2. Jelaga Jiwa
Beberapa bulan kemudian...
Jadwal Baskara menjamah daerah kekuasaannya semakin menggila. Dia merasa 8/6 dengan jatah libur sehari terlalu sebentar. Dia ingin 10/6 atau 12/6 dalam seminggu untuk bekerja. Di saat Baskara menyisipkan gagasan tersebut ketika briefing pagi sedang berlangsung, seluruh pegawai, termasuk Cahaya, keberatan. Mereka tidak sanggup mengikuti ritme kerjanya. Kata mereka dalam hati: lama-lama bisa gila kalau terlalu banyak mengisap asap dapur.
Namun, selalu ada konsekuensi dari apa yang kita lakukan di dunia ini, termasuk di Resto Kenanga, bukan? Lidah pedas Baskara terlalu nyelekit untuk masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, tanpa mampir ke hati. Penghuni dapur seperti turun ke medan perang setiap harinya. Karena sejak keinginan Baskara tidak terpenuhi, mereka selalu waswas dalam bertindak, terlebih akhir-akhir ini.
Selagi mengamati dari meja pengunjung, Baskara merasa sedikit terhibur mengagumi dapurnya yang minimalis, modern. Dia berniat merombaknya sedikit lagi, tetapi masih terhalang restu Cahaya.
Tempat Baskara memamerkan bakat memasaknya itu tampak sebesar egonya. Bangunan memanjang dari meja makan pengunjung sampai menyentuh pintu samping sengaja dibuat selayaknya open kitchen. Mereka menawarkan konsep tersebut tanpa sekat kaca berlebih, agar pengunjung resto bisa melihat proses memasak dari tiga per empat bagian dapur. Karena sisanya, berbatasan langsung dengan tembok beton di sisi kanan dan partisi di sebelah kiri. Dapur Baskara dibagi menjadi tiga area tepian dengan tiga exhaust fan serta blower. Posisi depan bukannya menentukan prestasi, tetapi semakin dekat dengan hawa kematian. Baskara bercokol di sana. Dapur kotor berada di bagian belakang, tempat berbagai jenis bakar-bakaran dan tempat mencuci peralatan memasak serta penyimpanan bahan makanan. Baskara mempekerjakan dua orang di sana dan bertugas secara shift, Fadli dan Ramon. Shift mereka bertemu sebelum jam makan siang. Sementara di bagian tengah, dua orang incharge untuk mengolah makanan pencuci mulut dan minuman, Sari dan Musleh. Di bagian depan atau dapur utama, dihuni oleh Dani dan Baskara. Satu tempat yang sebisa mungkin dihindari semua orang, kecuali Dani, demi chef sekaligus tangan kanan Baskara. Awal Resto Kenanga buka, penghuni dapur tidak menyangka kalau keduanya adalah teman seperjuangan. Kelakuan mereka bak langit dan bumi, seperti malaikat dan setan.
"Musleh geser ke depan. Sari ke belakang!" seru Baskara saat tiba-tiba kembali ke dapur.
"Ada apa?" tanya Dani tenang. Dia amati sejenak resto yang masih cukup sepi pengunjung dari tempatnya berdiri karena memang belum waktunya makan siang, lalu menyipit ke arah Baskara. "Kalau capek, istirahat dulu. Mata pandamu bisa bertambah parah kalau kamu anggap dapur ini rumah keduamu." Dani mendekatkan hidungnya, mengerut, menghidu. "Bau badanmu saja sudah mirip ikan roa."
Baskara tertawa sarkas, terdengar merendahkan dan terlalu baik kalau hanya mendapat bogem mentah dari lawan bicaranya.
Namun, Dani tak gentar. Dia hapal betul dengan kelakuan teman baiknya itu. "Kamu masih ngambek sama omonganku semalam?" lanjutnya.
Musleh dan Sari mematung, menunggu titah Dani untuk tetap di tempat atau menuruti perintah Baskara. Kini, mereka bergantian memandang ke kanan dan kiri, Dani versus Baskara, persis menonton pertandingan badminton. Meski Baskara kadang berlaku semena-mena, mereka masih bisa mengandalkan Dani untuk menurunkan tekanan darah executive chef-nya itu. Menanjaknya cepat, anjloknya lama. Banyak yang berspekulasi, salah satunya adalah karena Baskara terlalu banyak menghirup karbon monoksida sehingga bukan oksigen yang tersaring melalui paru-parunya, melainkan hasil bakaran.
"Nggak ada pengaruhnya omonganmu semalam. Kamu bilang aku terlalu sensitif sejak ada resto baru itu, kan? Nggak. Tuduhanmu itu nggak beralasan. Aku masih waras buat menjadikan resto ini satu-satunya resto yang menyajikan cita rasa sejati. Apa katamu kemarin? Saingan?" Baskara melebarkan senyumnya, sinis. "Memangnya dia siapa?"
"Kalau kamu nggak ngambek, kenapa harus panjang lebar menjelaskan hal itu padaku?"
"Karena kamu bebal." Baskara mengakhiri perdebatan dengan menggeser posisi berdirinya, lalu pergi. Dia sempat melempar lap bersih ke keranjang cucian. Yang lain terpaku dan hanya bisa mengira-ngira, hal apa yang selanjutnya akan terjadi. "Musleh, gantikan posisiku hari ini!"
Sembari bersimpangan jalan dengan Baskara, Musleh menelan ludah dan mengangguk lambat. Dalam langkah bergasnya, Sari terbirit-birit menuju dapur belakang. Dia lebih memilih mendekam di sana daripada se-dapur dengan bosnya itu. Mengingat Ramon yang masih jomlo dan ngebet kawin, serta terus-terusan mengejarnya, pilihan itu terasa lebih masuk akal. Dia hanya akan jatuh tanpa harus tertimpa tangga.
Terdiam sebentar, Dani merasa hari ini akan menjadi hari yang melelahkan jika tidak segera dituntaskan. Dia susul Baskara. Begitu Baskara sadar Dani mengekor, dia berkacak pinggang sesaat setelah berbalik badan. Sebelum Baskara membuka mulutnya, Dani menyalip perkataannya, "Ikut aku. Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Penting!"
Baru kali ini suasana dapur terasa memanas bukan karena kompor. Dani yang cenderung tenang dalam menghadapi Baskara seperti berniat menunjukkan taringnya. Baskara terpaksa menurut ketika Dani berhenti di pintu belakang dapur, menggerakkan jari telunjuknya supaya Baskara menyusulnya.
***
Tidak mudah memang membangun sebuah resto, apalagi resto masakan jawa. Selain lokasi, kuncinya ada pada bumbu dan cara penyajian. Dalam sebuah karangan, diceritakan kalau sampai Dayang Sumbi mensyaratkan Bandung Bondowoso untuk membangun sebuah resto beserta penghuni dan peralatannya, dia mungkin akan memilih kabur. Tanpa perlu syarat, gangguan kokok ayam, apalagi suara lesung bertutu, Bandung Bondowoso lebih memilih kesehatan mentalnya dengan cara melarikan diri.
Namun sesulit-sulitnya meraih mimpi, nyatanya Baskara berhasil membangun resto perkasanya di Surabaya, kota yang terkenal dengan wisata kulinernya. Selain cita rasa yang dihadirkan Resto Kenanga sedikit nyeleneh, karena dengan harga ramah di kantong, pengunjung bisa menikmati makanan sekelas hotel bintang lima.
Semuanya terasa baik-baik saja sampai hari itu tiba.
Sebulan setelah peluncuran depot Kamboja di kota yang sama, Baskara mulai berulah. Dia menekan anak buahnya untuk bekerja ekstra. Standar operasional dapur telak menjadi incaran kemarahannya. Baskara merasa cita rasa makanan restonya juga berubah, dan dia tidak suka. Padahal, Dani pastikan sendiri kalau tidak ada menu makanan yang berubah cita rasanya seperti yang dituduhkan Baskara. Makanya, Dani sedikit tidak terima dengan tuduhan itu. Percakapan semalam berakhir sengit.
***
Sesampainya di tempat parkir karyawan, Dani menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan unek-uneknya. Baskara pun sama. Mereka sama-sama menunggu, siapa yang lebih dulu pantas untuk dicabik-cabik dengan kata-kata pedas.
"Aku nggak marah dengan perkataanmu semalam. Sebagian memang benar," sergah Baskara saat memulai percakapan. Dia sengaja mengalah supaya bisa secepatnya kabur.
Pelan, Dani longgarkan tensinya. "Maaf, Bas. Aku nggak bermaksud menjadikanmu lelucon di dapur sepagi ini."
Api amarah Baskara yang sebelumnya siap melahap apa pun yang ada di hadapannya, tidak berkobar lagi setelah mendengar permintaan maaf tulus keluar dari mulut teman seperjuangannya itu.
"Kalau kamu masih ada masalah, katakan padaku. Aku akan coba memosisikan diriku di tempatmu supaya aku paham kenapa kamu berhak marah seperti tadi," imbuh Dani.
"Dia itu lulusan Italia. Seharusnya dia membuat piza atau spageti, atau apapun terserah, aku nggak peduli. Tapi kenapa dia juga membuat resto... masakan jawa? Apa maksudnya kalau nggak pengin memancing kemarahanku?"
"Wisnu maksudmu?" tanya Dani.
"Nggak usah sebut namanya di depanku." Baskara mendengkus. Tatapannya kembali nyalang. "Seharusnya tempat makannya itu adanya di kuburan. Sama seperti namanya."
"Sama seperti kenanga?"
"Tutup mulutmu!" Baskara mendelik.
"Iya, iya." Dani segera memasang wajah datarnya kembali supaya tidak berakhir runyam. "Kamu tahu, setiap kali memasak, aku ingat kata-kata Pak Angger. Aku nggak tahu kamu masih mengingatnya atau nggak...." Dani sengaja memberi jeda pada kalimatnya.
"Seharusnya kamu ikut mengobrol di depan sewaktu ulang tahun Resto Kenanga dulu. Bukannya sembunyi di dapur dan aku harus bebaik hati mengantar Pak Angger buat ketemu kamu."
"Bukan itu kalimatnya." Dani tidak bisa menahan tawanya lagi, lalu mengernyit setelah menyurutkannya segera. "Kamu nggak ikhlas mempertemukanku dengan Pak Angger?"
"Kalau iya―"
"Lanjutan omonganku tadi apa?" potong Dani cepat, tidak memberi kesempatan Baskara untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Bikin sambal terasi dengan bumbu komplet nggak akan sama rasanya kalau dibuat oleh tangan yang berbeda. Makanya, sebaik apa pun peniru hanya akan berakhir menjadi pecundang," timpal Baskara.
Dani menepuk bahu Baskara. Dia teringat masa-masa saat mereka masih akur, bertiga bersama Wisnu. Kala itu, Angger bersedia menjadi mentor ketiganya sebelum lulus SMK Pariwisata atas bantuan orangtua Wisnu. Suatu hari, Angger menantang mereka untuk membuat sambal terasi terenak. Dan pemenangnya adalah Baskara. Kata Angger, racikannya tepat.
"Kamu harusnya bangga. Dengan lulus D1 Pariwisata lokal, punya pengalaman di hotel berbintang, relasimu juga lumayan banyak, kamu setara dengan orang yang sekolah jauh-jauh ke Italia." Seringai Dani bagai tamparan. Baskara tertegun mendengarnya.
"Kita sudahi bahasan kali ini ini, soalnya sebentar lagi waktunya makan siang. Resto pasti ramai," Dani menambahkan, dan bersiap kembali ke dapur.
"Apa yang harus aku lakukan supaya dia nggak menghalangi jalanku terus-terusan?" Emosi Baskara semakin mereda. Ucapannya kembali datar.
Dani melangkah dengan enteng, berkata tanpa menoleh, "Aku nggak tahu. Pertanyaan itu seharusnya kamu jawab sendiri."
"Aku harus menghancurkan Kamboja. Depot sialan itu sungguh mengganggu pemandangan," desis Baskara.
***
Sejak sebulan lalu, Depot Kamboja resmi dibuka. Sama seperti Resto Kenanga, banyak ucapan selamat dari orang-orang yang Wisnu kenal. Bunga papan pun datang berbaris selayaknya hantaran. Jumlahnya lebih banyak dari yang diperoleh Resto Kenanga karena peletakannya mengular dan ditumpuk. Padahal, Wisnu tidak banyak mengundang tamu saat acara pembukaan. Namun, rata-rata semua undangan hadir, kecuali satu orang yang diharapkannya datang. Sejauh ingatan Wisnu saat menjamu tamu-tamunya, dia tidak menangkap sosok Baskara, alih-alih bunga papannya.
Ingatan Wisnu mundur ke satu masa. Janjinya bersama Baskara seumpama suatu saat membuka rumah makan adalah saling mengucap selamat dan berbahagia sama-sama. Bahkan, mereka telah mempersiapkan jauh-jauh hari nama rumah makan mereka. Baskara mengambil nama Kenanga karena ingin mengenang warisan leluhur melalui cita rasa makanan yang dibuatnya, sementara Wisnu memilih nama Kamboja sebab ingin berdedikasi tinggi terhadap dunia kuliner.
Penyesalan pun seketika mencuat. Andai waktu bisa diputar kembali, apakah Wisnu akan membatalkan kepergiannya ke Italia dan memilih berseteru dengan papanya? Dengan begitu, hubungannya dengan Baskara akan tetap baik-baik saja. Mungkin dengan memilih setia kepada persahabatannya, Wisnu bisa menghapus perasaan terbuang Baskara.
Mungkin, adalah kata yang paling dihindari oleh semua orang, termasuk Wisnu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top