24. Pahatan Kelam
Dani kembali ke kantor Baskara untuk mengabarkan bahwa Cahaya bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Ekspresi Dani ketika menatap Baskara sebelum dia kembali ke dapur seolah memakinya idiot. Mendapati hal itu, Baskara semakin merutuki kebodohannya sendiri. Dia sadar emosinya naik-turun akhir-akhir ini. Segala macam kesedihan dan kehilangan yang coba diredam, muncul ke permukaan bersama hadirnya Wisnu. Dua hal yang menjadi pangkal segalanya.
Sembari memangku dagu dengan tangan, Baskara termenung. Bola matanya menyapu sesisi kantor. Meski daerah teramannya tampak minimalis, Baskara merasa obsesinya menjadi pemuda sukses sudah setengah jalan. Pikiran itu masih terpatri dalam benaknya. Sebentar lagi dia akan merengkuhnya, sebelum kejadian hari ini meletus. Entah kenapa, intuisinya berkata bahwa dirinya mendekati kehancuran, dan hal itu tidak disukainya.
Karena tidak ingin larut bersama bisikan dan kutukan menyesakkan dada, Baskara bangkit dari menuju dapur untuk mengurai suntuk. Namun sebelum sampai tempat tujuan, dia berhenti di ruang makan pengunjung Resto Kenanga.
Salah seorang pramusaji mendekat ketika Baskara melambaikan tangan, memanggil. "Selamat siang, Pak Baskara. Ada yang bisa saya bantu?"
"Minta tolong clear up sekarang, dan jangan lupa dibalik dulu tulisan buka di depan pintu. Bilang juga ke tukang parkir kalau kita tutup lebih awal. Takutnya ada pengunjung yang datang terus kecele," perintah Baskara. Padahal, dia tahu tidak akan ada pengunjung hari ini setelah dua pengunjung terakhir datang untuk sarapan. Kemungkinan besar pengunjung itu tidak atau belum tahu beritanya, atau mereka orang luar kota.
Sang pramusaji sempat mengernyit ketika mengarahkan pandang ke luar resto melalui bahu Baskara, kemudian dia menatap jam dinding.
Sebelum sang pramusaji bertanya kembali untuk memastikan, Baskara telah lebih dulu menambahkan kalimatnya, "Lakukan saja apa yang saya suruh."
"Baik, Pak." Dengan cekatan pramusaji itu beringsut untuk mengomando teman-temannya supaya bergerak cepat.
Meski sebelumnya Baskara sempat merasa baik-baik saja mengingat kemungkinan Resto Kenanga akan sepi pengunjung, tetapi ketika melihat situasinya secara langsung, tetap saja menyiksa. Dia lalu memilih duduk di dekat meja kasir sembari mengarahkan bola matanya ke dapur setengah terbuka, yang ingin dirombaknya sedikit itu. Sayangnya, sampai pertengkarannya terakhir dengan Cahaya, restunya belum turun juga.
Begitu teringat Cahaya, Baskara langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Dia menekan kontak gadis itu dan setelah mengetahui nomornya diblokir, amarah pun merayap naik ke tenggorokan. Dia gebrak meja pengunjung sambil mengumpat lirih, sampai anak buahnya terperanjat. Karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, Baskara segera menuju dapur.
Gebrakan Baskara sebelumnya membuat penghuni dapur tengah bersiap-siap menghadapi amukan. Mereka berhati-hati setiap kali meraih benda apa pun juga. Bahkan, bernapas pun dilakukan dalam satu irama. Dan karena tidak ada pengunjung, mereka merasa serba salah dalam pergerakan ketika berada di tempat yang tidak terlalu luas itu.
Semua orang di dapur tahu Baskara dan Dani sedang perang dingin. Bibir mereka seperti dilem. Keduanya menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing, padahal mereka masih dalam satu kawasan. Kawasan depan. Dani menyibukkan diri mencabuti duri ikan dengan pinset, sedangkan Baskara mencacah daun bawang, terbengong sebentar, mencacah lagi, bengong lagi, sampai pelengkap sajian tersebut tercacah halus. Cukup berisik ketika pisau beradu dengan talenan.
Sampai akhirnya Dani menoleh, melihat kegiatan Baskara. Dia menghela napas panjang sebelum buka suara. "Aku takut lama-lama tanganmu sendiri yang kamu cincang, Baskara," ujarnya, sebal.
"Bukan urusanmu." Baskara menghentikan kegiatannya sebentar, lalu melanjutkannya kembali seolah ingin memantik pertengkaran.
Mendapati hal tersebut, bola mata Dani membulat penuh. Penghuni dapur lain berhati-hati saat menghirup-mengembuskan napas. Setelah menggeleng-geleng berdecak, Dani berjanji tidak akan bicara lagi dengan Baskara jika sedang berada di mode menyebalkan seperti itu.
Begitu Dani menyelesaikan pekerjaannya, dia berniat beranjak dari dapur untuk menghirup udara segar supaya tidak melibatkan penggorengan untuk menggetok kepala Baskara.
Saat Dani berjalan memutari konter dapur dan Baskara mendongak memperhatikan pergerakannya, dunia keduanya seolah berhenti berputar. Mereka sama-sama mengarahkan pandang ke pintu depan yang terbuka. Semua pramusaji yang masih sibuk, mengangguk kecil ketika Cahaya menampakkan diri. Senyum tipis Baskara terbentuk. Hatinya lega saat beranjak dari dapur untuk menyambut kedatangan gadis itu. Baskara merasa sudah tidak penting lagi jual mahal. Dia akan meminta maaf secara langsung, kalau perlu, berlutut di hadapan Cahaya.
***
"Maaf, aku tadi keterlaluan," Baskara meminta maaf setelah Cahaya memberi kode berupa kedikkan untuk mengikutinya ke taman samping. Keduanya lantas duduk di kursi panjang. Meski gadis itu memberi sedikit jarak, Baskara merasa tenang ketika mendapati sosok Cahaya masih mau menemuinya.
Jeda menggantung.
Baskara mencoba untuk tidak tersinggung.
Sebelumnya, laki-laki itu mencoba tidak penasaran dengan isi map yang dibawa Cahaya, tetapi pandangannya terus melirik ke arah yang sama.
Ketika merasa balasan Cahaya tidak kunjung tiba, Baskara akhirnya membuka mulutnya kembali, bertanya, "Sebenarnya, ada perlu apa mencariku, Aya?"
"Ada hal penting yang mau aku minta ke kamu." Cahaya tampak meragu sebentar saat menatap Baskara. Sedetik kemudian, cepat-cepat dia mengeluarkan isi map yang dibawanya.
Kerut terbentuk sebentar di dahi Baskara sebelum menyadari isi map yang disodorkan oleh gadis itu padanya. Beberapa lembar kertas. Mulut Baskara langsung terkatup rapat.
"Kamu tentu nggak akan lupa perihal ini kan, Bas?" sambung Cahaya dengan suara mantap.
"Jangan bercanda, Aya," Baskara mengatakannya dengan suara bergetar.
"Aku serius."
"Kamu tahu kan, kalau kamu melakukan ini, sama saja kamu menghancurkan hidupku." Suara Baskara berubah mengiba. Dia belum berani meraih kertas yang masih ada di tangan Cahaya.
"Nggak usah berlebihan," balas Cahaya datar. Sekuat hati gadis itu mendorong egonya sampai ke puncak. Kali ini dia tidak ingin mengalah.
Karena Baskara tidak juga meraih kertas yang disodorkannya, mau tidak mau Cahaya menarik tangan laki-laki itu mendekat dan menyerahkan benda yang dibawanya dengan paksa. Baskara melihat kertas tersebut sambil meneguk ludahnya.
"Aku tinggal dulu berkasnya di kamu. Besok aku ambil setelah kamu tanda tangani," imbuh Cahaya.
Belum sempat keluar kalimat protes Baskara, Cahaya sudah berdiri dari tempat duduknya. Pandangan mereka saling beradu sebentar. Cahaya mencoba untuk tak acuh saat menatap bola mata Baskara yang menunjukkan penyesalan terbesarnya.
Untuk menghindari hatinya meluluh, gadis itu buru-buru pamit, meninggalkan Baskara yang mencoba menahan emosi dengan menggenggam tangannya erat. Dia merasa dunia sedang menindihnya.
Setelah Cahaya pergi membawa gundah, Baskara menerawang jauh menembus tembok samping usai mengendurkan genggaman tangannya. Cukup lama dia duduk termenung sampai batok kepalanya mulai menghangat terkena sengatan matahari, dan memaksanya kembali ke dalam Resto Kenanga.
Namun, sebelum melangkah menuju kantornya, Baskara berhenti begitu mendorong pintu samping dengan tenaga penuh. Semua orang terkesiap usai mendengar suara benturan keras antara pintu dan dinding.
"Perhatian, semuanya. Saya minta tolong kalian ke sini sebentar!" seru Baskara dari tempatnya berdiri selepas meletakkan terlebih dulu berkas dari Cahaya di atas meja terdekat.
Semua orang menatap ke satu arah. Kepada Baskara yang berkacak pinggang, lalu laki-laki itu mendekat ke meja kasir.
Sebelum semua orang berkumpul dengan rona kebingungan, Baskara telah meraih bolpoin di meja kasir dan menandatangani berkas-berkas yang tergeletak di atas meja. Dia lalu memanggil Dani supaya berdiri di sebelahnya. Dua orang itu saling menatap sebelum koki utama Resto Kenanga mengizinkannya membaca berkas yang telah ditandatanganinya, dan menyuruhnya membawanya untuk diserahkan kepada Cahaya.
Usai membaca dengan teliti, Dani langsung menoleh ke arah Baskara. Semua orang mengikuti arah pandang koki senior itu dengan dahi berkerut.
"Kamu tolol, Baskara! Ini nggak mungkin. Cahaya nggak mungkin senekat ini kalau kamu nggak keterlaluan. Dia itu... dia menyayangimu," ucap Dani dengan sejuta pertanyaan berkecamuk yang tidak pernah mampir dalam benaknya, sebelumnya.
"Maaf, tapi kenyataannya memang seperti ini," kata Baskara lirih sebelum menatap semua orang. Dia menghela napas panjang begitu kembali bicara, "mulai hari ini, saya bukan lagi pemilik Resto Kenanga, melainkan Bu Cahaya seorang. Besok, mungkin orangnya akan ke sini dan menjelaskan segalanya. Saya juga mau minta maaf yang sebesar-besarnya jika selama ini menjadi pribadi yang kurang menyenangkan ketika bekerja sama dengan kalian," suara Baskara tersekat, sebentar. "Saya pamit."
Baskara menyalami satu persatu anak buahnya yang masih mencerna situasi. Hanya Dani yang mendapatkan pelukan lama darinya, dan sahabatnya itu mati-matian menahan air mata yang mulai menggenang.
"Selamat tinggal semuanya. Semoga sukses dengan perjalanan kalian," pamit Baskara.
Semua orang terlalu shock dengan berita barusan, sampai mereka mengangguk-angguk pelan dengan mata berkaca-kaca. Setelah Baskara beranjak pergi, semua orang langsung memberondong Dani dengan bermacam pertanyaan. Terutama, mengenai nasib mereka ke depannya. Dengung seperti lebah pun sepertinya tidak dapat dihindarkan lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top