14. Taktik Jitu

Posisi mengobrol Prabu dan tamunya cukup jauh dari dapur. Kendati demikian, Baskara merasa selalu diawasi setiap kali melakukan sesuatu. Sampai-sampai, dia melipir ke kebun belakang untuk berefleksi. Bertanya kepada Hadi pun terasa tak elok. Terlebih, Prabu. Dia segan. Untuk itu, Baskara berhati-hati setiap kali memegang peralatan dapur atau menyiapkan bahan masakan. Dia tidak ingin kena marah.

Tak lama berselang, pandangan mereka akhirnya bertumbuk. Karena tidak ingin mengundang masalah, Baskara pura-pura mengamati hasil irisan pepaya mudanya untuk sambal goreng sebagai sandingan urap-urap daun ketela pohon dan beluntas. Kemudian setelah menyelesaikannya, Baskara ingin menyusul yang lain ke Rumah Makan Daharan untuk membantu persiapan buka. Namun, niat itu pupus. Prabu memanggil setelah tamunya pamit pulang.

"Dalem (iya), Pak," jawab Baskara setelah mendekat. Kepalanya sedikit merunduk. Detak jantungnya meningkat.

"Kamu nggak repot, kan?"

"Mboten (tidak)."

Prabu beranjak dari kursi dan memberi kode supaya mengekorinya ke kamar. "Kebetulan Wisnu aku suruh beresin pesanan nasi kotak."

Baskara mengangguk kecil.

"Karena semua orang sibuk dan anakku nggak ada di rumah, jadi kamu yang temani aku ke restoran mantan pekerjaku ini. Ke Pawon Restoran. Kamu tahu Bas, setelah dapat ilmu dari sini, pekerjaku itu berani buka usaha sendiri. Aku juga dengar restorannya akhir-akhir ini ramai," Prabu melanjutkan bicara seraya membuka lemari pakaian terbaiknya, sedangkan Baskara berdiri cukup jauh dari pintu. "Sekarang aku mau ganti baju dulu, kamu bilang Dodo untuk siapkan mobil."

"Inggih, Pak."

Pawon Restoran berdiri di Dukuh Kupang, sekitar setengah jam dari Rumah Makan Daharan. Pemiliknya bernama Lilik. Di mobil yang disupiri Dodo, Prabu mendongeng di kursi belakang. Katanya, Lilik itu seangkatan Hadi, bapak Baskara. Keduanya adalah tangan kanan Prabu, tetapi nasib mereka bergerak ke arah berbeda. Lilik berani mengambil risiko dengan membuka warung dan berkembang menjadi Pawon Restoran, sementara Hadi masih setia kepada Prabu.

Tiba di tempat tujuan, mereka melangkah menuju halaman restoran berkonsep Joglo. Terdapat taman rumput luas bak permadani hijau ditanami beraneka bunga di beberapa sudut, dengan pohon asam jawa di kiri kanan bangunan. Semuanya tampak asri, padahal Surabaya panas sekali.

Kedatangan mereka disambut sang pemilik restoran. Baskara dan Dodo mengekor. Dibandingkan Prabu yang flamboyan, Lilik tampak seperti kacung. Kucel. Entah pilihan busana Lilik yang jadul atau perawakannya yang tidak mendukung. Semuanya tampak kebesaran. Secara kasat mata, Prabu menang telak. Ketampanannya memikat dengan kulit terawat. Atau mungkin, kontur wajah lembut beralis tebal menaungi mata cokelat tajam itu sejatinya bawaan orok.

Digiring masuk oleh Lilik, mereka duduk di meja yang telah disiapkan. Sebelum duduk, Prabu menepuk bahu Lilik dengan isyarat bangga. Senyum pun merekah bagai kuntum bunga pukul empat.

"Repot banget, Lik. Sampai kosongin meja segala," Prabu berkata manis, kemudian melemparkan tatapannya kepada Baskara dan Dodo. "Kita duduk di sini saja, ya."

Kedua anak buahnya kompak menyengguk.

"Nggak repot, Pak Prabu," Lilik menukas, "Kan nggak sering-sering datang ke sini. Tapi kalau mau sering juga boleh," kelakarnya. "Mau pesan apa? Ada menu spesial―"

"Aku lihat daftar menumu dulu ya, Lik."

Secepat kilat, Lilik mengambil buku menu dan menyerahkannya kepada Prabu. Sekilas membaca buku menu, Prabu mendongak dan berkata datar, "Mirip menu di tempatku ya, Lik?"

Bola mata Baskara melebar. Dodo melirik ke arahnya dan Baskara membalas seolah sedang bertelepati, diakhiri dengan anggukan kecil.

"Hmm...."

"Bercanda." Prabu tertawa. Ketiga orang lainnya ikut terkekeh, kikuk.

Karena penasaran, Baskara melirik buku menu Pawon Restoran. Menu yang tertampil memang sama seperti Rumah Makan Daharan. Entah kenapa, dia bergidik ngeri membayangkan reaksi janggal yang ditunjukkan majikannya. Tampak terlalu ramah.

Belum sampai Lilik mencatat pesanan, tiba-tiba terdengar gumaman dan berakhir adu mulut dari seorang pengunjung restoran dengan pramusaji. Seluruh kepala mencari sumber kegaduhan, tak terkecuali rombongan Prabu.

"Ada kecoak di makanan saya!" pengunjung yang duduk persis di tengah ruangan, berdiri dan menjumput hama itu.

Bisa ditebak. Dengung, pekikan, makian tertahan dan suara ingin muntah menghiasi suasana restoran. Lilik meminta izin kepada Prabu untuk mencari musabab kehebohan. Sepertinya akan menjadi masalah besar jika tidak ditangani dengan baik.

Sedetik kemudian, Prabu bangkit dari kursi dan memberi kode kepada anak buahnya untuk mengikutinya. Mereka berniat pulang.

Masih mencoba mengingat-ingat siapa yang berteriak kecoak, alis Baskara bertaut. Setelah mengenalinya, Baskara mendadak jeri. Orang itu tadinya adalah tamu di rumah Prabu. Meski hanya bisa memandangi Prabu yang berjalan tenang di hadapannya, banyak sekali hal ganjil melekat padanya. Untungnya, hal ganjil tersebut lekas peroleh jawaban ketika mereka berada dalam perjalanan pulang.

"Pengkhianat dan berani mencuri resep masakan, lalu memamerkannya kepada pemilik aslinya yang adalah mantan majikannya, harus dihukum berat," Prabu bermonolog seraya mengamati pemandangan di luar kaca mobil. "Inilah sifat burukku. Tapi bukankah itu yang namanya hukum alam? Kamu harus menginjak lebih dulu orang yang ada di bawahmu sebelum orang itu menggigitmu," kemudian dia memandang kembali ke depan. "Mungkin perangaiku akan lebih mengerikan jika ada yang berani mengganggu putraku."

Aura gelap baru menciut setelah Prabu meminta Dodo menurunkannya di Rumah Makan Daharan. Di sepanjang perjalanan, tidak ada yang berani berkomentar, apalagi memperdengarkan helaan napas panjang. Cengkeraman kata-kata Prabu tertoreh dalam benak. Sampai-sampai, Baskara tidak bisa berkonsentrasi ketika bekerja dan pulang dengan beban pikiran berlebih.

***

Pintu rumah Hadi terbuka. Pemiliknya sedang duduk sambil mengisap rokok kretek seraya memperhatikan jalanan di luar pagar tumbuhan beluntas dipapras rapi. Sesekali dia mengangguk ketika ada tetangga lewat, dan tak jarang membalas sapaan mereka.

Tanpa berkata apa-apa, Baskara duduk di sebelah Hadi. Tangannya menjulur meraih satu batang rokok kretek dalam bungkus yang tergeletak di atas meja kayu reyot. Dia pantik rokok dalam jepitan jari dan mengembuskan asapnya pelan. Hadi tidak pernah melarang Baskara merokok. Dia hanya berpesan, tidak boleh merokok ketika memasak atau istirahat bekerja karena tembakau yang menempel di jari akan memengaruhi cita rasa masakan. Untungnya, Baskara tidak sampai kecanduan merokok. Dia melakukannya hanya ketika banyak pikiran.

"Ada apa, Bas?" tanya Hadi setiap kali mendapati anaknya merokok bersamanya.

Bulatan-bulatan asap rokok terbentuk dari bibir Baskara yang sedikit dimonyongkan. Dia tertawa melihat kepulan asapnya sendiri.

"Awal-awal belajar merokok dulu, aku batuk-batuk parah dan Bapak cuma ketawa."

"Lha, memangnya Bapak bisa bantu apa kalau orang tersedak asap rokoknya sendiri? Pukul-pukul punggungmu kayak orang tersedak makanan?"

"Iya juga, ya."

Keduanya lalu terdiam, kembali menikmati isapan dan embusan rokok masing-masing. Sesekali Baskara ikut menyengguk ketika ada tetangga yang lewat.

"Bapak masih ingat sama Pak Lilik?" tanya Baskara ketika bara rokoknya hampir menyentuh bantalan, sementara Hadi sudah memantik rokok ketiganya.

Dahi Hadi mengerut dalam.

"Yang punya restoran dan baru buka itu lho, Pak," imbuh Baskara, mencoba memancing ingatan bapaknya.

"Oh, Lilik yang itu. Ya, ya, Bapak kenal soalnya pernah kerja bareng di dapurnya Pak Prabu." Hadi mengangguk-angguk. "Ada apa dengannya?"

"Tadi kami... aku dan Paklik Dodo diajak Pak Prabu ke sana."

Pandangan Hadi terarah kepada putranya, sekaligus mengubah posisi duduknya menyamping. Wajahnya menegang. "Nggak terjadi apa-apa kan di restorannya Lilik?"

"Terjadi apa-apa, Pak. Salah satu pengunjung bilang kalau di dalam makanan yang dipesannya ada kecoak. Setelah itu kami nggak jadi makan dan balik ke Daharan."

"Kira-kira... Pak Prabu ada hubungannya dengan hal itu?"

Mendadak keraguan bergerak bagai kabut di hati Baskara. Dia mengetahui satu hal yang bisa mengukuhkan dugaannya, tetapi nuraninya berkata untuk tidak membeberkan hal itu kepada Hadi. Jangan cari penyakit, batinnya.

"Kenapa Bapak mikir sampai situ?"

"Hmm, soalnya...," keraguan juga mendera benak Hadi. Akhirnya, dia menggeleng dan berkata pelan, "lupakan saja pertanyaanku."

"Pak, memangnya kalau suatu saat nanti aku bisa kuliah di luar negeri atau bisa buka restoran sendiri, apa nggak bakal diperbolehkan sama Pak Prabu? Sama... Bapak juga?"

Keheningan cukup lama terbentuk. Hadi memantik rokok keempatnya, dan menyodorkan sebatang kepada Baskara tetapi ditolaknya secara halus.

"Aku pasti izinkan. Tapi kalau Pak Prabu―" Hadi mendadak membisu. "Oh, memangnya mimpimu apa nggak ketinggian, Bas? Dulu Bapak juga punya mimpi nggak pengin jadi tukang masak seperti Mbah-mu, tapi kenyataannya nggak meleset jauh. Bedanya, Bapak bisa punya rumah kecil ini dengan jerih payah sendiri, sementara Mbah-mu mengontrak seumur hidupnya."

Jangankan bapaknya, Baskara sendiri saja masih meragukan tekatnya.

"Tapi jangan khawatir. Bapak akan selalu mendukungmu. Apalagi jika jalan yang kamu tempuh ada di dunia memasak dan kamu melakukannya tanpa terpaksa."

"Iya, Pak." Sekuntum senyum tercetak di bibirnya.

"Kamu hanya perlu mendoakanku supaya sehat selalu―" Hadi terbatuk saat mengatakannya. Kemudian, keduanya tergelak karena doanya terdengar kontradiktif.

Mereka akhiri kegiatan merokok di sore hari itu. Hadi akan kembali ke Rumah Makan Daharan setelah mandi, sementara Baskara ke rumah Angger untuk sesi mentoring.

***

Mentoring malam ini berkaitan dengan garnis. Di dalam keranjang rotan telah Angger sediakan bermacam buah, sayur, dedaunan, ham, dan juga keju parut dalam bentuk batangan. Satu hal yang kadang terlupakan oleh seorang koki adalah mempermanis tampilan makanan supaya penikmat kuliner tidak lari ke tempat lain.

Kemudian, masakan crab tortellini siap terhidang di atas piring saji. Angger memerintahkan kepada ketiga muridnya untuk mempraktikkan ilmu yang telah dipelajari. Mereka terlihat antusias, sementara Angger berkeliling memperhatikan tangan terampil ketiganya ketika memilih tomat ceri, peterseli, irisan ham dan parutan keju. Dari sinilah sense of art diperhatikannya. Dan dari ketiga orang muridnya, Angger merasa Wisnu berada di urutan paling bawah dalam penilaian. Seperti biasa, Baskara unggul dari kedua temannya.

Sesi mentoring selesai dengan hasil memuaskan. Sebelum pulang, ketiganya menyempatkan mengobrol di halaman rumah Angger.

"Coba saja kalian tukar posisi. Aku yakin Pak Prabu nggak akan ragu buat mewariskan restorannya ke kamu, Bas," canda Dani sambil melirik ke arah Wisnu. Kini, ketiganya sudah lebih akrab daripada sebelum-sebelumnya.

"Kalau gitu, kita tukar nasib saja, Bas. Turuti saran Dani," timpal Wisnu. Keduanya tergelak.

"Seharusnya kamu malu, Nu," Baskara membalas dengan wajah serius. Tawa keduanya lenyap. "Kamu punya kesempatan buat menang dari kami semua, tapi kamu malah nggak pernah serius melakukannya. Karena apa? Kamu tinggal tunjuk, Daharan bisa jadi milikmu. Sementara aku, menang seribu kali tantangan dari Pak Angger pun masih harus berjuang untuk menyamaimu sekarang. Bahkan belum tentu ada jaminan berhasil."

Mereka beradu tatap setelah Baskara menyelesaikan kalimatnya.

"Hmm, aku tadi cuma bercanda," Dani mencoba mengurai suasana tegang yang mungkin segera terbentuk.

"Kamu pulang duluan saja, Nu," Baskara menukas cepat dengan rahang mengetat. "Ada yang mau aku tanyakan ke Pak Angger."

"Aku i―" Wisnu belum sempat menyelesaikan perkataannya ketika Baskara sudah angkat kaki dari hadapan mereka. Dani menggaruk tengkuknya dengan canggung, sementara lanjutan kalimat Wisnu seperti tiupan angin, "―kut."

***

Benaknya mengumpat ketika Angger hanya memberi waktu lima menit kepada Baskara untuk mengobrol. Alasannya masuk akal. Angger sengaja membatasi mengobrol dengan anak didiknya di luar jam yang telah ditentukan, semata untuk menjaga tingkat profesional.

Jadi, dengan waktu sesingkat itu, Baskara bertanya langsung ke intinya, "Dua pertanyaan. Bagaimana caranya supaya saya bisa menembus beasiswa kuliah di luar negeri secara maksimal karena waktunya sudah mepet sekali. Dan jika suatu saat saya punya restoran sendiri, bagaimana caranya menembus bintang Michelin Guide. Saya dengar Pak Angger pernah bekerja di restoran yang pernah mendapatkan bintang itu," katanya cepat seolah lupa bernapas. "Bantu saya, Pak Angger. Please," pintanya memelas.

"Tinggi juga mimpimu, Bas."

"Karena dengan itu saya bisa bertahan sampai sekarang."

Angger manggut-manggut. Kebanggaan terlihat dari tatapan matanya yang teduh. "Sayang sekali waktunya nggak akan cukup untuk menjelaskan dua pertanyaanmu itu," decaknya. "Tapi jangan khawatir, aku yakin kalian sudah pernah membahas masalah ini sebelumnya. Wisnu juga bertanya hal yang sama seperti pertanyaanmu barusan, dan aku sudah menjelaskannya. Tanyalah padanya."

"Ka-kapan Wisnu tanya ke Pak Angger?"

"Beberapa hari yang lalu. Dan sekarang, berita buruknya adalah lima menitmu sudah habis. Jadi, pulanglah."

Bibir Baskara mengatup selepas pamit dari hadapan Angger. Dadanya hampir meledak menahan amarah yang menggeliat sejak mendengar penjelasan mentornya itu.

Di depan pintu rumah Angger yang menutup, Baskara menangkap Wisnu sedang menaiki motornya, seperti tengah menunggunya. Ketika bebalik badan dan menatap Baskara yang membeku, Wisnu mengulas senyum dan melambaikan tangan. Dalam hati, Baskara ingin mengumpat lantang kepada sahabatnya itu, sekaligus sang pengkhianat. "Jancuk!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top