22. Perkara Dilema
Sejak tidak muncul di Resto Kenanga, sudah dua kali Cahaya pergi ke Depot Kamboja. Termasuk, hari ini. Pertama dia pergi setelah pemukulan yang dilakukan Baskara terhadap Wisnu. Waktu itu, perut Wisnu seperti penuh dengan kepak kupu-kupu padahal tulang pipinya nyeri sehabis terkena hantaman. Dia tidak menyangka gadis itu akan menyusul usai perkelahiannya dengan teman masa kecilnya. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa gadis baik hati yang ditaksirnya juga punya perasaan untuknya.
Wisnu menyadari pula satu hal, jatuh cinta kerap membuat orang jadi gila. Dia bahkan rela dicemooh seluruh penghuni semesta. Sebab, dia tidak buta. Dia tahu Baskara juga menaruh hati pada orang yang sama. Pemukulan di Resto Kenanga pun dia yakini karena adanya unsur kecemburuan. Atau, patah hati? Yang paling gila lagi, dia bahkan memutuskan tidak masalah jika kelak Cahaya hanya menjadikannya cadangan. A backburner.
Pada kunjungan kedua kali ini, Wisnu merasa ada sedikit ganjalan. Laki-laki itu menghitung, sudah beberapa kali Cahaya tidak berkonsentrasi ketika mengobrol. Cewek itu sampai tergeragap ketika membalas pertanyaan. Karena itulah, Wisnu meminta izin ke dapur. Dia berniat menghidangkan makanan kesukaan calon penghuni hatinya itu supaya mood-nya membaik.
Beruntung, pengunjung restoran tidak menyemut. Jadi, dia tidak harus stand by untuk ikut mengurusi keperluan operasional restoran. Mbok Darmi bisa diandalkan untuk pekerjaan itu. Di dapur, Wisnu merasa harus menepikan pikiran buruknya. Dia berniat mengolah masakan Italia seperti yang pernah dijanjikannya dulu.
Ketika sedang sibuk memilih bahan makanan di gudang sementara, Mbok Darmi melangkah mendekatinya. Senyumnya terkembang. Kedua alisnya naik-turun. Wisnu curiga.
Mbok Darmi bertanya lirih, takut ada yang mendengar karena letak gudang sementara tidak jauh dari dapur. "Mbak yang datang sama Mas Wisnu dan sekarang sedang duduk di pojok restoran itu, namanya Mbak..." Dia seperti sedang mengingat-ingat. "Duh, susah benar namanya diingat. Miselin, kan, ya? Orangnya secantik namanya," pujinya.
Wisnu berhenti berkegiatan. Kedua alisnya menyatu, mencoba mengartikan maksud Mbok Darmi. Setelah ingat obrolannya beberapa waktu lalu mengenai Michelin Guide, Wisnu seketika tergelak. Wanita sepuh itu tampak kebingungan dan berakhir menepak lengan bos kecilnya supaya berhenti tertawa, sebab beberapa pasang mata kini tertuju kepada keduanya.
"Memangnya ada yang salah?" Mbok Darmi bertanya dengan raut protes.
"Nggak ada, Mbok. Nggak ada." Wisnu masih menahan tawanya.
"Tapi benar kan cewek yang ada di depan itu yayang-nya Mas?"
Tawa Wisnu sirna. "Mbok, ah. Belum," balasnya lirih.
"Tapi mau, kan, kalau Mbak itu juga mau?"
Tidak ingin memperlihatkan pipinya yang sedang merona, Wisnu menyengguk kecil dan meraih kedua pundak Mbok Darmi supaya untuk sementara waktu meninggalkannya. Dia belum siap diolok-olok meski oleh orang yang dianggapnya dekat dan tidak mungkin melakukan hal konyol semacam itu.
Begitu Mbok Darmi pergi, Wisnu melanjutkan rencana memasak hidangan Italia setelah membawa bahan-bahan yang diperlukan. Kali ini, dia memilih menu yang mudah dan cepat penyajiannya. Spageti carbonara. Sebab, dia menemukan pasta, evaporated milk, smoke beef dan keju, oleh-oleh dari temannya dan belum sempat diolahnya. Tanpa menunggu lagi, Wisnu memulai memasak.
Tidak butuh waktu lama, dia sudah keluar dari dapur membawa dua piring masakan kesukaannya. Di tengah-tengah perjalanan, Wisnu sempat tertegun. Dia tidak menyangka Mbok Darmi tengah beranjak dari tempat duduk di hadapan Cahaya. Cengirannya lebar dan Wisnu hanya bisa mendengkus saat mendekati meja milik calon penghuni hatinya, dan tak lupa memulas senyum. Dia membatin, ngobrolin apa ya mereka? Jangan-jangan, Mbok Darmi sedang melakukan black campaign? Tidak!
"Sori, ya, agak lama masaknya. Ini aku buatin makanan spesial buat orang spesial seperti kamu," Wisnu berkata sembari menyodorkan piring sebelum duduk di kursi yang Mbok Darmi tempati sebelumnya.
"It's okay. Memasak apa pun nggak mungkin selesai dalam sepuluh menit. Kecuali, mi instans." Cahaya memejam sejenak ketika memajukan kepalanya untuk menghidu aroma yang ditimbulkan oleh masakan Wisnu. Setelah membuka kelopak matanya, dia lemparkan senyuman kepada chef pemilik Depot Kamboja itu. "Dari baunya saja sudah enak. Nggak sabar mau icip-icip. Terima kasih sudah dimasakin."
"Sama-sama, selamat makan."
"Eh, selamat makan bahasa Italia-nya apa, sih?"
"Buon appetito."
"Buon appetito," Cahaya menirukan, kemudian berpikir sejenak. "Kok aku pernah dengar kalimat barusan, ya. Tapi bacanya, bon appétit?"
"Kalau itu bahasa Prancis. Artinya sama, kok."
"Oh... kedengarannya seksi banget, ya. Ah, aku suka sama orang yang bisa bahasa asing."
Wisnu sempat tersipu mendengarnya. Suka? Maksudnya cinta, kan? batinnya girang, kepede-an.
"Enak?" tanya Wisnu ketika Cahaya mulai mengunyah.
"Enak banget. Rasa kejunya nonjok."
"Syukurlah. Kalau kamu ada rencana nambah, aku buatkan lagi. Masih ada bahan-bahannya, kok." Wisnu lalu teringat untuk bertanya mengenai obrolan Simbok dengan perempuan yang sedang menikmati spageti. Wisnu ingin membabat habis rasa penasarannya. "Tadi, kamu―" dia merasakan detak jantungnya meningkat pesat. Mendadak, ragu untuk melanjutkkan. Alhasil, Wisnu menyumpal mulutnya dengan kunyahan spageti banyak-banyak.
"Tadi, kenapa, Nu?" Cahaya bertanya balik karena jeda cukup lama terbentuk.
"Tadi kamu ngobrolon apa sama Mbok Darmi?" tanya Wisnu dalam satu tarikan napas. Gadis itu sempat melongo.
"Oh, itu." Cahaya melanjutkan memutar-mutar spageti dengan garpu sebelum memasukkannya ke mulut.
Seperti mendapat karma, Wisnu menunggu kelanjutkan kalimat gadis yang dikencaninya itu, tetapi tidak pula segera mendapatkannya. Jika saja diperbolehkan, dia ingin mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Apalagi, debar jantungnya kini sudah mulai mengganggu. Bertalu-talu.
"Cahaya―"
"Kata Mbok Darmi, Wisnu orangnya baik. Nggak neko-neko. Lurus. Terus, sedari kecil nggak suka cari masalah, soalnya Mbok Darmi kenal keluarga Wisnu. Termasuk, bapaknya. Pak Prabu," sergahnya. "Ya, semacam testimoni gitu, lah, kedengarannya," kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, "dan, ini yang terpenting kata Mbok Darmi. Wisnu belum pernah pacaran, jadi nggak mungkin dilabrak sama mantan pacar," diakhirinya kalimatnya dengan tertawa kecil.
Wisnu meneguk ludahnya susah payah ketika meletakkan garpunya di atas piring, berusaha menghilangkan rasa groginya. Namun, anehnya, dia tidak ingin mengalihkan tatapannya sedetik pun dari bola mata Cahaya yang berbinar. Ada sesuatu yang merongrong sanubarinya untuk bertindak impulsif dan hal itu memantik tabuhan dalam rongga dadanya.
"Karena kamu sudah tahu dari Mbok Darmi kalau hatiku sekarang sedang nggak ada yang memiliki, kira-kira, apa ada seseorang yang mengisi hatimu?" tanyanya setenang mungkin. Padahal, dadanya serasa mau meledak.
Cahaya sempat menghentikan kegiatan mengunyahnya. Dia terlihat sedang berpikir, menimbang-nimbang. Baru pertama kali ini dia merasakan nyalinya melempem.
"Kalau nggak ada, memangnya kamu mau mengisi hatiku?" Cahaya sengaja melemparkan pertanyaan balik.
"Mau," Wisnu membalas tanpa ragu.
"Boleh, deh."
Kernyit di dahinya terbentuk. "Boleh, deh? Maksudnya, kamu mau jadi pacarku?"
Cahaya mengangguk, juga tanpa ragu. Mata Wisnu membola. Dia segera menggigit bibir bawahnya untuk menghambat supaya tidak berteriak kegirangan.
"Sekarang, boleh aku lanjut makan spageti-nya?" kata Cahaya karena terlalu lama jeda menyelubungi keduanya.
"Boleh. Tentu saja boleh."
Obrolan pun berlanjut, tetapi keduanya berusaha menghindari tema kasmaran. Sebab, mereka sama-sama masih tidak percaya jika sudah ada yang mengisi hati masing-masing. Meski Wisnu bukan cinta pertama, karena Cahaya masih menghitung Baskara adalah cinta pertamanya, tetapi dia yakin hatinya telah menuntun ke jalan yang benar. Kepada pangerannya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Dani terpampang di sana ketika Wisnu ikut melirik.
Panggilan pertama masih Cahaya indahkan. Begitu dering kedua muncul kembali bersama nama yang sama di layar ponselnya, laki-laki yang duduk di hadapannya akhirnya angkat bicara, "Angkat saja, Cahaya. Siapa tahu penting."
"Iya, nih. Dani memang jarang telepon kalau nggak ada hal urgent."
Wisnu mengiakan.
Setelah meminta izin, Cahaya beranjak dari tempat duduk dan menepi untuk menerima panggilan telepon. Ketika kekasih barunya itu berada dalam sambungan telepon, pandangan Wisnu mengitar. Dia bersyukur, sampai detik ini pengunjung restorannya bisa dibilang ber-progres dan cenderung positif.
Dari jarak tidak terlalu jauh, Mbok Darmi yang berdiri di sebelah meja kasir memperlihatkan kedua jempolnya. Wisnu langsung mengalihkan pandangan, takut kembali menandak. Saat itulah, dia menangkap seorang berkewarganegaraan asing tengah menikmati hidangan. Satu hal yang menarik perhatiannya setiap kali mengunyah, dia seperti sedang mengetik pesan pada ponselnya. Atau, catatan. Dia yakin, orang itu adalah utusan Michelin Guide.
Beberapa menit berselang, Cahaya kembali duduk. Cewek itu tampak ragu untuk memulai bersuara. Alhasil, Wisnu yang membuka percakapan, "Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?"
"Hmmm―"
"Kamu harus pergi?" Wisnu menyergah, mencoba membaca kekhawatiran Cahaya.
Gadis itu mengerjap, tak percaya.
Karena lama tidak mendapatkan respons, Wisnu bertanya kembali, "Ada apa? Jangan membuatku khawatir."
Sekuntum senyum Cahaya terbit. Sebentuk keberanian terpancar dari bola matanya. "Aku masih nggak percaya sekarang sudah punya pacar, dan sepertinya aku nggak salah pilih soalnya pacarku pengertian. Nggak usah aku jelasin pun, kamu paham apa yang aku pikirkan," dia sengaja menjeda kalimatnya dengan menghela napas panjang. "Ya sudah, aku harus pergi sekarang. Ada hal yang harus aku bereskan di Kenanga. Untuk kali ini, aku pergi sendiri dan nggak usah diantar ya, Nu."
"So, go."
"Are you sure?"
"Ya."
"Thanks, by the way."
"You're welcome."
Saat Cahaya akan beranjak pergi, Wisnu juga ikut berdiri. Ketika pandangan Wisnu terarah ke meja kasir, dia menangkap raut Mbok Darmi yang sedang menahan senyumnya. Wisnu pura-pura tidak melihat.
Sebentar kemudian, mereka tiba di sebelah mobil Cahaya.
Saat Cahaya mendekatkan kepalanya kepada Wisnu, dia mendadak kaku dan memejam, dan sedikit mengerucutkan bibirnya.
"Kenapa merem?" tanya Cahaya, dan langsung membuyarkan lamunan laki-laki itu.
"Oh, itu. Aku―"
Tanpa menunggu kalimat Wisnu selesai, Cahaya mencium pipi kekasihnya, kiri-kanan.
Wisnu membeku.
Sampai Cahaya dan mobilnya menghilang dari pandangan, Wisnu masih terpaku di tempatnya. Dia yakin, pipinya masih bersemu merah akibat perasaan malu dan bahagia bercampur menjadi satu. Dia menampar pipinya sendiri untuk menyadarkan bahwa tidak sedang bermimpi. Dan ternyata, panas.
Aku sudah nggak jomlo lagi, soraknya dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top