23. Memeluk Kepahitan
Beruntung Cahaya menolak tawaran Wisnu menjemputnya untuk sarapan di Depot Kamboja. Sebab kini, di sepanjang perjalanan dari sana, Cahaya hanya senyum-senyum sendiri dan sesekali menyenandungkan lagu sukacita dengan cukup lantang. Rasa-rasanya, dia bisa menghidu aroma padang rumput dan berlari-lari sesuka hati dalam benaknya. Hatinya dipenuhi keriangan. Dia bahkan sebentar melupakan suara Dani yang terdengar gusar ketika menghubunginya.
Memasuki halaman Resto Kenanga, Cahaya langsung disambut Dani dengan wajah tegang. Kernyitan terbentuk di dahinya yang sedikit lebar, ketika pria itu menunggunya di sebelah pintu mobil yang baru terparkir. Tidak biasanya Cahaya melihat raut tegang salah satu koleganya itu. "Ada masalah apa?" Dia bertanya langsung setelah menutup pintu mobil.
Dani menoleh ke kanan-kiri terlebih dulu sebelum membalas, "Jangan di sini ngobrolnya. Ikut aku!"
Keduanya berjalan menuju taman samping.
Mereka kemudian duduk bersebelahan, sedikit berjarak, di kursi panjang taman. Kota Surabaya malam ini cukup dingin sehingga Cahaya melipat tangannya di depan dada untuk menghalau embusan angin. Sebenarnya Dani sedikit sungkan mengetahuinya, tetapi dia terpaksa menepi dari tatapan orang-orang. Dia tidak ingin menambah daftar panjang sakit kepalanya. Baskara dan Cahaya, dua orang teman sekaligus kolega bisnisnya sedang perang dingin. Dia tidak menyukai hal itu, karena tentu saja akan merepotkan jika tidak segera dirantasi.
"Jangan buat aku gugup begini. Ada apa?" Cahaya mencoba mengenali keadaan canggung yang terbentuk di antara mereka.
Sedetik kemudian, Dani akhirnya menyodorkan ponselnya usai menghela napas panjang. "Jangan kaget, ya. Aku yakin kamu belum baca berita tentang Resto Kenanga."
Detak jantung gadis itu meningkat pesat. Beberapa hari ini dia sengaja menonaktifkan ponselnya, apalagi membaca berita. Ketika akhirnya mengaktifkannya kembali karena tidak mungkin terus-terusan menghindar, banyak notifikasi pesan yang belum terbaca dan panggilan tidak terjawab. Termasuk, beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari Baskara. Dia sengaja menghindari cowok itu. Kejengkelannya masih kental. Ingin rasanya Cahaya memblokir nomor pemuda itu, tetapi rasa sayangnya masih sedikit mendominasi. Nanti kalau berulah lagi, aku tidak segan memblokir nomornya, janjinya dalam hati.
Diterimanya uluran ponsel dari tangan Dani.
Cahaya segera membaca berita dan menge-klik tautan video. Video viral mengenai lalat yang ikut tersaji dalam menu makanan yang dipesan oleh salah satu pengunjung resto. Tampak jelas hewan menjijikan itu dalam sendok yang diangkat dan takarir menyudutkan, sekaligus sematan hujatan. Apa jadinya kalau hewan jorok ini tertelan? Bahkan, beberapa warganet seolah ikut memanjat keriuhan demi mendapatkan atensi.
Usai video berhenti diputar, Cahaya mendongak dan memasang tampang serius. "Berita dan video seperti ini jangan terlalu ditanggapi, Dani. Nanti kita buat konten untuk counter-nya. Jangan gegabah kalau menangani bad review soal Resto Kenanga. Bisa-bisa, kita blunder kalau salah langkah. Netizen tuh seringnya nggak bisa ditebak, tetapi kadang bisa digiring. Jadi, kita netralin beritanya dulu dengan hal-hal positif, tetapi nggak boleh terkesan menggiring opini jelek ke orang tersebut," dia berhenti bicara, tampak menimbang-nimbang dan berpikir. "Atau, kita undang saja dia ke sini untuk sekali lagi menikmati sajian spesial kita. Kita anggap kalau ulasan sebelumnya semacam kritik dan saran membangun untuk membenahi kekurangan resto kita. Menurutku, itu ide yang bagus. Bagaimana pendapatmu?" Cahaya mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum sambil menjentikkan jari.
Dani serius mendengarkan, lalu pandangannya menjauh seolah tak tergapai.
Agaknya, Cahaya merasa masih ada yang tidak beres dan belum diketahuinya. "Ada apa sih, Dan?" tanyanya tidak sabaran.
Ponsel di tangan Cahaya melungsur kembali ke tangan Dani.
"Ini gawat, Aya," Dani menggumam setelah kenyataan kembali direngkuhnya. Sepertinya sejak tadi dia bingung memulai dari mana menjelaskan permasalahannya.
"Gawat gimana?" Cahaya membeo.
"Baskara sudah membalas video itu, hari itu juga. Dengan penuh emosi, dia menuduh kalau pengunjung tersebut yang menyabotase. Bahkan, Baskara dengan sombongnya menantang dan sedikit mengancam jika sampai berani mem-viralkannya. Dia bilang, orang itu akan berurusan dengannya."
Sekian detik Cahaya membeku setelah mendengar keterangan Dani. Keringat dan air matanya untuk membangun Resto Kenanga, luluh lantak dalam sekejap. Giginya bergemeletuk, menahan emosi yang meluap-luap.
"Di mana dia sekarang?" Cahaya bertanya ketika logikanya kembali mengambil alih. "Orang gila! Aku perlu ngomong sama dia. Hal penting seperti ini nggak bisa disepelekan dan dibiarkan berlarut-larut."
Saat Cahaya akan beranjak dari tempatnya, Dani sempat meraih tangan gadis itu dan berbicara dengan nada menenangkan. "Baskara ada di kantornya. Mungkin sedang merenungi kesalahannya. Aku nggak mau sampai ada ribut-ribut dan jadi tontonan anak-anak, jadi aku mohon sama kamu untuk menahan emosimu."
Cahaya meradang, menepis tangan Dani halus. "Kamu jangan membela orang yang salah, Dani. Dia harus ditegur."
Dani tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengikuti Cahaya yang tengah terbakar emosi. Ada sedikit penyesalan memberitahunya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena bola api liar akan mengenainya jika sampai Cahaya buta akan hal ini.
***
Ketukan pintu tidak segera mendapatkan balasan dari penghuninya, dan hal itu berhasil memantik kekesalan Cahaya. Dia tidak mau lagi menunggu dan langsung mendorong pintunya. Baskara terperanjat ketika jarak mereka akhirnya menipis. Tatapan keduanya terbentuk nyalang, bahkan Dani yang mengekori Cahaya bisa merasakan ruangan berubah menjadi tegang hanya dalam hitungan detik.
Dengan mencepol rambutnya asal-asalan, Cahaya mengangkat wajahnya dan berkacak pinggang. Dia menekan emosinya dalam-dalam. "Bisa-bisanya kamu―"
"Kamu yang bisa-bisanya baru muncul sekarang!" sergah Baskara lebih nyaring selepas menghela napas keras.
Cahaya membeku. Kata-kata menghilang dari tenggorokannya.
Mereka kini saling berhadapan dengan dahi mengernyit dan bibir terkatup rapat. Dani yang menjadi orang ketiga, mempersiapkan diri jika terjadi baku hantam, walaupun menyangsikan hal itu. Baskara tidak akan berbuat sepengecut itu.
"Aku pikir kita harus membicarakan masalah ini dengan kepala dingin," Dani mencoba untuk menengahi.
"Apa aku harus mengingatkan pekerjaanmu di sini, Aya?" Baskara menukas dengan emosi yang tak kunjung reda.
Dani lagi-lagi tidak berkutik di situasi seperti ini. Dia takut salah bicara dan semakin memperkeruh suasana.
Cahaya berdecak, menggeleng-geleng setelahnya. "Jadi, pekerjaanmu yang nggak becus itu sekarang jadi urusanku juga?"
"Tentu saja. Kalau kamu bisa dihubungi, hal ini nggak akan kejadian. Ke mana saja kamu? Berkasih mesra dengan gandengan barumu itu―"
"Jaga mulutmu!" sergah Cahaya. "Pembahasan ini nggak usah melebar ke mana-mana, dan urusan hatiku bukan urusanmu, ya. Aku hanya ingin memperjelas satu hal, kalau di sini posisimu juga pemilik Resto Kenanga. Tanggung jawabmu nggak cuma ngendon di dapur. Ngurus mulut kamu supaya nggak sembarangan ngomong kalau menghadapi pengunjung, itu juga bagian dari pekerjaanmu. Jangan waktu nggak enak seperti ini, terus kamu lempar ke aku. Itu nggak profesional. Baru juga ngadepin satu orang menyebalkan, kamu sudah nggak sanggup. Pemimpin macam apa kamu? Jawaban yang kamu kasih ke aku tadi itu jawaban karyawan!" dadanya naik-turun menahan emosi yang habis menggerus kesabarannya.
Hening. Tidak ada yang memulai bicara untuk beberapa saat lamanya.
Sementara itu, Dani hanya sanggup mengerjap. Dia baru tahu Cahaya bisa semarah itu, dan serangan balasan kata-katanya cukup pedas. Harapannya sekarang, Baskara tidak bertindak bodoh dengan memberi jawaban macam-macam. Seharusnya dia cukup meminta maaf dan diam mendengarkan.
"Oh, akhirnya aku paham sekarang. Kalau aku memang pimpinan yang diragukan di Resto Kenanga dan kamu adalah yang terbaik dalam memimpin rumah makan ini, sekarang juga, aku atau kamu yang mundur dari sini," tantang Baskara dengan tatapan membara.
Dani mendelik. "Baskara!" Dia sepertinya sudah tidak bisa tinggal diam jika menyangkut keberlangsungan Resto Kenanga ke depannya, pertemanan bisnis dan persahabatannya. Kali ini, laki-laki itu sepertinya bisa mencium aroma keretakan yang mendekat pelan-pelan. "Jaga omonganmu kalau sedang emosi."
Baskara melirik ke arah Dani. "Kamu membelanya?" kemudian, mengarahkan telunjuknya ke muka Cahaya.
Otot leher gadis itu menegang, sesaat setelah menyingkirkan telunjuk Baskara dari mukanya. "Nggak usah repot-repot. Aku yang akan angkat kaki dari sini. Jangan lupa kita hitung-hitungan setelah ini. Nikmatilah, yang kamu bilang kerja kerasmu ini. Tapi satu hal yang kamu harus tahu. Jangan lupa ada hitung-hitungannya. Dan, aku pastikan di akhir nanti siapa yang akan tertawa melihat kehancuranmu. Kesombonganmu nggak termaafkan, Baskara."
"Kamu menyumpahiku?" Baskara menuding.
"Terserah kamu mau anggap apa kata-kataku tadi, aku tidak peduli," Cahaya menimpali dengan emosi yang sama-sama kerasnya.
Saat Cahaya akan berbalik badan, Dani lekas menghalangi jalannya. Dia rengkuh tangan Cahaya untuk mencoba menenangkannya. "Kamu juga jangan emosi, Aya," katanya lembut. "Dia lagi kekanak-kanakan dan kamu jangan sampai masuk perangkapnya."
"Sampai kapan kamu akan terus membela bocah ingusan itu?" Cahaya mendesis jengkel.
Bola mata Baskara membelalak. Dia ingin mengonfrontasi sekali lagi kalimat Cahaya barusan, tetapi sepertinya percuma. Dia takut tekanan darahnya melonjak naik jika menuruti emosinya.
"Biarkan saja dia pergi! Banyak yang bisa mengisi posisinya. Masih banyak yang lebih kompeten dan bertanggung jawab sama pekerjaan dibanding dirinya."
"Nah, kamu dengar sendiri kan, Dan? Jadi, lepaskan tanganku!" Cahaya menyentak halus genggaman tangan Dani.
Sebelum menutup pintu, Cahaya sempat mengacungkan jari tengahnya kepada Baskara. Kedua orang yang masih tertinggal di ruangan itu saling menatap sejenak. Dani menggeleng-geleng lesu. Sebelum mengejar Cahaya, dia sempat berkata keras kepada Baskara, "Kalau kamu anggap dirimu pemimpin yang baik, selesaikan masalah ini segera!"
Dani membanting pintu kantor Javas sebagai bentuk protes.
"Kalian semua berengsek." Baskara mondar-mandir. Dia dilema ingin menyusul dan mencoba berdamai dengan Cahaya atau tetap tinggal di kantor. Namun, saat akan beranjak pergi, ucapan kedua orang itu menonjoknya tepat di ulu hati. "Tai asu. Jancuk!"
Setelah memilih tetap berada di kantor, Baskara mengacak-acak rambutnya sambil mengerang. Ketika tangannya mengepal dan ingin menghantam meja kerjanya, beruntung logikanya masih berfungsi. Patah hati, cemburu, perasaan dikhianati, emosi dan kemarahannya seolah memuncak, tetapi tidak serta merta menumpulkan akal sehatnya. Kalau kamu hantam meja kamu, selain rusak, tanganmu juga sakit, tolol! makinya dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top