. "Tidak ada, Pak." Sudah pasti orang ini juga pelakunya, Baskara meyakini dalam hati.
Prabu mengembalikan posisi duduknya. "Lilik sekarang nasibnya bagaimana ya, Bas? Aku jadi paham bagaimana perasaannya waktu tahu restorannya bangkrut. Ternyata, sedih juga―"
"Pasti," Baskara menambahkan. "Apakah Pak Prabu tidak penasaran juga bagaimana nasib anak-anak Pak Lilik sekarang? Pasti mereka dendam sekali dengan pengunjung yang merusak bisnis bapaknya, termasuk ke bapak seandainya mereka tahu."
"Aku yakin mereka paham, kalau semua orang punya alasan tersendiri untuk melakukan hal-hal di luar nalar. Kamu juga sadar Bas, terkadang, orangtua bisa menjadi musuh bagi anaknya sendiri, padahal dia sudah melakukan segalanya untuk mereka. Termasuk, berbuat kotor seperti yang pernah kulakukan dulu. Lilik pun tahu dan melakukannya." Prabu menghela napas panjang. "Aku terus mengempesi restoran-restoran yang kelihatannya akan merangkak naik dengan berbagai macam cara."
"Wisnu seharusnya berterima kasih ke Pak Prabu, ya," Baskara berkata sarkas.
"Iya, kan? Dasar anak tak tahu diuntung!"
Mereka terkekeh dan kembali menyesap teh yang mulai dingin. Pembicaraan pun berlanjut seperti teman lama yang sudah tidak saling jumpa.
***
Konfrontansi yang diharapkan Baskara tidak terjadi. Dia yakin, Prabu telah kalah. Prabu sepertinya juga secara tidak langsung mengakui perbuatannya kepada Baskara, dan hal itu sudah lebih dari cukup baginya. Ego Prabu jelas terluka. Pria tua itu hanya sok kuat.
Ketika Baskara merasa sepi, dia lantas menyalakan radio untuk mengusir kelu yang masih saja menetap dalam hatinya.
Yo mung siji sesotya-ku
Memanikku mung Nimas wong ayu
Panyuwunku mugo Nimas ora lali marang janji sotya-mu
Nanging kabeh kuwi muspro iling kalamun pupusing trisno
Wis tak cobo nglalekne seliramu, nanging tak lali-lali tan biso lali
Baskara menelan ludahnya. Melalui lirik lagu yang didengarnya, alam seolah menunjukkan kepadanya bahwa dia telah kehilangan Cahaya di hidupnya.
Cairan bening tiba-tiba merembes di pipi. Mendadak, Baskara rindu dengan kehadiran perempuan itu. Dia lalu meraih ponsel dari dalam saku. Sembari tetap menyetir, Baskara mencari kontak Cahaya. Ingin menghubunginya untuk meminta maaf sekali lagi. Begitu mendapatkan kontak Cahaya, ada perasaan aneh memantik kerut di dahi. Cahaya membuat status WhatsApp?
Ragu, Baskara mengklik status WhatsApp Cahaya. Setelah terbuka dan membacanya, bola mata Baskara membulat. Kemarahan merambati tenggorokannya. Dipeganginya erat setir bulat sambil memacu kecepatan kendaraannya. Sumpah serapah tidak mampu menenangkan hatinya yang tengah gusar. Kelenjar air matanya sontak kering. Dia marah besar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top